Kitab Mazmur adalah satu kitab yang akan menolong kita berelasi dengan Tuhan dalam setiap kondisi kehidupan, entah itu keadaan yang sukacita, keadaan yang kita sedang “di atas”, yang biasanya diekspresikan dengan mazmur-mazmur ucapan syukur; ataupun waktu kita dalam keadaan kesulitan, dikejar-kejar musuh seperti dalam Mazmur ini, waktu kita sedang depresi, dst., dan kita mengekspresikannya melalui ratapan. Dalam hal ini, Mazmur mengajarkan kita untuk tidak menjadi orang-orang Kristen yang dingin/stoik, yang seperti tidak ada perasaan dan tidak ada ekspresi. Memang intinya bukan untuk menjadi ekspresionis, tetapi tentang bagaimana kita mencoba untuk berelasi dengan Tuhan dalam keadaan apapun, karena Kekristenan itu urusannya adalah relasi/hubungan, bukan keadaan itu sendiri. Keadaannya sendiri, kalau Tuhan mau mengubah, itu urusan yang sangat gampang. Dia menjadikan dunia hanya dalam 6 hari, maka mengubah kondisi kehidupan kita itu terlalu gampang untuk Tuhan, namun Tuhan seringkali di dalam kedaulatan-Nya, mengizinkan/menetapkan apapun yang terjadi dalam kehidupan kita untuk meningkatkan/memperdalam relasi kita dengan diri Tuhan sendiri. Harap kita bisa menangkap pesan ini ketika Tuhan bekerja di dalam kehidupan kita, baik dalam pengertian yang positif, maupun dalam pengertian yang menurut kita negatif dan kita sulit mengerti. Jadi intinya adalah relasi.
Saya membaca satu tafsiran bahasa Jerman yang ditulis oleh mantan profesor saya tentang Mazmur 17 ini; dan di situ pendek sekali ulasannya. Tak dapat dipungkiri, ada pasal-pasal mazmur yang sangat insightful –setidaknya untuk beberapa komentator—dan ada pasal-pasal yang seperti agak sulit menafsirkannya, atau banyak kemiripan dengan pasal-pasal lain yang sudah ditafsirkan dengan cukup kompleks, sehingga pasal-pasal yang mirip biasanya tinggal diberi petunjuk “lihat ke pasal sekian”. Memang dalam Mazmur ada pasal-pasal yang banyak kemiripan satu dengan lainnya, tapi kita percaya, tidak ada satu pasal pun yang kelebihan sehingga tidak perlu ada lagi atau jadi seperti diulang-ulang, termasuk juga pasal 17 ini.
Dalam bagian ini ada kosakata-kosakata –antara lain istilah ‘bagian’, ‘in life’– yang menurut komentator dapat diasumsikan bahwa Mazmur ini ditulis atau dimodifikasi setelah kitab Pengkotbah (Kohelet). Mungkin di sini Saudara agak bingung, bukankah Mazmur 17 ini doanya Daud, sedangkan Pengkotbah itu tradisinya Salomo yang adalah anaknya Daud, bagaimana bisa Mazmur 17 ada dalam pengaruhnya Pengkotbah?? Tetapi, sebagaimana kita tahu, dalam kanonisasi Perjanjian Lama terjadi banyak revisi; dengan demikian kita bisa mengasumsikan bahwa Mazmur 17 ini asalnya dari Daud, tapi kemudian dalam kontekstualisasinya –sebelum kanonisasi ditutup—mengalami perkembangan. Dalam Mazmur, ada pasal-pasal atau ayat-ayat tertentu yang seperti bukan berasal dari Daud; salah satu contohnya Mazmur 51. Di situ ada permohonan supaya Tuhan merestorasi tembok-tembok Yerusalam, dsb., yang pastinya itu pembicaraan dalam masa pembuangan (exile), karena di zaman Daud tidak ada pembicaraan tembok-tembok yang runtuh. Jadi, dalam hal ini Mazmur 51 dikontektualisasi lagi dalam zaman pembuangan, mengalami modifikasi, tapi tanpa mengubah aslinya. Di sini kita melihat, bahkan Firman Tuhan sendiri, waktu ditulis ada perkembangan (tentu saja sekarang tidak lagi; sekarang kita hanya melakukan penafsiran). Ini hal yang penting; kalau Firman Tuhan sendiri dalam proses penulisannya terjadi yang seperti ini, apalagi kehidupan kita, tidak mungkin tidak ada kontekstualisasi. Membaca Firman Tuhan tanpa ada kontekstualisasi, itu tidak mungkin. Memang waktu membaca Firman Tuhan, kita musti berusaha mengerti sedekat mungkin dengan aslinya, dengan latar belakang sejarahnya, dsb. –itu satu cara penyelidikan yang penting—tapi tidak kalah penting adalah bagaimana mengkontektualisasikan itu dalam kehidupan kita.
Mazmur 17 ini cukup padat; dan bisa dibagi dalam beberapa bagian. Salah satu bagian yang penting, dan juga yang pertama, adalah teriakan kepada Tuhan. Di dalam kalimat-kalimatnya ada keterangan; kita melihat di ayat 1: “Dengarkanlah, TUHAN, perkara yang benar (righteous), perhatikanlah seruanku; berilah telinga akan doaku, dari bibir yang tidak menipu.” Ini merupakan sesuatu yang umum dalam Mazmur; meminta Tuhan mendengarkan perkara kita dengan adil, dan bersikeras tentang keadaan diri yang tidak bersalah. Bahwa pemazmur di sini mengatakan dirinya tidak bersalah, itu menjadi semacam dasar yang membuat dia berani berkata kepada Tuhan. Dalam hal ini, Saudara tidak boleh membacanya dalam pengertian self-righteousness (pemazmur ini self-righteous) atau perfection (pemazmur ini sudah masuk ke dalam satu keadaan tidak bisa berdosa lagi). Sudah pasti bukan itu artinya, karena tidak ada manusia yang bisa mengalami keadaan seperti itu. Di sini maksudnya, kalau kita sendiri hidup tidak benar, hidup tidak mengindahkan Taurat, hidup menginjak-injak firman Tuhan, lalu masih berani berdoa kepada Tuhan, itu bagaimana?? Kalau kita sendiri tidak takut kepada Tuhan, tidak peduli dengan Tuhan, lalu kita gusar terhadap orang yang juga tidak peduli firman Tuhan, apa poinnya?? Kalau kita tidak peduli Firman Tuhan dan ada orang yang juga tidak peduli Firman Tuhan, bukankah jadi sama saja? Lalu mengapa musti minta Tuhan mengadili dia?? Tidak ada dasarnya.
Jadi bagian ini Saudara jangan baca dengan pikiran “memangnya lu sendiri ‘gak ada salah sama sekali?” Mazmur ini firman Tuhan; dan yang Saudara baca di bagian ini –bahwa dalam “kerelatifan” pemazmur berani mengatakan kalimat tadi– tidak ada koreksi. Sampai di bagian akhir pun, tetap tidak ada koreksi. Kalau Saudara bandingkan dengan kitab Ayub, di bagian akhirnya ada koreksi; “Aku mencabut perkataanku, dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu” –yang seperti ini tidak ada di Mazmur 17. Jadi kita boleh berasumsi bahwa perkataan pemazmur di bagian ini –dan ini satu bagian yang didengar Tuhan– adalah satu keadaan yang memang seperti itu keadaannya. Namun demikian, kita mengertinya bukan dalam pengertian perfection (seseorang bisa tidak berdosa lagi), melainkan dalam pengertian relatif, bahwa memang ada perbedaan antara orang yang takut akan Tuhan dengan orang yang tidak takut akanTuhan. Atau kalau meminjam bahasa Mazmur 1 (karena Mazmur 1 bukan sekedar introduksi/kata pengantar, melainkan prolegomena, yang berarti programatik, meletakkan seperti apa seharusnya keseluruhan Mazmur dibaca), gambarannya memang dualisme –ada orang benar, ada orang fasik. Dengan demikian, berdasarkan terang Mazmur 1, kita bisa membaca Mazmur 17 bahwa orang-orang seperti Daud adalah orang benar yang berhadapan dengan orang fasik. Daud bukan di posisi orang fasik, melainkan orang benar; dan dalam kehidupannya yang benar itu, dia minta Tuhan mendengar perkara-perkaranya, memberikan telinga kepada doanya. Karena apa? Karena bibirnya bukan bibir yang menipu. Dia meminta Tuhan untuk menghakimi dengan benar, “mata-Mu kiranya melihat apa yang benar” (ayat 2).
Ini bukan suatu mazmur yang kemudian dihayati supaya kita merasa benar sendiri, kita tidak fasik, kita orang benar sedangkan dia orang fasik, dst.; melainkan supaya kita melihat secara positif, bahwa ini adalah suatu mazmur yang mendorong kita untuk hidup benar, sebelum kita berani datang kepada Tuhan dan minta pertolongan-Nya. Saya harap Saudara tidak salah mengerti bagian ini. Saya coba kaitkan dengan doa pengakuan dosa; kalau kita tidak berhati-hati, sebagaimana dikatakan Pendeta Stephen Tong, doa pengakuan dosa setiap Minggu bisa jadi semacam excuse –berdosa lagi, minta ampun lagi, berdosa lagi, minta ampun lagi –setiap Minggu begitu terus, jadi seperti bibir yang menipu, main-main, munafik. Waktu Pendeta Stephen Tong mengatakan kalimat seperti itu, bukan berarti dia percaya perfeksionisme, melainkan dalam pengertian ada orang-orang yang terus berbuat dosa, tetap berdosa, dan tiap Minggu –bahkan tiap hari– selalu doa pengakuan dosa; selalu menyebut nama Tuhan, tapi sebetulnya tidak ada pertobatan dalam kehidupannya. Orang seperti ini harusnya membaca Mazmur 17. Daud mengatakan “dengarkanlah aku, dari bibir yang tidak menipu” (ayat 1); dan ayat 3, “Bila Engkau menguji hatiku, memeriksanya pada waktu malam, dan menyelidiki aku, maka Engkau tidak akan menemui sesuatu kejahatan; mulutku tidak terlanjur.” Bisakah Saudara mengatakan kalimat seperti ini?
Kita ini Protestan, Reformed; kita seringkali mengatakan bahwa kita datang kepada Tuhan berdasarkan kesempurnaan korban Kristus, bukan kesempurnaan kesalehan saya. Itu memang betul. Poin tersebut tidak mungkin bisa diganti. Kita percaya, itu bukan cuma ajaran para reformator, itu ajaran Alkitab. Tetapi kalimat tersebut –“berdasarkan kesempurnaan korban Kristus”—bisa jadi excuse untuk kita terus-menerus hidup tidak benar. Saya menipu, saya ‘gak bayar utang, saya dagangnya ‘gak bener, saya menghina orang lain, saya congkak, karena ‘kan kebenaran Kristus yang jadi dasar saya datang kepada Tuhan –ini celaka! Betapa kita perlu mazmur-mazmur seperti Mazmur 17 ini. Bukan untuk menggantikan kesempurnaan korban Kristus, yang menjadi pondasi untuk kita datang kepada Tuhan, melainkan dalam pengertian terbalik; kalau kita terus-menerus minta tolong kepada Tuhan tapi kita tidak tertarik hidup benar, kita lebih tertarik hidup sebagai orang fasik, maka ada yang ‘gak nyambung di sini, karena orang fasik itu tidak berdoa kepada Tuhan, orang fasik tidak datang kepada Tuhan. Mengapa datang kepada Tuhan kalau kita tertarik pada kefasikan?? Jadi, Mazmur 17 ini bukan suatu mazmur yang mau men-discourage kita, dalam pengertian kalau lu ‘gak sempurna, kalau kesalehan lu ‘gak betul, jangan berdoa kepada Tuhan. Bukan seperti itu, melainkan sebaliknya: kalau kamu masih mau berdoa kepada Tuhan, hiduplah benar, karena Tuhan menyukai kebenaran, bukan menyukai kefasikan. Di dalam ketidaksempurnaan kita, kita minta pengampunan dari Tuhan, kita percaya Tuhan akan melihat kepada darah Kristus.
Kalau Saudara membaca di ayat 1, 2, 3, dan juga di mazmur-mazmur lain, di sini pemazmur berani mengklaim integritasnya di hadapan Tuhan –bukan cuma di hadapan manusia. Dalam bagian ini, ada tafsiran mengatakan ini bahkan melampui Ayub. Ayub bersikeras akan integritasnya berdasarkan hati nuraninya; sementara di Mazmur 17 ini dikatakan “Tentang perbuatan manusia, sesuai dengan firman yang Engkau ucapkan, aku telah menjaga diriku terhadap jalan orang-orang yang melakukan kekerasan” –ini bicara seseorang yang menjaga dirinya berdasarkan Taurat, berdasarkan Firman, bukan cuma dalam level hati nurani. Hati nurani memang one thing, bukan nothing, tapi di bagian ini bukan cuma hati nurani melainkan Firman. Kalau kita bicara hati nurani, itu tergantung berapa peka atau berapa bebal hati nurani seseorang. Ayub tentu hati nuraninya bukan bebal, tapi pemazmur bahkan berani mengatakan “sesuai dengan firman yang Engkau ucapkan”, yang berarti bukan cuma menurut hati nuraninya pemazmur, melainkan menurut Firman, dia telah menjaga dirinya terhadap orang-orang yang melakukan kekerasan. Harap kita, orang Protestan, tidak terganggu dengan mazmur-mazmur seperti ini; kalau perlu teologi kita diubah lebih sesuai dengan Firman Tuhan, jangan membuat Firman Tuhan yang cocok dengan teologi kita.
Kalau Saudara meihat Mazmur 15, “siapa yang boleh menumpang dalam kemah Tuhan, yang boleh datang kepada Tuhan?” kalimat itu kemudian dijawab dengan: “Yaitu dia yang berlaku tidak bercela, melakukan apa yang adil, mengatakan kebenaran dengan segenap hatinya, tidak menyebarkan fitnah dengan lidahnya, tidak berbuat jahat terhadap temannya, tidak menimpakan cela kepada tetangganya; memandang hina orang yang tersingkir, memuliakan orang yang takut akan TUHAN; berpegang pada sumpah, walaupun rugi; tidak meminjamkan uangnya dengan makan riba, tidak menerima suap melawan orang yang tak bersalah. Siapa yang berlaku demikian, tidak akan goyah selama-lamanya.” Saudara mungkin terkejut membaca mazmur seperti ini, kalau kayak begini, jadi siapa yang boleh datang ke gunung Tuhan?? Tapi itu bukan pemahaman orang-orang dalam Perjanjian Lama. Ini bukan suatu mazmur untuk ditanggapi seperti tanggapan murid-murid Kristus; waktu Yesus bilang “sesungguhnya orang kaya sulit masuk ke dalam Kerajaan Allah” lalu mereka menanggapi “kalau begini, siapa yang bisa masuk Kerajaan Allah??” Mazmur ini bukan untuk ditanggapi seperti itu. Mazmur 15 ini diresepsi dan dimengerti sebagai sesuatu yang “mungkin” dialami, di dalam kehidupan manusia. Mazmur 17 secara prinsip sangat dekat, mirip sekali, dengan Mazmur 15; mau mengatakan, waktu kita masih mau berdoa kepada Tuhan, jangan hidup tidak benar.
Saya kuatir sekali dengan ajaran sola gratia, sola fide, dsb., yang disalahgunakan sedemikian rupa, lalu kita terus hidup di dalam dosa dan tidak merasa ada sesuatu yang menggelisahkan, tidak merasa ada yang salah, bahkan masih bisa bermegah di dalam anugerah Tuhan. Saya kuatir sekali dengan gambaran seperti itu, karena di dalam Alkitab kita mendapatkan banyak prinsip yang berbeda. Bukan berarti mau mengganti doktrin anugerah, tapi supaya kita memperhatikan Firman Tuhan. Kalau kita sendiri hidup seperti orang fasik atau sebagai orang fasik, lalu kenapa masih datang kepada Tuhan, kenapa minta Tuhan mendengarkan kita?? Tidak ada logikanya sama sekali. Mazmur 17 jauh lebih benar, waktu mengatakan kalimat seperti ini: “aku hidup sesuai dengan firman yang Engkau ucapkan, aku menjaga diriku terhadap jalan orang-orang yang melakukan kekerasan; langkahku tetap mengikuti jejak-Mu, kakiku tidak goyang.” Di dalam pemahaman diri yang seperti ini, pemazmur datang kepada Tuhan. Dia minta belas kasihan Tuhan, minta Tuhan mendengarkan dia.
Hal lain yang bisa kita gali dari Mazmur ini, yaitu gambaran Tuhan yang menguji hati, menyelidiki kita, pada waktu malam. Ini satu tradisi yang baik. Dalam tradisi Reformed, hal ini dilakukan orang-orang puritan. Namun sebelum orang-rang puritan menekankan hal itu, kita sudah melihatnya dari kitab Mazmur. Dalam hal ini, malam hari dipercaya sebagai satu waktu, yang kita bebas dari segala kesibukan rutinitas harian, lalu dalam saat-saat seperti itu kita bisa ada perjumpaan dengan Allah sendiri di dalam kemungkinan yang paling mungkin. Yesus di pagi hari –“pagi-pagi benar”– berbicara dengan Bapa-Nya; tetapi kalau kita membicarakan soal introspeksi, menguji diri, dsb., waktunya adalah malam hari. Jadi, pagi hari dimulai dengan perenungan Firman dan doa, kemudian malam hari diakhiri dengan introspeksi. Tetapi instrospeksi-nya bukan berdasarkan saya sendiri –saya bisa saja introspeksi menurut diri saya sendiri—melainkan sebagaimana di ayat 3, Tuhan-lah yang menguji hati kita, memeriksanya pada waktu malam, menyelidiki hati kita, lalu di situ Tuhan menemukan kejahatan atau tidak.
Kita bukan sedang menguji diri berdasarkan diri kita sendiri, melainkan Tuhanlah yang menguji kita; di situ tidak mungkin tidak ada mempelajari Firman. Kalau kita mau Tuhan menguji kita, itu tentu berdasarkan Taurat, Firman Tuhan; keduanya saling bergantung. Maka, kalau hidup kita tidak dikuasai oleh Firman, kalau kesukaan merenungkan Taurat Tuhan siang dan malam tidak terjadi dalam kehidupan kita, maka ketika kita introspeksi, yang instrospeksi jadi bukan Tuhan, mungkin diri kita sendiri atau orang lain, dsb. Kadang-kadang pada hari tertentu ada orang suka kepada kita, memuji kita, dsb., dan dalam keadaan seperti itu, kita biasanya agak senang, lalu waktu malam sebelum tidur, kita teringat hal itu. Atau kalau kasus saya sebagai pemusik, waktu konser orang tepuk tangannya kencang, maka ketika malam sebelum tidur seperti rasa lebih puas. Itu adalah pengakuan dari orang lain. Tetapi apa penyelidikan dari Tuhan? Ada orang yang kehidupannya tenggelam dalam penerimaan-penerimaan manusia, tapi dia tidak ada kepekaan terhadap bagaimana Tuhan menguji dirinya; peka terhadap penerimaan dan penolakan manusia, lebih daripada bagaimana Tuhan sebenarnya melihat dia. Kalau kita mau tahu bagaimana Tuhan melihat diri kita pada waktu malam, maka pertanyaannya –kembali ke Mazmur 1—kita merenungkan Taurat itu siang dan malam, atau tidak ada Taurat dalam hidup kita? Kalau tidak ada Taurat, bagaimana Tuhan akan menguji kita, menyelidiki kita? Itu sebabnya, bukan kebetulan setelah ayat 3 mengatakan “Tuhan menyelidiki aku, Tuhan memeriksa aku, Tuhan menguji hatiku”, lalu ayat 4 pemazmur mengatakan “sesuai dengan Firman yang Engkau ucapkan”. Tuhan menguji hati kita, melalui Firman.
Bagian lain yang kita bisa gali, adalah tentang bagaimana pemazmur –atau umat Israel—melihat dirinya sebagai biji mata Tuhan. Ayat 8: “Peliharalah aku seperti biji mata, sembunyikanlah aku dalam naungan sayap-Mu”. Di sini memakai 2 metafor; metafor di dalam gambaran tubuh manusia, yaitu biji mata, dan metafor dalam dunia binatang, seperti induk ayam dengan naungan sayapnya.
Biji mata dalam tubuh kita, ditaruh di satu tempat yang luar biasa aman, yaitu tengkorak kita. Tengkorak kita itu keras, lalu ada bagian yang bolong, di situlah tempat biji mata. Jadi Tuhan taruh biji mata di dalam bagian tubuh kita yang luar biasa terlindung, tapi sekaligus bagian itu adalah bagian yang lunak, rentan –tapi dilindungi Tuhan. Tentu saja kalau Tuhan mau biji mata terlindung dengan bagian yang keras, semacam penutup transparan yang keras, bisa juga; tapi justru di bagian ini tidak ada perlindungannya, ini bagian yang bolong. Memang bukan tidak ada perlindungan; tetap ada perlindungan, yaitu dari Tuhan, tapi di sisi lain juga ada kerentanan. Itulah keadaan yang ada, waktu kita bicara soal biji mata.
Di dalam pemahaman Israel, seperti dalam Amsal 7:2, Ulangan 32:10, Zakharia 2:12, biji mata merupakan satu simbol/lambang dari sesuatu yang paling berharga yang dimiliki manusia. Ini adalah satu bagian yang rentan, sangat berharga, merupakan sesuatu yang penting berkaitan dengan penglihatan; sesuatu yang rentan sehingga musti dijaga, dan Tuhan menjaganya, tapi kita juga bertanggung jawab untuk menjaga, dst. Intinya, dalam gambaran biji mata Saudara melihat sebagai sesuatu yang sangat berharga yang dipelihara oleh Tuhan; tapi bukan hanya melihat diri sendiri sebagai yang berharga di hadapan Tuhan, melainkan juga bahwa Taurat itu sendiri seharusnya juga biji mata bagi manusia –sebagaimana dikatakan dalam Amsal. Jadi ini 2 arah. Kita tidak bisa cuma menghayati satu arah, “saya ini biji matanya Tuhan, Tuhan bertanggung jawab menjaga saya karena saya biji mata-Nya” –penghayatan yang cuma ke arah diri. Di dalam Alkitab, dikatakan bahwa Taurat sendiri seharusnya adalah biji matanya manusia. Kembali ke prinsip Mazmur 17, kalau Taurat bukan biji matanya kita, lalu hak apa kita minta Tuhan menjadikan biji mata-Nya? Sebagaimana kita ini biji matanya Tuhan, Taurat adalah biji matanya kita. Ada kaitan yang tidak bisa dipisahkan di sini –dan ini berarti kehidupan kita bertumbuh.
Tadi kita mengatakan biji mata ditempatkan di tempat yang rentan, Tuhan tahu itu, dan Dia tidak proteksi dengan semacam bagian yang keras transparan, dsb., Tuhan membiarkan seperti itu. Dalam hal ini, Saudara dan saya dipanggil untuk menjaga diri kita juga, bersama dengan Tuhan yang menjaga kita, sebagai makhluk yang rentan itu.
Baik kita memakai metafor biji mata (bagian yang ada di dalam tubuh), maupun gambaran naungan sayap Tuhan, sama saja artinya yaitu menggambarkan pemeliharaan Tuhan yang sangat lemah lembut, seperti induk ayam yang mengasihi anak-anaknya. Tetapi, di dalam kenyataannya Saudara melihat, bahwa yang dikasihi Tuhan itu, hidupnya bukan tanpa persoalan. Di ayat 8, pemazmur bicara “peliharalah aku seperti biji mata”, tapi kenyataannya di ayat 9-10: “orang-orang fasik yang menggagahi aku, … musuh nyawaku yang mengepung aku … mereka tidak menunjukkan belas kasihan”. Ada tension di sini; atau mungkin bukan ada tension tapi sebenarnya pengharapan kita yang tidak realistis. Kita minta dijadikan biji mata oleh Tuhan, lalu dalam kehidupan kita maunya tidak ada musuh sama sekali, semua orang suka dengan kita. Kalau seperti itu, kalau kita tidak ada pergumulan lagi, tidak ada musuh lagi, tidak ada pengejaran, penganiayaan, kesulitan hidup, dst. ya, Tuhan tidak perlu melindungi lagi. Intinya, waktu kita bicara soal pengenalan diri sebagai biji mata Tuhan, dan bersamaan dengan itu Taurat adalah biji mata kita, itu berkaitan dengan suatu penerimaan realita hidup yang seperti di Mazmur ini, yang dikejar-kejar musuh, yang diburu dengan tidak bersalah –sebagaimana judul Mazmur 17 yang diberikan LAI. Hal ini memang merupakan tema besar dalam Mazmur.
Bukan cuma di Mazmur 17, dalam mazmur-mazmur lain pun ada pembicaraan tentang musuh. Biasanya ini dibagi dalam 2 kategori besar, yaitu musuh pribadi (pengertian individual), atau musuh bangsa/umat Israel (pengertian komunal). Dalam gambaran yang disajikan pemazmur, Saudara mendapati bahwa musuh-musuh yang digambarkan itu sama sekali bukan outsider of the society atau orang-orang yang tidak punya kuasa apa-apa, sebaliknya, mereka ini adalah tiang-tiang masyarakat. Kalau Saudara dikejar-kejar oleh orang yang tidak terlalu punya kuasa, orang kecil, ya, tidak perlu terlalu kuatir. Tapi dalam pengalaman pemazmur, yang mengejar ini adalah orang-orang penting, orang-orang yang punya jabatan, yang punya kuasa untuk melakukan kekerasan, sehingga ini lebih lagi menjadi pergumulan yang berat bagi pemazmur.
Ada satu hal yang di bagian ini tidak sedang diangkat, tapi ingin saya angkat dalam kaitan dengan mazmur-mazmur lain, bahwa khususnya waktu bicara tentang musuh-musuh Israel, barulah di situ masuk ke penghayatan bahwa umat Israel adalah umat pilihan Tuhan. Saya ingin membahas hal ini sedikit lebih luas. Dalam doktrin Reformed, kita bicara tentang predestinasi, pilihan, reprobasi, dsb., tetapi kalau Saudara membaca secara konteks, baik secara historical theology dalam zamannya Calvin, maupun sebagaimana dihayati orang-orang yang lain, dan termasuk juga di dalam Alkitab Perjanjian Lama, gambaran umat pilihan Allah itu dihayati justru waktu umat Allah sedang dikejar-kejar. Maksudnya, ini penghayatan bahwa kita adalah umat pilihan Allah pada waktu sedang dianiaya; waktu sedang dianiaya, tapi tahu bahwa kita punya identitas “umat pilihan Allah”, maka hal ini sangat menghibur. Poin yang saya mau katakan adalah: kalau kita tidak sedang dianiaya, kita sedang berada di atas, lalu menghayati bahwa diri kita ini umat pilihan, itu bahaya, karena penghayatannya akan luar biasa berbeda.
Ini bukan berarti ‘kalau begitu, penghayatan doktrin eleksi itu tidak selalu benar, atau cuma benar dalam waktu tertentu’; saya percaya, salah satu kelincahan dalam teologi adalah kita mengatakan kebenaran apa pada saat apa. Hal ini termasuk dalam pengertian “teologi yang benar”. Teologi bukanlah sekedar mengatakan satu kalimat yang benar kapan saja, di mana saja, oleh siapa saja, dst., dst.; yang seperti itu, saya pikir bukan teologi. Kembali ke Mazmur; kalau Saudara sedang bersukacita, sedang merayakan tahun baru, ya, kita pakai mazmur ucapan syukur, bukan mazmur lamentasi, karena tidak cocok. Kalau Saudara dalam kebaktian perkabungan, tentu saja Saudara tidak menyanyikan mazmur ucapan syukur, tapi kita pakai mazmur ratapan. Lalu kalau kita memakai mazmur ratapan di saat yang ini, memakai mazmur pujian di saat yang itu, apakah berarti mazmur pujian jadi tidak selama-lamanya benar dan cuma benar untuk orang-orang yang bersukacita? Tentu tidak harus ditarik ke sana kesimpulannya. Jadi, termasuk dalam kelincahan berteologi adalah menghayati kebenaran apa di dalam saat seperti apa. Dalam hal ini, kalau Saudara membaca Perjanjian Lama maupun historical theology, doktrin pilihan itu khususnya dihayati pada saat umat Allah itu sedang dianiaya –tetapi di dalam dunia tidak selalu dihayati seperti ini.
Di dalam dunia, ada orang menghayati doktrin pilihan waktu mereka berhasil. Waktu mereka meraih sesuatu, mereka mengatakan “we are chosen people” –jadi lain sama sekali penghayatannya. Chosen people dalam keadaan sedang di atas, itu maksudnya apa?? Kita lebih baik daripada yang lain karena kita chosen people?? Penghayatannya jadi kehilangan konteks. Kita tentu saja percaya predestinasi, percaya eleksi, dsb., tapi yang juga perlu kita tanya adalah “di dalam saat seperti apa?” Jika tidak, saya pesimis dengan masa depan komunitas Reformed atau gereja-gereja Reformed karena salah menghayati doktrin ini. Sekali lagi, di dalam konteks penganiayaan atau dikejar-kejar musuh yang sangat jelas, biasanya dalam keadaan seperti itulah Tuhan kemudian menyatakan pengertian bahwa Israel adalah bangsa pilihan, bahwa akan ada Mesias yang diurapi itu, yang akan menjaga Israel di dalam saat-saat seperti ini.
Jika demikian, bagi kita yang sedang berada dalam keadaan di atas, jadi bagaimana penghayatannya? Apakah kita jadi membuang doktrin pilihan, atau bagaimana? Kalau kita belajar dari orang-orang Puritan, pada saat-saat mereka sedang dalam posisi memegang kontrol, yang dihayati dalam spiritualitas mereka adalah high asceticism, mereka sangat menyangkal diri, mereka tidak bicara “kita ini umat pilihan” dsb. –mereka tidak menekankan bagian itu[dalam hal ini memang Puritan bukan satu kelompok yang semuanya sama, ada perbedaan, tergantung dari Puritan yang mana dan yang di negara mana]. Waktu mereka di atas, mereka bicara “kita musti hidup sederhana”, mereka menjalankan kehidupan yang highly ascetic, yang sangat menahan diri, yang berpantang, dsb.
Waktu kita belajar teologi dan tahu konteks seperti ini, kita bisa lebih tepat dalam membaca Alkitab. Kalau orang sudah berada dalam keadaan dikejar-kejar musuh, lalu kita bicara “berpuasalah”, jadi sepertinya teologi Kristen koq menyiksa banget. Di dalam keadaan kelaparan, lalu kita bilang “menurut Firman Tuhan, ada waktu-waktu untuk berpuasa”, jadi sangat tidak tepat, dia itu sudah berpuasa dari kapan-kapan. Kalau orang dalam keadaan di bawah, lalu kita datang, ya, kita ajak dia ke pesta. Sementara orang yang kehidupannya selalu pesta, diundang sana-sini, ya, kita boleh bilang kalimat “berpuasalah” –itu cocok. Jadi kita ada kepekaan dalam hal ini. Kembali ke Mazmur 17, ini konteksnya adalah penganiayaan, dkejar-kejar musuh, dsb., maka dalam saat seperti ini wajar kalau pemazmur melihat dirinya sebagai biji mata Tuhan.
Gambaran musuh atau dikejar-kejar musuh, sebagaimana dalam ayat-ayat Mazmur ini, merupakan satu motif/tema yang besar dalam kitab Mazmur. Dalam hal ini biasanya dibagi 2 aliran besar: yang pertama, kesulitan terhadap musuh yang ada di luar (external forces/ external enemies); yang kedua, menggambarkan musuh sebagai kekuatan yang ada di dalam (internal forces), yang sangat meruntuhkan kita –biasanya yang dibicarakan di sini adalah dosa/kekuatan dosa. Dalam pembacaan Mazmur, biasanya 2 kategori ini sangat kontras; tapi sebetulnya kita juga bisa membacanya sebagai gambaran yang agak bercampur, tidak harus kontras A dan B, kadang-kadang bisa dihayati secara bersamaan. Memang di satu sisi ada musuh di luar yang mengejar-ngejar, tetapi yang tidak kalah dari itu adalah penderitaan jiwanya. Saudara tentu pernah ada pengalaman, ketika kesulitan yang dihadapi sebenarnya tidak sebegitu besarnya tapi pikiran yang menghantui (kekuatirannya) bisa lebih besar dari kesulitannya sendiri; sebetulnya besok masih bisa makan tapi sekarang sudah sakit maag, bukan karena tidak ada makanan tapi karena kepikiran bagaimana lusa, bagaimana kalau tidak ada pekerjaan, dsb.
Kita seringkali secara jiwa lebih menderita daripada keadaan sesungguhnya. Dengan demikian, yang disebut “musuh” di sini, sebetulnya tidak cuma keadaan objektifnya saja, tapi juga soal bagaimana kita menghayatinya dalam kehidupan kita. Dalam Mazmur 42, ada suatu gambaran jiwa yang gundah gulana, yang tertekan, yang depresi, dsb., dan dalam keadaan seperti itu, pemazmur bicara dengan dirinya sendiri “mengapa engkau tertekan, hai, jiwaku” — seperti self-counceling—tapi kemudian mengajak jiwa untuk berharap kepada Allah, untuk bersyukur, dst. Mazmur 42 ini pasti ada konteksnya; tapi yang kita lihat dalam gambaran tersebut, musuhnya adalah pikiran deperesinya sendiri yang sangat melelahkan, sangat menghancurkan. Ini termasuk kategori internal forces. Dalam Mazmur 17, di sini jelas digambarkan ada orang-orang fasik yang menggagahi, musuh yang tidak berbelas kasihan, dsb. –kategori external forces— tapi juga yang sekaligus ditanggapi dengan suatu penghayatan yang sifatnya internal.
Kalau Saudara melihat ayat 14-15, dalam terjemahan bahasa Indonesia dikatakan: “biarlah perut mereka dikenyangkan dengan apa yang Engkau simpan, sehingga anak-anak mereka menjadi puas, dan sisanya mereka tinggalkan untuk bayi-bayi mereka. Tetapi aku, dalam kebenaran akan kupandang wajah-Mu, dan pada waktu bangun aku akan menjadi puas dengan rupa-Mu.” Jadi, orang fasik punya kepuasannya sendiri, orang benar punya kepuasannya sendiri. Kepuasannya orang fasik mungkin dengan menganiaya orang, menunjukkan diri mereka lebih berkuasa, lebih di atas, dst.; sedangkan kepuasan pemazmur –orang benar—adalah memandang wajah Tuhan.
Apa artinya memandang wajah Tuhan? Ada satu tafsiran Kristen yang menafsir kalimat “waktu bangun” di sini, bukan maksudnya bangun dari tidur, tapi bangun dari kematian; ini bicara tentang kebangkitan. Mengapa ditafsir seperti itu—dan ini satu tafsiran yang cukup mapan—sementara dalam eskatologi Reformed seringkali kita menekankan tentang pengharapan eskatologi yang bukan cuma akan datang tapi juga bisa dialami di sini dan sekarang? Jadi “memandang wajah Tuhan” apakah semata-mata dalam pengertian eskatologis, atau kita juga bisa mengalaminya di sini dan sekarang? Matius 5 mengatakan “berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah”; apakah bagian ini maksudnya eskatolgi atau juga di sini dan sekarang? Tidak bisa dipungkiri –termasuk juga dalam Matius 5– pengertian pertamanya pasti eskatologi; namun dalam pengertian Reformed, kita berusaha juga menghayatinya di sini dan sekarang. Tapi mengapa dalam tafsiran Kristen yang mapan tadi, ayat 15 di Mazmur ini dikaitkan dengan kebangkitan?
Maksudnya, bukan dalam pengertian bahwa memandang wajah Tuhan tidak bisa dialami di sini dan sekarang dalam pengertian cicipan, melainkan bahwa selama kita masih berada di dunia ini, kita masih harus selalu berurusan dengan musuh, dan hal itu tidak akan pernah selesai. Sampai kapan? Sampai kita berjumpa dengan Tuhan. Ini satu gambaran realisme teologis, yang mau menyatakan bahwa selama kita di dalam dunia, kita masih selalu berurusan dengan musuh, baik itu external forces maupun internal forces, sampai kita bangun dari kematian lalu kita menjadi puas dengan wajah Tuhan. Bagi pemazmur, ini adalah penghiburan yang terbesar dalam menghadapi musuh-musuh yang ada di dalam dunia, karena pada akhirnya itu tidak perlu lagi dan akan digantikan dengan kepuasan memandang wajah Tuhan. Namun demikian –sebagaimana kita katakan dalam eskatologi Reformed—cicipannya terjadi seperti saat ini.
Waktu Saudara dan saya datang menghadap Tuhan, harap ini juga menjadi satu pengalaman kita puas memandang wajah Tuhan, lalu itu menjadi kekuatan dan penghiburan untuk menghadapi baik external forces maupun internal forces –musuh-musuh di dalam kehidupan kita. Kiranya Tuhan menguatkan kita, kiranya Tuhan menolong kita.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading