Kita memberikan judul kotbah Mazmur 31 ini dari salah satu ayat yang terkenal di pasal tersebut, yaitu ayat 6: “Ke dalam tangan-Mu kuserahkan nyawaku”. Seperti kita tahu, ini adalah kalimat yang dikatakan oleh Tuhan kita, Yesus Kristus, di atas kayu salib. Bukan hanya Tuhan Yesus, ketika Stefanus dirajam batu, dia juga mengatakan kalimat ini; bahkan di dalam sejarah Gereja, ada tokoh-tokoh lain, seperti Polycarpus dan juga Bernard, yang juga mengatakan kalimat ini.
Ketika kutipan ayat-ayat ini dikatakan dalam konteks hari atau saat terakhir sebelum kematian, itu membuat kita berpikir Mazmur 31 ini seolah-olah gambarannya sempit hanya di dalam konteks orang yang sedang menghadapi kematian, tetapi kalau kita membaca konteks di dalam mazmur ini, sebetulnya lebih luas daripada itu. Nanti kita akan kembali ke ayat ini lagi, tapi sebelumnya, kalau kita melihat secara keseluruhan, mazmur ini adalah suatu nyanyian, doa, permohonan, minta tolong, untuk orang bisa berlindung (take refuge) di dalam Tuhan.
Kita tidak akan membahas ayat demi ayat; Saudara bisa merenungkannya sendiri, dan yang lebih penting juga mendoakannya, karena mazmur ini sendiri merupakan doa. Tentu saja ada perbedaan, antara orang menaikkan doa Mazmur 31 ini dalam keadaan terjepit (misalnya di ranjang kematian), dengan orang yang berada dalam keadaan aman, tidak dikejar-kejar, tidak sedang dianiaya. Itu sebabnya kita melihat bagian-bagian firman Tuhan tertentu bisa kita hayati dengan perspektif yang lebih baik ketika kita sedang berada dalam krisis.
Ada beberapa hal yang bisa kita pelajari dari mazmur ini. Yang pertama, kita melihat bahwa pemazmur (Daud), ketika menaikkan doa ini, dia penuh keyakinan bahwa doanya didengarkan oleh Tuhan. Sudah sejak ayat pertama kalimatnya “Pada-Mu, TUHAN, aku berlindung”; Tuhan adalah tempat perlindungannya, dan bukan yang lain. Dia melihat Allah sebagai yang dipercaya, yang kepada-Nya kita bisa bergantung sepenuhnya. Ini ada kaitannya dengan pengenalan Daud akan Allah. Di ayat 4 dikatakan “sebab …”; apa sebab-nya? Sebabnya adalah: pemazmur ini mengenal bahwa Allah adalah bukit batunya, pertahanannya, bahwa Tuhan akan menuntun dan membimbing dia (ayat 4), mengeluarkannya dari jaring, dan bahwa Allah adalah tempat perlindungannya (ayat 5).
Saudara, kita ini bukan dengan tiba-tiba bisa percaya kepada Allah, ini merupakan suatu proses belajar; dan kepercayaan yang teguh tidak bisa dipisahkan dari pengenalan akan Allah. Tanpa pengenalan akan Allah, kita bukan masuk kepada iman sebagaimana yang dikatakan Alkitab, melainkan mungkin sekedar self-confidence saja, kita meyakin-yakinkan diri sendiri, seperti menghipnotis diri ‘ayo, kamu percaya, kuatlah”, dsb. –semacam self-therapy. Tapi Daud tidak demikian. Kepercayaan atau keyakinannya yang teguh ini bukanlah sesuatu yang naif, juga bukan self-therapy seakan Daud sedang meyakinkan dirinya sendiri –seperti anak kecil yang takut jalan di tempat gelap lalu dia menyanyi-nyanyi sendiri supaya dengar suaranya sendiri. Bukan seperti itu yang dimaksud di sini. Daud memang memiliki pengenalan akan Allah; dan pengenalan akan seperti apa Allah, itulah yang membangkitkan iman dalam kehidupannya. Jadi di sini pertanyaannya bukan apakah kita punya iman yang besar atau iman yang kecil, melainkan apakah kita memiliki pengenalan akan Allah, karena orang yang memiliki pengenalan akan Allah, imannya akan menyertai. Kita beriman berdasarkan apa yang kita kenal akan Allah.
Tadi kita mengatakan, kalimat ini juga dikutip banyak tokoh dalam sejarah Gereja, termasuk juga dikatakan Tuhan kita, Yesus Kristus, di atas kayu salib; apa yang dapat kita pelajari dalam konteks yang katakanlah sempit ini, yaitu dalam saat-saat terakhir sebelum orang itu meninggal? Yaitu bahwa di dalam saat-saat seperti itu, kita betul-betul melihat bahwa kita ini tidak berdaulat atas kehidupan kita sendiri. Saudara tentu jarang melihat orang yang katakanlah sudah berada dalam menit-menit terakhir hidupnya tapi masih sombong, merasa dia bisa kontrol ini dan itu, dsb. –atau kalau pun ada, itu sangat perkecualian; yang seringkali kita dapati, orang yang sombong sekalipun, di saat-saat terakhirnya bisa jadi seperti rendah hati. Saya bukan mengatakan nama-nama yang kita sebut tadi (Polycarpus, Bernard, dan juga Stefanus) mendadak berubah di akhir kehidupan mereka; kita percaya, dalam kehidupannya mereka memang hidup berserah kepada kedaulatan Tuhan, dan karena itu di saat terakhir pun mereka bisa menyerahkan nyawa mereka di dalam tangan Tuhan yang berdaulat. Meski demikian, menghayati hal ini di saat-saat terakhir mungkin memang bisa, karena di saat-saat terakhir orang cenderung berserah. Tapi yang mau kita pelajari adalah: dalam kehidupan kita, meski katakanlah kita bukan berada dalam saat-saat terakhir, apakah kita juga bisa menyerahkan kehidupan kita, mengatakan “ke dalam tangan-Mu kuserahkan nyawaku”?
Tuhan Yesus bukan seumur hidup tidak berserah kepada Bapa, lalu mendadak di atas kayu salib baru Dia berserah; kalimat terakhir yang diucapkan-Nya ini menyatakan bahwa sepanjang kehidupan-Nya memang selalu dipersembahkan kepada Bapa-Nya. Jadi Saudara melihat di sini ada kontinuitas antara kehidupan seseorang dengan saat akhirnya, bukan dalam menit terakhir lalu mendadak berubah jadi orang lain. Ayat ini seharusnya menolong kita untuk menghayati bahwa kehidupan ini memang perlu dipersembahkan kepada Tuhan yang berdaulat, bukan hanya pada saat terakhir, tapi di sini dan sekarang.
Manurut seorang komentator, Mays, kalimat ini bisa juga di-parafrasa-kan atau diterjemahkan dengan bebas seolah di sini pemazmur mengatakan: “It is up to you, God, what becomes of me, and I am willing to have it so”. Ini sangat sejalan dengan apa yang baca di ayat 4; memang waktu kita mengatakan “Dia adalah bukit batuku dan pertahananku”, itu artinya kita mempersilakan Tuhan menuntun dan membimbing kita, menyerahkan kehidupan kita sepenuhnya di dalam kedaulatan Tuhan. Bukan dalam pengertian pasif, fatalis, que sera sera, melainkan sebagai suatu tindakan aktif penyerahan diri kepada Tuhan. Ini jauh dari fatalis; ini mempersilakan Tuhan untuk “memimpin dan menuntun aku”.
Seringkali waktu muda kita banyak mimpi, banyak cita-cita, dan bahkan dalam pelayanan pun kita ada cita-cita atau idealisme kita sendiri. Namun kalau kita mengikuti orang-orang sepanjang sejarah Gereja yang paling diberkati dan dipakai Tuhan, termasuk juga hamba-hamba Tuhan, para nabi dan para rasul yang dicatat dalam kitab suci, dan juga tentunya kehidupan Tuhan kita Yesus Kristus yang dicatat dalam Injil, kita melihat ini adalah orang-orang yang mempersembahkan dirinya seperti yang ditulis di sini, “it is up to you, God, what becomes of me”. Ini bukan sebuah kehidupan yang diusahakan dengan rencana ini dan itu lalu setelah gagal baru menyerahkan diri, melainkan suatu keadaan hidup yang penuh potensi, namun dalam keadaan seperti ini pun sudah mempersembahkan diri di hadapan Tuhan.
Perhatikan ayat 4 ini penting sekali; waktu kita mengatakan Tuhan sebagai ‘bukit batuku dan pertahananku’, itu jangan dipahami hanya di dalam pengertian keselamatan saya pribadi, saya diluputkan dari mara bahaya. Memang itu termasuk, tapi bukan hanya itu. Apa artinya Tuhan adalah bukit batuku dan pertahananku? Yaitu bahwa saya tidak menjadikan diri saya sendiri sebagai bukit batu, diri saya bukan pertahanan saya sendiri; dan kalau diri saya bukan pertahanan saya sendiri, makasaya berserah dan menyerah kepada Tuhan, saya menjadikan Tuhan pertahanan saya, saya membiarkan Tuhan yang memimpin, menuntun, membimbing diri saya. Ini satu komitmen yang kita perlu perbaharui setiap hari, karena seringkali dalam hidup ini kita mau memimpin diri kita sendiri, kita mau menjadikan diri kita sendiri tempat pertahanan kita. Harap kita tidak perlu menunggu sampai saat terakhir di menit-menit terakhir kematian, sebelum kita belajar apa artinya berserah kepada Tuhan.
Mazmur 31 ini juga boleh direkonstruksi setting in life-nya, mengenai di mana atau dalam keadaan seperti apa doa seperti ini dinaikkan. Mays mengatakan, ini juga bisa kita baca dalam konteks the custom of seeking sanctuary at holy places from foes; maksudnya, orang yang dikejar-kejar musuh lalu dia mencari tempat perlindungan, dan ini ada kaitannya dengan bait suci, tempat dia mendapatkan perlindungan tersebut. Hal ini jauh dari pemikiran memberhalakan bait suci; pembacaannya bukan ke sana. Ini bicara tentang rumah Tuhan sebagai tempat yang khusus di mana Tuhan memberikan perlindungan. Di dalam kepercayaan Israel, kalau orang dikejar-kejar musuh, dia bisa claim sanctuary di situ, dan di situ dia tidak boleh dibunuh. Di sini Saudara melihat sekali lagi ada kaitan antara keadaan waktu kita menghadapi mara bahaya, krisis, dikejar-kejar musuh, aniaya, dengan kehidupan yang mencari perlindungan pada Allah, dan hanya pada Allah. Dalam hal ini Tuhan juga memakai krisis, penganiayaan, dan kesulitan hidup itu untuk membuka perspektif kita, sehingga kita bisa mengenal Allah sebagai tempat perlindungan dan memahami apa artinya.
Kita tahu, bait suci bisa dirobohkan, bisa diruntuhkan. Gedung gereja pun bisa dibongkar, bisa diruntuhkan. Tapi apakah dalam saat seperti ini, kita jadi tidak ada lagi tempat perlindungan (sanctuary)? Saudara jangan lupa, Yesus Kristus itulah sebenarnya tempat perlindungan kita yang sejati (our true sanctuary) Dia adalah penggenapan dari temple theology. Di atas kayu salib Dia mengatakan kalimat ini, “Ke dalam tangan-Mu, Kuserahkan nyawa-Ku”. Di sini Dia mendahului kita; dan di dalam Kristus kita juga bisa mengatakan kalimat ini, selagi kitab hidup di sini dan sekarang. Di dalam Alkitab dikatakan, kita tidak perlu takut kepada mereka yang bisa membunuh tubuh, tapi tidak berkuasa membunuh jiwa; mereka bisa menganiaya secara fisik, tapi jiwa/roh kita, kita serahkan di dalam tangan Tuhan. Tuhan yang kita percaya, adalah Allah pemelihara; dan di dalam pemeliharaan Tuhan yang setia ini, Dia jugalah yang menentukan saat-saat di dalam kehidupan kita sebagai anak-anak-Nya. Manusia tidak berdaulat atas kehidupan kita; Tuhan yang berdaulat atas kehidupan kita. Jadi, ayat ini, “ke dalam tangan-Mu, kuserahkan nyawaku”, membawa kita kepada kehidupan yang sungguh-sungguh berserah kepada Tuhan. Dia yang menentukan momen/saat-saat dalam kehidupan kita.
Ada satu kantata yang ditulis Johann Sebastian Bach, judulnya “Actus tragicus” (Kantata no. 106); kata-kata pertamanya mengatakan: Gottes Zeit ist die allerbeste Zeit (kalau diterjemahkan bebas: “waktu Allah adalah waktu yang terbaik”). Kantata 106 ini boleh dibilang temanya ‘the art of dying”, kantata yang cocok untuk penguburan. Bahkan di dalamnya ada kutipan ayat ini, “ke dalam tangan-Mu, kuserahkan nyawaku”, karena orang percaya/orang Kristen waktu menghadapi kematian, dia bisa menghadapi kematian itu bersama dengan Kristus. Yang menarik, kita juga bisa mendapat banyak berkat dari kata-kata dalam kantata ini, yaitu dengan menghayatinya untuk kehidupan kita di sini dan sekarang.
Bukan hanya kematian kita yang ada di dalam God’s appointed time, melainkan seluruh saat dan seluruh momen dalam kehidupan kita juga ada di dalam kendalinya Tuhan. Itu sebabnya ayat ini mendorong kita untuk hidup yang betul-betul dipersembahkan dan diserahkan di dalam tangan Tuhan. Kiranya Tuhan menguatkan kita, kita menjadi orang-orang yang hidup semakin berserah kepada Tuhan.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading