Kita membahas dalam perikop sebelumnya, bahwa Yesus akhirnya datang ke pesta Hari Raya Pondok Daun itu. Dan tekanannya bukan karena Dia tidak mau diatur oleh saudara-saudara-Nya melainkan Dia pergi dengan diam-diam, tidak terang-terangan, bukan untuk mengumumkan diri-Nya sendiri, bukan untuk mencari perhatian, bukan untuk meng-afirmasi diri-Nya seorang pembicara yang patut diperhitungkan, dsb. Hal ini ada kaitannya secara konsisten dengan spirit yang kita baca dalam perikop hari ini.
Ayat 14 Waktu pesta itu sedang berlangsung, Yesus masuk ke Bait Allah lalu mengajar di situ. Perhatikan paradoks ini: tidak terang-terangan tapi diam-diam, bukan berarti kemudian jadi sungkan-sungkanan tidak usah mengajar, karena mengajar itu sama dengan menonjolkan diri; ini logika yang ‘gak nyambung. Kalau kita mengatakan ‘Kekristenan itu musti tidak terang-terangan tapi diam-diam, tidak boleh sombong, oleh karena itu saya tidak pernah bicara tentang Tuhan Yesus kepada siapa pun’, itu bukanlah rendah hati, dan tidak ada kaitannya dengan rendah hati.
Waktu kita membaca ayat 14 ini, mungkin Saudara merasa ‘Yesus ini tidak konsisten, tadi katanya tidak mau terang-terangan tapi diam-diam, kalau begitu, jangan mengajar dong, orang yang mengajar pastinya cari perhatian karena dia jadi pusat perhatian; katanya mau diam-diam, low-profile, tapi kenyataannya ‘gak low-profile juga’. Saya pikir di sini konsep kita tentang low-profile/ diam-diam/ rendah hati yang keliru, karena Yesus toh mengajar di Bait Allah, dan ini pastinya menarik perhatian. Tapi di ayat-ayat berikutnya Dia tetap tidak jatuh, atau menjadi tidak konsisten dengan catatan Yohanes sebelumnya, Dia tetap mempertahankan sikap yang diam-diam dan tidak terang-terangan.
Ayat 15 dikatakan: Maka heranlah orang-orang Yahudi dan berkata: "Bagaimanakah orang ini mempunyai pengetahuan demikian tanpa belajar!” Mereka ini heran, kagum, terutama karena –menurut mereka—Yesus ini bisa mempunyai pengetahuan sedemikian tanpa belajar. Mengapa mereka berani tarik kesimpulan “tanpa belajar”? Kalau kita belajar dari tafsiran, dan digabung dengan ayat-ayat lain Injil sinoptik, kita akan tahu maksud kesimpulan mereka ini. Satu kemungkinan besar, mereka bisa kagum seperti itu karena mereka –paling tidak sebagian orang– baru pertama kali mendengar Yesus mengajar. Keheranan/ kekaguman ini bisa positif, bisa negatif. Di bagian yang lain dikatakan bahwa waktu Yesus mengajar, Dia berbeda dengan pemimpin-pemimpin agama mereka. Pemimpin-pemimpin agama mereka mengajar di bawah tradisi rabi ini atau rabi itu, yang bukan cuma satu. Show-off knowledge dalam mengajar ini sangat penting, terutama bahwa ajarannya musti bisa dikaitkan dengan aliran teologi tertentu, entah Rabi Hillel, rabi ini, atau rabi itu; jadi kutipannya banyak sekali (ini mirip dengan dunia akademis sekarang, kutip ini itu menunjukkan pengetahuannya banyak). Tapi waktu Yesus mengajar, tidak ada kutipan rabi ini atau rabi itu, dsb., maka mereka menarik kesimpulan “Orang ini tidak pernah belajar, tapi bagus juga kotbah-Nya, orisinal, fresh, tidak ada kutipan rabi ini itu, seperti tidak berdiri dalam tradisi tertentu”. Itu yang dimaksud dengan “tanpa belajar”, yaitu karena tidak ada footnote-nya.
Yesus tidak mengutip rabi ini, rabi itu, tapi Dia juga tidak mempermuliakan diri-Nya sendiri. Waktu orang-orang mengajar dan mengutip orang-orang besar, biasanya bukan untuk mempermuliakan orang-orang besar itu seperti Luther, Agustinus, Calvin, dsb. –yang umumnya sudah meninggal– tapi mungkin untuk menunjukkan ‘saya ini mengerti Agustinus lho, mengerti teologinya Luther lho, jangan main-main, saya menguasai scholar ini, scholar itu’. Waktu mengutip bukan untuk menghargai para scholar itu tapi untuk menghargai dirinya sendiri. Spirit ini sama sekali tidak ada pada diri Yesus karena Dia memang tidak punya motivasi itu.
Mengutip sana sini untuk menunjukkan diri punya banyak pengetahuan, sama sekali bukanlah motivasi Yesus. Maka di sini waktu kita melihat jawaban Yesus –"Ajaran-Ku tidak berasal dari diri-Ku sendiri, tetapi dari Dia yang telah mengutus Aku” (ayat 16)—awalnya seperti ‘gak nyambung, tapi setelah kita melihat latar belakang tentang yang dimaksud ‘pengetahuan tanpa belajar’, jawaban Yesus ini amat sangat tepat. “Saya tidak punya motivasi mempermuliakan diri sendiri, ajaran-Ku bukan dari diri-Ku sendiri”, ini sekaligus menjadi teguran –bukan berarti karena Saya tidak mengutip mereka lalu kamu pikir Saya ini jadi sok orisinal menyatakan bahwa ajaran-Ku ini tidak pernah didengar dari orang lain cuma dari Saya sendiri. Dari kalimat Yesus yang sederhana ini, keluar peluru ke semua penjuru.
Waktu mengatakan kalimat ini, “Ajaran-Ku tidak berasal dari diri-Ku sendiri”, pertama berarti Yesus tidak mengutip Rabi A, Rabi B, Rabi C, dsb. karena Dia memang bukan mencari kemuliaan untuk diri-Nya sendiri, Dia bukan mau mengafirmasi diri-Nya sendiri dan menekankan betapa hebatnya dan betapa berpengetahuannya Dia. Yang kedua, kalaupun Dia tidak mengutip Rabi A, Rabi B, Rabi C, dsb., bukan berarti Dia mau klaim orisinalitas diri-Nya “ini lho Saya orang hebat, Saya tidak kutip siapapun, semuanya benar-benar Saya sendiri yang menemukan”, karena Yesus kemudian mengatakan: “Ajaran-Ku tidak berasal dari diri-Ku sendiri”. Saudara bisa melihat kerendahan hati ini?
Di zaman Post Modern ini kalau tidak berhati-hati, kita seperti ada tekanan besar untuk menjadi otentik yang sangat narsis. Kalau di dalam dunia seni, khususnya dalam musik postmodern (saya tidak terlalu menguasai mengenai seni yang lain), orang bukan saja tidak boleh mengutip orang lain, tapi mengutip dari diri sendiri pun juga tidak boleh; jadi setiap kali membuat karya baru haruslah betul-betul orisinal termasuk dari komposisi karyanya sendiri yang pernah dia buat. Ini gila. Di zaman Barok, Handel paling banyak mengutip melodi ini dan itu, dan tidak pernah kena isu copyright karena itu praktek yang biasa di zaman tersebut; dan waktu mengutip bukan berarti kekurangan ide melainkan menghargai orang yang dikutipnya. Orang yang dikutip pun tidak akan protes, tapi justru merasa dihargai.
Saudara mungkin pernah mendengar cerita tentang pertandingan piano antara Mozart dan Clementi. Mozart lebih muda, dan Clementi lebih senior, lebih matang. Dalam pertandingan itu, Clementi memainkan Sonata in B-flat Major. Singkat cerita, Mozart menulis surat kepada ayahnya, dia agaknya sangat kagum akan teknik bermain piano Clementi yang sangat cepat, tapi kemudian Mozart mengatakan bahwa Clementi itu a mere mechanicus, mainnya seperti robot, tidak terlalu ada ide, tidak bisa dibandingkan dengan Kreuzer, dan sebagainya. Mozart agak sedikit memandang rendah terhadap Clementi. Tapi sambil memandang rendah, sambil suatu hari kemudian Mozart mengutip dari Sonata in B-flat Major yang dimainkan Clementi hari itu ke dalam Die Zauberflöte. Lalu ternyata The Magic Flute-nya Mozart ini jauh lebih terkenal dari Sonata in B-flat Major-nya Clementi, sehingga orang mengira Clementi mengutip Mozart, padahal Mozart yang mengutip Clementi.
Waktu Yesus mengatakan “ajaran-Ku tidak berasal dari diri-Ku sendiri”, Dia sedang menjawab di dalam latar belakang tersebut, kepada orang-orang yang mengatakan “Orang ini mempunyai pengetahuan tanpa belajar”. Ini catatan yang khas dalam profil teologi Yohanes; sedangkan kalau Saudara membaca dalam Lukas, mungkin jawabannya akan berbeda penekanannya. Lukas sangat menekankan kemanusiaan Yesus, bahwa Yesus itu masuk dalam proses belajar sama seperti orang Israel yang lain. Oleh sebab itu, seandainya kalimat orang-orang tersebut dilontarkan dan kita mengharapkan jawaban dalam profil teologi Lukas, Lukas akan mencatat bahwa Yesus bukannya tidak belajar, Dia sama seperti orang Israel yang lain, Dia belajar. Waktu kita membaca tentang Yesus dalam Bait Allah ketika Bar Mitzvah di usia 13 tahun –Dia bersoal-jawab dengan orang-orang yang pintar itu dan Dia sangat mahir dalam Taurat, dsb.– di dalam Lukas penekanannya adalah bahwa Yesus punya pengetahuan seperti itu bukan tanpa belajar, karena Bar Mitzvah itu setelah belajar (semacam katekisasinya orang Yahudi) selesai. Jadi Yesus belajar, kemudian Bar Mitzvah, artinya Dia sudah mempelajari itu; bukan karena Yesus meng-akses keilahian-Nya sehingga bisa bersoal-jawab dengan mereka, tapi pengetahuan itu adalah karena Dia belajar sama seperti mereka semua (ini di dalam Lukas). Namun dalam profil teologi Yohanes, kita tidak menemukan Yesus mengatakan ‘siapa bilang Saya tidak belajar? Saya ini belajar, Saya manusia sejati sama seperti kamu semua’. Yohanes bukan mau menekankan gambaran seperti itu, melainkan sebagaimana yang terkandung di dalam kalimat “ajaran-Ku tidak berasal dari diri-Ku sendiri, tetapi dari Dia yang mengutus Aku”, yaitu kebergantungan Yesus kepada Bapa-Nya, dan bahwa Dia adalah yang diutus oleh Bapa.
Orang-orang itu mengatakan ‘bagaimana Orang ini mempunyai pengetahuan yang demikian tanpa belajar? Hebat juga ya, biasanya orang yang ‘gak kuti-kutip itu kotbahnya jelek, tidak ada ide, makanya lebih baik mengutip, belajar rendah hati dari sekian banyak rabi. Ini Orang ‘gak kutip-kutip tapi ternyata pengetahuan-Nya impresif juga, dan sangat orisinal, otentik, dsb.’ Lalu Yesus bilang: “Ajaran-Ku tidak berasal dari diri-Ku sendiri, tetapi dari Dia yang mengutus Aku”. Ini berarti Yesus tidak bergantung kepada para rabi, Yesus bergantung kepada Bapa. Dia tidak di bawah tradisinya rabi, melainkan diutus oleh Bapa –otoritas yang jauh lebih tinggi daripada otoritas para rabi.
Sebetulnya kalau kita menyelidiki lebih dalam, Yesus bukan tidak ada kaitan sama sekali dengan tradisi rabi. Di dalam perumpamaan-perumpamaan, Yesus membangun dari perumpamaan rabi-rabi yang memang sudah ada, tapi perumpamaan Yesus jauh lebih limpah daripada perumpamaan-perumpamaan para rabi. Perumpamaan rabi-rabi biasanya cuma menangkap satu poin kecil, sedangkan perumpamaan Yesus mungkin bisa include empat sampai lima perumpamaan rabi-rabi yang digabung jadi satu. Dari sini kita tahu bahwa Yesus bukan tanpa konteks waktu Dia mengajar, demikian juga waktu Dia mengatakan kalimat tadi.
"Ajaran-Ku tidak berasal dari diri-Ku sendiri, tetapi dari Dia yang telah mengutus Aku”; di dalam ketidak-bergantungan-Nya kepada rabi, dan juga bukan untuk meng-afirmasikan diri-Nya sebagai orang yang orisinal, perkataan yang keluar adalah yang Dia dengar dari Bapa yang mengutus-Nya. Bapa mengutus Anak, Anak mengatakan yang mau dikatakan oleh Bapa; inilah yang terkandung dalam istilah ‘utusan’. Seseorang yang diutus untuk pergi ke satu kelompok adalah untuk menyampaikan berita dari yang mengutus, jadi kalau kita menyebut diri ‘utusan’, kita mustinya mengatakan yang kita dengar dari Bapa.
"Ajaran-Ku tidak berasal dari diri-Ku sendiri, tetapi dari Dia yang telah mengutus Aku”; Saudara perhatikan di sini, tetap rendah hati, tetap tidak ada kesombongan, tidak mengutip rabi bukan berarti Dia lalu menyombongkan diri mengatakan ajaran-Nya itu yang Dia temukan sendiri, tapi Dia submit penuh di bawah Bapa-Nya, yaitu “Dia yang mengutus Aku”.
Ayat 17 “Barangsiapa mau melakukan kehendak-Nya, ia akan tahu entah ajaran-Ku ini berasal dari Allah, entah Aku berkata-kata dari diri-Ku sendiri.” Ini satu pendekatan yang jarang dibahas, khususnya dalam spiritualitas Reformed. Sampai sekarang, selalu ada perdebatan/ pertanyaan semacam ini: “Kamu bilang ajaran-Mu dari Bapa, tapi semua orang juga bilang begitu; orang Kristen selalu ngomong bahwa ajarannya adalah ajaran yang benar, doktrin yang setia pada Alkitab –tentu saja tidak ada yang bilang setia pada kertas koran—semua klaim ajarannya itu teologi Alkitab, lalu kita tahu dari mana kalau mereka betul-betul Alkitabiah? Semua Gereja mengaku Gerejanya yang benar, semua agama juga mengaku agamanya yang benar, yang dari Tuhan; lalu kita yang di luar, tahu dari mana bahwa yang benar itu yang mana? Ngomong sih gampang.” Ini persoalan klasik, apalagi sekarang kita hidup di zaman yang totally plural, Kekristenan tidak lagi the only religion seperti zaman dulu di Eropa. Di Eropa pun sekarang sudah campur-campur, apalagi kita di Asia yang dari dulu juga sudah campur, tidak pernah cuma satu agama saja. Di dalam gambaran pluralitas seperti ini, ada satu pemberita –si Yesus ini– yang mengatakan bahwa ajaran-Nya berasal dari Allah, kita tahu dari mana? Yesus menjawab di ayat 17: “Barangsiapa mau melakukan kehendak-Nya, …”.
Dalam antropologi Yunani, kita biasa mengatakan bahwa manusia punya mind/ reason, emotion, will/ kehendak; jadi ada tiga. Sedangkan dalam antropologi Reformed affection atau will menjadi satu; jadi pembagiannya dua saja, mind/ reason/ understanding dan affection/ will. Saya bukan mau berpolemik soal 2 atau 3, tapi anggaplah kita ambil model Yunani, jadi kita punya rasio, emosi, kehendak. Teologi Reformed juga masih banyak yang memakai ini, misalnya dalam buku Christian Mind pembagiannya masih memakai seperti itu meski tidak persis 100% tapi mirip dalam ke-tiga-an itu, jadi ada knowing, being, dan doing.
Sehubungan dengan itu, dalam pembelajaran teologi Reformed pendekatan kita biasanya penekanannya mulai pada belajar doktrin, maksudnya bahwa kita harus punya theological understanding, orang Reformed musti mengerti. Ini berarti pendekatan kita mulai dari reason. Saya percaya, pendekatan yang dimulai dari reason pasti ada tempatnya, tapi ini bukan satu-satunya pendekatan. Namun orang Reformed seringkali menekankan untuk selalu mulai dari reason, yang berarti masuk ke kepala dulu, kemudian baru diresapi/ dihayati di dalam hati menyentuh perasaan, lalu dikeluarkan menjadi satu tindakan yang nyata. Apa persoalan dengan gambaran seperti ini? Persoalannya adalah: yang masuk selalu lebih banyak, yang dihayati anggaplah sisa separonya, lalu yang keluar menjadi tindakan sisa seperempat atau jangan-jangan cuma sepersepuluh. Kita selalu punya pengetahuan banyak, kemudian hati kita tersentuh lebih sedikit, dan yang keluar jadi tindakan lebih sedikit lagi. Pendekatan yang dari atas saja, mengakibatkan orang selalu besar di kepalanya, kemudian being/ karakter-nya mungkin cuma separonya atau bahkan 30% atau 25%, kemudian dari situ mengalir lagi dan keluar jadi tindakan yang mungkin cuma 1% dari yang kita tahu. Gambaran yang seperti ini sangat menakutkan.
Tapi kalau kita membaca di bagian ini, Yesus bilang “barangsiapa mau melakukan kehendak-Nya, ia akan tahu”, berarti pendekatannya dari doing/ melakukan. Memang kamu ragu-ragu, memang kamu belum mengerti sepenuhnya, tapi tentu bukan berarti buta sama sekali. Orang yang ragu-ragu itu pastinya ada semacam pengetahuan karena jika tidak, dia ragu-ragu terhadap apa?? Orang yang ragu-ragu pun ada semacam pengetahuan, tapi pengetahuan yang diragukannya. Tapi dalam pengetahuan yang terbatas itu, Yesus mengatakan untuk melakukan kehendak-Nya; “Lakukan saja, kamu ragu-ragu ‘kan? Kamu tidak bisa memutuskan tapi Orang ini bilang bahwa ajaran-Nya dari Allah, maka lakukan saja, nanti kamu akan tahu. Dari ketaatan melakukan kehendak, nanti kamu timbang betul atau tidak ajaran Aku ini berasal dari Allah atau Aku berkata-kata sendiri (self affirmation)”.
Saya pikir pendekatan ini perlu ditekankan dalam spiritualitas Reformed karena ini ajaran Alkitab, tapi orang Reformed sepertinya lebih suka dengan pendekatan knowing–being–doing. Kalau kita baca Alkitab baik-baik, Yesus sendiri melampaui di dalam hal ini; Dia mengatakan: “taat, lakukan kehendak Tuhan, lalu kamu akan tahu”. Justru kita tahu/ mengerti setelah kita taat. Tapi kita, manusia modern yang sangat dipengaruhi antopologi Yunani, mengatakan: “nanti dulu, saya musti tahu dulu dengan jelas, baru saya melakukan”.
Orang yang mencari kehendak Tuhan pun seperti ini, terjepit dan terkotakkan dalam cara pikir ‘harus knowing-being-doing’ –saya kalau tidak tahu jelas kehendak Tuhan, saya tidak mau jalan; kalau saya tidak betul-betul mengerti tuntas, saya tidak akan gerak– kelihatan seperti biblikal sekali, sangat taat, musti jelas dulu pimpinan Tuhan baru dia bergerak. Tapi kita baca lagi bagian ini, kalau yang seperti itu dimutlakkan di sini, maka tidak ada yang taat karena musti mengerti dulu semuanya, sedangkan waktu itu Yesus belum mati, belum bangkit, bagaimana mungkin mereka bisa mengerti?? Kalau begini, semua orang telat taatnya. Kalau mereka musti mengerti dulu baru taat, itu berarti mereka musti tunggu sampai Yesus mati, bangkit, dan naik ke surga, barulah bisa mengerti. Waktu Yesus bicara pun murid-murid banyak tidak mengertinya, tapi Yesus tetap menuntut ketaatan.
Mungkin Saudara ber-argumentasi, “Tapi kita semua musti mengerti dong karena Alkitab sudah ditulis jelas, Alkitab sudah selesai semua dari Kejadian sampai Wahyu, kita tidak ada alasan tidak mengerti lagi, maka kita harus jadi orang yang mengerti tuntas baru boleh melakukan”. Saya pikir, tidak demikian juga, karena ini prinsip universal baik kanon sudah selesai ditulis atau belum, karena bagaimanapun juga meski sudah ditulis lengkap, pengetahuan kita tetap parsial. Pengetahuan kita tentang Allah, tentang Firman Tuhan, masih parsial, amat sangat terbatas; maka kalau kita mengharapkan musti mengerti tuntas dulu baru kita jalankan, alangkah telatnya. Yesus bilang “kalau kamu meakukan kehendak-Nya, kamu akan tahu, kamu akan masuk ke dalam pengertian yang lebih dalam”. Di bagian lain, Petrus mengatakan: “kami percaya dan kami tahu”, ini sangat dekat dengan yang diajarkan Agustinus, Credo ut intelligam (Agustinus tidak memakai ayat itu tapi dari kitab Yesaya berdasarkan Vulgata, yang terjemahannya sebetulnya kurang tepat di dalam bagian tersebut).
Petrus mengatakan “kami percaya, dan kami tahu”; Saudara lihat di situ: percaya, dan mengerti; dan di bagian ini: mau melakukan kehendak, dan tahu. Saya bukan mau menggeser bahwa tidak ada tempatnya untuk kita tahu dulu baru melakukan, itu memang ada tempatnya. Saya cuma mau menggeser kemutlakan bahwa semuanya harus selalu mulai dari knowing, dari mengetahui ajaran alias mengetahui doktrin, bahwa kalau doktrin beres barulah orang bisa taat melakukan kehendak-Nya. Yang seperti itu, di-debunk oleh Yesus. Yesus Kristus tidak mengajarkan itu. Kita musti kembali kepada Alkitab, dan cinta kita kepada Alkitab harus melampaui cinta kita kepada teologi Reformed, karena teologi Reformed sendiri berusaha menggali Alkitab. Di sini kita konsisten, dan ini spiritualitas Reformed. Spiritualitas Reformed itu menghargai tradisi tapi bukan menyamakan tradisi setara Alkitab, sehingga jika tradisi kita tidak cocok dengan Alkitab maka kita musti memilih Alkitab, dan bukan memaksa pembacaan Alkitab berdasarkan tradisi kita. Tapi kita harus hati-hati waktu menafsir dan harus betul-betul bergumul, jangan sampai setelah kita melawan tradisi akhirnya jadi menciptakan tradisi yang lain yang sesat, karena memang ada kebahayaan itu. Bagaimanapun juga, komitmen kita adalah kepada Alkitab, lebih daripada kepada teologi Reformed sendiri.
Yesus mengatakan, “Barangsiapa mau melakukan kehendak-Nya, ia akan tahu entah ajaran-Ku ini berasal dari Allah, entah Aku berkata-kata dari diri-Ku sendiri”, jadi di mana persoalannya? Persoalannya adalah mereka tidak punya kemauan untuk melakukan kehendak Tuhan. Itulah yang membuat mereka bingung, blur, tidak mengerti, dsb. Saya tidak terlalu kuatir jemaat yang tidak mengerti karena ‘gak nyampe, IQ rendah atau pendidikan kurang, dsb.; itu tidak terlalu jadi soal, dan itu tantangannya hamba Tuhan untuk membahas lebih sederhana, lebih bisa dimengerti,dsb. Tapi yang saya kuatir adalah jemaat tidak mengerti karena tidak tertarik untuk melakukan kehendak Tuhan, dan karena itu dia tidak mengerti; selalu ada perdebatan, selalu ada pertanyaan, bukan karena ‘gak nyampe tapi karena tidak tertarik melakukan kehendak Tuhan. Bukan berarti kita terganggu dengan pertanyaan atau merasa jemaat banyak menyerang, tapi kita kuatir dengan jemaat yang tidak tertarik melakukan kehendak Tuhan, yang karena itu dia terus-menerus tidak pernah bisa mengerti.
Tidak mengerti karena memang tidak ada ketaatan terhadap Firman Tuhan yang diberitakan, jadi terus berpolemik. Berpolemik dengan siapa? Dengan Tuhan, bukan dengan hamba Tuhan, karena hamba Tuhan nothing to lose kalau dia betul-betul menyampaikan yang dari Tuhan; kecuali hamba Tuhan itu membangun ajaran/ teorinya sendiri sehingga waktu diserang, langsung jadi personal sifatnya. Yesus cuma mengatakan yang dari Bapa, maka kalau orang melawan Yesus berarti melawan Bapa; Yesus relaks dalam hal ini karena Dia bukan sedang klaim diri-Nya/ otoritas-Nya sendiri melainkan otoritas yang dari Bapa. Oleh sebab itu, kita perlu hati-hati waktu kita tidak punya desire atau will yang cukup untuk melakukan kehendak Tuhan.
Dalam spiritualitas Reformed, yang membahas theology of the will itu minoritas. Juga Calvin penekanannya selalu pada reason, understanding, dsb., sementara yang membahas will hanya beberapa orang. Salah satunya adalah William Ames yang berbicara tentang will /voluntās, Jonathan Edwards bicara tentang Religious Affections. Agustinus sangat menekankan aspek kehendak ini.
Kalau Saudara membaca di toko buku sekarang ini, ada pergeseran. Dulu waktu saya mau masuk SMP, tes yang dilakukan yaitu Tes IQ; waktu itu IQ penting sekali. Tapi kemudian IQ digeser, katanya ada orang IQ tinggi tapi ribut melulu di kantor akhirnya kena pecat juga, jadi yang penting bukan IQ tapi EQ –IQ digantikan EQ. Setelah itu muncul buku lain yang membicarakan Adversity Quotient, maksudnya orang yang punya daya juang/ fighting spirit, orang yang tahan banting, orang yang bisa berjuang dalam kesulitan; itu bicara tentang will. Itu pembicaraan dunia sekuler, dan sudah dibahas dari sejak dulu. Dunia ini bergerak dari reason, kemudian digeser jadi emosi, tapi ternyata juga tidak cukup, musti punya will quotient –dan mungkin diakhiri dengan yang disebut spiritual quotient.
Agustinus pernah mengatakan, waktu kita gagal melakukan kehendak Tuhan, itu sebetulnya karena kita tidak punya kemauan yang utuh untuk melakukannya, otak kita tidak memberikan perintah yang sepenuhnya kepada will untuk melakukan, kita tidak sepenuh hati mau melakukan kehendak Tuhan. Dan di situ terjadi kekacauan. Persoalannya bukan cuma karena tidak mengerti; sebetulnya kita tahu bahwa sesuatu itu tidak benar dan tidak seharusnya dilakukan, tapi apa daya will kita tidak mau sepenuhnya diperintah oleh reason. Memang di sini Agustinus masih bergantung pada antropologi Yunani bahwa bagaimanapun will harus dikendalikan oleh reason, sehingga pembahasannya seperti itu, tapi paling tidak kita membaca dalam spirituaitas Agustinus tentang pentingnya kehendak, bukan cuma pengetahuan/ pengertian. Karena itu, kita juga tidak terlalu membanggakan orang yang berpendidikan. Orang yang berpendidikan, bisa jadi teroris juga, bisa hatinya luar biasa sempit. Orang seringkali menuding persoalannya ada pada masalah pendidikan, bahwa orang kurang berpendidikan sehingga jadi begini begitu. Memang pendidikan adalah satu hal, tapi orang yang dididik, bisa saja hatinya tidak berubah; maka waktu dididik, dia jadi punya banyak pengetahuan untuk mendukung hatinya yang jahat itu. Pendidikan tetap berguna, tapi bisa jadi lebih berbahaya di sini. Orang jahat yang berpendidikan lebih berbahaya daripada orang jahat tidak berpendidikan.
Kembali ke ayat 17, “Barangsiapa mau melakukan kehendak-Nya, ia akan tahu entah ajaran-Ku ini berasal dari Allah, entah Aku berkata-kata dari diri-Ku sendiri.“ Jadi bagaimana? Kita harus belajar taat di dalam ketidak-mengertian kita, di dalam pengetahuan kita yang parsial. Kemudian dari taat, waktu lihat ke belakang, kita mengerti bahwa itu memang pimpinan Tuhan. Orang yang terus mau mengkalkulasi dulu secara masuk akal, akhirnya tidak jalan-jalan. Saya percaya, di dalam gerakan Reformed ini Tuhan memberkati kita, salah satunya karena kita tidak terlalu mau kalkulasi. Ada orang yang terlalu perfect, terlalu semuanya dikalkulasi nanti ini tidak cukup, nanti tidak selesai, nanti begini begitu. Saya percaya, waktu para misionari pergi, mereka sangat mengerti kalimat Yesus ini. Tidak ada yang bisa kalkulasi di daerah yang dia datangi itu bakal terjadi apa, orang-orangnya bagaimana, penolakannya bagaimana, apakah ada binatang buas, lalu kesehatan akan bagaimana, istri dan anak bagaimana, dsb. Mereka tidak mungkin bisa kalkulasi itu; seandainya mereka kalkulasi terus, mereka tidak akan pergi, tidak melakukan kehendak-Nya. Para misionari ini telah menjadi model untuk kita, bahwa “barangsiapa mau melakukan kehendak-Nya, ia akan tahu entah ajaran-Ku ini berasal dari Allah, entah Aku berkata-kata dari diri-Ku sendiri.“
Ayat 18 “Barangsiapa berkata-kata dari dirinya sendiri, ia mencari hormat bagi dirinya sendiri, tetapi barangsiapa mencari hormat bagi Dia yang mengutusnya, ia benar dan tidak ada ketidak-benaran padanya.” Di sini Yesus meg-kontraskan diri-Nya dengan rabi-rabi yang lain, dengan pengajar-pengajar yang mengatas-namakan rabi ini dan itu. Mereka ini mencari hormat bagi diri mereka sendiri. Mereka mengutip bukan karena mau mengajar dari satu tradisi yang lurus supaya orang betul-betul dididik dalam tradisi yang benar, tapi untuk menonjolkan dirinya sendiri. Yesus mengatakan bahwa mereka itu mencari hormat bagi dirinya sendiri. Dia membongkar semua pengajar-pengajar yang lain.
Saudara perhatikan, kalau pendeta menegur pendeta yang lain, itu masalah, karena sama-sama pendeta. Kalau pendeta menegur seorang pemilik bengkel, itu masih lebih oke. Kalau pemilik bengkel menegur pemilik bengkel yang lain, itu masalah. Laki-laki menegur perempuan, itu masih oke; tapi perempuan menegur perempuan, itu masalah. Yang saya mau katakan adalah Yesus ini meresikokan diri-Nya sendiri. Kalau Dia menegur orang-orang lain, bicara soal mandat kultural, soal bekerja, dsb. tentunya tidak terlalu jadi soal. Tapi yang diajak ‘berantem’ oleh Yesus ini adalah orang-orang yang sepantaran, yang se-pekerjaan; yang diserang dan ditelanjangi kebusukannya adalah orang-orang yang persis sama pekerjaannya dengan Dia, yaitu pengajar-pengajar. Bagaimana mungkin Yesus tidak dibunuh kalau begitu?? Orang-orang ini tentu saja kesal.
Maka waktu Yesus kemudian bilang “kamu berusaha membunuh Aku”, orang banyak itu menjawab: "Engkau kerasukan setan; siapakah yang berusaha membunuh Engkau?" (ayat 20). Orang banyak ini tidak mengerti, mereka pikir Yesus ini terlalu peka atau bagaimana? Tapi Yesus tidak salah waktu mengatakan “kamu berusaha membunuh Aku”, karena yang dimaksud dengan ‘kamu’ adalah pemimpin-pemimpin agama yang sedang ditelanjangi itu. Karena Yesus terus-menerus membongkar kejelekan mereka, mereka jadi sebel sekali dan ingin membunuh Yesus. Sedangkan orang banyak yang begitu polos, tidak mengerti apa-apa; mereka bingung mengapa Yesus sudah berkotbah bagus lalu diakhiri dengan kalimat seperti ini –kita ini sudah mulai tertarik lho, tapi sekarang Dia bilang kita berusaha membunuh-Nya, gila Orang ini, paranoia, siapa yang mau bunuh Kamu?? Ini jadi seperti ‘gak nyambung, karena orang banyak ini tidak tahu bahwa pemimpin-pemimpin mereka itu begitu rusak, mau membunuh Yesus.
Poin yang terakhir, Yesus melanjutkan dengan menujukkan hal yang menyebabkan mereka mau membunuh Dia: "Hanya satu perbuatan yang Kulakukan dan kamu semua telah heran” (ayat 21) –ini heran dalam pengertian negatif. Apa isunya di sini? Saya membaca tafsiran, bahwa perbuatan yang dimaksud adalah Yesus menyembuhkan orang di kolam Betesda, pada hari Sabat. Jadi ada beberapa poin penting yang menyebabkan Yesus akhirnya dibunuh; salah satunya adalah polemik tentang Sabat. Lalu Saudara baca di sini argumentasinya tentang hukum Musa, tentang melanggar Sabat, dan mereka marah sekali karena Yesus melanggar Taurat Musa, tapi kemudian Yesus mengatakan “kamu yang tidak melakukan Taurat”. Jadi hal ini sangat bersifat polemik, dan terus eskalasi sampai pada puncaknya yaitu Yesus dibunuh di atas kayu salib.
Ayat 22 “Musa menetapkan supaya kamu bersunat –sebenarnya sunat itu tidak berasal dari Musa, tetapi dari nenek moyang kita –dan kamu menyunat orang pada hari Sabat!”. Logikanya begini: Orang Yahudi selalu bilang soal Taurat, dan Sabbath observance itu artinya ketaatan kepada Taurat. Lalu Yesus mengatakan, bahwa sunat ada sebelum Taurat; sunat berasal dari nenek moyang –maksudnya bapa-bapa Israel– yaitu Abraham, Ishak, Yakub (the forefathers), jadi lebih dulu daripada Musa, berarti sebelum Taurat. Memang Musa mengajarkan tentang sunat, tapi sunat sebetulnya lebih dulu daripada Musa, dan “kamu menyunat orang pada hari Sabat”, jadi seakan di sini mengatakan ‘kamu sendiri melanggar Taurat pada hari Sabat; kamu begitu kaku, legalistik, tapi sendirinya melakukan sunat pada hari Sabat’.
Memang Yesus tidak secara persis mengatakan kalimat tersebut, tapi ada tafsiran dari perkataan para rabi tentang Sabat yang mungkin bisa memberikan pencerahan kepada kita. Misalnya, Rabi Jose pernah mengatakan: “See how beloved in the sight of God is the command of circumcision, for it supersedes The Sabbath” (lihatlah betapa indahnya perintah sunat itu, itu bahkan melampaui Sabat). Jadi di sini dibenarkan bahwa orang melakukan sunat pada hari Sabat, karena sunat lebih tinggi, lebih penting, daripada Sabat. Menjaga Sabat itu penting, tapi menjaga sunat lebih penting lagi. Maka melakukan sunat pada hari Sabat itu sangat didukung rabbinic literature.
Kemudian argumentasi Yesus di ayat 23 “Jikalau seorang menerima sunat pada hari Sabat, supaya jangan melanggar hukum Musa, mengapa kamu marah kepada-Ku, karena Aku menyembuhkan seluruh tubuh seorang manusia pada hari Sabat” –kamu bilang menyunat pada hari Sabat itu boleh karena sunat itu penting melampaui Sabat; sunat cuma urusan satu anggota kecil di dalam tubuh manusia, sedangkan Saya menyembuhkan seluruh tubuh lalu kamu marah katanya melanggar Sabat, apakah itu tidak lebih melampaui lagi daripada Sabat? Jadi di sini mereka tidak konsisten –kamu melanggar Sabat oke, Saya melanggar Sabat tidak boleh—begitu kira-kira argumentasinya. Kita musti hati-hati, kalau kita menerapkan prinsip yang kita sendiri tidak bisa jaga lalu menganggap diri kita tidak bersalah, sementara orang lain kena prinsip yang sama dan dia bersalah. Itu munafik luar biasa. Perhatikan supaya kita tidak jatuh di dalam prinsip-prinsip yang sifatnya asimetri seperti ini. Kita bukan tidak ada kelemahan; kita bisa menuntut Gereja lain soal prinsip-prinsip ini dan itu, tapi kita sendiri bukan tidak di bawah prinsip itu. Jangan kalau tentang Gereja lain kita mengatakan itu berarti mereka begini begitu; tapi kalau tentang Gereja sendiri, kita bilang kita tidak begitu. Itu cara pikir asimetri, dan hati-hati karena itu dosa kemunafikan, sebagaimana yang kita baca dalam Alkitab.
Waktu Yesus mengajarkan bagian ini, Dia mau menyadarkan orang Yahudi, bahwa sunat itu penggenapannya ada di dalam Dia, karena sunat sebenarnya suatu tanda perjanjian (covenantal mark) seseorang masuk ke dalam umat perjanjian, dan yang datang ini –Yesus—adalah penggenapannya. Yesus yang dilambangkan oleh sunat itu sendiri, sekarang menyembuhkan seluruh tubuh, bukan cuma satu bagian tubuh; dan kemudian Dia dituduh sebagai orang yang melanggar Sabat.
Di dalam Reformed sendiri paling sedikit ada 2 school of thought soal Sabbath observance. Ada orang-orang yang menjaga Sabbath observance sampai tidak mau naik kendaraan umum, dsb. Kita respek dengan orang-orang seperti itu; sedangkan di kelompok yang lain, Sabat jadi lebih liberal. Tapi tidak peduli Saudara berada di dalam school of thought yang ini atau yang itu, kalau secara historis, Sabbath observance yang ketat adalah sebagaimana yang ditekankan Westmister Confession of Faith (Westminster Catechism). Sementara Reformed Catechism yang lain, penekanannya adalah Sabat di dalam pengertian bukan observance ‘hari’-nya, tapi bahwa Sabat itu kemudian digenapi di dalam diri Kristus. Ini yang mau saya sharing-kan. Baik Saudara naik pesawat atau tidak naik pesawat pada hari Minggu, dan apapun alasan Saudara, jangan lupa bahwa waktu kita merayakan Sabat, jangan lupa Sabat itu digantikan dengan Kristus. Jadi kita musti tetap restful di dalam Sabat; dan harus lebih restful daripada waktu orang Israel merayakan Sabat sebelum Yesus datang.
Saya ambil perbandingan yang mungkin bisa menolong kita mengerti secara lebih sederhana. Contohnya, orang mengatakan ‘perpuluhan itu hukum Perjanjian Lama, dan setelah Yesus datang sudah tidak ada lagi hukum perpuluhan’. Secara teologis ada benarnya. Tapi begini, kalau Yesus yang datang itu menggantikan perpuluhan –yang adalah bayang-bayang dalam Perjanjian Lama– maka semestinya kita lebih daripada orang yang memberi perpuluhan di dalam Perjanjian Lama. Waktu Yesus belum datang saja, mereka memberi sepersepuluh, lalu sekarang setelah Yesus datang kita bilang ‘itu tidak berlaku lagi jadi saya kasih seperseratus’, itu berarti kita lebih tidak mengerti cinta Tuhan daripada orang-orang di Perjanjian Lama. Memang tidak harus sepersepuluh; Saudara mau kasih seperlima, setengah, atau 90 % pun silakan, karena tidak ada ikatan harus sepersepuluh. Tapi kalau tidak harus sepersepuluh lalu kasih sepertiga puluh, ada sesuatu yang salah dengan pengertian Saudara tentang Perjanjian Baru ini. Yesus menggantikan, itu berarti Dia melampaui; bukan berarti kita jadi lebih liberal –karena Yesus sudah datang jadi tidak ada hukum ini, hukum itu, lebih tidak usah perpuluhan, lebih tidak usah merayakan Sabat, terserah saya hari Minggu mau ngapain, dsb. karena Yesus sudah datang. Itu liberal.
Kalau Yesus datang, kita harusnya lebih serius mengerjakan itu. Mereka yang waktu itu Yesus belum datang saja, mengerjakan dengan serius hari Sabat, apalagi setelah Yesus datang. Yesuslah penggenapan Sabat itu. Kita musti belajar artinya resting in Christ, yaitu hidup di dalam Kristus, seperti semua poin yang kita belajar tadi. Dan waktu hari Minggu, betulkah kita –yang katakanlah bukan ikut aliran yang kaku dalam merayakan Sabat– bisa mengatakan: “Saya tidak observe Sabat, saya observe Kristus”? Kalau Saudara tidak observe Kristus, dan juga tidak observe Sabat, berarti Saudara liberal, sekuler; dan itu tidak ada kaitannya dengan Reformed aliran manapun.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading