Kalau kita membaca Mazmur 34 dalam bahasa aslinya, penulisan mazmur ini menggunakan akrostichon, artinya setiap baris/kalimat dimulai dengan huruf yang berurutan di dalam bahasa Ibrani; pengaturan yang demikian biasanya dipakai untuk kepentingan pengajaran, memudahkan untuk bisa dihafalkan. Jadi melalui akrostichon ini, orang bisa melihat mazmur tersebut sebagai suatu bentuk pengajaran yang bisa diteruskan dari zaman ke zaman.
Meskipun demikian, kalau kita melihat strukturnya, secara kasar Mazmur ini bisa dibagi dua bagian; bagian pertama, ayat 1-11 adalah nyanyian ucapan syukur; mulai ayat 12 baru bicara tentang pengajaran kebijaksanaan. Dari sini saja kita bisa melihat –karena struktur bukan sekedar struktur tapi juga menyampaikan suatu message— bahwa pengajaran bijaksana atau pengajaran hikmat tidak bisa dipisahkan dari ucapan syukur. Itu sebabnya dalam struktur Mazmur 34 ini, ucapan syukur mendahului pengajaran hikmat/pengajaran bijaksana. Hidup dalam hikmat Ilahi memang tidak bisa dipisahkan dari satu kehidupan yang bersyukur, beribadah, menyembah Tuhan. Kita tahu juga, kalau ada nyanyian pujian atau nyanyian ucapan syukur seperti ini, kita mengakui bahwa hikmat ini datang dari atas, bukan dari diri kita sendiri.
Di dalam bagian pertama, ada keterangan ‘Dari Daud, pada waktu ia pura-pura tidak waras pikirannya di depan Abimelekh, sehingga ia diusir, lalu pergi’. Kalimat ini memberikan suatu keterangan, supaya ketika membaca Mazmur 34 ini kita bisa menafsirnya dalam konteks yang disajikan pemazmur dalam ayat pertama tersebut. Dengan demikian, nyanyian pujian atau pengajaran hikmat ini bukan hadir tanpa konteks, melainkan berkaitan dengan konteks tertentu yang menolong kita untuk lebih bisa memahaminya. Memang di dalam riset yang lebih belakangan tentang Perjanjian Lama, kita mengetahui bahwa pronomen “le David” itu tidak harus diartikan secara ketat, bahwa itu betul-betul dari Daud atau penulisnya adalah Daud. Istilah “le David” bisa juga ditafsir di dalam pengertian in remembrance of David, atau in reverenge of David, atau in the style of David, dsb. Baik bagian ini betul-betul dari Daud atau pun bukan dari Daud, yang pasti ayat 1 ini memberi kepada kita suatu horison penafsiran, bahwa menurut penulis Mazmur 34, kita diminta membaca mazmur ini dalam konteks tersebut.
Seperti Saudara tahu, cerita yang disebut di ayat 1 ini ada di dalam 1 Samuel 21. Menarik kalau kita membaca 1 Samuel 21 itu, di situ Daud selamat, bukan selamat dari penyakit, tapi justru selamat melalui penyakit. Kita jarang sekali membahas di dalam pengertian seperti ini. Kita seringkali bicara tentang orang selamat dari penyakit –termasuk juga di dalam kitab Mazmur—tetapi dalam 1 Samuel 21, Daud justru selamat karena orang menganggap dia sakit mental, gila. Kita sulit mengerti bijaksana atau hikmat Tuhan yang seringkali di atas kita. Secara hikmat kita yang dari bawah, kita selalu rindu kalau bisa ya, saya diselamatkan dari sakit penyakit, dari kecelakaan, dari mara bahaya dsb., tetapi ada saatnya Tuhan menyelamatkan kita bukan dari penyakit, melainkan justru melalui penyakit. Istilah ‘melalui’ ini penting, di dalam pengertian bahwa penyakit ini adalah instrumen yang dipakai Tuhan, ini adalah sarana. Tentu saja penyakit sudah pasti bukan tujuan akhirnya, tidak ada orang yang menjadikan penyakit sebagai gol kehidupan. Tetapi kalau kita melihat di dalam kehidupan, Tuhan bisa menggunakan penyakit untuk membawa kita lebih dekat kepada Tuhan. Dalam hal ini, justru melalui penyakit, kita jadi lebih bergantung kepada Tuhan, kita lebih dekat kepadaTuhan. Di dalam pelayanan, kita ada banyak sekali kesempatan untuk melayani orang justru waktu dia di dalam keadaan sakit, lalu orang itu yang tadinya menolak Tuhan, sekarang mau menerima Tuhan. Mungkin saja orang-orang seperti itu seandainya tidak sakit, mereka akan tetap sombong, akan tetap menolak Tuhan. Tetapi Tuhan ada bijaksananya sendiri, ada hikmatnya sendiri, yang seringkali melampaui kemampuan akal budi kita.
Kita membaca di dalam Mazmur 34 ini, sebagaimana kita memberikan judul kotbah ini dari salah satu ayat yaitu ayat 8, “Kecaplah dan lihatlah, betapa baiknya TUHAN itu”. Tadi kita mengatakan Tuhan bisa menyelamatkan seseorang melalui penyakit, tentu saja yang dinikmati pasti bukan penyakit itu sendiri karena penyakit ini adalah sarananya. Yang dinikmati adalah Tuhan sendiri, Tuhan dan kebaikan-Nya. Yang dikecap dan dilihat adalah kebaikan Tuhan.
Waktu pemazmur menggunakan kata-kata ‘kecaplah’ dan ‘lihatlah’, ini menarik, karena mengecap itu dengan lidah dan melihat itu dengan mata. Di dalam pemahaman Ibrani, pemahaman orang-orang Israel itu berbeda dengan pemahaman dari filsafat Yunani, yang bukan dari firman Tuhan. Orang Yunani cenderung untuk melihat pengalaman indrawi (sensory perception), seperti pengecapan (lidah) dan penglihatan (mata) sebagai sesuatu yang lebih rendah. Orang yang banyak dikendalikan oleh panca indra, dianggap orang yang agak rendah; sementara orang yang tinggi adalah seperti para filsuf yang terlibat di dalam perenungan rasio, bukan tertarik dengan hal-hal yang kelihatan yang disaksikan panca indra, melainkan lebih ke bagaimana berkontemplasi pada hal-hal yang dipikirkan. Ini sangat bisa dimengerti karena filsafat Yunani menggambarkan bahwa materi atau dunia yang kelihatan pada dasarnya adalah jahat. Tapi tidak demikian dengan kepercayaan umat Israel. Kalau kita melihat Mazmur 34 ini secara setting in life, dengan adanya kalimat ‘kecaplah dan lihatlah’ ini kita bisa merekonstruksi ayat 8, bahwa di sini berkaitan dengan makanan yang dihidangkan pada pesta atau perayaan ucapan syukur itu. Jadi, waktu orang Israel ada pengalaman diselamatkan lalu mereka mengadakan pesta/perayaan sebagai ucapan syukur kepada Tuhan, di situ tentu dihidangkan makanan; dan itu sebabnya ada istilah ‘kecaplah’ ini. Ini bicara tentang perjamuan sukacita, di mana di situ ada orang-orang yang diundang, dan mereka sama-sama mengecap makanan tersebut. Tapi perhatikan yang dikatakan di ayat 8 ini, “kecaplah dan lihatlah”, lalu selanjutnya bukan ‘makanan’, melainkan “betapa baiknya Tuhan itu”.
Saudara perhatikan, hal yang pertama, yaitu bukan tanpa pengecapan, dan bukan tanpa pengihatan. Hidup ini memang melibatkan panca indra, termasuk juga sensory perception tadi. Tapi di sisi lain, orang Israel (pemazmur) bukanlah orang-orang naturalis atau materialis, mereka mengaitkan makanan yang nikmat, yang dikecap itu, dengan pengecapan kebaikan Tuhan. Jadi waktu kita menikmati makanan dalam kehidupan kita sehari-hari, betul kita menikmatinya, kita mengecapnya, tapi kita bukan hanya punya dimensi fisik/jasmani, kita juga ada dimensi rohani; dan dalam dimensi rohani, orang-orang yang dilahirkan kembali, yang melihat kerajaan Allah, mereka ini mengecap/menikmati bukan hanya makanan tapi mengecap dan melihat betapa baiknya Tuhan itu. Kita percaya, kalau orang bisa mengintegrasikan kedua hal ini, dia akan dibebaskan dari keserakahan yang eksesif dan tidak ada batas terhadap hal-hal yang kelihatan. Dunia material/dunia natural, dunia yang kelihatan ini tidak bisa memuaskan kita sepenuhnya. Orang yang mengecap makanan, dia bisa menikmatinya pada saat itu, tapi setelah beberapa saat lamanya, dia akan jadi lapar kembali, bukan? Itu sebabnya menyedihkan sekali kehidupan orang yang hanya mengandalkan pada hal-hal yang kelihatan, hal-hal yang natural, hal-hal yang jasmani ini.
Saudara melihat di sini, bagaimana pemazmur mengaitkan pengecapan atas hidangan dalam perjamuan sukacita itu, dengan mengecap dalam pengertian spiritual akan betapa baiknya Tuhan itu. Bukan kebetulan kalau kalimat ini akhirnya berhasil mendapatkan tempat di dalam sejarah Kekristenan, masuk ke dalam liturgi Perjamuan Kudus. Waktu Perjamuan Kudus, Pendeta/ Hamba Tuhan yang memimpin bisa mengatakan kalimat undangan “kecaplah dan lihatlah betapa baiknya Tuhan itu”. Ini sangat indah dimengerti secara sakramen, karena bukankah dalam Perjamuan Kudus itu kita betul-betul mengecap roti dan anggur itu secara fisik, tetapi dalam dimensi rohani yang kita kecap sebetulnya adalah tubuh dan darah Kristus. Kita bukan hanya mengecap roti dan anggur secara jasmani, tapi kita juga mengecap kebaikan Tuhan, betapa baiknya Tuhan itu. Kita membaca dalam 1 Petrus 2: 2-3, dikatakan: “Dan jadilah sama seperti bayi yang baru lahir, yang selalu ingin akan air susu yang murni dan yang rohani, supaya olehnya kamu bertumbuh dan beroleh keselamatan, jika kamu benar-benar telah mengecap kebaikan Tuhan.” Petrus menggunakan perkataan ‘air susu’, tapi di sini pun dimengerti dalam pengertian air susu rohani; oleh karena itu waktu bicara pengecapan, yang dikecap ini juga sesuatu yang rohani, yaitu kebaikan Tuhan.
Di dalam kehidupan ini Tuhan menyediakan kita berbagai macam kenikmatan. Di sini tentunya kita bukan bicara tentang kenikmatan yang berdosa, lagipula hal yang berdosa itu sebetulnya bukanlah kenikmatan; yang kita katakan di sini adalah kenikmatan yang adalah anugerah Tuhan, termasuk juga hal-hal yang bersifat fisik/jasmaniah. Kita tidak menghina itu, kita tidak membuangnya, kita bersyukur dan menerima itu, bahkan kita boleh menikmatinya. Tapi Saudara perhatikan, waktu menikmati hal-hal itu, jangan kita tidak menikmati Tuhan dan kebaikan-Nya. Waktu Saudara menikmati betapa nikmatnya hidangan makanan, jangan lupa menikmati pemeliharaan Tuhan dalam kehidupan Saudara, kesetiaan Tuhan dalam kehidupan Saudara, penopangan-Nya dalam kehidupan Saudara.
Demikian waktu kita membaca bagian ini, di sini ada shift dari perjamuan ucapan syukur menjadi suatu ingatan (commemoration), sesuatu yang mengajak kita untuk mengingat ke belakang maksudnya di dalam konteks Perjamuan Kudus. Saya membaca tafsiran dari mantan profesor Perjanjian Lama yang pernah mengajar saya, Manfred Oeming, dia mengatakan dalam bahasa Jerman pakai istilah yang bagus, “dari Dankmahl jadi Denkmal”, artinya “dari perjamuan syukur, jadi peringatan”. Jadi, ucapan syukur ini bukan sekedar suatu pesta yang kemudian selesai begitu saja dan berlalu, tapi memberikan suatu ingatan yang kudus. Itu sebabnya Mazmur 34 ini bukan cuma bicara tentang nnyanyian pujian tapi juga ada pengajaran bijaksana, artinya menjadi suatu peringatan, baik dalam pengertian warning, tapi juga dalam pengertian per-ingat-an atau sesuatu yang kita bisa ingat (remember). Orang yang hanya berpesta dan berpesta lalu setelah itu segera melupakan pesta itu dan tidak mengaitkan dengan kebaikan Tuhan, dia akan jadi kosong kembali kehidupannya waktu tidak ada pesta. Tapi kalau ada ingatan yang konstruktif, yang membangun, maka sekalipun kita tidak setiap kali bisa ada pesta atau perayaan, ini menjadi sesuatu yang memberkati kehidupan kita, karena ingatan itu bisa diakses kapan saja.
Ada kalimat yang juga indah dari Manfred Oemingtentang shift tadi, yaitu selain dari perjamuan syukur menjadi ingatan/peringatan, tapi juga dari tangan yang berdoa –maksudnya ucapan syukur–menjadi tangan yang menunjuk pada pengajaran bijaksana. Kita orang Timur suka memberikan instruksi, apalagi orang yang lebih senior/lebih tua, lalu waktu bicara tangannya sambil menunjuk –ini biasa bagi kebudayaan Timur. Tapi kalau dalam kebudayaan Barat bicara sambil tangan menunjuk, lawan bicaranya bisa tersinggung. Di sini kita bukan sedang membanding-bandingkan kebudayaan Timur versus Barat, tapi saya ingin tanya, waktu kita memberi intruksi dan tangan kita menunjuk-nunjuk, apakah tangan yang sama ini sebelumnya juga berdoa atau tidak? Orang yang tangannya berdoa, waktu mengajar, dia mengajar dengan kuasa. Tapi orang yang hanya suka menasehati, memberi instruksi, dsb., namun tidak pernah mendoakan, itu tidak cocok dengan yang Mazmur 34 ajarkan. Pengajaran kita seharusnya mengalir dari kedalaman kehidupan doa.
Lalu apa ajaran yang diberikan pemazmur dalam pasal ini? Yaitu yang dikatakan di ayat 13: menjaga lidah terhadap yang jahat, menjaga bibir terhadap ucapan-ucapan yang menipu. Lidah dan bibir ini seharusnya digunakan untuk memberikan pengajaran yang sehat, yang membangun. Membawa orang kepada realita kebenaran, daripada menjerumuskan orang kepada dusta. Kemudian kita membaca dalam ayat berikutnya, satu ajakan yang cukup umum dan sangat tipikal dalam wisdom literature, yaitu menjauhi yang jahat dan melakukan yang baik. Selain itu, juga mencari shalom, mencari perdamaian.
Shalom menurut pengertian orang Israel, di dalam pengertian Ibrani bicara tentang keutuhan atau kesempurnaan relasi. Kita tidak bisa bicara shalom secara individual –itu tidak masuk akal. Kalau kita bicara tentang ‘mencari perdamaian’, berarti ada relasi yang reconciled antara saya dan Allah, saya dan sesama manusia. Jadi, shalom di sini bukan terutama urusan tentang keadaan kita yang lebih baik, lebih steril, lebih bebas dari virus, dsb., melainkan bagaimana dalam keadaan yang jauh dari ideal sekalipun kita ada damai dengan pribadi-pribadi yang lain di dalam dunia ini. Orang yang ada shalom, waktu dia hadir, kehadirannya bermanfaat bagi sekelilingnya. Dan sebagai kalimat salam, perkataan “shalom” ini adalah satu kalimat yang memberkati, bukan sekedar kalimat pembuka waktu bertemu seseorang seperti perkataan “apa kabar”, “how are you”, dsb. Waktu kita bicara “shalom”, kita mengharapkan, mendoakan, merindukan orang yang kita sapa itu diberkati Tuhan dan mendapatkan damai dari Tuhan. Itu sebabnya Saudara lihat di sini, mencari perdamaian dan berusaha mendapatkannya jelas suatu panggilan aktif, bukan panggilan yang sifatnya pasif. Satu panggilan untuk hidup di dalam kehadiran yang memberkati bagi sesama.
Di ayat-ayat berikutnya, kita membaca alasan-alasan mengapa orang perlu mempertahankan kehidupan yang seperti ini, etika sebagaimana yang diajarkan dalam wisdom theology ini. Di sini ada semacam paradoxical tension; di satu sisi ada pengharapan, bahwa teriakan orang-orang benar akan didengar oleh Allah. Ayat 17 (atau18): “Apabila orang-orang benar itu berseru-seru, maka TUHAN mendengar, dan melepaskan mereka dari segala kesesakannya.” Saudara lihat di sini, ada iman, ada pengharapan, ada keyakinan (confidence), ada kepercayaan yang teguh (assurance), bahwa orang-orang benar akan didengarkan oleh Tuhan. Tapi di sisi lain, pengharapan seperti ini tidak pernah jatuh ke dalam optimisme yang sifatnya euforia, tetap ada realisme teologis di dalamnya. Realisme dalam hal apa maksudnya? Dikatakan di ayat 19 (atau 20): “Kemalangan orang benar banyak”. Orang benar itu banyak kemalangannya, kalau menurut pemazmur. Berarti ini bukan jalan naif yang euforia, atau keyakinan yang salah, melainkan diimbangi dengan gambaran realisme teologis. Seruan orang benar didengarkan Tuhan, itu benar, itu dikatakan di ayat 17 (atau 18). Tapi juga dikatakan bahwa kemalangan orang benar itu banyak (ayat 19 atau 20).
Saudara jangan heran kalau kita ini mencoba untuk hidup benar di hadapan Tuhan, di dalam anugerah Tuhan kita meninggalkan kejahatan, dan kita melakukan apa yang baik, tapi meski sudah melakukan ini masih menderita juga. Sesungguhnya, pengajaran dari kitab-kitab bijaksana sudah mepersiapkan kita untuk hal ini. Tidak pernah dikatakan bahwa orang benar itu tidak akan mengalami kemalangan. Lalu apa yang dikatakan? Saudara perhatikan di sini, yaitu: meskipun kemalangan orang benar banyak, tetapi TUHAN melepaskan dia. Di sini membicarakan tentang pemeliharaan/perlindungan Ilahi. Jadi jangan menyerah di dalam tekun berbuat baik, jangan menjadi patah semangat, karena pengajaran hikmat mempertahankan kelakuan yang bersih ini sesuatu yang worth it, sesuatu yang pada akhirnya akan ada reward.
Di dalam mazmur yang lain, Saudara bahkan membaca hal seperti ini dijadikan tema, yaitu mengenai kesulitan orang benar melihat fakta bagaimana mempertahankan kelakuan yang bersih tapi hidup seakan terus-menerus mengalami kemalangan. Di sini ada persoalan karena kita tidak bisa melihat ‘akhirnya’ sebagaimana Tuhan melihatnya. Kita melihatnya secara short-sighted, kita melihatnya secara pandangan jarak dekat, yang kita lihat Tuhan tidak adil, bagaimana mungkin Dia membiarkan orang benar di dalam kemalangan seperti itu. Namun kita percaya, pada akhirnya orang benar akan menuai apa yang dia tabur.
Terakhir, kita membaca gema yang sangat kuat dari pengajaran Mazmur 34 ini dalam 1 Petrus 3: 10-12, “Siapa yang mau mencintai hidup dan mau melihat hari-hari baik, ia harus menjaga lidahnya terhadap yang jahat dan bibirnya terhadap ucapan-ucapan yang menipu. Ia harus menjauhi yang jahat dan melakukan yang baik, ia harus mencari perdamaian dan berusaha mendapatkannya. Sebab mata Tuhan tertuju kepada orang-orang benar, dan telinga-Nya kepada permohonan mereka yang minta tolong, tetapi wajah Tuhan menentang orang-orang yang berbuat jahat.” Lalu dalam perikop berikutnya, Petrus bicara tentang perlunya kita sabar di dalam penderitaan karena kebenaran. Ini adalah suatu kelanjutan yang sangat tepat, melanjutkan teologi dari Mazmur 34. Petrus, yang mengenal Kristus, lebih lagi mendorong orang-orang percaya untuk tidak menjadi malu atau menjadi takut, waktu mereka harus menderita. Bukan saja bahwa orang benar itu bisa menderita, tapi kita melihat di dalam kehidupan Kristus, Sang Orang Benar itu, Dia menderita. Jadi waktu kita menderita karena kebenaran, sebenarnya kita sedang mencicipi dan menikmati persekutuan dengan Pribadi Kristus. Kita tidak dipanggil untuk menderita karena kesalahan kita atau karena dosa-dosa kita sendiri –itu tidak mulia– tapi kita menderita karena kebenaran, di dalam Kristus.
Kiranya Tuhan menolong kita, Tuhan memberkati kita.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading