Hidup ini memang suatu proses; kita tidak selalu ada di atas, tapi juga tidak selalu di bawah. Yang lebih penting sebetulnya bukan soal kita berada di bawah atau di atas, melainkan bagaimana dalam situasi apapun kita merelasikannya dengan Tuhan. Kita sebagai orang percaya, harus bisa memaknai situasi yang terjadi dalam kehidupan kita. Demikianlah waktu kita membaca ratapan di dalam pasal ini, pemazmur bukan menghayatinya sebagai nasib sial, melainkan dia merelasikannya dengan diri Tuhan, sehingga air mata ratapan di sini dihayati sebagai murka Tuhan yang dinyatakan.
Seperti sudah kita bahas, kita ini hidup di dunia modern yang sangat kental dengan paham naturalisme, sehingga misalnya ketika seperti dikatakan dalam Mazmur 29 kita mendengar suara air yang besar, kita menganggap itu sekedar fenomena alam yang tidak ada kaitannya dengan Tuhan. Demikian juga, ada bahaya ketika kita menganggap penderitaan atau ratapan sebagai fenomena alam belaka, karena siapa sih di dunia ini yang tidak pernah susah; tetapi pemazmur menghayati apa yang terjadi dalam kehidupannya, di dalam kaitan dengan Allah. Saudara, meskipun tidak mutlak, saya pikir ada baiknya waktu kita menderita, kita mengambil saat untuk introspeksi, kita musti bertobat di dalam hal apa –ada koreksi diri.
Kalau kita membaca dalam bagian ini, memang Tuhan bukan musuh dari pemazmur; waktu di situ disebut tentang musuh-musuh yang bersukacita atasnya, sudah pasti itu bukan Tuhan melainkan orang lain. Tetapi kalau Saudara membaca misalnya ayat 6, waktu dikatakan pemazmur dikejar-kejar oleh musuh, dia mengaitkan itu dengan murka Tuhan; dikatakan di situ: “Sebab sesaat saja Ia murka …”. Inilah yang membuat kehidupan kita bertumbuh, yaitu ketika kita terus-menerus berelasi dengan Tuhan, bukan berelasi atau menghadapi musuh-musih yang menjengkelkan itu, karena itu tidak membawa kepada pertumbuhan. Itu sebabnya ketika di sini kita membaca perubahan dari ratapan dan tangisan menuju kepada tarian dan sukacita, yang mengubah itu adalah Tuhan. Dan, dasarnya ada pada sifat Allah sendiri; Allah memang bisa murka, tapi sesaat saja Ia murka, seumur hidup Ia murah hati. Kalau Tuhan murka berkepanjangan, kita tidak ada yang bisa tahan. Saudara melihat di sini penekanannya ada pada kemurah-hatian Allah. Murah hatinya Allah itu tidak sebanding dengan murka-Nya. Sekali lagi, ini bukan berarti Dia tidak bisa murka –Tuhan memang bisa murka— dan di dalam saat Dia murka, kita musti introspeksi diri, kita perlu bertobat dari kesalahan kita. Ketika hal itu terjadi dalam kehidupan kita, maka kita melihat seperti di mazmur ini, Tuhan mengubah ratapan atau tangisan itu menjadi tarian. Jadi yang berubah bukan sekedar kondisi kehidupan kita, pemulihannya adalah pemulihan relasi kita dengan Allah.
Menariknya, kalau kita melihat yang dikatakan dalam ayat 1, ‘Nyanyian untuk pentahbisan Bait Suci’, kita mungkin bertanya-tanya, apa kaitan ini semua dengan pentahbisan Bait Suci? Kalau kita mendengar introduksi seperti ini, mungkin kita mengharapkan akan ada kata-kata tentang kemuliaan Tuhan, tentang kebesaran Tuhan (seperti misalnya dalam Mazmur 29); atau kita menantikan kata-kata seperti tentang kemahakudusan Tuhan, tentang kehadiran-Nya, dsb. Motif-motif seperti itu akan cocok sekali kalau dikaitkan dengan ‘Nyanyian untuk pentahbisan Bait Suci’. Tetapi ternyata kata-kata seperti itu tidak muncul di Mazmur 30 ini, yang ada adalah mazmur yang biasa, mazmur teriakan minta tolong dan dibebaskan oleh Tuhan –dibebaskan dari musuh, diangkat dari dunia orang mati—lalu apa kaitannya dengan pentahbisan Bait Suci? Inilah keindahan Mazmur 30. Bagi pemazmur, keadaan dikejar-kejar musuh, apalagi sampai seperti mau diterkam dunia kematian, itu sangat ada kaitannya dengan Bait Suci, karena di dalam keadaan seperti itu pemazmur tidak bisa memuji Tuhan. Sebaliknya, orang yang dibebaskan dan ditolong oleh Tuhan, dia bisa memuji Tuhan di bait-Nya yang kudus. Saudara perhatikan di sini, waktu kita berada dalam keadaan yang katakanlah nyaman, di dalam keadaan tidak dikejar-kejar musuh, keadaan damai sejahtera, itu bukanlah untuk keadaan itu sendiri. Kita bukan ada untuk keadaan itu sendiri; dalam keadaan seperti itu, yang menjadi gol adalah supaya kita bisa beribadah dan memuji Tuhan. Jadi ada kaitan antara dibebaskan-oleh-Allah dengan beribadah-kepada-Tuhan.
Bukan hanya itu, kalau Saudara melihat argumentasi pemazmur (ayat 10) –Saudara musti membacanya bukan dalam pengertian seakan pemazmur ini akal-akalan dengan Tuhan—ini adalah argumentasi teologis yang penting. Di ayat 10 itu dikatakan: “Apakah untungnya kalau darahku tertumpah, kalau aku turun ke dalam lobang kubur? Dapatkah debu bersyukur kepada-Mu dan memberitakan kesetiaan-Mu?” Ini bukan semacam retorik yang bagaimana caranya supaya mau tidak mau Tuhan harus menolong saya; bukan itu poinnya, melainkan dalam kejujuran, bahwa waktu seseorang berada dalam katakanlah bahaya kematian, di situ tidak ada lagi pujian untuk Tuhan. Seringkali dalam perspektif Reformed kita kurang membahas bagian seperti ini, karena kita menekankan bahwa Tuhan sebetulnya tidak membutuhkan pujian kita, Tuhan juga tidak tambah mulia dengan kita memuji Dia. Itu memang betul. Kalau kita bicara doktrin, ini adalah tentang aseity atau self-sufficiency of God; dan tentu ini adalah pengajaran doktrin yang tepat yang juga diajarkan dalam Alkitab. Tetapi, kalau kita bicara tentang relasi, di sini ada dimensi yang berbeda, ada perspektif yang berkembang; di sini pemazmur seolah mengatakan kalau dia sendiri ditelan oleh kematian, jadi akan berkurang orang yang mempermuliakan Tuhan, akan berkurang orang yang memuji Tuhan, akan kekurangan satu orang yang bersyukur kepada Tuhan dan memberitakan kemuliaan Tuhan. Dan, dengan berani pemazmur mengatakan ‘apakah untungnya kalau terjadi seperti ini’.
Sekali lagi, ini bukan dalam pengertian bahwa Tuhan itu desperately sangat membutuhkan pujian kita, melainkan ini satu teriakan dari seorang yang sangat mengerti hati Allah, Tuhan memang menikmati dan bersukacita atas pujian yang dinaikkan orang-orang kudus. Itu sebabnya di sini argumentasinya adalah argumentasi teosentris. Ini bukan tentang keselamatan pemazmur yang sedang dikejar-kejar musuh; di sini pemazmur meratapi, kalau dirinya berada dalam bahaya dan akhirnya ditelan kematian, maka pujian kepada Tuhan akan berkurang. Jadi ini adalah tentang pujian kepada Tuhan, bukan tentang keselamatan pribadinya semata-mata.
Kita juga tidak boleh membaca bagian ini sebagai semacam transaksi –dalam teologi Reformed kita diajarkan untuk tidak berpikir ke arah sana. Maksudnya, ini bukan transaksi dalam pengertian seperti begini: ‘O, Tuhan, bebaskanlah aku, kali ini saja bebaskanlah aku; nanti kalau saya bebas, saya akan memuji Engkau’ –jadi semacam transaksi. Kita tidak membaca itu di dalam Mazmur 30. Ini bukan ‘selamatkan aku terlebih dahulu, sehingga akibatnya nama-Mu boleh dipuji oleh aku’. Bukan itu; tetapi argumentasinya adalah seperti ini: ‘kalau aku turun ke dalam dunia orang mati, tidak ada lagi yang memuji Engkau’, maksudnya berkurang satu orang itu. Sekali lagi, bagaimana kita mengerti kekayaan doksologi yang ada dalam pasal-pasal kitab mazmur, amatlah penting. Waktu kita menerima jawaban Tuhan, itu adalah afirmasi bahwa kita ini masih boleh dilibatkan oleh Tuhan untuk memuji Dia. Alasan Saudara dan saya masih diberikan kesehatan, kita masih diberikan pemeliharaan Tuhan, itu adalah supaya masih kita boleh terlibat di dalam pujian kepada Allah.
Kematian di sini diparalelkan dengan keadaan silent, diam, tidak ada pujian; kalau demikian, apa arti dari kehidupan? Di dalam pengertian ini, kehidupan adalah: kemungkinan untuk bisa memuji Tuhan dan beribadah kepada Tuhan. Maka tidak heran kalau Mazmur 30 ini dikaitkan dengan pentahbisan Bait Suci. Menurut tradisi, ini juga dikaitkan dengan Yudas Makabeus; mazmur ini adalah mazmur yang dipakai untuk merayakan pemurnian Bait Allah (purification of Temple) setelah dinajiskan oleh Antiokhus Epifanes. Ini cocok kalau kita kaitkan dengan motif ‘musuh yang tidak bersukacita atasnya’ (ayat 2). Saudara perhatikan di sini, kemenangan Yudas Makabeus itu bukan dinikmati secara pribadi dan menjadikan dia sombong atau merasa punya jasa; bukan seperti itu, tetapi kemenangan ini dihayati dengan pemurnian Bait Allah. Apa kaitan ini kalau kita aplikasikan dalam kehidupan Saudara dan saya? Yaitu setiap kali kita mendapatkan pertolongan Tuhan, diluputkan dari bahaya, dipelihara oleh Tuhan, disembuhkan oleh Tuhan, seharusnya yang terjadi dalam kehidupan kita adalah pemurnian ibadah kita (purification of our worship). Ini bicara tentang kehidupan kita sendiri yang juga adalah bait Allah, yang juga perlu dimurnikan dari tarikan-tarikan berhala. Itu sebabnya Mazmur 30 ini kalau kita baca seakan isinya seperti mazmur biasa, teriakan minta tolong dan dibebaskan oleh Tuhan, tapi sebetulnya inti Mazmur 30 adalah ibadah yang benar di hadapan Tuhan.
Kita membaca kontras dari ayat 4 dan ayat 5, dan ada semacam kontinuitas juga. Ayat 4 mengatakan: “TUHAN, Engkau mengangkat aku dari dunia orang mati”, lalu ayat 5: “Nyanyikanlah mazmur bagi TUHAN, hai orang-orang yang dikasihi-Nya”. Mengapa menyanyi bagi Tuhan, mengapa menyanyikan mazmur? Karena kita adalah orang-orang yang diluputkan dari kematian. Itu sebabnya orang yang di dalam suatu keadaan nyaman, dipelihara Tuhan dalam damai sejahtera, tapi dia tidak menyanyikan mazmur, dia tidak memuji Tuhan, itu sebetulnya hidup atau mati? Lebih mirip orang mati, karena yang tidak ada pujian bukankah kematian. Tidak salah waktu dalam kehidupan ini kita terjepit, tersesak, dsb., lalu kita minta pertolongan Tuhan; tapi jangan lupa, waktu Saudara dibebaskan, itu dibebaskan untuk apa?
Salah satu hal yang kita kuatirkan, seandainya suatu saat katakanlah pandemi ini berlalu, orang kemudian kembali lagi ke kehidupan yang lama seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Memang natur manusia yang berdosa seperti itu, mendapat hajaran seberapa pun, setelah dipulihkan keadaannya, seakan lupa dan kembali lagi seperti sebelumnya. Tetapi orang yang percaya kepada Tuhan bukanlah seperti itu, dia tidak pernah menganggap sepi anugerah Tuhan. Waktu dia diluputkan dari mara bahaya, dia tidak melupakan Tuhan, melainkan itu membawa dia kepada cinta dan pujian yang lebih dalam kepada Tuhan. Inilah yang seharusnya bertumbuh di dalam kehidupan kita; waktu kita dilepaskan, dibebaskan, ditolong oleh Tuhan, kita harusnya masuk ke dalam kehidupan pujian yang lebih dalam, lebih kaya, lebih luas. Sekali lagi, alasannya adalah seperti yang dikatakan oleh pemazmur, yaitu karena di dalam lubang kubur tidak ada orang yang memberitakan kesetiaan Tuhan. Maka selanjutnya di ayat 11 –berdasarkan argumentasi ini—dia mengatakan: “Dengarlah, TUHAN, dan kasihanilah aku, TUHAN, jadilah penolongku!”; dengan Tuhan menolong kita, pujian dan pemberitaan kesetiaan Tuhan itu masih boleh terus terdengar.
Itu sebabnya, waktu kita membaca tema kita yang ada di ayat 12 ini, yaitu “Ratapan yang diubah menjadi tari-tarian”, kita harus mengerti perubahan ini di dalam pengertian yang benar. Ratapan yang menjadi tari-tarian, itu bukanlah sekedar bagaimana Tuhan mengubah keadaan, tapi ini adalah perubahan dari suatu keadaan yang tidak bisa berkata-kata –alias berdiam diri– karena ketersesakan itu, menjadi satu keadaan yang kembali boleh memuji Tuhan. Saudara membaca ini dengan jelas di ayat 13 setelah ayat 12 tadi. Jadi ayat 12 bicara tentang ratapan yang diubah jadi tari-tarian, kain kabung yang dibuka oleh Tuhan sendiri dan digantikan dengan kain sukacita; tapi kemudian supaya apa? Ayat 13 mengatakan: “supaya jiwaku menyanyikan mazmur bagi-Mu dan jangan berdiam diri”. Saudara perhatikan, di dalam perspektif Mazmur 30, ratapan membuat orang berdiam diri, sementara tari-tarian/sukacita membuat orang bisa berkata-kata dan memuji Tuhan.
Terakhir, seluruh mazmur ini ditutup dengan sebutan atau panggilan terhadap Allah sendiri, Yahweh: “TUHAN, Allahku, untuk selama-lamanya aku mau menyanyikan syukur bagi-Mu”. Perkataan ‘untuk selama-lamanya’, berarti bicara kekekalan/eskatologi. Saudara mendapati beberapa mazmur ada nuansa ke sana, termasuk Mazmur 23 yang terkenal itu, ayat terakhirnya dikatakan: “aku akan diam dalam rumah TUHAN sepanjang masa”. Waktu Alkitab mengatakan tentang selama-lamanya, bicara tentang kekekalan (eternity), itu pasti bicara kebahagiaan yang paling puncak, dan karenanya itu kemudian dirayakan, akan terjadi selama-lamanya; kita menantikan sesuatu yang sangat indah di situ terjadi. Tapi apa sebenarnya yang dikatakan di situ? Visi eskatologis-nya apa menurut Mazmur 30 ini? Yaitu: pemazmur menyanyikan syukur bagi TUHAN –kembali ke pujian. Karena itu, bukan salah judul atau keterangan, waktu mazmur ini dikatakan ‘Nyanyian untuk pentahbisan Bait Suci’.
Apa itu Bait Suci? Rumah Tuhan itu apa? Bukankah itu di mana orang boleh memuji Tuhan dengan bebas; inilah juga gambaran surga, kalau kita membacanya dalam Kitab Suci. Kristus memungkinkan kita untuk memperoleh kehidupan yang bisa memuji Tuhan seperti ini karena kita sudah dikeluarkan dari kegelapan, kita sudah dikeluarkan dari dosa, kita sudah dikeluarkan dari kematian. Dan apa itu kematian? Sekali lagi, kematian itu ketidakmungkinan untuk memuji Tuhan. Harap kita jelas, mengapa kita ditebus di dalam Kristus, yaitu supaya di dalam dunia ini semakin terdengar pujian kesetiaan Tuhan. Ada saat-saat dalam kehidupan ini di mana kita tertekan, di mana kita cenderung untuk berdiam diri dan meratap, di situ kita perlu berteriak minta tolong kepada Tuhan. Supaya apa? Supaya ketika kita dibebaskan oleh pertolongan Tuhan itu, Tuhan boleh kembali mendapatkan segala kemuliaan.
Kiranya Tuhan memberkati kita, Tuhan menolong kita untuk bertumbuh di dalam pujian yang semakin dalam bagi Dia.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading