Ini adalah pasal terakhir dalam pembahasan Seri Kitab Mazmur, buku I, pasal 1-41 (seluruhnya ada 5 jilid dalam kitab Mazmur; dan ini jilid yang pertama).
Kita membaca ada banyak elemen di dalam Mazmur 41 ini, misalnya ada makarisme (makarismus) yaitu kalimat “berbahagialah” di ayat 1, lalu ada lamentasi, tapi juga ada nyanyian ucapan syukur, dan yang terakhir ada doksologi, bahkan ditutup dengan “amin, ya amin”. Dengan demikian bisa ada beberapa macam penafsiran dalam meng-kategorikan Mazmur 41 ini. Biasanya, suatu mazmur masuk dalam kategori ‘mazmur ratapan’ atau ‘mazmur ucapan syukur’; lalu ketika kedua elemen ini muncul, kita jadi berpikir apakah ini termasuk dalam kategori mazmur ratapan ataukah mazmur ucapan syukur. Dalam hal ini ada 2 macam pendekatan; alternatif pertama, kita melihatnya sebagai mazmur ratapan, lalu kalimat-kalimat syukurnya ditaruh sebagai suatu ikrar atau janji untuk bersyukur kalau Tuhan menyelamatkan; atau alternatif kedua, kita melihatnya sebagai mazmur ucapan syukur, lalu kalimat-kalimat ratapannya dimengerti sebagai ingatan ke belakang akan keadaan yang sudah lewat ketika dia masih meratap (ingatan retrospektif).
Mungkin kita tidak harus memilih salah satu di antara dua alternatif ini; kita bisa melihatnya seperti ini: bahwa di dalam ratapan, itu disertai dengan janji untuk bersyukur (untuk membedakannya dari sekedar keluh kesah yang tidak ada pengharapannya, yang mengasihani diri). Di sisi lain, nyanyian ucapan syukur itu bukan berarti pura-pura lupa akan kepahitan, sakit penyakit, serta kekecewaan yang terjadi di belakang, lalu sama sekali tidak mau ingat dan membicarakan lagi karena bikin perasaannya jadi panas lagi, terluka lagi; bukan seperti itu, tapi sebaliknya tetap bisa membicarakannnya secara restrospektif. Orang seringkali bilang “hidup itu musti move-on”, tapi kita yang orang Kristen, jangan-jangan bahkan lebih tidak bisa move-on, karena hidup kita digerakkan oleh kepahitan yang kita tidak bisa keluar dari sana. Di dalam kehidupan kita, tidak mungkin tidak ada ratapan; tapi keindahan dari Mazmur ini justru karena ratapan bukanlah tanpa ucapan syukur, dan ucapan syukur bukanlah tanpa ratapan.
Profesor saya ketika saya kuliah di Heidelberg, Manfred Oeming, menulis tafsiran atas Mazmur 41 ini; dia mengatakan bahwa elemen yang lebih mendominasi dalam Mazmur 41 sebetulnya adalah pengajaran. Jangan lupa, kitab Mazmur itu ditulis mengikuti struktur Taurat, yaitu ada 5 buku, seperti Pentateukh yang juga terdiri dari 5 buku. Mazmur 1 merupakan semacam prolegomena-nya, maksudnya pasal yang programatis, yang membantu orang untuk mengerti pembacaan keseluruhan Mazmur itu sebagai apa. Mazmur 1 adalah mazmur Taurat; ini menunjukkan bahwa keseluruhan mazmur (dalam koleksi kanonisasi terakhir) hendaknya dibaca sebagai taurat, alias ‘instruksi’. Memang agak sulit mengatakan Mazmur 41 ini termasuk kategori mazmur Taurat –agak memaksa kalau kita mengatakan seperti itu– tapi setidaknya, dilihat dari elemen pengajaran, terutama dari teologi bijaksana (wisdom theology), memang mazmur ini juga ada kaitannya dengan teologi Taurat. Jadi, bentuk terakhir ini ditulis oleh pemazmur untuk menjadi pengajaran bagi orang-orang yang menyanyikannya/ membacanya.
Saudara membaca ayat 1-3 (2-4) Mazmur 41 ini dimulai dengan ucapan bahagia, yang merupakan satu kelompok. Di sini bentuknya indikatif (menunjuk/menggambarkan keadaan tertentu); yaitu di ayat 1 “Berbahagialah orang yang memperhatikan orang lemah!” Tapi sama seperti Sabda Bahagia yang juga indikatif, di dalam indikatif itu ada imperatif-nya. Maksudnya, waktu dikatakan “berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah”, ini adalah indikatif, tapi di situ secara tidak langsung ada imperatif-nya, yaitu “sucikanlah dirimu”. Demikian juga waktu kita membaca ayat tadi, “berbahagialah orang yang memperhatikan orang lemah”, artinya ada orang yang disebut berbahagia, yaitu orang yang memperhatikan orang yang lemah; dan secara tidak langsung ini adalah ajakan kepada kita untuk menjadi orang-orang yang memperhatikan orang yang lemah.
Khususnya di dalam wisdom theology, hal ini diulang-ulang; Saudara dapat temukan banyak sekali ayat seperti ini di dalam Amsal, yaitu mengenai orang-orang yang punya kesabaran atau perhatian terhadap orang-orang yang lemah. Misalnya Amsal 14:31, “Siapa menindas orang yang lemah, menghina Penciptanya, tetapi siapa menaruh belas kasihan kepada orang miskin, memuliakan Dia”; Amsal 19:17, “Siapa menaruh belas kasihan kepada orang yang lemah, memiutangi TUHAN, yang akan membalas perbuatannya itu.” Dan masih banyak ayat-ayat lain di dalam Amsal yang mengajarkan pentingnya belas kasihan, khususnya kepada orang-orang yang lemah. Ini kontras dengan pengajaran yang ada di dalam dunia. Di dunia ini orang berlomba-lomba cari koneksi dengan orang yang kuat; bukan memperhatikan orang yang lemah, sebaliknya memperhatikan orang yang kuat. Orang yang kuat dikelilingi, sedangkan orang yang lemah dikorbankan begitu saja, karena mereka itu dianggap bisa dibuang kapan pun. Di dalam hal ini, Gereja ditantang oleh Firman Tuhan untuk jadi komunitas yang seperti apa, Gereja yang memperhatikan orang lemah atau memperhatikan orang yang kuat.
Saudara perhatikan, ayat ini menempatkan kita sebagai orang yang memperhatikan, dan bukan orang yang diperhatikan sebagai yang lemah. Kadang-kadang orang membaca Alkitab bisa dengan resepsi yang salah. Dulu waktu saya masih kuliah, ada seorang teman mendatangi saya, mengatakan ayat Firman Tuhan bahwa kita ini musti mencintai sesama seperti diri sendiri. Setelah itu dia mengatakan “akulah sesamamu, sekarang saya mau pinjam uang”. Jadi waktu dia mendengar Firman Tuhan, waktu dia mebicarakan ayat Firman Tuhan, “kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri”, dia lalu menempatkan dirinya sebagai sesama yang musti dikasihi itu, bukan sebagai orang yang harusnya mengasihi sesama. Kita juga bisa jadi membaca ayat 1 (2) tadi “berbahagialah orang yang memperhatikan orang lemah” secara demikian; bahwa saya-lah orang lemah itu, ayo perhatikan saya, karena saya-lah yang lemah itu. Kalau kita perhatikan kehidupan Yesus Kristus, Dia bukan seperti itu. Yesus Kristus waktu di dalam keadaan yang bisa dikatakan paling lemah dan perempuan-perempuan menangisi Dia, Dia tidak menerima simpati tersebut, bukan karena Dia sangat sombong tidak mau menerima cinta kasih, melainkan karena Dia datang ke dalam dunia untuk melayani dan bukan untuk dilayani. Bagaimana dengan Gereja kita? Ada Gereja yang berbahagia karena suka memperhatikan yang lemah; tapi ada gereja yang jemaatnya suka menyebut dirinya lemah dan selalu mengharapkan pertolongan dari yang lain, lalu kalau tidak mendapatkan sokongan dari gereja induk jadi merasa tidak dikasihi, tidak diperhatikan –ini Gereja cengeng.
Saudara akan membaca poin yang sama waktu di dalam Sabda Bahagia bicara “berbahagialah orang yang murah hatinya karena mereka akan beroleh kemurahan”, bahwa berbahagialah mereka yang merciful, yang berbelaskasihan. Matius 5:7 ini bukan tanpa Mazmur 41. Dan Saudara melihat di sini, pemenuhannya ada di dalam Pribadi Yesus Kristus yang penuh dengan belas kasihan itu.
Berikutnya, ayat 4-9 (5-10) adalah bagian yang bicara tentang lamentasi/ ratapan [di sini LAI memenggal di ayat 9 (10), tapi ada juga yang memenggalnya di ayat 10 (11)]. Ada beberapa ayat yang bisa kita soroti di sini.
Memang di dalam teologi Reformed kita berhati-hati, untuk tidak mengatakan bahwa setiap penyakit pasti karena dosa; yang seperti itu memang bukan teologinya kita. Tapi, Saudara perhatikan baik-baik, ini bukan berarti kita lalu dengan percaya diri mengatakan bahwa setiap penyakit tidak mungkin ada kaitannya sama sekali dengan dosa. Tidak sedikit ayat-ayat di dalam Firman Tuhan yang mengaitkan penyakit dengan dosa, salah satunya ayat 4 (5) ini: “TUHAN, kasihanilah aku, sembuhkanlah aku, sebab terhadap Engkaulah aku berdosa!” Jadi di sini pemazmur ber-refleksi, sakit-penyakitnya menjadi satu kesempatan untuk dia introspeksi dan mengaku dosanya di hadapan Tuhan. Sekali lagi, memang tidak semua penderitaan atau sakit-penyakit adalah akibat dosa kita, tapi ada baiknya memeriksa isi hati kita ketika kita berada di dalam penderitaan, sakit-penyakit, dsb., karena kita mau hati nurani kita dibersihkan oleh Tuhan, karena kita mengharapkan agar Tuhan berbelaskasihan kepada kita.
Tampaknya, di bagian ini dikontraskan antara Tuhan yang berbelaskasihan, dengan musuh yang tidak ada belas kasihan. Di ayat 4 (5) bicara tentang Tuhan, lalu mulai ayat 5 (6) berbicara tentang musuh, dan diakhiri dengan ayat 9 (10), yang mengatakan “Bahkan sahabat karibku yang kupercayai, yang makan rotiku, telah mengangkat tumitnya terhadap aku”. Jadi, dari musuh sampai sahabat, semuanya tidak bisa dipercaya, semuanya tidak ada belas kasihan.
Apa sih yang sangat berat di dalam sakit penyakit? Tentu saja rasa sakit itu berat; tapi yang mungkin sangat berat di dalam sakit-penyakit/ penderitaan adalah bahwa orang tidak bisa mengerti kita. Semua relasi seperti tidak ada yang jalan di sini, ‘saya seperti tersendiri, sendirian, dan tidak ada orang yang bisa mengerti saya’, orang terlihat seperti musuh. Bahkan dikatakan di sini, sahabat karib pun mengangkat tumitnya, mengkhianati, menyangkali, dst. Ini satu keadaan yang sangat masuk akal kalau orang itu kemudian menjadi pahit, jadi tak berpengharapan, dingin, tidak percaya lagi dan penuh kecurigaan. Dalam hal ini, yang menarik dari kitab Mazmur adalah betapa semua seluk-beluk kehidupan manusia itu di-embrace oleh Mazmur. Kita pernah membahas Mazmur 39 yang amat sangat gelap, sampai kita tidak habis pikir bagaimana Mazmur yang tidak ada pengharapannya sama sekali seperti ini masuk kanonisasi juga. Mengapa demikian? Karena Kekristenan adalah agama realistis, bukan agama idealistis; salah mengerti kalau mengira Kekristenan ini agama idealistis. Kekristenan bukan terdiri dari orang-orang yang kuat, yang beriman, yang setia, yang suci, yang rajin penginjilan, yang Reformed, dsb. –itu bukan Kekristenan.
Dalam Kebaktian Jumat Agung, Vikaris Ruben membahas tentang perkataan “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku” yang keluar dari mulut Kristus. Ekspresi lamentasi pun keluar dari mulut Kristus; Saudara tidak mendapati gambaran American heroism yang kuat, yang dalam keadaan apa pun nyanyi ucapan syukur, Haleluya, Puji Tuhan, dsb. Yesus di atas kayu salib meneriakkan “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku”. Bukan tidak terluka, di sana. Bukan tidak kecewa, di sana. Sebetulnya, kalau mau ada alasan kepahitan, itu amat sangat cocok; apalagi ayat dalam Mazmur ini, “bahkan sahabat karibku yang kupercayai, yang makan rotiku, telah mengangkat tumitnya terhadap aku”, adalah nubuatan tentang Yudas. Betapa mengecewakan tidak adanya pengharapan seperti ini.
Baru ketika kita masuk bagian yang terakhir, ayat 10-12 (11-13), ada pengharapan relasi dengan Tuhan, kalau pun semua manusia di dalam dunia ini tidak bisa mengerti saya, masih ada Tuhan yang bisa berbelaskasihan. Jika kita melihat di dalam dunia ini bahkan sahabat karib pun mengkhianati, sudah tidak ada pengharapan, betapa dunia ini kejam dan tidak ada belas kasihan sama sekali, masih ada Tuhan yang berbelaskasihan kepada Saudara dan saya. Itu sebabnya pemazmur berdoa, “Tetapi Engkau, ya TUHAN, kasihanilah aku dan tegakkanlah aku”.
Kemudian di ayat 12 (13), “Tetapi aku, Engkau menopang aku karena ketulusanku, Engkau membuat aku tegak di hadapan-Mu (di hadapan wajah Allah) untuk selama-lamanya.” Ayat ini menarik, karena yang biasanya melihat Allah dengan tegak seperti ini adalah para imam. Oeming mengatakan, ayat ini bicara tentang demokratisasi dari hak istimewa (privilege) para imam; maksudnya yang tadinya eksklusif hanya bagi para imam, sekarang di-demokratisasi, sekarang semua orang Israel adalah para imam. Ini berarti bicara tentang common priesthood of people of God.
Menarik bahwa ini dikaitkan dengan ‘jabatan imam’ (priestly office), karena yang disebut ‘imam’ itu punya fungsi untuk memperantarai. Di bagian tengah tadi kita baca tentang penderitaan yang tidak sedikit, yang sangat tak berpengharapan dan tidak ada jalan keluar, yang bahkan sahabat karib pun memperlakukan dia seperti itu; tapi kemudian diakhiri dengan kalimat pengharapan di ayat 12 (13), ‘Tuhan membuat aku tegak di hadapan-Mu’ –menjadikan aku seperti imam. Orang yang sudah ditegakkan oleh Tuhan, dia berfungsi sebagai imam. Ini seperti Paulus yang mengatakan, ‘menghibur orang dengan penghiburan yang kami terima dari Tuhan’. Saudara bukan ditolong Tuhan dan dihibur Tuhan untuk kemudian sentimental sendiri, terharu sendiri, menikmati sendiri; itu bukan imam namanya. Orang yang ditegakkan untuk bisa melihat wajah Allah –kembali lagi ke ayat 1– dialah orang yang memperhatikan orang yang lemah itu.
Siapa sih yang memperhatikan orang yang lemah? Kalau dunia, mereka mengatakan, “Ya, harus orang yang kuat dong”. Tapi Alkitab tidak mengajarkan demikian; yang memperhatikan orang yang lemah adalah orang lemah yang lain, yang sudah ditegakkan oleh Tuhan. Kita memperhatikan orang yang lemah bukan karena kita kuat, bukan karena kita merasa diri kuat atau qualified. Ada banyak konseling yang gagal karena konselingnya condescending, melihat orang yang dikonseling sebagai orang yang lemah, lalu si konselor sendiri adalah yang kuat; jadi di sini yang kuat sedang menolong yang lemah, yang beriman kuat sedang menolong yang imannya tipis, ragu-ragu, pesimis, tidak seperti si konselor yang imannya kuat, dsb. Dalam hal ini, Mazmur 41 adalah satu mazmur yang sangat indah, karena waktu kita diberi kesempatan untuk melihat wajah Tuhan, itu adalah supaya kita dihadapkan kembali untuk melihat manusia, sesama kita.
Satu hal yang menarik, mungkin sedikit side remarks yang bagi kita jarang sekali dibahas, dan bagi saya sendiri pun ini sesuatu yang baru, yaitu satu gambaran mengenai semacam patung kecil (figurine) yang ditaruh di tempat orang beribadah untuk mewakili kita; figurine ini senantiasa berada di tempat ibadah tersebut, dan senantiasa melihat wajah Allah. Ide seperti ini asing sekali untuk kita, orang Protestan; tapi kebiasaan ini ada di dalam kepercayaan orang-orang Mesir, dan juga orang Israel di Perjanjian Lama. Di dalam pemahaman yang sangat terbatas dari pemazmur dalam Mazmur 41 ini, waktu dikatakan “Engkau membuat aku tegak di hadapan-Muuntuk selama-lamanya”, dia kemudian menaruh figurine dirinya –seperti misalnya patung kecil Billy Kristanto ditaruh di gereja, di hadapkan ke salib– artinya melihat Tuhan selama-lamanya karena selalu berada di bait suci. Tentu saja message-nya bukan mengajak Saudara mulai minggu depan bikin figurine yang mirip muka Saudara masing-masing, lalu taruh di gereja menghadap ke salib supaya bisa memahami Mazmur 41. Tapi kalau bukan itu, apa yang bisa kita pelajari dari pengertian ini? Yaitu bahwa hidup ini membutuhkan mediator; perlu ada mediasi. Kita ini tidak bisa selalu melihat wajah Tuhan di dalam kehidupan kita, kita ini tidak sempurna, tapi ada Kristus yang menggantikan kita, yang tidak pernah gagal melihat wajah Bapa di surga. Ini bukan bicara tentang figurine yang mewakili Saudara; yang mewakili kita sebetulnya adalah Kristus.
Dan, waktu Saudara dikuatkan, jangan lupa Saudara menjadi seperti figurine itu bagi orang lain. Orang lain tidak selalu bisa berdoa kepada Tuhan, tidak selalu bisa tegak untuk melihat wajah Tuhan, maka Saudara yang mewakili dia untuk melihat wajah Tuhan; Saudara jadi figurine itu.
Terakhir, Mazmur 41 ini diakhiri dengan doksologi; “Terpujilah TUHAN, Allah Israel, dari selama-lamanya sampai selama-lamanya!” Tuhan itu adalah Allah yang dari selama-lamanya sampai selama-lamanya; karena itu, Dia bisa menegakkan kita untuk menghadap wajah-Nya selama-lamanya, bukan untuk sementara waktu. Di dalam kalimat ini juga ada pengharapan eskatologis, juga ada visi surgawi.
Menurut Oeming, Mazmur 41 ini resepsinya sangat kuat di dalam periode pasca-pembuangan (post-exilic period), khususnya kata “amin”. Untuk kita mungkin agak take it for granted, kita sering sekali bilang ‘amin’, di semua liturgi ada ‘amin’-nya; tapi istilah “amin” ini masuk ke dalam elemen liturgi dan menjadi establish, barulah pada post-exilic era. Maksudnya, waktu orang Israel dikembalikan dari pembuangan, mereka bisa beribadah lagi, mereka bisa meng-amin-kan bahwa Allah Israel itu dari selama-lamanya sampai selama-lamanya. Periode pembuangan adalah suatu perkecualian dalam kehidupan umat Israel; dan Tuhan memanggil kembali umat-Nya untuk pulang, adalah untuk kembali bisa beribadah, untuk melihat wajah Allah.
Di sini “amin” diulang sampai dua kali, “amin, ya amin”, menyatakan keyakinan iman yang begitu kuat, sekaligus menutup koleksi pertama, Jilid I, kitab Mazmur ini. Jadi, yang di-amin-kan di sini bukan cuma doksologi di ayat 13 (14) ini; yang di-amin-kan adalah pasal 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, … sampai pasal 41 yang terakhir ini, keseluruhannya “amin”, yaitu benar adanya, sungguh-sungguh demikianlah adanya. Lalu apanya yang benar? Yang benar bukan cuma Mazmur 23 yang indah itu, bukan cuma Mazmur 8 yang sangat menarik strukturnya, tapi juga mazmur-mazmur yang sangat gelap. Kehidupan manusia yang tidak ada pengharapan, yang begitu gelap sampai tidak ada kalimat pengharapannya sama sekali, itu juga “amin, ya amin”. Kalau demikian, apakah maksudnya membenarkan kegelapan kehidupan seseorang, ketidakadaan pengharapan seseorang, patah arangnya seseorang? Tentu bukan itu maksudnya, karena di mana pun keadaan Saudara dan saya, di mana pun kita berada, entah di dalam terang atau di dalam gelap, entah Mazmur 22 yang gelap itu atau Mazmur 23, Tuhan Allah Israel adalah dari selama-lamanya sampai selama-lamanya.
Kiranya Tuhan menguatkan kita; dan ketika kita sudah dikuatkan oleh Tuhan, perhatikanlah orang-orang yang lemah.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading