Luther menyebut kitab Mazmur sebagai “little Bible” (Alkitab kecil), karena di situ kita mendapatkan cerita penciptaan seperti di kitab Kejadian, cerita Keluaran tentang orang Israel dipimpin Tuhan keluar dari Mesir, juga tentang kekudusan atau korban pengampunan dosa sebagaimana sangat ditekankan dalam Imamat, dan seterusnya bahkan sampai pada Perjanjian Baru. Kita bisa membaca tentang Injil di dalam Mazmur, kita bisa membaca tentang bagaimana orang percaya perlu hidup dalam kerukunan –atau dalam bahasa Paulus, sebagai anggota-anggota tubuh Kristus, bahkan juga sampai pengharapan eskatologis kehidupan yang akan datang. Mazmur adalah kitab yang paling panjang.
Ada tafsiran yang memberikan judul mengenai Mazmur 5 ini “My King and My God”. Salah satu yang indah di dalam mazmur, adalah bahwa Tuhan diperkenalkan dengan cara atau gambar yang berbeda-beda. Mazmur bisa menggambarkan Tuhan sebagai penyelamat, sebagai yang membebaskan; Mazmur bisa menggambarkan Tuhan sebagai gembala yang baik –yang terkenal itu—dan Mazmur 5 ini menggambarkan Tuhan sebagai raja.
Waktu kita mengenal Allah sebagai raja, ada satu pengertian tertentu di dalamnya. Saya pikir, kita tidak perlu menghabiskan waktu membahas teologi “raja” yang dimengerti secara salah; ada satu lagu Sekolah Minggu yang bisa menyesatkan kalau penafsiran kita salah, syairnya berbunyi: “aku anak Raja, kamu anak Raja, kita semua anak Raja”. Sepintas kita mendengar kalimat itusepertinya benar, kalau Dia Raja, ya, saya anak Raja; tapi yang kita baca dalam Alkitab, kalau kita menyebut Tuhan sebagai Raja, maksudnya kita adalah hamba. Kalau kita menyebut Dia penguasa, Dia Raja, maka kita adalah warganegara yang mau taat kepada Raja itu. Gambaran ini –ketaatan kita kepada Tuhan sebagai Raja– sangat ditekankan dalam teologi Reformed. Yesus memang pernah memperkenalkan diri-Nya sebagai pintu, tapi Dia juga adalah jalan. ‘Pintu’ menggambarkan sesuatu yang sekali kita buka, kita akan langsung sampai ke ruangan berikutnya; sedangkan ‘jalan’ menggambarkan perjalanan seumur hidup, bukan satu-dua detik, bahkan bukan satu-dua tahun, tapi seumur hidup kita di dalam Kristus. Intinya, kita tidak bisa hanya menjadikan Tuhan sebagai juruselamat, penyelamat, penolong, tapi tidak mau Dia sebagai Tuhan, sebagai Raja.
Kalau kita menyebut Dia sebagai Tuhan/Raja, maka kita harus menjadi warga-warga yang taat kepada Raja itu. Namun di sini ada aspek lain yang ingin kita tambahkan, yang mungkin kurang banyak dibahas dalam spiritualitas Reformed. Kita berkomitmen teologi Reformed dengan spiritualitas Injili, tapi kita dengan sadar tidak mengidentikkan teologi Reformed sudah selimpah Alkitab; bagaimanapun Alkitab lebih limpah daripada teologi Reformed –dan saya percaya, hal ini sendiri termasuk spirit Reformed. Dengan rendah hati, kita musti mengatakan bahwa bahkan dalam teologi Reformed ada bagian-bagian yang mungkin kurang ditekankan, namun bukan berarti bagian tersebut dilawan oleh teologi Reformed. Di dalam spiritualitas Reformed, kalau kita menyebut Tuhan itu Raja, maka kita ini hamba; pemahamannya adalah tentang ke-berbeda-an kita dengan Tuhan –Dia Raja, maka kita hamba, dan kita taat sepenuhnya kepada Raja. Ini sangat ditekankan dalam teologi Reformed; lalu bagian yang tadi saya katakan mungkin kurang ditekankan dalam teologi Reformed adalah keberanian untuk naik banding, seperti menuntut hak, kepada Tuhan sebagai Raja. Bagian inilah yang kurang dibahas dalam teologi Reformed. Di dalam iman orang-orang Perjanjian Lama, mereka mengenal Tuhan sebagai yang transenden tapi juga imanen –dua-duanya. Teologi yang hanya menekankan imanensi Allah, sehingga kita terus-menerus menuntut hak atau perkara kita di hadapan Allah, pastinya bermasalah, karena jadi tidak ada aspek ‘Allah yang jauh’ yang kita musti hargai, yang kita musti hormati, yang kita musti sembah, dsb. Tapi perhatikan, yang sebaliknya pun bermasalah; konsep Allah yang cuma Raja, yang kita cuma boleh taat dan tidak boleh bicara keluh-kesah sama sekali, itu juga konsep Allah yang berat sebelah. Kita tidak bisa menghidupi relasi yang sehat dengan Tuhan kalau pemahaman kita akan Allah cuma transendental saja, tidak ada aspek imanen.
Sudak sejak kalimat pertama Mazmur ini, kita membaca “Berilah telinga kepada perkataanku, ya TUHAN”; dalam bahasa aslinya, ini kalimat imperatif. Inilah yang saya maksudkan tadi, dalam teologi Reformed kadang-kadang kita agak sungkan, masakan kita memerintah Tuhan, apa ‘gak salah?? Namun pemahaman iman orang-orang percaya Perjanjian Lama, justru karena mereka begitu dekat dengan Tuhan, mereka bisa menggunakan kalimat perintah juga. Di dalam bahasa aslinya, kalimat pertama mazmur ini ada dalam kasus imperatif; memang kita bisa memperlunak dengan mengatakan ini permohonan, tapi tetap saja pengertiannya imperatif. Perhatikan juga, karena bagian ini dicatat dalam Alkitab, kita tidak bisa mempunyai kesan bahwa ini adalah kalimatnya orang cengeng yang suruh Tuhan memperhatikan keluh-kesahnya. Dalam hal ini, salah satu keindahan kitab Mazmur adalah membantu kita untuk bisa mengekspresikan diri di hadapan Tuhan. Kita tidak perlu jaga image, kita tidak perlu menekan emosi kita di hadapan Tuhan. Itu tidak ada gunanya. Kita ini bukan orang-orang yang musti tampil sempurna secara emosi, seperti seorang Stoik yang dingin, tidak ada perasaan, seakan-akan semua baik-baik saja; yang seperti itu, sangat tidak dianjurkan kitab Mazmur. Dalam Mazmur kita bisa melihat gambaran ini, bahwa justru kalimat yang berani mengatakan perintah “berilah telinga kepada perkataanku, ya TUHAN, indahkanlah keluh kesahku” diberikan tempat bagi seseorang yang betul-betul tersesak.
Kita sudah membahas pentingnya spiritualitas keluh-kesah dalam kehidupan orang Kristen. Di sini Saudara musti membedakan antara keluh kesah dengan bersungut-sungut –ini dua istilah yang berbeda; di dalam kitab Keluaran, Tuhan sebal sekali dengan orang Israel karena orang Israel itu bersungut-sungut. Tapi kemudian ada orang Reformed yang kurang bisa membedakan; dia pikir, karena Tuhan tidak senang dengan sungut-sungut, itu berarti kita tidak boleh meratap, tidak boleh berkeluh-kesah, musti sukacita terus, dsb. Keadaan seperti ini tidak riil. Orang yang bersungut-sungut artinya tidak ada terimakasih, dalam keadaan apapun dia selalu tidak puas, selalu mengutuki keadaan, dan tidak pernah bersyukur kepada Tuhan. Memang menjengkelkan gambaran ini, tapi ini perlu dibedakan dari keluh kesah. Dalam Alkitab ada tempat untuk keluh-kesah; keluh-kesah tidak harus dimengerti sebagai sungut-sungut. Orang yang berkeluh-kesah (groaning), dia adalah seorang yang jujur di hadapan Tuhan. Keindahan dari kitab Mazmur, seperti yang kita belajar dari Luther, bahwa kita bisa datang kepada Tuhan dalam satu keadaan keluh-kesah, lalu di dalam kejujuran kita berharap emosi/afeksi kita ditransformasi oleh Tuhan.
Saudara perhatikan di sini, keberanian iman pemazmur (Daud), dia datang kepada Tuhan dengan keluh-kesah justru karena dia mengenal Tuhan itu adalah Raja. Di sini dia membawa perkaranya di hadapan Raja, dengan pengharapan ini adalah persoalan raja yang harus diselesaikan oleh Raja. Jadi ini bukan di dalam pengertian self pity, yang cuma urusan pribadinya dan keluh-kesahnya, melainkan ada kaitan dengan pengenalan dia akan Tuhan sebagai Raja. Poin ini penting. Di satu sisi kita menyatakan keluh-kesah kita, problem/masalah kehidupan kita; di sisi lain, waktu kita menyatakan itu kepada Tuhan, kita membawa serta pengenalan kita akan sifat-sifat Ilahi. Kalau kita hanya datang kepada Tuhan dengan keluh-kesah tapi tidak mau tahu Tuhan itu Tuhan yang seperti apa, pokoknya Tuhan musti tahu keluh-kesah saya, ini namanya anak-anak. Dalam Mazmur 5, bukan demikian. Di sini pemazmur sangat mengenal Tuhan itu siapa. Dia datang kepada Tuhan sebagai Raja karena dia percaya persoalan ini adalah persoalan yang hanya bisa diselesaikan oleh yang mempunyai jabatan raja, persoalan ini ada kaitannya dengan pemerintahan raja. Apakah itu?
Kita harus ingat, setiap kali membicarakan jabatan ‘raja’, selalu berkaitan dengan keadilan/justice. King and righteousness, tidak bisa dipisahkan. Raja yang memerintah, diharapkan memerintah dengan adil, sehingga waktu ketidakadilan terjadi, manusia datang kepada Tuhan sebagai Raja –karena harusnya raja memerintah dengan adil. Memang dunia ini penuh dengan ketidakadilan; bahkan kadang-kadang kita sendiri juga bagian dalam ketidakadilan itu karena ketidakpekaan kita. Sejak dari kecil, anak-anak punya kepekaan tinggi soal keadilan (fairness). Waktu anak saya masih kecil, salah satu kalimat yang sering sekali keluar dari mulutnya adalah “that’s unfair!” Memang kadang-kadang protesnya juga kekanak-kanakan, tapi dalam hal lain tuntutannya juga bisa dibenarkan. Waktu anak kita bilang “itu tidak adil”, kita musti peka, bisa bahaya kalau kita jadi batu sandungan, karena kadang-kadang kita memang kurang adil sebagai orangtua. Anak-anak itu, tanpa ada yang mengajarkan, sejak kecil sudah punya rasa keadilan (sense of justice) yang sangat kuat. Saya pikir, hampir tidak ada anak kecil yang banding-bandingkan mengapa rumahnya cuma segini sementara rumah tetangga lebih besar, hampir tidak ada akan kecil yang sangat peka soal kekayaan, pakaian bagus, dsb.; anak-anak juga sepertinya tidak ada yang protes kenapa hidung papanya kurang mancung, jadi jelek, dsb., dia terima-terima saja –nanti waktu dia bertumbuh dewasa baru mulai persoalan-persoalan kayak begini– tapi anak kecil peka sekali terhadap urusan keadilan. Ini memang bagian yang diberikan dalam kehidupan manusia oleh Tuhan sendiri, karena Tuhan adalah sumber segala keadilan dan Dia memerintah dengan keadilan. Ini semacam perasaan keagamaan (sense of divinity) yang diberikan dalam kehidupan manusia, yaitu melalui pengharapan keadilan tersebut.
Mazmur ini mengajarkan kepada kita, di dalam pengalaman kehidupan kita yang diwarnai juga dengan ketidakadilan, kita musti merelasikan hal itu dengan Tuhan. Hidup di dalam dunia yang berdosa, kita tidak mungkin tidak mengalami ketidakadilan. Tapi perhatikan, ada orang yang waktu mengalami ketidakadilan, dia mencoba menyelesaikan sendiri dengan caranya sendiri, akhirnya hidupnya banyak kepahitan. Dia jadi orang yang sinis, pesimis, bahkan sarkastis, karena sepertinya ‘yah, di dunia ini begitulah, cuma orang-orang yang punya kuasa, yang berduit, yang bisa dianggap’ –perasaan yang penuh dengan kepahitan. Daud juga tidak luput dari pengalaman ketidakadilan, fitnah, dsb., tapi spiritualitas yang kita bisa belajar dari Daud adalah: dia tidak membawa ini sebagai urusan pribadinya, dia menyatakan, “Tuhan, ini urusan-Mu; karena Engkau adalah Raja, dan Engkau harusnya memerintah dengan adil, maka sekarang ketidakadilan ini bagaimana? Engkau sebagai Raja yang benar pasti tidak suka terhadap kefasikan, terhadap ketidakadilan, maka selesaikan. Ini bukan cuma perkaraku, ini juga perkara-Mu”.
Setiap kali kita ada masalah lalu kita bisa merelasikan itu dengan sifat Ilahi, itu berarti kita ada pertumbuhan. Tapi kalau kita menjadikan itu sebagai pengalaman pahit kita sendiri, ya, sudah, kita mutar-mutar di dalam kepahitan terus, tidak selesai-selesai, terus-menerus pahit. Di dalam dunia yang berdosa, kita tidak bisa luput dari pengalaman disakiti, atau diperlakukan tidak adil, tapi yang membuat kita berpengharapan adalah waktu kita bisa merelasikan ini dengan pribadi Tuhan, akhirnya pergumulan kita juga menjadi problemnya Tuhan.
Kalau Saudara membaca Mazmur ini secara sepintas, ini tipikal, seperti juga dalam Mazmur 1 yaitu adanya kontras antara orang benar dan orang fasik. Di satu sisi pemazmur menggambarkan kehidupannya sebagai seseorang yang mengatur persembahannya bagi Tuhan (ayat 4); dalam bahasa Inggris dikatakan: “in the morning I prepare a sacrifice for you” (ayat 3 ESV), berarti dia seorang yang beribadah kepada Tuhan, seorang yang taat. Di sisi lain, di ayat 5 dikatakan tentang orang-orang yang fasik, pembual, sombong, congkak. Jadi di sini ada kontras antara orang benar dan orang fasik. Kita bisa salah mengerti bagian ini sehingga seolah-olah mendasarkan bahwa Tuhan mendengarkan kita karena kita orang benar; maksudnya, kita menganggap diri berhak didengarkan oleh Tuhan karena kita sudah mengatur persembahan kita, sementara mereka yang fasik itu tidak berhak. Tapi bukan begitu pengertiannya. Di sini jelas sekali, setelah ayat 4, 5, 6 bicara tentang kefasikan, di ayat 8 pemazmur mengatakan: “Tetapi aku, berkat kasih setia-Mu yang besar”. Ini berarti permohonan pemazmur bukan didasarkan pada cerita kesalehannya ataupun persembahannya kepada Tuhan, melainkan karena kasih setia Allah yang besar itu. Kita ini bisa menjadi orang yang lebih menyukai kebenaran daripada kefasikan, adalah karena kasih setia Tuhan (God’s steadfast love).
Tidak dapat dipungkiri bahwa orang benar di dunia yang sudah jatuh ini juga menderita ketidakadilan, maka Mazmur ini adalah satu permohonan di hadapan Tuhan, supaya pemazmur diselamatkan dari jalan orang-orang fasik yang menghancurkan itu. Di dalam Perjanjian Baru kita membaca bahwa sebagai orang Kristen, kita juga diundang untuk ikut menderita bersama dengan Kristus. Tetapi, menderita bersama dengan Kristus itu tidak identik dengan menjadi korban (victim) –itu bukan panggilan Kristen. Kita boleh minta kepada Tuhan supaya jangan kejahatan orang fasik itu menghancurkan kehidupan atau jalannya orang benar. Sama sekali tidak salah meminta Tuhan untuk menegakkan keadilan. Kalau pada akhirnya dalam perjalanan kehidupan ini, kita melihat bahwa Tuhan yang berdaulat itu punya cara yang lain yang kita tidak bisa pahami, itu hal lain. Meski demikian, kita tetap boleh memohon kepada Tuhan supaya Tuhan menegakkan keadilan-Nya, supaya rancangan jahat dari orang-orang fasik itu tidak menghancurkan kehidupan orang-orang benar.
Saudara membaca di ayat 9 terjemahan bahasa Indonesia, atau ayat 8 terjemahan bahasa Inggris, pemazmur memakai istilah ‘my enemies’: “Lead me, O Lord, in your righteousness because of my enemies”. Bagian ini dalam bahasa aslinya (bahasa Ibrani) memakai istilah ‘penonton’ (watcher). Saudara mungkin pernah nonton saluran TV “National Geographic” atau “Animal Planet”, dsb., tentang dunia binatang terkam-menerkam. Di situ diperlihatkan si pemangsa menonton mangsanya dari jauh dan menunggu waktunya dia bisa menerkam pada saat yang tepat; itulah artinya ‘watcher’. Ada motif yang mirip sekali dengan itu di Mazmur ini; dari perspektif pemazmur, dia merasa kehidupannya seakan ditonton musuh-musuhnya yang seperti binatang buas siap menerkam. Ini tidak harus dimengerti sebagai orang paranoia, karena dalam Mazmur semuanya termasuk; Saudara tidak perlu pikir ‘siapa juga yang mau bunuh dia, dia cuma paranoia’. Ini bukan paranoia. Kalau Saudara membaca ayat 4 –atau dalam bahasa Inggris ayat 3—dikatakan: “O Lord, in the morning you hear my voice; in the morning I prepare a sacrifice for you and I watch” (kata ‘I’ ditambahkan). Maksudnya, pemazmur merasa diawasi si pemangsa yang sudah siap menerkamnya, lalu waktu mempersembahkan korban kepada Tuhan, pemazmur sendiri menunggu, menantikan, alert, bagaimana Tuhan akan menegakkan keadlian-Nya. Kita tidak bisa menghindari pemangsa-pemangsa –orang-orang fasik itu—mengamat-amati dan seperti sengaja menantikan kejatuhan orang-orang benar. Memang hidup di dalam dunia begini. Dari sisi orang percaya, kita cuma bisa menantikan Tuhan (watch) –menanti untuk menyaksikan– bagaimana Tuhan akan menegakkan keadilan bagi kita. Itulah yang menjadi kekuatan bagi kita.
Ada kaitan motif ‘watch’ dan ‘watch’ di Mazmur ini. Mungkin tidak kalah indah kalau Saudara juga mengaitkannya dengan Mazmur 23 yang terkenal itu. Di situ ada kalimat: “Tuhan menyediakan hidangan bagiku di hadapan para lawanku”. Pemangsa (watcher) sudah siap menerkam, tapi Tuhan kemudian menyediakan hidangan bagi kita –dan mereka tetap menonton. Seakan-akan ayat ini mengatakan ‘lu nonton, ya, nonton saja terus, tapi saya sedang dikasih makan oleh Tuhan’ –luar biasa indah gambaran ini. Bukan saja para pemangsa itu tidak bisa memangsa kita, tapi mereka dipaksa Tuhan menyaksikan bahwa Tuhan memelihara kehidupan orang yang dikasihi-Nya. Mazmur 5 dan Mazmur 23 ditulis penulis yang sama, keduanya adalah mazmur Daud; dalam hal ini Daud berharap Tuhan akan menegakkan keadilan, karena para pendusta, para pembohong, para pemfitnah itu dengan sengaja melawan tujuan mulia dari Sang Raja yang adil. Jadi urusannya bukan cuma tentang ‘saya’ yang sedang disakiti, dirugikan, dan mengalami ketidakadilan, tapi pemazmur membawanya menjadi urusannya Tuhan –‘lihatlah orang-orang fasik, mereka itu menentang kehendak-Mu, mereka itu berkata dusta; Engkau adalah Raja yang adil, lalu bagaimana ini’.
Kita percaya, salah satu pergumulan dalam hidup manusia adalah ketika dia merasa dituduh secara keliru atau difitnah. Ada istilah namanya ‘character assassination’ (pembunuhan karakter); maksudnya merusak reputasi seseorang sedemikian rupa sampai gambaran tentang dia jadi luar biasa negatif. Dalam dunia politik, ini hal yang sangat biasa. Kalau kita bisa merusak reputasi seseorang serusak-rusaknya sampai orang tidak percaya lagi pada dia, itu namanya pembunuhan karakter. Saudara dan saya tidak bisa tidak mengalami ini. Memang kita tidak mau mengalami, tapi kita tidak kebal akan hal ini. Kita tidak bisa menghindari ada orang yang membicarakan kita secara negatif, dan juga salah, lalu di dalam hati kita tidak puas, kita ingin menegakkan keadilan. Ini keinginan yang wajar, tapi Tuhan mau supaya kita belajar dewasa mengahadapi hal ini. Kalau kita tidak dewasa, waktu kita akan habis untuk pembelaan diri yang akhirnya tidak ke mana-mana juga. Waktu ada orang yang sudah tidak percaya, sudah curiga, maka bagaimanapun dijelaskan tetap tidak ada lagi gunanya, malah memperburuk situasi. Ini merupakan satu ujian bagi kita, apakah dalam keadaan seperti ini kita sibuk membela diri kita, membela reputasi kita, atau kita merelasikannya dengan Tuhan.
Kita belajar dari hamba-hamba Tuhan yang diberkati Tuhan, termasuk Pendeta Stephen Tong, yang juga pernah menerima fitnah, ditulis dengan gambaran yang sangat negatif, dsb., bahkan sampai membuat jemaat yang justru jengkel dan ingin membereskan; tapi beliau mengatakan: “Saya tidak dipanggil untuk itu”. Saudara dan saya tidak dipanggil untuk membereskan reputasi kita sendiri –itu bukan panggilan kita. Panggilan kita adalah untuk menjaga reputasi Tuhan, mempermuliakan Tuhan, bukan menjaga reputasi kita sendiri. Kehidupan yang defensif, yang selalu menjelaskan tentang diri sendiri, sebenarnya bukan kehidupan yang bertumbuh. Saya tidak mengatakan kita tidak merasa sakit –memang sakit, bahkan sangat sakit—tapi kalau kita bertumbuh, kita akan merelasikan hal itu di hadapan Tuhan, lalu kita tetap mengerjakan pekerjaan Tuhan. Tidak boleh ada distraksi di sini, meskipun kita mengalami fitnah, kita diprofil secara negatif, kita mengalami character assassination, atau apapun yang terjadi dalam kehidupan kita. Dan jangan lupa, Yesus juga mengalami semua itu. Kalau kita mengalami itu, maka berbahagialah, karena berarti kita berada dalam persekutuan dengan Kristus –kalau kita memang tidak bersalah. Dalam pengalaman seperti itu, kita bisa mengerti kesendirian Kristus, dan kita ikut mencicipi penderitaan-Nya, dan akhirnya kita masuk ke dalam persekutuan penderitaan dengan Kristus, dalam arti sebenarnya.
Perkataan memang bisa menakutkan; dengan perkataan kita bisa membangun orang lain, dengan perkataan kita juga bisa menjatuhkan orang lain. Beberapa kali kita membaca cerita yang sangat mengenaskan, ada orang yang bunuh diri karena perkataannya orang lain, karena mengalami cyberbullying, dsb. Kita tidak dipanggil menjadi korban (victim) atau orang yang di-bully oleh perkataannya orang lain; dan terlebih lagi kita tidak dipanggil untuk memfitnah orang lain, membunuh karakternya orang lain. Di dunia yang penuh dengan persaingan, sepertinya gampang sekali kita melakukan profil negatif terhadap orang lain. Kadang-kadang waktu kita menjelekkan orang lain, mungkin motivasinya bukan untuk menghancurkan orang lain itu, tapi supaya kebaikan ‘saya’ terangkat. Ini sudah mulai sejak dari anak-anak kecil. Anak-anak kecil dalam pertemanan mereka kadang menjelekkan teman yang lain, maksudnya “I am a better friend, saya ini kandidat teman yang lebih baik, jadi jangan berteman dengan dia”, supaya orang berteman dengan dirinya dan tidak berteman dengan teman yang dia jelek-jelekkan itu. Anak-anak kecil belajar ini dari mana? Tidak ada yang mengajarkan, tapi koq bisa mereka bisa punya akal seperti ini. Namun yang lebih menakutkan, orang sudah dewasa pun masih ada yang seperti ini; jadi sebetulnya ini orang dewasa atau anak kecil?? Hidupnya dipenuhi rasa tidak aman (insecurity), lalu dia mau mendapatkan afirmasi bagi dirinya sendiri; dan dia pikir, dengan menjelek-jelekkan orang lain, reputasinya lebih aman.
Saudara jangan lupa, salah satu dari Sepuluh Hukum mengatakan “jangan kamu menjadi saksi dusta” –jangan kamu memprofil negatif tentang orang lain, jangan memfitnah, jangan merendahkan orang lain padahal itu sebenarnya tidak benar. Waktu kita membaca Sepuluh Perintah Allah sebagaimana diajarkan dalam Teologi Reformed oleh Yohanes Calvin, tidak cukup kita tidak melakukan larangan itu lalu berarti kita sudah kudus; ‘saya tidak memfitnah orang lain, saya tidak menjelek-jelekkan orang lain, berarti saya sudah menaati Taurat’, itu menurut Calvin belum cukup. Kita harus menggunakan lidah kita, juga untuk memperkatakan kebaikannya orang lain; itulah baru betul-betul mengerti artinya perintah “jangan kamu menjadi saksi dusta”. Dunia ini dipenuhi dengan orang-orang iri hati, orang-orang sempit hati, orang-orang yang rasa diri tidak aman, dsb., yang suka sekali mebicarakan kejelekan orang lain –dan sebagian dari ceritanya itu tidak benar– tapi Saudara dan saya dipanggil untuk menjadi seperti Yesus Kristus.
Saya seringkali mengutip kalimat Yesus yang keluar dari atas kayu salib itu; di situ Yesus tidak menelanjangi keberdosaan orang-orang yang menyalibkan Dia lalu membawanya ke hadapan Bapa –bukan itu yang dilakukan Kristus—Dia sangat tahu mereka orang-orang berdosa dan penuh kebencian terhadap diri-Nya, tapi Dia mengatakan kepada Bapa: “Ya, Bapa, ampunilah mereka, mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat”. Saudara lihat di sini, sebetulnya kalau Yesus bilang ‘Bapa, ini adalah orang-orang berdosa yang penuh kebencian, mereka menyalibkan Aku’, itu juga tidak salah karena memang fakta. Tapi kalau kerohanian kita cuma sampai pada level fakta, misalnya kita mengatakan kejelekan orang lain yang memang faktanya jelek, itu belum seperti Yesus –meskipun kita tidak memfitnah. Kita seperti Yesus kalau kita bisa menutupi kesalahannya orang lain, bukan karena kita naif atau bodoh, melainkan karena kita memiliki cinta kasih Kristus.
Dalam Perjamuan Kudus kita mengingat cinta kasih Kristus, yang menutupi kesalahan kita, yang tidak memprofil negatif meskipun kita betul-betul negatif. Yesus tidak berhenti bersyafaat; waktu Dia naik ke surga, Dia terus-menerus menopang kita dengan menjadi pendoa syafaat. Waktu kita gagal, jatuh, kita tidak tergeletak, kita tidak menjadi murtad, karena ada Yesus yang terus mendoakan kita. Ada ayat yang sangat indah mengenai kejatuhan Petrus; sebelum Petrus jatuh, dia sudah dinubuatkan: “Petrus, kamu akan menyangkal Aku tiga kali, tapi Aku mendoakan engkau”. Doa Yesus itu yang menyelamatkan Petrus; kalau Yesus tidak berdoa untuk Petrus, Petrus akan jadi seperti Yudas. Kita dipanggil dalam kehidupan yang terus bertumbuh di hadapan Tuhan, untuk perkataan kita semakin menyerupai perkataan Kristus.
Hubungan perikoretik ‘Bapa di dalam Anak dan Anak di dalam Bapa’, juga bisa kita hayati aplikasinya ‘Kristus di dalam kita, dan kita di dalam Kristus’. Tapi apa artinya Bapa di dalam Anak dan Anak di dalam kita? Kalaukita membaca dalam Yohanes 14, di situ dikatakan: “Anak berkata-kata bukan dari diri-Nya sendiri, melainkan apa yang Dia terima dari Bapa”, Anak selalu berkata-kata yang adalah kata-kata Bapa-Nya. Dengan demikian kita juga bisa mengatakan, ‘Kristus di dalam kita’ maksudnya adalah: kita juga belajar berkata-kata bukan dari diri kita sendiri, tapi perkataan yang keluar adalah perkataan dari kekayaan firman Kristus di dalam kehidupan kita. Semakin kita dikuduskan di dalam Kristus, semakin kita menikmati persekutuan di dalam Kristus, semakin lidah kita ini dikuduskan oleh Tuhan.
Kiranya Tuhan memberkati kita semua.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading