Kita mulai satu seri yang baru, mengenai bagaimana membaca kisah penciptaan di Kejadian 1; penekanannya pada hal bagaimana membacanya, dan bukan cuma soal apa isinya. Ada hal-hal yang orang Kristen secara umum menyadari dan mengakui, tapi tidak benar-benar mengerti –demikian juga dalam hal bagaimana membaca Alkitab. Kita tahu, bahwa Alkitab tidak boleh dibaca sembarangan. Kita tahu, kalau mau mengerti Alkitab secara beres, kita tidak bisa langsung datang begitu saja. Hampir semua orang Kristen sadar akan hal ini, apalagi melihat ayat-ayat di Perjanjian Lama yang bahasanya begitu berbeda dari kebiasaan berbahasa kita hari ini, yang membuat kita langsung tahu adanya jarak antara kitab tersebut dengan kita.
Lalu apa yang harus kita lakukan supaya kita bisa membacanya dengan tepat? Dalam hal ini, salah satu dampaknya adalah lahirnya berbagai isu, ketegangan, atau konflik antara Alkitab dengan sains modern. Koq, antara Kejadian 1 dengan teori-teori sains mengenai alam semesta banyak yang ‘gak nyambung? Kalau begini, apakah salah satunya salah? Sebagai orang Kristen yang baik, apakah kita harus ngotot bahwa dunia dijadikan dalam 6×24 jam? Mengapa terang diciptakan sebelum ada benda penerang? Sebenarnya bagaimana sih, kita membaca bagian-bagian ini dengan tepat? Ini semua seringkali jadi pertanyaan; dan itulah sebabnya kita mau mempelajari bagaimana membaca kisah penciptaan. Salah satu sumber utama dalam pembahasan saya adalah buku “The Lost World of Genesis One”, karya Dr. John Walton.
Prinsip pertama yang kita perlu tahu ketika membaca Alkitab adalah: Alkitab ditulis bagi kita, tetapi bukan ditulis kepada kita. Alkitab ditulis kepada bangsa Israel, dalam bahasa orang Israel, tapi juga ditulis di dalam budaya Israel; bagian yang terakhir inilah yang seringkali kita tidak sadar. Mengerti Alkitab bukan cuma berarti kita bisa menerjemahkan bahasanya dari bahasa asli ke dalam bahasa kita, tapi juga menerjemahkan budaya di balik bahasa tersebut ke dalam pengertian kita hari ini. Misalnya Saudara mau mengerti istilah ‘cantik’ di dalam Alkitab –dikatakan “Sara itu cantik”—maka Saudara tidak bisa puas hanya dengan menemukan bahwa istilah yapheh dalam bahasa Ibrani sama dengan “cantik” dalam bahasa Indonesia, Saudara perlu bertanya, apa makna istilah ‘cantik’ di dalam budaya waktu itu, karena mungkin mereka mengerti apa artinya kecantikan dengan cara yang berbeda dari kita pada hari ini mengerti kecantikan. Inilah maksudnya menerjemahkan ‘budaya’, dan bukan cuma ‘kata’.
Contoh yang lain, misalnya di Kejadian 2 dikatakan Allah beristirahat pada hari yang ketujuh. Di sini kita langsung bertanya-tanya, apa makna ‘beristirahat’ itu, karena bagi kita, orang yang beristirahat berarti dia kecapaian dan perlu recharge energi; lalu apakah ini jadi berarti Allah kecapaian?? Dalam hal ini, Saudara perlu cari tahu apa maknanya ‘dewa beristirahat’ menurut pengertian orang dalam budaya waktu itu, tidak bisa cukup puas hanya dengan menemukan bahwa istilah sabat berarti istirahat. Di sini kita menemukan, ternyata istilah sabat pada zaman kita sekarang, ada perbedaan besar dengan istilah sabat yang dimengerti zaman itu. Pada waktu itu, ‘dewa beristirahat’ bukan mengandung makna ‘dewa kecapaian’; bagi mereka makna dari ‘dewa beristirahat’ bukanlah soal tindakannya, melainkan tempatnya. Di mana dewa beristirahat? Yaitu di rumah mereka, di dalam sebuah kuil (temple). Dengan demikian, ketika dikatakan ‘Allah beristirahat dalam ciptaan-Nya’, bukan berarti Allah sedang low-bat; kalimat mengenai hari ke-7 tersebut ternyata memberikan pengertian akan apa yang terjadi selama 6 hari sebelumnya, bahwa Allah bukan sedang menciptakan alam semesta saja, Dia menciptakan alam semesta dengan tujuan tertentu yaitu untuk menjadi “kuil”-Nya, untuk menjadi tempat tinggal-Nya.
Implikasi dari hal ini banyak; tapi saya hanya membahas satu implikasi saja. Hari ini kita seringkali bertanya-tanya, kita ini juga dipanggil untuk beristirahat pada hari Sabat, di Gereja, tapi koq kita tidak merasa istirahat waktu datang ke Gereja, bahkan tambah capek karena musti mendengarkan kotbah yang sulit, ada koor, ada tanya jawab, dsb.; jadi bukan istirahat kalau begini?? Jawabannya, memang betul; karena Saudara mengerti istilah ‘istirahat’ menurut pengertian hari ini. Tapi kalau Saudara kembali ke pengertian zaman itu, istirahat berarti Saudara mendirikan rumah di sini –bukan terutama soal low bat lalu hari Minggu di-recharge. Dengan demikian, beristirahat pada hari Minggu, berarti Saudara menemukan rumahmu di Gereja, Saudara mendirikan “rumah”-mu di antara komunitas orang Kristen, di dalam tubuh Kristus –itulah maknanya. Kita selama ini mengerti hanya sebatas istilah, lalu kita tafsirkan dalam budaya dan konteks kita hari ini. Waktu kita membaca Alkitab, kita perlu menelaah kembali budaya pada waktu itu, kita perlu menerjemahkan bukan cuma istilahnya, tapi juga budaya di balik istilah tersebut.
Kita akan mencoba melihat hal tersebut dalam kasus kisah penciptaan. Dalam hal ini, bagaimana kita bisa mengetahui budaya waktu itu? Tentu saja kita bisa menyelidikinya dari budaya Israel, yang ditulis di Alkitab, tapi bukan cuma itu saja. Para pakar hari ini mulai memperluas penyelidikannya ke dalam budaya-budaya di sekeliling Israel pada zaman itu, yang biasa disebut budaya Timur Dekat Kuno (Ancient Near East). Pada zaman Alkitab ditulis, budaya Timur Dekat Kuno ini biasanya termasuk kultur Babilonia Kuno, Mesopotamia Kuno, dan Mesir Kuno. Ketika kita menyelidiki budaya mereka, kita bisa mengira-ngira cara berpikir orang pada waktu itu. Ini jadi salah satu cara untuk kita bisa menerjemahkan bukan cuma istilah, tapi juga budayanya.
Tapi mungkin Saudara bertanya, bukankah budaya Israel berbeda dari Babilonia Kuno, Mesir Kuno, dsb., bahkan jelas-jelas Israel disuruh untuk berbeda; lalu kalau kita melihat budaya-budaya lain untuk melihat Alkitab, bukankah jadi seperti merendahkan Alkitab?? Tentu saja maksudnya bukan seperti itu. Sudah pasti mereka berbeda; bahkan budaya Israel pada milenium ke-3 sebelum Masehi dengan milineum pertama sebelum Masehi pun sudah pasti berbeda. Meski demikian kita tetap bisa mengasumsikan ada kesamaan antara budaya Israel dengan dunia sekitarnya pada zaman itu, misalnya mereka memakai baju dengan bahan yang sama, mereka pakai alat transportasi yang sama. Jadi tetap ada kesamaannya, meskipun mereka dipanggil untuk berbeda. Dan yang pasti, lebih baik kita mencari kesamaan budaya pada zaman itu dengan budaya Israel pada zaman itu, dibandingkan mencari kesamaan budaya kita hari ini dengan budaya Israel pada waktu itu. Ini seperti halnya kita hari ini sebagai orang Kristen dipanggil untuk berbeda dari dunia, tapi tentu itu bukan berarti kita terpisah dari dunia; kita tetap berbagi kesamaan dengan budaya dunia hari ini, dalam hal baju yang kita pakai, dalam hal alat transportasi, dan macam-macam lainnya lagi. Itu sebabnya kita boleh menyelidiki budaya zaman itu, dengan cara seperti ini. Saudara bayangkan, seandainya isi WA Saudara dibaca oleh orang-orang yang hidup 1000 tahun dari sekarang, apakah mereka bisa mengerti isinya, meskipun mereka bisa menerjemahkan istilah-istilah bahasanya? Tentu tidak. Mereka tidak akan mengerti, sampai mereka menyelidiki latar belakang serta konteks budaya kita hari ini; dan mereka tidak harus hanya menyelidiki di Kelapa Gading, mereka boleh menyelidiki di Jakarta, di seluruh Indonesia, bahkan tetap akan ada kesamaan antara yang terjadi di Kelapa Gading dengan yang terjadi di seluruh dunia –pada hari ini. Misalnya, mereka menemukan ‘O, ternyata waktu itu ada yang namanya telepon’ –dan di zaman mereka itu tidak ada, dsb.
Jadi, tetap ada kesamaannya; inilah yang biasanya kita gali dalam studi Biblika. Kalaupun Saudara bersikeras bahwa Israel unik, justru studi komparasi seperti ini akan membuat perbedaan antara Israel dengan bangsa sekitarnya semakin muncul. Mengapa? Karena perbedaan akan semakin kentara ketika ada kemiripan. Kucing dan anjing berbeda –dan kelihatan sekali bedanya. Mengapa? Justru karena ada miripnya; sama-sama berkaki empat, sama-sama berekor, tapi yang satu mau jadi teman manusia sedangkan satunya lagi mau jadi bos-nya manusia. Jadi bedanya justru terlihat karena ada kemiripannya. Kalau Saudara disuruh membandingkan kucing dengan tembok, tentu saja jelas beda, tapi mengapa perbedaannya tidak sebegitu kentaranya? –tentu Saudara mengerti maksudnya. Ketika kita membandingkan Israel dengan budaya-budaya sekitarnya, kita bukan cuma mau mencari kemiripan; kadang-kadang justru dengan melihat hal-hal yang mirip, malah muncul keunikan yang sebelumnya kita tidak lihat. Jadi Saudara tidak perlu kuatir, di sini saya hanya bermaksud menjelaskan metodologi yang dipakai ketika kita masuk ke dalam pembahasan ini.
Keseluruhan kotbah hari ini masih berupa pengantar/introduksi; dan hari ini kita mencoba melihat pengertian dari 2 istilah yang sangat berhubungan dalam kisah penciptaan. Yang pertama, istilah ‘mencipta’, apa maknanya dalam pengertian orang zaman itu. Yang kedua, istilah ‘eksistensi/keberadaan’, apa pengertiannya pada zaman itu. Terakhir kita akan coba konklusikan penemuan kita, dan sedikit menarik implikasinya. Kita membaca dari Kejadian 1: 1-2, Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi. Bumi belum berbentuk dan kosong; gelap gulita menutupi samudera raya, dan Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air.
Apakah konsep eksistensi itu; apakah yang orang zaman itu sebut sebagai ‘ada/eksis’? Berbicara tentang penciptaan, sangat berkaitan dengan eksistensi; penciptaan adalah membawa sesuatu, masuk ke dalam eksistensi (menjadi eksis). Pada zaman kita hari ini, waktu kita mengatakan sesuatu ada atau tercipta, itu berbicara urusan fisik, material. Waktu kita mengatakan “mimbar ini ada”, itu berarti maksudnya ada wujud fisiknya, bisa kita sentuh, bisa kita lihat, ada bahannya, dsb. Meski begitu, di zaman ini pun kita mengenali bahwa itu bukan satu-satunya pengertian istilah ‘eksis’. Misalnya anak remaja hari ini, waktu mereka mengatakan “aduh, gua kagak eksis”, atau “temen gua itu kepingin banget eksis”, tentu maksudnya bukan ‘eksis’ dalam pengertian material, tapi bicara eksistensi dalam aspek yang lain. Ini bukan bicara ‘eksistensi’ dalam pengertian keberadaan fisik, tapi bicara ‘eksistensi’ dalam pengertian fungsional & relasional.
Contoh lain, waktu kita membicarakan mengenai sebuah bisnis, perhatikan bahwa kita lebih suka menggunakan istilah ‘bisnis yang jalan’ dibandingkan ‘bisnis yang ada’. Kalau ditanya “bisnis lu gimana?”, tentu tidak ada yang jawab “bisnis gua ada”; kita menjawab, bisnis kita jalan. Istilah ‘jalan’ ini pengertian fungsional, bukan pengertian material. Saudara juga bisa bertanya seperti ini, apa artinya sebuah bisnis yang eksis? ketika ada gedungnyakah? ketika mendapat izin dari pemerintahkah? ketika ada website-nyakah? Sepertinya bukan itu yang terutama; semua hal itu perlu ada, tapi kita lebih suka bicara bahwa suatu perusahaan eksis bukan karena mereka punya bahan dasar materialnya (gedungnya), melainkan ketika perusahaan tersebut berjalan/menjalankan bisnisnya, berfungsi, berelasi dengan bisnis-bisnis yang lain, dst.
Jadi, yang disebut dengan ‘keberadaan’ atau ‘eksistensi’ tidak harus dimengerti dalam pengertian material (ada wujudnya), tapi juga bisa dimengerti dalam level yang lain, yaitu dalam aspek fungsional dan relasional; eksis berarti ada fungsinya, ada dampaknya, berjalan, ada interaksi dengan hal-hal yang lain. Waktu seorang remaja bilang dirinya “’gak eksis”, tentu bukan maksudnya dia tidak punya badan atau tidak ada secara fisik, tapi bahwa dia tidak berfungsi, ‘gak ngaruh, ‘gak ngefek, ‘gak berguna –eksistensi dalam pengertian fungsional.
Kembali ke kitab Kejadian; waktu kita membaca istilah “Allah mencipta”, yaitu membawa sesuatu ke dalam eksistensi, pertanyaannya adalah: apakah kita harus mengerti ini dalam kacamata material? Paling tidak, sekarang Saudara bisa melihat bahwa ada alternatif membaca istilah tersebut dalam makna yang lain, yaitu bahwa kegiatan penciptaan bukanlah terutama fokus pada pengadaan suatu wujud fisik, melainkan terutama fokus pada pengadaan suatu fungsi, pemberian suatu peran, pemberian panggilan.
Pada hari ini pun, kita seringkali memakai istilah ‘penciptaan’ dengan mengacu pada aspek fungsional seperti itu, hanya saja kita tidak sadar. Misalnya, waktu mengatakan “saya menciptakan panitia Natal”, maksudnya tentu bukan menciptakan manusia-manusianya, tapi bahwa saya sedang membuat peran atau mengadakan suatu fungsi –yaitu panitia Natal. Waktu mengatakan “saya menciptakan kurikulum”, tentu saja kurikulum tidak ada wujud fisiknya, jadi artinya menciptakan suatu fungsi. Contoh lain, istilah ‘menciptakan kekacauan’, jelas bukan berarti menciptakan sesuatu benda material, tapi menciptakan suatu fungsi atau dampak. Poin yang ingin saya katakan adalah bahwa Saudara harus bisa melihat adanya cara lain atau pendekatan lain dalam mengerti istilah ‘penciptaan’ dan ‘keberadaan/eksistensi’; tidak harus mentok pada urusan material, tapi bisa jadi istilah tersebut sedang mengomunikasikan aspek fungsional.
Kembali ke pertanyaan awal, waktu istilah ‘penciptaan’ muncul dalam dunia Israel kuno, mereka mengertinya dalam makna yang mana? Kita akan coba melihatnya.
Pertama-tama, kita coba mengintip kisah-kisah penciptaan dalam mitologi Timur Dekat Kuno pada waktu itu. Di sini Saudara akan menemukan beberapa hal, yang membuat kita berpikir bahwa mereka condong melihat penciptaan sebagai kegiatan penciptaan fungsi, dan bukan sebagai urusan manufaktur material. Dalam mitologi Mesir Kuno, keadaan sebelum penciptaan digambarkan sebagai air/samudra raya –mirip sekali dengan kitab Kejadian. Yang menarik, dalam mitologi Mesir keberadaan air ini disamakan dengan ketiadaan; bagi mereka, ada air doang sama saja dengan nothingness (nonexistence). Ini berarti pada zaman itu orang-orang Mesir sepertinya berpikir bahwa konsep eksistensi bukanlah soal ke-ada-an atau ke-tiada-an fisik, melainkan soal ke-ada-an atau ke-tiada-an fungsi; air semua, itu ‘gak ngaruh, tidak berdampak, tidak fungsional, tidak ada gunanya, tidak ada tujuannya, maka bagi mereka itu nothing, tidak ada apa-apanya, nonexistence.
Jadi, sesuatu yang ‘tidak ada’, pada zaman itu bukan berarti tidak eksis secara fisik, melainkan tidak berelasi, tidak berfungsi, tidak berdampak, tidak menjalankan perannya. Kita yang hidup hari ini pun masih memakai pengertian seperti itu; waktu kita mengatakan pada seseorang: “You are nothing!”, maksudnya tentu bukan dia tidak ada badannya, tidak ada wujud fisiknya, melainkan bahwa dia tidak berdampak. Misalnya sebuah keluarga yang broken home, bapaknya mangkir, tidak pernah ada di rumah, tidak pernah memperhatikan anaknya; waktu anak ini ditanya, “Lu punya bapak ‘gak?” si anak menjawab, “Gua ‘gak punya bapak”. Di sini maksudnya tentu bukan dia tidak punya bapak biologis, tapi tidak punya bapak dalam arti bapaknya itu ‘gak ngaruh, tidak pernah hadir, tidak pernah berfungsi atau menjalankan perannya sebagai seorang bapak. Jadi dalam kehidupan kita sehari-hari sekarang sebenarnya ada juga pengertian seperti ini, hanya saja kita tidak menyadari pentingnya aspek ini. Itu sebabnya, kalau kita melihat Alkitab, di hari ke-4 ketika benda-benda penerang diciptakan, yang dikatakan adalah mengenai fungsi, bahwa benda-benda penerang ini menjadi penanda waktu, hari, musim, tahun, dsb. –bicara fungsi.
Kembali ke mitologi Timur Dekat Kuno dalam budaya-budaya sekitar Israel, ada motif yang juga mirip dengan kisah penciptaan di Alkitab, bahwa kegiatan penciptaan itu penuh dengan tindakan menamai dan memisahkan –seperti yang kita lihat di kitab Kejadian. Enuma Elish, mitologi Babilonia Kuno, juga penuh dengan hal-hal ini. Mengapa? Karena yang namanya menamai dan memisahkan, itu adalah tindakan penciptaan, yaitu dalam pengertian penciptakan fungsi; itu menugaskan peran, membawa keteraturan, membuat relasi yang harmonis antara benda-benda yang ada dalam ciptaan ini. Seperti apakan menamai dan memisahkan itu? Kalau saya bilang “ini dapur, ini bukan toilet”, itu artinya menamai, membawa fungsi; menamai berarti menugaskan suatu peran. Kalau saya memisahkan “ini master bedroom, ini guest room”, Saudara bisa melihat bahwa memisahkan berarti membawa fungsi, memanggil suatu peran, membawa keteraturan masuk. Ini satu hal yang penting, ini juga penciptaan.
Di sisi lain, kita hampir sama sekali tidak melihat adanya pembicaraan ‘penciptaan’ dalam mitologi kuno yang terutama bicara urusan bahan, material, detik-detik pertama, dsb. Kalaupun ada, tujuan utamanya bukan untuk membicarakan bahan-nya, tapi membicarakan fungsi atau relasi. Misalnya penciptaan manusia, tentu ada bahannya; dan ini bukan cuma penciptaan manusia dalam kitab Kejadian, tapi juga dalam budaya-budaya sekitar Israel pada waktu itu. Dalam mitologi Mesir, manusia diciptakan dari air mata (tangisan) Dewa; dalam mitologi Babilonia Kuno, manusia diciptakan dari darah Dewa. Ini bukan bicara urusan bahan kimiawi menurut pengertian sains modern; ini bicara tentang relasi, maksudnya “kamu diambil dari aku” –menandakan identitas, bukan soal komposisi kimiawi. Jadi waktu kita melihat bahasa-bahasa penciptaan pada zaman itu, kita melihat penekanannya bukan ke arah pengertian material, melainkan pengertian fungsional.
Dalam hal ini, kita bukan mau mengatakan bahwa aspek fisik/material tidak ada hubungannya dengan eksistensi, atau merupakan sesuatu yang tidak penting sama sekali bagi orang zaman itu. Tentu saja, untuk sesuatu bisa berfungsi maka perlu ada bahannya, perlu ada wujud fisiknya. Hal yang saya ingin perlihatkan kepada Saudara di sini hanyalah bahwa bagi orang zaman itu, mereka mengerti istilah ‘penciptaan’ tekanannya selalu lebih daripada sekedar pengadaan bahan-bahan material, bahkan bahan-bahan material itu bukanlah yang terutama. Mereka membicarakan sesuatu yang lain, sebagai yang terutama.
Tentu saja orang Israel zaman kuno juga tahu bahwa wujud fisik penting, tapi pertanyaannya, apa yang mereka terutama tekankan sebagai eksistensi? Ketika mereka mengatakan sesuatu dicipta, aspek mana yang lebih signifikan bagi mereka, keberadaan fisiknyakah, bahan dasarnyakah, proses terjadinyakah, atau justru fungsi dan perannya? Yang kita lihat tadi, dalam dunia kuno aspek paling krusial dan signifikan dalam mereka mengerti eksistensi dan penciptaan adalah bahwa hal-hal dalam alam semesta ini berfungsi, menjalankan peran mereka masing-masing, berelasi dengan harmonis –dan bukan urusan bahannya, bentuknya, komposisinya, mekanismenya, detik-detik pertamanya. Dengan kata lain, hari ini kita mungkin melihat kosmos/alam semesta sebagai mesin, tapi mereka pada waktu itu melihat kosmos sebagai sesuatu yang mirip perusahaan, atau mirip sebuah kerajaan, atau bahkan mirip sebuah keluarga, bahwa yang penting adalah fungsi/peran di dalamnya.
Saya akan memberi contoh lagi, untuk memperlihatkan bahwa di zaman ini pun kita bukan sama sekali kehilangan pengertian ini, hanya saja kita seringkali tidak sadar. Misalnya komputer. Untuk sebuah komputer eksis, tentu perlu ada aspek materialnya (hardware) –casing, hard disk, dsb. Tapi, kalau semua itu ada sedangkan software-nya tidak ada, komputer tersebut tidak eksis. Lalu kalau hardware sudah ada, software sudah ada, tapi tidak ada listrik, apa kita bisa mengatakan komputer itu eksis? Memang bisa saja, yaitu eksis secara material, tapi tidak ada gunanya. Misalnya Saudara sedang mengetik paper, sudah 7 halaman, tiba-tiba mati lampu dan Saudara tidak ada backup battery, dan Saudara jadi ngomel-ngomel, “ini rasanya kayak ‘gak punya komputer!” –komputer itu jadi ‘gak eksis, karena tidak ada gunanya. Atau misalnya sebuah komputer ada hardware-nya, ada software-nya, dan ada listrik, tapi tidak ada yang menggunakan, apakah komputer tersebut eksis??
Contoh ini membantu kita untuk menyadari, bahwa yang hari ini disebut dengan sains modern, bukanlah satu pengetahuan yang sebegitu jauh lebih majunya dibandingkan cara berpikir orang zaman dulu, hanya saja, sains modern mempunyai fokus yang berbeda daripada fokus pemikiran orang zaman dulu. Kita pun sebenarnya tidak memakai cara berpikirnya sains modern ini untuk mengerti segala sesuatu di zaman ini. Ada banyak hal dalam hidup kita, yang juga kita bicarakan dalam aspek fungsinya, bukan aspek ilmiahnya (wujud materialnya, bahan dasarnya, detik-detik pertamanya, dsb.).
Satu contoh lagi dari kehidupan sehari-hari. Kalau Saudara bekerja dalam sebuah perusahaan, biasanya Saudara tidak terlalu peduli dengan bagaimana gedung kantornya berdiri. Tidak ada kantor yang mengharuskan karyawannya tahu sejarah berdirinya gedung kantor tersebut, tahun berapa dibangunnya, tenant-tenant yang pernah menempatinya, dsb. Sebaliknya, yang ingin diketahui orang mengenai perusahaan tersebut adalah dalam bidang apa perusahaan tersebut bergerak, apa peran setiap departemen, bagaimana strukturnya, bagaimana komunikasi antar departemen –ini bahasa fungsi. Kita merasa sangat perlu mengetahui job desc, karena job desc adalah sebuah fungsi, apa peran kita di situ, apa panggilan kita; tetapi mengapa waktu kita kembali ke Kejadian 1, waktu kita membaca Alkitab, kita seperti mengunci Akitab untuk harus membicarakan hal-hal yang sains modern bicarakan, yaitu bahan dasar, bentuk, geografi, posisi, detik-detik pertama? Bukankah tidak harus demikian? Bahkan sebenarnya hal-hal tersebut Saudara dan saya hari ini pun tidak anggap sebagai yang paling penting, lalu –entah kenapa dan dipengaruhi apa– waktu kembali ke Alkitab, kita bersikeras kisahnya harus dibaca dalam pengertian material. Ini aneh.
Tadi kita sudah melihat dari mitologi-mitologi budaya lain di sekitar Alkitab, sekarang kita akan melihat Alkitab sendiri bicara apa. Kita mengambil istilah yang sederhana dalam Alkitab, yaitu bara, yang adalah istilah ‘mencipta’ (kata-kata pertama dalam Alkitab adalah “Bereshit bara Elohim”, artinya Allah mencipta). Penggunaan istilah bara, ada 50x di dalam Alkitab, dan mayoritas digunakan untuk bicara mengenai fungsi, bukan komposisi. Misalnya Mazmur 102:18, “Biarlah hal ini dituliskan bagi angkatan yang kemudian, dan bangsa yang diciptakan nanti akan memuji-muji TUHAN” –kata ‘diciptakan’ memakai istilah bara. Kalimat ‘bangsa yang diciptakan nanti akan memuji-muji TUHAN’, ini bicara mengenai fungsi. Kalimat ini bukan mengatakan ‘bangsa yang diciptakan nanti bentuk dasarnya begini, demografinya begitu’, dsb., melainkan bahwa bangsa yang diciptakan itu tujuannya adalah untuk memuji-muji Tuhan. Istilah bara, dekat dengan pengertian ‘tujuan’.
Ayat yang lain, Yesaya 41:19-20 “Aku akan menumbuhkan pohon sanobar di padang belantara dan pohon berangan serta pohon cemara di sampingnya, supaya semua orang melihat dan mengetahui, memperhatikan dan memahami, bahwa tangan TUHAN yang membuat semuanya ini dan Yang Mahakudus, Allah Israel, yang menciptakannya” –kata ‘menciptakan’ memakai istilah bara. Dalam konteks paragraf tersebut, apa yang sedang dibicarakan? Yaitu sebuah tujuan, dampak, fungsi. Dengan kata lain, kalimat itu mengatakan ‘Aku menciptakan ini dan itu, supaya semua orang melihat dan mengetahui, supaya semua orang memperhatikan dan memahami’ –bicara tujuan, fungsi, bukan material.
Istilah yang kedua, yaitu tohu wabohu. Kalau kita mau mengerti penciptaan, kita bukan hanya melihat apa yang dimaksud dengan istilah ‘penciptaan’, tapi juga apa yang dimaksud dengan keadaan sebelum penciptaan. Dalam hal ini, sebelum penciptaan dimulai, apakah keadaannya berupa ketiadaan material atau ketiadaan fungsi? Waktu Alkitab mengatakan tentang keadaan sebelum penciptaan, yaitu tohu wabohu, apa artinya? Yaitu: belum berbentuk dan kosong; dan ini bukan bahasa yang menyatakan belum ada melainkan belum berfungsi.
Kalau Saudara survey istilah tohu di dalam seluruh Alkitab, Saudara akan menemukah hal yang sama; salah satunya, penggunaan kata tersebut bukan menunjukkan ‘tidak ada’, melainkan ‘ada tapi tandus’. Misalnya Ulangan 32:10, ‘Didapati-Nya dia di suatu negeri, di padang gurun, di tengah-tengah ketandusan (memakai kata tohu) dan auman padang belantara’ –jadi ada sih ada, tetapi tandus, ‘gak ngaruh, tidak berfungsi. Selanjutnya, 1 Samuel 12:21 “Janganlah menyimpang untuk mengejar dewa kesia-siaan (memakai kata tohu) yang tidak berguna dan tidak dapat menolong karena semuanya itu adalah kesia-siaan belaka.” Kita tentu saja tahu dewa-dewa itu tidak ada, tapi waktu Alkitab mengatakan tentang dewa-dewa, penekanannya bukan bahwa dewa-dewa itu tidak ada –ini sudah pasti—tapi Alkitab mengatakan bahwa dewa-dewa itu sia-sia, tidak berguna, tidak dapat menolong; di sini Alkitab memakai istilah tohu, istilah yang sama dengan keadaan sebelum penciptaan, artinya ‘gak ngefek, ‘gak ngaruh, tidak berguna. Bukan cuma bicara soal ‘tidak ada’, tapi juga ‘tidak ada tujuannya’. Yesaya 49:4 “Aku telah bersusah-susah dengan percuma, dan telah menghabiskan kekuatanku dengan sia-sia (memakai kata tohu) dan tak berguna”.
Penggunaan kata tohu di seluruh Alkitab, tidak bicara dalam pengertian material; secara umum pengertiannya bukan tidak ada fisik, bisa saja ada wujud fisiknya tetapi sia-sia, tidak bertujuan, tidak berfungsi. Ini mirip dengan mitologi Mesir tadi, yang mengatakan keadaan sebelum penciptaan itu tidak ada materialnya; memang ada materialnya (samudra raya), tapi tidak punya peran/fungsi. Jadi, keadaan sebelum Allah menciptakan di Kejadian 1 bukanlah keadaan tidak ada apa-apa sama sekali, melainkan tidak adanya fungsi, tidak adanya keteraturan, koordinasi, dan relasi. Contohnya dalam penciptaan manusia, waktu tentang manusia dikatakan “tidak baik”, apa yang dimaksud? Apakah materialnya kurang, misalnya tangan cuma sebelah? Jelas bukan. Waktu dikatakan “tidak baik”, maksudnya dia tidak bisa berfungsi dengan baik, yaitu karena dia tidak punya penolong yang sepadan. Jadi yang dilakukan Tuhan di Kejadian 1 adalah Dia memberikan makna, tujuan, fungsi, bagi alam semesta; Dia memberikan peran, panggilan, dan dengan demikian membawa keteraturan ke dalam dunia ciptaan ini. Itulah yang Tuhan kerjakan di Kejadian 1, dan itulah yang Alkitab rasa penting untuk komunikasikan, bukan apa yang sains modern anggap penting mengenai bagaimana bermulanya, bagaimana detik-detik pertamanya, apa bahan dasarnya, bagaimana mekanismenya; bukan soal ‘apa’ melainkan ‘tujuannya apa’.
Tadi kita mengatakan, waktu kita melihat mitologi-mitologi Timur Dekat Kuno dan membandingkannya dengan Alkitab, kita baru bisa mengerti di mana keunikan Alkitab karena kita melihat kemiripannya. Kemiripannya, mereka sama-sama melihat penciptaan terutama sebagai urusan pemberian fungsi, penugasan peran –dan bukan sekedar pengadaan wujud fisik (material). Meski demikian, dalam mitologi-mitologi Timur Dekat Kuno, para dewa mencipta demi kebutuhan dan keuntungan mereka sendiri. Dalam Enuma Elish dikatakan, para dewa menciptakan the stupid man (manusia yang bodoh itu) untuk jadi budaknya mereka; mereka menciptakan ‘fungsi’ demi keuntungan para dewa itu sendiri. Apa perbedaannya dari kisah kitab Kejadian?
Memang ada miripnya –yang tadi kita bicarakan—tapi lewat kemiripan itu kita melihat perbedaan yang besar sekali, karena kita melihat sosok Ilahi dalam Kejadian 1 yang tidak butuh apa-apa. Ketika Dia mencipta ‘fungsi’, itu bukan demi diri-Nya melainkan demi manusia. Manusia tidak dicipta sampai dengan hari yang terakhir; semua yang ada sebelum manusia, dicipta dengan tujuan untuk berfungsi, dan dengan demikian manusia bisa hidup. Mengapa diciptakan tanah kering (darat)? Supaya manusia ada tempat. Mengapa diciptakan benda-benda penerang? Untuk menjadi penanda musim, bagi manusia. Mengapa perlu ada tumbuh-tumbuhan? Dikatakan, tumbuh-tumbuhan itu diberikan sebagai makanan. Mengapa ada binatang-binatang laut, udara, dan darat? Karena kepada manusia yang belakangan dicipta, dikatakan “berkuasalah atas mereka”. Jadi, ada satu fokus yang jelas sekali, yaitu arahnya bagi manusia, bukan bagi dewanya, bukan bagi penciptanya. Inilah keunikannya –tapi keunikan ini baru terlihat kalau Saudara mengetahui kemiripannya.
Sekarang saya coba menarik konklusi dengan memberikan beberapa ilustrasi tentang kitab Kejadian. Yang pertama, kisah kitab Kejadian bukanlah terutama soal penciptaan sebuah house (rumah/bangunannya), melainkan penciptaan sebuah home (rumah tangga). Dua-duanya penciptaan, dua-duanya tindakan kreasional, tapi berbeda. Yang satu tentang manufaktur material; satunya lagi tentang membawa keteraturan lewat memberikan fungsi, memberikan nama, memberikan peran –yang ini dapur bukan toilet, ini kamarmu sedangkan yang itu kamar kakakmu, dsb.— dengan demikian membawa keteraturan. Kalau tidak dibuat pemisahan, kalau tidak diberikan penamaan, maka kacau-balau semuanya, tidak ada rumah tangga yang baik. Inilah kelihatannya yang terjadi dalam Kejadian 1.
Ilustrasi yang kedua, katakanlah Saudara mau nonton bioskop bersama seorang teman, tapi Saudara telat, film sudah mulai. Saudara segera duduk di samping teman tadi, yang sudah datang lebih dulu, berbisik padanya, “Ini film mulainya bagaimana?” Si teman menjawab, “Ide film ini dicetuskan seorang sutradara bernama anu, pada tahun sekian-sekian, diambil dari novel berjudul ini dan itu”, dst. Saudara bilang, “Bukan itu, film ini mulainya bagaimana?” Kali ini dia menjawab, “Bioskop ini didirikan tahun sekian, soft opening-nya tanggal sekian, disusul grand opening tanggal sekian”, dst. Lagi-lagi Saudara menjelaskan kembali maksud pertanyaannya –filmnya mulainya bagaimana. Lalu dia jawab, “Mereka pertama kali mengadakan casting aktor utamanya tanggal sekian, tapi lalu diganti dengan aktor lainnya tanggal sekian,” dst. Sampai di sini Saudara tidak sabar lagi, “Bukan itu! kasih tahu gua apa yang terjadi setelah iklan Dolby Digital!!” Saudara tentu mengerti maksudnya.
Ilustrasi ini mungkin terlihat konyol, tapi Saudara perlu tahu satu hal, bahwa jawaban si teman itu tidak ada yang bisa dibilang ‘salah’; jawaban si teman bukan salah, tapi tidak tepat. Pada dasarnya ini kesalahan genre. Masalahnya di sini, pertanyaan ini bertanya apa; ketika kita tanya “ini film mulainya bagaimana”, apakah arti ‘mulai’ yang kita maksudkan, apa poin permulaan yang kita anggap paling signifikan dan penting –yang kita tanyakan itu. Ilustrasi ini membantu kita untuk mengerti, ketika kitab Kejadian sedang menjawab pertanyaan mengenai awal mula, hal tersebut tidak tentu sama dengan apa yang kita pikir sebagai awal mula.
Pertanyaan mengenai awal mula, bisa banyak jawabannya, dan bukan cuma satu pendekatan. Dalam masyarakat kita hari ini, salah satu pendekatan yang paling dominan mengenai apa itu alam semesta, adalah mengenai pengadaan materialnya, konstruksinya. Dan, karena hal ini begitu mendominasi, akhirnya kita merasa inilah satu-satunya jawaban; bahwa jika ada jawaban yang benar-benar benar mengenai alam semesta, jawaban tersebut harus membicarakan tentang unsur-unsur fisiknya. Akhirnya kita jadi seperti si teman tadi, yang tidak mengerti bahwa ketika Alkitab menulis Kejadian 1, mungkin Alkitab sedang mengajukan pertanyaan yang lain, bukan bertanya mengenai bagaimana sisi fisika, atau kimiawi, atau biologis, atau kronologis dari alam semesta, melainkan mengenai apa fungsi alam semesta, apa tujuan alam semesta, apa identitas alam semesta, bagaimana relasi di dalam alam semesta –bukan pertanyaan mengenai awal mula sebuah ‘house’ melainkan mengenai ‘home’. Itu sebabnya kalau kita mencari-cari di Alkitab jawaban mengenai ‘house’ –padahal Alkitab tidak tertarik membahas hal itu– artinya sama tidak tepatnya seperti si teman menjawab semua pertanyaan Saudara tadi.
Ada orang-orang Kristen hari ini –orang-orang Kristen yang baik—yang berpikir bahwa Kejadian 1 harus menjadi dasar pemikiran ilmiah orang Kristen, Kejadian 1 harus jadi bukti [ilmiah] yang menyatakan teori evolusi salah. Mereka pikir, inilah sikap yang meninggikan Alkitab. Tapi jangan-jangan ini justru sikap yang merendahkan Alkitab, karena sikap ini menuntut Alkitab menjadi sesuatu yang Alkitab tidak mau perankan. Sikap menaruh diri di bawah otoritas Alkitab, justru adalah dengan menerima apa yang Alkitab berikan sebagai penting, apapun itu, meskipun kita mungkin belum merasakan di mana pentingnya. Ini bukan berarti saya setuju teori evolusi; saya mengatakan semua ini bukan karena pro terhadap sains modern. Yang menjadi perhatian saya adalah supaya supaya kita tidak salah membaca Alkitab, kita tidak menyalahgunakan Alkitab demi tujuan-tujuan yang bukan tujuan Tuhan memberikan Alkitab.
Kalau Saudara percaya Alkitab ini firman Tuhan, Saudara tidak bisa cuma percaya isinya, tapi Saudara juga harus percaya dalam tujuan apa isi tersebut diberikan, Saudara harus membatasi diri di dalam tujuan Tuhan memberikan firman-Nya. Contohnya, waktu Tuhan Yesus mengatakan “Aku adalah pintu”, lalu Saudara atas nama meninggikan Alkitab serta menaruh diri di bawah otoritas Alkitab, mengatakan: “Itu berarti badannya Yesus Kristus adalah gagang pintu!”. Itu bodoh sekali. Itu tidak menghormati Alkitab. Itu justru mengeluarkannya dari Alkitab. Sekarang, bagaimana jikalau Kejadian 1 sebenarnya bukan bicara –bertanya dan menjawab—pertanyaan-pertanyaan yang sains modern ajukan? Bukan mengenai detik-detik pertama, bukan mengenai asal mula bahan dasarnya, kontruksinya, mekanismenya –bukan itu semua—tapi bicara sesuatu yang lain, tentang fungsi, tujuan, identitas? Kalau Saudara mau terus-menerus mencari hal-hal yang itu dalam Kejadian 1, berarti Saudara bukan sedang meninggikan Alkitab, melainkan memaksa mesin cuci jadi BMW.
Waktu kita melihat Alkitab, khususnya Kejadian 1, sebagai cerita mengenai home, maka pertanyaan-pertanyaan kita tentu bukan mengenai bagaimana house-nya dibangun, melainkan mengenai “ini rumahnya siapa”. Itu sebabnya Saudara melihat di situ ada bagian yang mengatakan bahwa Allah beristirahat dalam ciptaan-Nya. Di mana biasanya seorang dewa beristirahat? Di rumahnya. Ini indikasi yang sangat jelas bahwa Kejadian 1 adalah sebuah kisah rumah tangga, kisah mengenai Allah, yang ternyata dari awal bukan sekedar mencipta tapi menciptakan sebuah tempat tinggal. Itulah mimpi-Nya sejak awal. Dan tidak heran, di tengah-tengahnya ada kisah mengenai Imanuel, Allah yang beserta kita. Mungkin kita selama ini berpikir Tuhan mau menyelamatkan saya, maka Dia turun ke dunia ini; tetapi jangan-jangan terbalik. Jangan-jangan, Tuhan mau turun tinggal bersama kita, dan itu sebabnya Dia menyelamatkan kita. Maju ke kitab Wahyu, Saudara melihat mimpi Tuhan akhirnya tercapai, karena di situ bukan dikatakan “ayo, semua naik, tinggalkan bumi, naik ke surga”, sebaliknya yang terjadi adalah Yerusalem baru turun dari surga ke bumi. Dan, Allah bukan mengatakan “hai para manusia, bikinlah kemahmu di tengah-tengah Aku di atas sini”; kitab Wahyu mengatakan, Allah berfirman “Aku akan mendirikan kemah-Ku di tengah-tengah kamu”. Jadi, ternyata itulah cerita Alkitab. Dan itu sebabnya masuk akal kalau Kejadian 1 bicara mengenai rumah tangganya Tuhan.
Sampai di sini mungkin Saudara berkata, “Oke, Pak, jadi saya mengerti Kejadian 1 bicara mengenai ‘home’ dan bukan ‘house’; kalau begitu, menurut Bapak Tuhan tidak menciptakan ‘house’-nya? Karena, kalau kita tnggal di sebuah house, dan menciptakan home di situ, ‘kan tidak tentu harus kita yang bikin house-nya?” Bukan itu maksudnya. Allah tetap adalah pencipta segala ciptaan dalam aspek materialnya, tapi Kejadian 1 sepertinya bukan bicara mengenai itu. Lalu dari mana kita tahu Allah benar-benar pencipta materialnya? Ada ayat lain, misalnya dalam Surat Kolose, Paulus mengatakan: “Segala sesuatu dicipta oleh Dia, baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan”; ini bicara keseluruhan, bukan cuma satu aspek. Bukan cuma yang kelihatan, tapi juga yang tidak kelihatan; bukan cuma aspek fungsinya, tapi juga aspek materialnya –semuanya. Ayat tersebut menunjukkan Allah adalah pencipta dari rumah-Nya juga. Tetapi, yang saya mau katakan dalam pembicaraan ini adalah bahwa Kejadian 1 secara spesifik mungkin bukan sedang membahas aspek-aspek itu. Memang Allah pencetus idenya, memang Allah yang membangun bioskopnya, memang Allah yang menyewa aktor-aktornya; pada satu titik, Dia membangun rumah-Nya sebelum mencipta rumah tangga-Nya, namun intinya, aspek-aspek material ini ternyata tidaklah seberapa penting bagi Alkitab dibandingkan dengan aspek keteraturan, harmoni, relasi, fungsi dari ciptaan. Aspek-aspek itulah yang dianggap paling berharga, paling signifikan. Dan sebagai orang Kristen, kalau kita menundukkan diri di bawah Alkitab, kita juga harus belajar untuk melihat aspek ini sebagai yang terutama.
Pertanyaan-pertanyaan yang terus muncul akibat berusaha membaca Alkitab –Kejadian 1—dengan kacamata sains modern, yang berusaha menggali dari Kejadian 1 sebuah rekaman CCTV mengenai detik-detik pertama alam semesta, itu sesuatu yang maksa, itu penyalahgunaan Alkitab. Itu sama seperti Saudara mencari lelucon di kitab KUHP, lalu Saudara kecewa ketika tidak menemukannya. Siapa yang salah?? Kejadian 1 memang sebuah cerita awal mula, tapi awal mula dari sebuah identitas. Kejadian 1 bukan memusatkan perhatian pada pertanyaan ‘kapan’ dan ‘bagaimana’, melainkan ‘siapa’ dan ‘untuk apa’.
Mungkin sekarang Saudara bertanya, “Kalau benar Kejadian 1 bukan bicara fakta detail mengenai penciptaan sebagaimana sains modern mengertinya, bagaimana dengan kematian dan kebangkitan Yesus Kristus, Pak?” Maksud pertanyaan ini, kalau kita membuka pintu untuk Kejadian 1 dimengerti secara fungsional, dan bukan secara material, bukankah itu menjadi satu slippery slope (turunan yang licin) yang menjadikan seluruh Alkitab sekarang terbuka untuk ditafsir ulang, termasuk kematian dan kebangkitan Yesus Kristus; lalu kalau begitu “jangan-jangan kematian dan kebangkitan Yesus pun harus kita mengerti seperti pengertian orang zaman itu –seperti tadi Bapak katakan—dan ternyata mereka mengertinya bukan mati fisik, juga bukan bangkit fisik! Kalau begini, jadinya bagaimana, Pak??”
Saudara-saudara, tujuan kita membicarakan semua hal tadi, bukan supaya Saudara lebih serampangan membaca Alkitab, tapi justru lebih berhati-hati. Kita tadi melihat Kejadian 1 tidak lagi membicarakan hal-hal material, lalu kalau Saudara ambil konsep ini dan tembakkan ke seluruh Alkitab tanpa berpikir, tanpa penyelidikan, itu artinya bukan lebih hati-hati, tapi serampangan. Analoginya begini: seorang wanita patah hati karena 1 orang cowok yang jahat, lalu wanita ini ambil kesimpulan “semua cowok brengsek”; ini salah siapa? Tentu saja cowok yang jahat tadi salah, tapi wanita ini juga salah dan bodoh, karena kesimpulan itu bukan konklusi yang logis; konklusi yang tepat adalah wanita ini harus lebih hati-hati terhadap cowok, coba lebih perlahan, jangan bertindak sesuai perasaannya, jangan bertindak sesuai asumsinya. Sama seperti itu juga dengan Alktitab; kalau Saudara sudah melihat Kejadian 1 ternyata punya satu makna yang berbeda dari yang selama ini Saudara bayangkan, maka bukan berarti Saudara langsung tembakkan konsep ini ke seluruh Alkitab, karena itu berarti serampangan. Yang Saudara perlu sekarang adalah meneliti lebih dalam makna-makna dalam Alkitab tersebut. Saya percaya, kematian dan kebangkitan Yesus adalah kematian dan kebangkitan fisik. Tapi itu bukan karena saya punya anggapan atau asumsi tertentu, bukan karena saya tidak memikirkannya, melainkan karena saya menyelidiki apa yang dikatakan Alkitab, saya menyelidiki bagaimana orang zaman itu mengerti hal ini, saya menyelidiki penyelidikan-penyelidikan orang lain dalam bagian ini. Setelah memperhitungkan semua bukti-buktinya, saya mengambil kesimpulan “Ya, makna yang diimplikasikan adalah makna kematian dan kebangkitan yang bersifat fisik”.
Saudara, mengapa kita bisa percaya Kejadian 1 bicara begini, mengapa kita bisa percaya Lukas bicara begitu, yaitu karena kita kembali ke Alkitab, karena kita berusaha menyelidiki apa tujuan awal Alkitab menyatukan semua itu. Kalau Saudara mengatakan, “Wah, Pak, jangan kayak gini, bahaya! kalau ternyata Kejadian 1 bukan bicara detik-detik pertama atau proses ilmiah awal mula alam semesta, maka runtuh semua iman kita!”, itu jadinya seperti seorang wanita yang dijahati satu cowok maka dia tidak menikah seumur hidup. Siapa yang ngawur di sini??
Sekali lagi, motivasi di balik pembahasan ini semua bukan untuk mempromosikan sains modern atau evolusi, juga bukan karena kita, entah bagaimana, melihat Alkitab tidak otoritatif; dari semua argumen yang kita bicarakan, saya hanya ingin kita semua membaca Alkitab dengan baik, dengan tepat, sebagaimana Alkitab ingin dibaca. Intinya, kita perlu menerima Alkitab dalam aturan mainnya Alkitab. Tuhan yang menentukan agenda dari teksnya untuk apa, bukan Saudara dan saya. Menjadi orang yang kembali ke Alkitab, berarti menerima ini sebagai satu hal yang cukup, content; merasa cukup dengan bijaksana Tuhan yang memilih demikian.
Yang terakhir, Saudara juga tidak akan mau kalau Alkitab hanya bicara fakta tok. Tahu dari mana? Begini, katakanlah Saudara ulang tahun lalu seluruh keluarga kumpul di ruangan itu. Saudara disuruh berdiri di tengah, lalu mereka mengeluarkan kertas dan membacakan akte lahir Saudara yang mengatakan fakta, “pada tanggal sekian telah lahir seorang bernama anu, dengan berat sekian, dengan kondisi sehat, dan hari ini dia berumur sekian”, selesai. Tidak ada ucapan, tidak ada salaman, tidak ada bingkisan, tidak ada pelukan, tidak ada apa-apa, cuma akte lahir –cuma fakta. Apa Saudara mau? Tentu tidak. Mengapa? Karena fakta itu tidak memberitahu diri Saudara siapa; akte lahir tidak memberitahu siapa engkau. Dalam acara ulang tahun, kita mau ada cerita-cerita. Cerita orangtua kita yang mengatakan: “Kamu tahu ‘gak, Nak, waktu kamu mau lahir, papamu itu nyetir bawa mama ke rumah sakit ngebutnya ‘gak kira-kira karena dia begitu sayang sama kamu, sampai hampir nyerempet 3 bajaj dan 4 mikrolet”. Kita senang mendengarnya, meskipun kita sudah tahu, meskipun mungkin dalam ulangtahun-ulangtahun sebelumnya kita sudah dengar berkali-kali, tapi itu penting buat kita karena lewat kisah-kisah itu Saudara tahu siapa diri Saudara, seberapa Saudara dicintai dan dihargai. Bahkan lewat kisah-kisah yang mengatakan “kamu ini dari dulu sifat jeleknya ini”, kita senang karena kita tahu siapa diri kita di hadapan orang lain. Itu yang paling penting buat kita. Kalau akte lahir detiknya meleset sedikit, apa ngaruhnya??
Saudara, itu mungkin sebabnya Saudara tidak cuma diberitahu fakta dalam Kejadian 1. Mungkin itu sebabnya Allah menulis Kejadian 1 dengan cara demikian, yaitu karena Dia bukan cuma mau Saudara tahu bahwa Saudara ada, Dia mau Saudara tahu bahwa Saudara dicintai.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading