Tiga minggu lalu sudah kita bahas sampai ayat 23 dan ayat 24 coba kita review sedikit, di situ Yesus memberikan satu pengajaran yang paradoks, waktu Dia mengatakan, barang siapa yang menyelamatkan nyawanya akan kehilangan nyawanya, tetapi barang siapa kehilangan nyawanya karena Yesus, dia justru akan menyelamatkannya. Bagian ini berkait sangat erat dengan ayat sebelumnya waktu kita membaca ayat 23, Yesus menantang murid-muridNya dan saya percaya kita semua juga untuk mengikut Dia, menyangkal diri, memikul salib setiap hari, sebagai satu gambaran ekspresi mengikut Yesus. Ajakan ini kalau kita dengar begitu saja seperti tampak menakutkan, membuat kita memiliki hati yang takut dan gentar, apalagi dengan satu gambaran salib. Kita tahu di dalam kebudayaan pada saat itu, salib adalah kematian yang sangat menakutkan, itu adalah kematian yang dipakai oleh orang-orang Romawi untuk menyiksa, mempermalukan mereka yang dianggap musuh-musuh dari kerajaan Romawi, lalu Yesus memakai metafora ini untuk kita sekarang, karena kita tidak terlalu mengerti lagi apa artinya salib, karena kita tidak hidup pada zaman lampau. Tetapi untuk orang-orang yang hidup pada zama itu mereka tahu apa artinya salib, jauh lebih mengerti dari pada kita dan Yesus mengajak murid-muridNya untuk memikul salib, tentu saja ini adalah ajakan yang tidak enak, ajakan yang meresahkan dan menakutkan.
Tetapi Yesus kemudian memberikan kepada murid-muridNya satu argumentasi untuk meneguhkan ajakan ini, yaitu seperti yang dikatakan dalam ayat 24, satu kalimat yang tidak dimengerti oleh dunia, karena dunia selalu berusaha untuk mengajak manusia menyelamatkan dirinya sendiri, untuk memperhatikan dirinya sendiri, untuk berpusat pada diri sendiri, karena itulah orang-orang yang dianggap berhasil. Orang-orang yang terlalu banyak memperhatikan orang lain, akhirnya toh dia sendiri tidak dapat apa-apa, maka di dalam filsafat seperti Darwinisme yaitu orang-orang yang percaya bahwa kehidupan ini pada dasarnya adalah merupakan satu persaingan dan kalau kita tidak mau bersaing, kita akan kalah, akan tergencet, lebih baik kita menggencet orang lain sebelum kita digencet. Lalu hidup di dalam satu pikiran kita bahwa kita sedang berusaha untuk survive, survive of the smartes, of the riches, dll., lalu banyak sekali diseluruh dunia menghidupi filsafat seperti ini, termasuk bahkan orang-orang kristen. Orang kristen tidak setuju evolusi, tetapi siapa yang tahu, dalam kehidupan perdagangan atau dalam kehidupan di tengah masyarakat sebenarnya dia sedang menjalankan paham darwinisme. Karena bagi dia hidup itu adalah survive, apalagi kita minoritas yang hidup Indonesia, mesti berusaha untuk survive dan kalau bisa melampaui orang-orang yang lain, dst.
Maka kita akrab sekali dengan budaya, culture yang menekankan bagaimana seseorang yang berhasil, itu adalah seseorang yang terus memperhatikan dirinya sendiri. Karena tidak ada yang memperhatikan sesamanya, itu adalah ajaran to ideal to be true, tidak bisa dijalankan di dalam kehidupan sehari-hari, yang ada adalah orang-orang yang diberkati adalah orang-orang yang berjuang untuk dirinya sendiri. Tetapi Yesus mengatakan, barang siapa yang mau menyelamatkan nyawanya akan kehilangan nyawanya, semakin possessive, obsessive, semakin tidak bisa menikmati dan semakin tidak bisa mendapatkan. Saya pikir sebetulnya dunia juga mengajarkan bagaimana orang-orang yang seumur hidupnya mengejar sesuatu yang dia dambakan, tapi akhirnya tidak mendapatkan. Itu seperti satu jurang yang tidak ada dasarnya, dikejar tidak habis-habis dan orang terus masuk di dalam addiction, kecanduan dan tetap hatinya tidak bisa puas, inilah kutukan di dalam kehidupan manusia kalau kita tidak berhati-hati.
Manusia akhirnya terperangkap desire-nya sendiri, lalu apakah itu artinya kekristenan mengajarkan kepada kita supaya tidak punya desire, keinginan? Bukan!! Kekristenan berbeda dengan ajaran agama seperti Budha, kalau kita tidak berhati-hati seperti menyangkal diri, kita menekan seluruhnya sampai tidak punya keinginan apa-apa, bukan seperti itu maksudnya. Tetapi di dalam pengertian bahwa kita mempunyai desire yang lain yaitu desire, keinginan mempersembahkan diri, desire active, secara spirit sacrifice, mempersembahkan kehidupan kita kepada Yesus Kristus. Mengapa? Karena hanya Yesus Kristus yang peduli dengan kehidupan kita, Yesus Kristus jauh lebih peduli dengan kehidupan kita dari pada kita peduli kehidupan kita sendiri, karena Dia adalah Tuhan, kita bukan tuhan. Manusia bahkan tidak sanggup mengasihi dirinya sendiri dengan benar, manusia pikir, dia mengasihi dirinya sendiri, kenyataannya dia sedang membinasakan dirinya sendiri dengan cinta kasihnya yang liar itu. Yesus katakan, apa sih gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi sebetulnya dia kehilangan dirinya sendiri. Yesus mengejar diri kita, tetapi kita manusia seringkali mengejar yang diluar diri kita, ini ironis sekali. Tuhan tertarik dengan jiwa kita, karena itu Dia mengutus AnakNya yang tunggal turun ke dalam dunia untuk menyelamatkan manusia, tetapi manusia bahkan tidak tahu bagaimana menghargai dirinya sendiri, lalu dia menjual dirinya untuk sesuatu yang di luar dirinya.
Akhirnya makin lama manusia makin terpisah dengan dirinya sendiri, hidupnya berada dalam satu keadaan yang fragmented, terkeping-keping, terpisah, tidak bisa hidup integritas, integritas artinya bukan sekedar jujur, tetapi lawan kata dari fragmented, hidupnya tidak terkeping-keping, hidupnya itu utuh. Sebagai manusia yang utuh, bukan manusia yang skizofrenia, kalau skizofrenia cuma dua sisi bipolar, sisi atas dan bawah, tetapi fragmented bisa berkeping-keping sampai 16 kepribadian (dalam psikologi), sangat menakutkan orang seperti itu. Tetapi yang jauh lebih menakutkan adalah keterkepingan rohani, waktu manusia tidak bisa lagi hidup integrated, dia mengejar segala sesuatu yang di luar dirinya, lalu di dalam kehidupannya tidak ada lagi fokus, sebetulnya hidup itu untuk apa. Kalau di dalam keluarga fokusnya keluarga, dalam bisnis fokusnya uang, dalam relasi dengan sesama fokusnya lain lagi dst., banyak sekali fokus di dalam kehidupan manusia. Fokus yang banyak itu akan mengacaukan kehidupan kita, memberikan distraksi, tetapi Yesus mengatakan, justru waktu kita mempersembahkan kehidupan kita, kita akan menyelamatkannya. Ini adalah satu investasi yang tidak mungkin rugi dan tidak mungkin salah, karena Yesus tahu bagaimana mengendalikan, mengelola kehidupan saudara dan saya.
Dunia selalu menipu kita bahwa orang yang hidup mengikut Tuhan dengan radikal, maka hidupnya akan susah, sebenarnya jauh lebih susah mereka yang tidak mau mengikut Tuhan. Kita ditipu dengan satu gambaran, sudahlah jadi orang kristen itu jangan terlalu ekstrim, percaya Yesus sih boleh, silahkan percaya Yesus, tetapi biasa-biasa saja, normal, jangan aneh seperti para misionaris, para penginjil, mereka itu terlalu radikal, kita hidup biasa-biasa saja, jadilah common christian, jangan radical christian, itu aneh, nanti kamu menyajikan satu kehidupan yang tidak bisa dihidupi oleh banyak orang. Dunia merubah apa yang abnormal menjadi normal dan apa yang normal menurut Tuhan menjadi abnormal. Saya percaya orang-orang seperti Paulus hidup lebih normal dihadapan Tuhan dari pada saudara dan saya. Tetapi Yesus tidak, Dia memberikan sesuatu teladan kehidupanNya sendiri dan kehidupan seperti itu yang ingin ditawarkan kepada saudara dan saya, jalan salib yang sama, meskipun tentu saja takaran kita berbeda-beda, kita memikul salib di dalam porsi kita masing-masing.
Dalam ayat 26 Yesus memberikan satu argumentasi yang lain lagi, kata kuncinya adalah malu dan kemuliaan, ada kemungkinan waktu seseorang mengikut Tuhan dia menjadi malu. Saya percaya malu dan kemuliaan itu satu paket, karena orang yang malu biasanya malu karena tidak melihat kemuliaan atau malu karena merasa tidak mulia. Malu dan mulia itu lawan kata, orang malu karena merasa diri hina, waktu orang merasa dia berada di dalam kemuliaan dia tidak menjadi malu, maksudnya, waktu seseorang mengikut Kristus, dia bisa menjadi malu, karena terlalu banyak menderita, karena dia pikul salib dan orang yang pikul salib di dalam zaman itu dipermalukan, digiring diseluruh kota dimana dia tinggal, lalu dipertontonkan kepada banyak orang. Maksudnya pemerintah Romawi sedang menyatakan kemuliaannya dan inilah akibatnya orang yang melawan kerajaan Romawi, lalu mereka disalib dengan keadaan yang sangat hina dan memalukan. Yesus sudah mengantisipasi bagian ini, waktu kita mengikut Tuhan, dunia akan mempermalukan kita, dunia akan menghina, dunia akan terus menawarkan kita akan kemuliaan-kemuliaannya. Tetapi Yesus menjawab, berbahagia kalau orang percaya dan bisa melihat suatu saat kelak Anak Manusia akan datang di dalam kemuliaanNya. Ini kemuliaan yang belum dinyatakan, kemuliaan yang invisible, kemuliaan yang tidak mungkin dimengerti oleh dunia ini, karena dunia mempunyai konsep kemuliaannya sendiri. Lihat saja bagaimana cara orang memperhatikan kita, bagaimana dunia melihat, seperti kita ketika masuk ke satu toko, sebelum dilayani, orang di-scaning dulu dari atas sampai bawah beberapa kali, lalu memperkirakan wah kekayaannya segini, wah konyol sekali dunia ini. Jangan-jangan kita juga scaning waktu melihat orang lain, scaning secara fisik, siapa sih yang bisa melihat ke dalam hati manusia? Manusia juga sepertinya tidak tertarik melihat itu, manusia selalu tertarik melihat yang fenomenal, yang di luar, lalu dunia juga terus menarik kita untuk menyuguhkan, men-distract kita dengan kemuliaan-kemuliaan yang ada padanya, tetapi menjauhkan kita dari pada kemuliaan Kristus.
Lalu kita bisa menjadi malu kalau kita hanya mengikut Tuhan, tetapi tidak bisa membuktikan diri berhasil di dalam dunia ini, maka banyak orang kristen, mereka mau dua-duanya, saya mau mengikut Tuhan, pikul salib, menyangkal diri, tapi saya juga mau membuktikan kepada dunia ini bahwa saya bukan loser, kalau mungkin, saya kaya tetapi saya juga percaya Kristus, itu luar biasa kan? Jadi dihadapan dunia saya mulia, dihadapan Yesus saya juga tetap mulia, tokoh-tokoh yang diimpikan seperti Abraham, dia kaya dan sekaligus beriman, siapa yang tidak mau seperti itu? Seperti Musa yang pikirannya most educated, nah itu saya mau, sekaligus dapat kemuliaan dunia dan kemuliaan sorga. Tentu saja alkitab dan Yesus tidak sirik, bukan berarti kita tidak boleh mendapatkan sama sekali apa yang dianggap dunia ini mulia, tetapi di dalam arti bahwa kita tidak meletakkan hati kita di sana, itu kategori doesn’t matter (boleh ada, boleh tidak). Kekristenan bukan anti orang kaya, yang anti orang kaya itu adalah marxisme, kecenderungan teologi liberation yang tidak hati-hati, sepertinya memperjuangkan kemiskinan, mungkin akhirnya menjadi sirik dengan orang kaya, sangat melawan kapitalisme dan akhirnya diskrimanasi terhadap orang kaya, terhadap orang pintar dsb., saya pikir itu bukan ajaran kristen. Kekristenan tidak menaruh value di dalam hal-hal seperti itu, karena Tuhan bisa pakai segala jenis orang, bukan tidak boleh, kalau Tuahn memberkati kita lalu jadi kaya, punya kesempatan belajar sampai tinggi sekali, bukan itu poinnya, tapi Tuhan bisa membangkitkan siapa saja, dari nelayan seperti Petrus sampai seorang yang sangat berpendidikan seperti Paulus. Untuk Tuhan doesn’t matter, dua-duanya dipakai dengan luar biasa, tetapi waktu kita mulai meletakkan diri kita kepada kemuliaan-kemuliaan dunia itu bahkan menggantikan kemuliaan Kristus, Yesus mengatakan, Anak Manusia sendiri juga akan malu, tidak akan menjadi bangga dengan orang-orang seperti itu, lalu kita menyedihkan Tuhan.
Dunia selalu menarik kita untuk membuktikan diri, di Jepang dan beberapa negara yang lain, orang sulit sekali menjadi kristen, karena kekristenan diangap sebagai agama orang-orang yang kalah, kamu dagang tidak berhasil, kamu sekolah tidak lulus, biasa-biasa saja, kaum pecundang, loser, makanya kamu jadi kristen. Kalau kita tidak perlu, kita berhasil kok, jadi kekristenan seperti identik dengan orang-orang pecundang, kaum yang sangat lemah, itulah orang-orang kristen. Wah mengganggu sekali kan gambaran seperti ini? Saya tidak tahu gerakan hati saudara mendengar statemen seperti ini? Jangan-jangan kita terus berkata, oh tidak pak, itu salah, tahu tidak, sebenarnya orang kristen itu orang yang paling pintar, yang paling bisa dagang juga orang kristen…akhirnya kita mulai jatuh ke dalam pencobaan itu. Bukan berarti semakin loser semakin dekat kepada Tuhan, tentu saja tidak, tetapi pencobaan ini very much alive di dalam kehidupan kita, kita terganggu dengan gambaran ini, tidak senang kalau kita dikatakan seperti itu. Maunya kita adalah saya kaya, tetapi bersamaan dengan itu tentu saya percaya kepada Tuhan Yesus Kristus, saya bukan orang biasa-biasa, saya orang berhasil di dalam masyarakat dan bersamaan dengan itu saya percaya kepada Yesus Kristus, tidak lihat kemuliaan saya? Betul, akhirnya kemuliaan saya bukan kemuliaan Kristus, kita terganggu, seolah-olah kemuliaan Kristus tidak cukup untuk kita, sepertinya perlu tambahan, kemuliaan Kristus ya, itu bagus, tetapi perlu jugalah kemuliaan dunia ini, kalau bisa dapat dua-duanya.
Membuktikan kekristenan jangan dihina, istilah jangan dihina, kita harus hati-hati dengan istilah itu, kita bukan dipanggil untuk tidak dihina, tidak ada panggilan itu, memang kalau kita melakukan dosa, yang jahat, yang salah dan karena itu kita dihina, ya itu kita harus malu, karena memang layak untuk dihina dan kita harus takut untuk dihina seperti itu. Tetapi dihina karena tidak berhasil menurut ukuran dunia, tidak ada panggilan itu, kalau Yesus memasuki kehidupan seperti ini, Dia tidak turun ke dalam dunia, sudah dari lahir langsung dihina, kok lahir di tempat seperti itu? Ini keluarga apa, tidak ada persiapan sama sekali, akhirnya melahirkan di kandang binatang, keluarga macam apa ini? Dihina, tetapi ada orang-orang seperti gembala, orang Majus yang memiliki mata yang tidak dimiliki oleh Herodes, bahkan tidak dimiliki oleh orang-orang religius seperti orang Farisi. Mereka melihat kemuliaan Kristus di dalam kesederhanaanNya itu, kemuliaan yang sangat hidden, tersembunyi, kemuliaan yang memang bukan kemuliaan dunia. Kita, saudara dan saya dipanggil untuk masuk ke dalam kemuliaan ini, lalu menjadi buta, tuli terhadap kemuliaan dunia, ini pergumulan seumur hidup, karena kita selalu berada dalam pencobaan seperti ini, ya pencobaan kalau boleh saya dapat dua-duanya, kemuliaan Kristus ada pada saya, tetapi kemuliaan dunia juga kalau boleh.
Kita lihat ayat 27, ini salah satu ayat yang paling sulit dalam alkitab, ada banyak tafsiran dalam konteks perikop ini, kita harus membatasi dari perspektif Lukas, ada yang menafsir misalnya, ini melihat Kerajaan Allah yaitu peristiwa pentakosta, karena pentakosta juga dicatat oleh Lukas, “Tidak akan mati sebelum mereka melihat Kerajaan Allah”, mungkin menuju pada peristiwa pentakosta, tetapi mungkin tafsiran lain dalam perikop berikutnya yang mengantisipasi Kerajaan Allah. Arti Kerajaan Allah dalam injil, double meaning, Kerajaan Allah yang akan datang, futuris, tetapi juga Kerajaan Allah yang sudah tiba diantara kita, waktu Yesus melayani, itu Kerajaan Allah juga sudah hadir, ada yang tidak akan mati sebelum mereka melihat Kerajaan Allah. Jagan lupa, di dalam konteks ini Yesus sedang membicarakan dalam bagian sebelumnya tentang mengikut Dia, tentang kemungkinan ada orang yang bisa menjadi malu, lalu berbicara tentang kemuliaan Kristus. Di sini tentang pengertian Kerajaan Allah berkait sangat erat dengan kemuliaan sorgawi.
Dalam ayat 28 dst. Yesus yang dimuliakan di atas gunung melihat Kerajaan Allah, antisipasi dari kemuliaanNya yang akan datang, dimana di situ Yesus mengalami transfigurasi, mukaNya berubah, pakaianNya menjadi putih berkilau-kilauan, ini Yesus belum menderita, ini bukan tubuh kebangkitan, bukan, tetapi sudah antisipasi. Ini antisipasi untuk siapa? Terutama untuk 3 orang ini yaitu Petrus, Yohanes dan Yakobus, karena Yesus mengatakan, barang siapa malu karena Aku, karena perkataanKu, Anak Manusia juga akan malu karena orang itu. Tetapi kemudian Dia mengatakan, jikalau saja kelak engkau melihat kemuliaan Anak Manusia di dalam kemuliaan Bapa dan malaikat-malaikatNya, ini satu for taste, satu cicipan, Tuhan itu sangat mengetahui kelemahan kita, kita tidak cukup hanya dengan janji eskatologis, mudah sekali kita jadi eskipis kalau seperti itu. Nanti Yesus suatu saat akan datang, nanti kemuliaanNya akan nyata, kalau semuanya nanti, saya pikir kita semua, saudara dan saya akan sangat lemah di dalam pengikutan kita kepada Tuhan, oleh karena itu Tuhan memberikan kepada kita cicipan-cicipan, a for taste divine glory, salah satunya yang saya percaya adalah di dalam ibadah.
Maka kalau dalam ibadah, kita tidak melihat kemuliaan Allah, alangkah celakanya kehidupan kita, kalau saudara dan saya di dalam ibadah tidak bisa menghayati kehadiran Tuhan secara khusus, saya kuatir, kita tidak mempersiapkan diri untuk masuk ke dalam kepenuhan hadirat Tuhan. Suatu saat di sorga, atraksi nomor satu adalah hadirat Allah yang penuh, kita bisa melihat wajah Yesus apa adanya, bertatapan dengan Dia muka dengan muka. Apakah kita di dalam ibadah mencicipi itu atau tidak? Atau kita hanya sekedar melihat manusia yang berdosa, yang punya banyak kelemahan, yang menjengkelkan itu, yang mungkin bahkan pernah melukai saya, yang saya susah untuk melihat wajahnya, dst., tetapi dimana wajah Yesus?
Maka di sini kita melihat Yesus memberikan antisipasi kepada para murid, waktu Dia mengajak mereka ke gunung untuk berdoa, bagi orang zaman dulu, ada kaitan antara dunia yang kelihatan ini dengan dunia yang tidak kelihatan dan di dalam zaman kita kaitan ini hampir tidak ada lagi. Orang dulu berdoa dengan satu sikap yang betul-betul merendahkan diri, tetapi sekarang kita bisa berdoa dengan cara apa pun, mau kakinya diangkat, dilipat, tidak apa-apa, yang penting kan hatinya, kan cuma kaki saya yang bengkok, hati saya tidak begitu, hati saya sopan dihadapan Tuhan. Ada break antara apa yang terjadi di dalam dunia yang kelihatan dengan penghayatan dihati, sebetulnya alkitab mengintegrasikan kedua hal itu dan tentu saja ada resikonya yaitu resiko kemunafikan. Orang yang kelihatannya berdoa, merenung, tunduk kepala, padahal tidur, tetapi secara sikap kelihatan seperti suci sekali, ya kan? Atau seperti orang Israel yang mengkoyak-koyak jubah seperti berkabung, padahal tidak berkabung, jadi itulah resikonya yaitu resiko kemunafikan dan itu bisa terjadi atau seperti orang yang kelihatannya rendah hati, tetapi di dalam congkak luar biasa, tidak mau lihat orang lain, jadi memang ada resiko itu.
Tetapi ini bukan satu-satunya kemungkinan kan? Ada kemungkinan integrasi, integrasi antara apa yang terjadi di dalam sikap tubuh, integrasi waktu kita memecahkan roti dan anggur, integrasi antara bagaimana sikap kita beribadah dengan suasana hati kita yang sesungguhnya dihadapan Tuhan. Saya pikir kita jangan selalu integrasi seperti ini, karena kalau tidak kita akan jatuh dalam dosa, kita akan berkata, ngapain Yesus ke gunung, kan tidak perlu, berdoa ya diam saja, di kota dong, Yesu itu apa-apan sih, ini kan konyol? Akhirnya kita jatuh di dalam dosa itu, padahal Yesus memang benar-benar pergi ke gunung bersama dengan tiga muridNya, untuk mempersiapkan mereka ke dalam pengalaman for taste of divine glory itu, Yesus transfigurasi, wajahNya berubah, pakaianNya menjadi putih berkilau-kilauan. Lalu di situ Dia disertai oleh dua orang untuk meneguhkan konfirmasi dari kemuliaanNya yaitu Musa dan Elia. Tetapi sayang sekali, yang namanya manusia, sesuatu yang seharusnya mengkorfirmasi, meneguhkan kemuliaan Kristus, justru malah mendistraksi, mengalihkan orang dari melihat kemuliaan Kristus.
Kita bisa dengan mudah sekali jatuh ke dalam persoalan ini, melihat kemuliaan manusia demikian besarnya, akhirnya kita tidak bisa lagi melihat kemuliaan Tuhan, bagian ini bukan satu-satunya, ada banyak di dalam injil, saya ambil beberapa contoh, misalnya waktu Yesus behadapan dengan perempuan Samaria. Perempuan Samaria itu tidak bisa melihat kemuliaan Kristus, karena dia begitu kagum dengan bapak-bapak leluhur, waktu bicara tentang sumur, ini adalah sumur Yakub, apakah Kamu lebih besar dari Yakub? Yakub yang gali sumur ini, Yakub sangat besar di mata perempuan Samaria itu, demikian besarnya sampai menutupi kemuliaan kristus. Juga orang-orang Yahudi melihat kemuliaan Abraham begitu besar, seperti orang-orang Farisi berkata, kami adalah murid-murid Musa, sampai tidak bisa melihat kemuliaan Kristus, dan mereka tidak mau menjadi murid Kristus, karena mereka lebih suka menjadi murid Musa. Begitu bangga dalam kemuliaan-kemuliaan nasionalistik seperti itu, akhirnya tidak bisa melihat kemuliaan Kristus.
Di sini kita melihat para murid tidak jauh berbeda di dalam gambaran yang sama, kedua orang ini, Musa dan Elia diundang untuk berbagian di dalam kesaksian kemuliaan Kristus, tetapi para murid tidak menangkap, malah yang ada adalah loh sekarang kok jadi tiga, dan sepertinya yang dua itu jauh lebih menarik, kalau Yesus sih setiap kali kita lihat, okelah hari ini Dia perkecualian seperti agak bersinar-sinar, tetapi tetap Yesus kan? Tapi yang dua ini Musa dan Elia, bisa tiba-tiba nampak di sini, ini yang spektakuler, Yesus mah biasa, maka mereka di dalam keadaan seperti ini begitu kagum. Tetapi saya tertarik dengan apa yang menjadi sikap mereka di dalam ayat 32, betul-betul satu sikap yang begitu sulit untuk dimengerti, di situ dicatat Petrus dan teman-temannya tidur, bukankah ini keterlaluan? Misalnya dalam satu kebaktian natal, ada orang yang tidur, kita akan berkata, keterlaluan sekali orang ini, dan Petrus serta temannya dalam pemandangan seperti ini mereka tidur, bukankah ini keterlaluan?
Kenapa sih mereka tidur? Dalam ayat 31 apa yang terjadi, kita coba melihat koneksinya, karena rupanya dua orang ini Musa dan Elia berbicara tentang tujuan kepergian Yesus yang akan digenapi di Yerusalem, artinya mereka berbicara tentang penderitaan yang akan dialami oleh Yesus. Berbicara tentang itu murid-murid mengantuk, mereka merasa ini lagi, ini lagi, penderitaan lagi penderitaan lagi, mau mati, self pity, mereka merasa Yesus mengasihani diri, apakah Yesus di sini sedang self pity, membicarakan tentang kematianNya? Tidak, bahkan murid-murid Yesus tidak tertarik membicarakan tentang penderitaan Yesus, mereka bosan, lebih tertarik berbicara tentang memberi makan lima ribu orang, resepnya apa, gerakan tangannya seperti apa dst., tetapi ketika bicara tentang kematian Yesus mereka telah tidur, tidak tertarik. Padahal Musa dan Elia sudah membicarakan satu pokok yang penting di dalam ke-Mesias-an Yesus Kristus yaitu Mesias yang memang harus menderita. Dalam teologi Lukas gambaran tentang penderitaan ini sangat dominan, penderitaan yang mendahului kemuliaan, itu struktur jalan Rajawi yang dijalani oleh Yesus sendiri. Jadi di sini diberikan antisipasi, ini loh kemuliaan, kemuliaan akan datang sudah ditunjukkan kepada murid-murid yang lemah, sebab kalau tidak, nanti mereka bisa malu mengakui Yesus, karena tidak melihat kemuliaan, maka kemuliaan ditunjukkan kepada mereka.
Tapi kemuliaan kan harus didahuli oleh penderitaan? Karena itu fokus pembicaraannya adalah penderitaan, karena penderitaan akan mendahului kemuliaan, tetapi waktu Yesus membicarakan dengan Musa dan Elia tentang penderitaan, para murid malah tertidur, tidak tertarik, mereka lebih tertarik dengan kemuliaan yang instan, yang wah.., kalau bisa kita langsung jump, lompat ke situ, tidak perlu masuk ke dalam pembicaraan tentang penderitaan yang sangat membosankan. Teologi reformed itu dituduh mempermuliakan penderitaan, terus-menerus berbicara tentang penderitaan, saya percaya orang yang kritik seperti itu ada poin di dalamnya tapi juga ada banyak yang missed di dalamnya. Karena memang, pada dasarnya manusia tidak tertarik membicarakan penderitaan, jelas, tidak semua penderitaan memimpin pada kemuliaan rohani, banyak juga orang yang menderita, tetapi kemuliaan rohani selalu didahului dengan penderitaan. Penderitaan karena nama Tuhan jalan salib itu, yang orang tidur waktu mendengarkan dan banyak orang yang bosan dengan hal ini, maka mereka tidur.
Waktu mereka bangun, apa yang berusaha mereka lakukan? Petrus mengusulkan kita dirikan tiga kemah, satu untuk Engkau, satu Musa dan satu lagi untuk Elia, kemah itu adalah motif di dalam biblical theology. Waktu Israel dipimpin berjalan menuju Kanaan, itu berjelan dengan kemah, tetapi ada satu kemah yang penting yaitu kemah pertemuan, dimana Allah hadir secara khusus. Tapi di sini Petrus mau mendirikan tiga kemah, kemah Yesus, Musa dan Elia, karena ini adalah pengalaman yang sangat mistik, tetapi kemudian ada interupsi, ada awan, cloud, kalau kita baca khususnya di dalam 5 kitab Musa, awan itu menggambarkan pemisahan antara dunia yang kelihatan di bawah dengan dunia yang tidak kelihatan yaitu di sorga. Maka waktu dikatakan Yesus naik ke sorga, lalu kemudian Dia lenyap ditelan oleh awan-awan, berarti Dia masuk dalam dunia yang tidak kelihatan. Juga waktu Musa naik ke gunung, di situ awan turun, itu berarti dunia yang tidak kelihatan sedang berkait dengan dunia yang kelihatan, karena awan jadi ada di bawah, itu cloud theology. Awan ini datang menaungi mereka, ini bukan sedang berbicara tentang weather, cuaca, ini berbicara tentang Tuhan yang hadir secara khusus dan awan yang turun.
Lalu mereka ketakutan, kemudian Bapa yang di sorga memberikan konsentrasi kepada Kristus, inilah AnakKu yang Kupilih dengarkanlah Dia, murid-murid berusaha mendirikan kemuliaan dari bawah, pasang kemah, itu usulan manusia, tapi Bapa, Allah sendiri mendatangkan kemuliaanNya dari atas, meneguhkan kemuliaan AnakNya dari sorga. Kita kuatir kalau gereja menjadi satu komunitas yang memuliakan Allah dengan caranya sendiri, berusaha untuk memancarkan kemuliaan sendiri, lalu dengan kasih (with the help of Jesus Christ), tapi yang kemuliaan besar adalah Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading (with the help of Jesus Christ, sola gracia), tulisannya kecil sekali. Ada sih pengakuan itu, tetapi kecil, yang besar adalah Musa dan Elia. Kita kuatir dengan jenis kemuliaan yang seperti itu, kemuliaan yang diusahakan dari bawah, bukan kemuliaan yang given by God, tapi kategori yang dilakukan oleh Petrus kan kemuliaan rohani, memang, tapi kemuliaan yang dibangun dari bawah, bukan dari Tuhan. Jadi tidak ada satu orang pun yang bisa mendatangkan kemuliaan Allah, tidak ada, kemuliaan Allah itu diberikan dari atas, itu kedaulatan Tuhan, bukan kedaulatan kita.
Lalu saudara dan saya diundang untuk berbagian di dalam pancaran kemuliaan itu, saya tertarik dengan kalimat dalam film Martin Luther, dikatakan, orang-orang itu berusaha menjadikan saya seperti shining star, padahal kenyataannya kita manusia ini cuma sebagai planet yang mengitari sumber terang itu, mengitari matahari. Star itu punya cahaya dari dirinya sendiri, kita ini lebih mirip planet gelap yang dapat pencahayaan dari sumber yang lain, seperti bulan, hanya merefleksikan, bulan tidak bercahaya dari dirinya sendiri, bulan bercahaya karena menerima cahaya dari matahari, lalu merefleksikan cahaya itu sangat tergantung dari pada cahaya matahari dan sangat tergantung dari sudut apakah dia merefleksikan cahaya itu atau tidak, sangat tergantung apakah dia bersih, seperti satu cernin yang bersih atau kotor. Waktu kotor refleksinya tidak sempurna, tapi waktu dia bersih, dia hidup kudus, itu bisa merefleksikan, itulah panggilan hidup saudara dan saya, bukan menjadi star, GRII juga bukan dipanggil menjadi star, kita lebih dipanggil seperti planet, seperti bulan, memancarkan kemuliaan Tuhan.
Kemuliaan itu given dari atas, divine glory, diturunkan, lalu kita hanya merefleksikan dan merefleksikan saja sudah cukup, kehidupan kristen dari awal sampai akhir adalah satu kehidupan yang terus-menerus berurusan dengan divine glory seperti ini. Saat ibadah, saat dalam kehidupan kita sehari-hari, kita berdoa kepada Tuhan, supaya Tuhan menolong kita untuk memancarkan kemuliaanNya, bukan mendirikan kemuliaan kita sendiri, bukan membangun dengan kemuliaan yang ditawarkan oleh dunia dengan kategorinya, dan juga bahkan bukan dengan membangun kemuliaan rohani tetapi tetap pakai cara kita, bukan, tapi hanya dengan memancarkan kemuliaan Kristus. Kiranya Tuhan memberkati kita. Amin.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (AS)