Ini adalah mazmur yang ke-2; dalam hal ini, menurut pandangan para ahli Perjanjian Lama penafsir kitab Mazmur, mazmur ini merupakan semacam double introduction dari keseluruhan kitab Mazmur. Kalau diselidiki secara historis, kemungkinan sebelum ada pasal 1 maka Mazmur 2 inilah yang merupakan bingkai luar (outer frame) kitab Mazmur, baru kemudian berkembang lagi sehingga belakangan yang jadi bingkai luarnya sekarang adalah Mazmur 1. Jadi Mazmur 1 sebenarnya lebih belakangan daripada Mazmur 2, bahkan daripada semua mazmur lainnya.
Kalau kita menerima pandangan tentang double introduction ini, maka kita bisa membaca keseluruhan Kitab Mazmur dari perspektif Taurat (pengajaran), yaitu pembacaan menurut introduksi Mazmur 1; sementara kalau kita membaca Mazmur 2 sebagai introduksi, mazmur ini tentang pertanyaan komunitas beriman, diperhadapkan dengan problem dari sejarah yang ditentukan oleh bangsa-bangsa yang sedang bersaing mendapatkan kuasa –di bagian ini disebutkan istilah ‘bangsa-bangsa’, ‘suku-suku bangsa’, ‘raja-raja dunia’. Dunia kita ini, mau atau tidak mau, senang atau tidak senang, dikuasai oleh kekuatan-kekuatan (power); dan kita sebagai komunitas yang beriman, berurusan dengan kuasa-kuasa yang ada dalam dunia (worldly powers) ini. Di dalam konteks inilah, Tuhan membangkitkan raja yang diurapi, yang disebut mesias (ayat 6-7). Di ayat ini, mesias disebut juga sebagai anak Allah (son of God).
Waktu mendengar istilah ‘anak Allah’, kita biasa langsung berpikir tentang Kristus; ini memang tidak salah, ini pembacaan Perjanjian Baru. Tetapi, keindahan dari Perjanjian Lama seperti Mazmur 2 ini, adalah membuat kita sedikit mundur terlebih dahulu, kita mau mempelajari apa makna ‘anak Allah’ menurut Perjanjian Lama. Yesus disebut Anak Allah, tapi sebutan ‘anak Allah’ bukan pertama kali muncul pada diri Yesus ini; Perjanjian Lama sudah bicara tentang anak Allah. Waktu kita membaca ayat-ayat seperti dalam Mazmur 2 ini, kita jadi bisa lebih mengerti sebutan ‘anak Allah’ ini maksudnya apa.
Sedikit mirip dengan Mazmur 1 yang menggambarkan kontras antara orang benar dan orang fasik (antara jalan orang benar dan jalan orang fasik), Mazmur 2 ini bicara tentang Kerajaan Allah (Kingdom of God) dan kerajaan di dalam dunia ini (kingdom of the earth) dengan penguasa-penguasanya. Mazmur ini sedang berurusan/membahas pertanyaan tentang kuasa (power) yang ada dalam dunia ini. Mazmur ini mempertanyakan, adakah kuasa yang paling ultimat yang mengontrol kuasa-kuasa yang ada di dalam dunia ini; kalau ada, di manakah itu. Dan jawabannya, menurut Mazmur 2 kuasa itu diberikan kepada mesias, yang disebut “anak Allah”. Memang kita tahu dan kita sudah membaca dalam Perjanjian Baru, bahwa bagian ini menunjuk kepada Kristus; tetapi dalam konteks Perjanjian Lama, ini sebetulnya menunjuk kepada peristiwa raja yang dinobatkan/dilantik. Ini pembicaraan tentang inaugurasi raja. Secara ‘setting in life’, Mazmur ini dipercaya digunakan dalam upacara-upacara inaugurasi raja. Dan kalau kita melakukan perbandingan dalam kritik history of religion, tampaknya konsep ini tidak secara unik hanya ada di Israel. Kita membaca dalam literatur-literatur kerajaan Timur Dekat Kuno, bahwa raja-raja memiliki relasi khusus dengan dewa-dewa, raja-raja diciptakan dan dipilih oleh yang ilahi, raja-raja diperlengkapi dengan kemegahan dan kuasa untuk mengukuhkan pemerintahannya di atas bangsa-bangsa yang lain dan mempertahankannya atas musuh-musuhnya; dalam hal ini, Israel bersikeras bahwa raja mereka juga dipilih dan ditentukan oleh TUHAN. Dan Mazmur 2 ini lebih membicarakan tentang Yahweh/Allah yang adalah Raja di atas segala raja, daripada membicarakan tentang raja yang dipilih itu.
Dalam salah satu tafsiran, ada konsep yang bagus; tafsirannya mengatakan sbb.: “The idiom found in the psalms was used to express faith in what the Lord, the God of Israel, was working out through the office of the Davidic kingship.” Maksudnya, Mazmur ini mengekspresikan iman kepada Yahweh, TUHAN, Allah Israel, yang bekerja melalui jabatan dalam kerajaan Daud. Jadi yang penting bukan rajanya, melainkan terutama adalah Yahweh/TUHAN sendiri dan ‘jabatan raja’-nya, bukan individu rajanya sendiri; situasi historisnya secara partikular tidaklah sepenting pengertian ‘jabatan raja’-nya. Dengan demikian, di sini kita tidak terlalu membicarakan raja siapa yang dimaksudkan di sini –apakah Daud, atau Salomo, atau Saul, atau siapapun– karena yang dibicarakan adalah ‘jabatan raja’-nya. Seorang raja yang dilantik, adalah merupakan satu tindakan Ilahi; ini menyatakan Tuhan-lah yang berdaulat, yang memilih raja itu. Waktu di sini ada 2 titel yang disebut, yaitu ‘yang diurapi’ (mesias) dan ‘anak-Ku’, ini merupakan simbol dari pilihan Ilahi tersebut. Istilah ‘yang diurapi’, maksudnya Yahweh-lah yang memilih untuk mengurapi dia; sementara di ayat 7 dikatakan “Anak-Ku engkau! Engkau telah Kuperanakkan pada hari ini.”
Sepanjang seluruh mazmur Daud, hanya Mazmur 2:7 inilah satu-satunya yang menyebutkan “Anak-Ku engkau” –pakai istilah ‘anak’. Maksudnya, ritual pelantikan raja dimengerti sebagai divine begetting (dilahirkan secara ilahi) dari sang raja sebagai anak Allah. Kaisar-kaisar Roma menyebut dirinya anak allah, begitu juga kaisar di Jepang diaggap keturunan dari dewa matahari, atau dalam kultur Tionghoa ada istilah ‘anak langit’; inilah yang dimaksud dengan istilah ‘divine begetting’. Saya pikir, kita musti membahas bagian ini sebagai satu keindahan dari Perjanjian Lama, baru kemudian kita terapkan pada Kristus dan melihat keindahan yang lebih limpah lagi. Raja-raja atau kaisar-kaisar yang dimengerti sebagai anak langit itu, dianggap mempunyai hak khusus dan kewajiban yang khusus pula terhadap alam. Penetapan ilahi itu memberikan kepada raja, penguasaan yang sifatnya universal. Ketika di bagian ini pakai bahasa-bahasa yang sepertinya penuh kekerasan, itu sebenarnya sesuatu yang umum dipakai dalam bahasa kerajaan konvesional. Misalnya ayat 9, “Engkau akan meremukkan mereka dengan gada besi, memecahkan mereka seperti tembikar tukang periuk”; ada istilah-istilah yang seperti penuh kekerasan, tapi itu merupakan ekspresi yang wajar dalam literatur-literatur kerajaan untuk menyatakan penguasaan yang sifatnya universal.
Kita pasti tahu, dalam sejarah Israel waktu bicara tentang raja-raja dari suku Yehuda (keturunan Daud), gambarannya seperti kontras dengan gambaran sejarah yang sesungguhnya, karena seberapa pun megahnya Daud, bahkan juga Salomo, penguasaannya bukan sampai ke seluruh dunia. Itu sebabnya, adalah tepat ketika penafsir mengatakan bahwa logika mazmur ini sifatnya lebih ke teologis, bukan historis. Mazmur ini mengajarkan kepada kita, bahwa iman kepada Tuhan/Yahweh yang bertakhta di surga, itulah kuasa yang paling tinggi (ultimate power) –meski dalam sejarah seperti bukan kenyataan. Jadi, waktu kita mencoba untuk mengerti mazmur ini, tidak bisa tidak kita harus melibatkan perspektif eskatologis.
Sama seperti di mazmur ini, dalam dunia kita juga mendapati bahwa seringkali yang menang sepertinya kuasa-kuasa dunia ini, bukan kerajaan Allah. Kita melihat lagi dan lagi dan lagi, akhirnya yang menang adalah orang kaya, yang punya kekuatan ekonomi. Kita melihat lagi dan lagi dan lagi, kuasa politik yang sombong, yang tidak menundukkan diri di hadapan Tuhan, bisa berkuasa begitu lama. Kita bersyukur di Indonesia ada anugerah umum yang besar dalam hal ini, tapi coba lihat pemerintahan di China, mereka menganiaya orang-orang Kristen. Melihat keadaan seperti ini, kita bertanya-tanya, Mazmur 2 ini cuma imajinasi atau apa sebenarnya?? Tidak cocok dengan sejarah! Itu sebabnya, saya pikir kita musti membaca mazmur ini dari perspektif teologis, bukan perspektif historis. Kalau kita membacanya dari perspektif historis, kita bisa kecewa. Contohnya, ada orang yang membaca kitab Wahyu secara mencocok-cocokkan dengan sejarah sekarang, ini kira-kira yang disebut ‘naga’ sebenarnya siapa, yang disebut ‘perempuan’ maksudnya siapa –dikait-kaitkan dengan peristiwa hari ini—tapi kita di dalam teologi Reformed, tidak biasa membaca Wahyu secara seperti itu.
Ada kebahayaan ketika membaca bagian-bagian Alkitab, seperti Mazmur 2 ini, dengan dikaitkan perspektif historis, karena kita malah bisa jadi kecil hati, kecewa, lalu meragukan Firman Tuhan, menganggap Firman Tuhan bohong. Kita musti membaca mazmur ini dari perspektif sebagaimana yang dikatakan orang Reformed, yaitu ada tension antara already and not yet, bahwa Kerajaan Allah sudah hadir, sudah diinisiasi oleh Yesus Kristus waktu Dia datang pertama kali (inkarnasi), tapi juga belum sepenuhnya (completed). Ada paradoks di sini: Kerajaan Allah sudah datang, sekaligus juga belum datang; itu sebabnya kita berdoa dalam Doa Bapa Kami, “Datanglah Kerajaan-Mu”.
Di dalam dunia ini, selalu ada pencobaan untuk menaklukkan diri lalu mempercayakan diri kepada kuasa-kuasa yang ada di dunia, yang dalam mazmur ini dipakai istilah ‘bangsa-bangsa’, ‘raja-raja dunia’ –maksudnya worldly powers (kuasa-kuasa dunia). Dalam hal ini, saya pikir, kita musti menerjemahkan bagian ini ke dalam konteks kehidupan kita sekarang. Indonesia memang tidak sedang konflik –misalnya seperti dengan Malaysia di zaman Presiden Soekarno—tapi sampai sekarang pun kita masih sangat bisa membicarakan adanya kuasa-kuasa di dalam dunia ini, kuasa-kuasa politik, kuasa militer, juga kuasa-kuasa ekonomi yang tidak bisa dipandang rendah. Kalau di zaman Luther, bahkan kuasa-kuasa yang ada di dalam Gereja pun menakutkan sekali, sudah seperti kuasa-kuasa dunia. Dan di zaman kita sekarang juga ada kuasa media (the power of media) –khususnya the power of social media. Dalam hal ini, kita ada kebahayaan untuk lebih percaya kepada kuasa-kuasa itu daripada percaya kepada the ultimate power of Yahweh, yang sepertinya tidak kelihatan, yang sepertinya bukan realitas. Di sinilah tantangan iman, masihkah di dalam keadaan yang dipenuhi dengan kuasa-kuasa dunia ini kita percaya kepada kuasa ultimat Yahweh? Waktu Saudara berbisnis atau berdagang, Saudara lebih percaya kuasa yang mana? Menurut prinsip Kerajaan Allah-kah? Atau Saudara anggap ‘gak jalan-lah prinsip Kerajaan Allah di dalam dunia bisnis, yang jalan dalam dunia bisnis, ya, power of money-lah pasti’. Inilah pencobaanya orang Kristen, yaitu tunduk pada kuasa-kuasa yang ada dalam dunia (worldly powers). Datang ke gereja, sih, datang, tapi waktu di dalam dunia mereka tunduk pada kuasa-kuasa dunia,seakan-akan penguasaan Yahweh cuma ada di hari Minggu di gereja saja. Itu sebabnya ayat 12b ini penting sekali: “Berbahagialah semua orang yang berlindung pada-Nya!” Kata ‘berlindung’ ini terjemahan bahasa Inggrisnya ‘who take refuge’. Maksudnya, kuasa-kuasa dunia ini destruktif, menghancurkan, maka di sini berbahagialah yang berlindung kepada penguasaan yang baik.
Ada satu teks yang indah sekali ditulis oleh Dietrich Bonhoeffer, waktu dia di penjara karena dianggap terlibat persekongkolan untuk membunuh Hitler. Judul tulisannya “Von guten Mächten”, yang kalau diterjemahkan secara literal bicara tentang kuasa yang baik. Kalimat dalam tulisannya mengatakan: ‘Von guten Mächten wunderbar geborgen’, artinya: oleh kuasa yang baik, kita ini dipelihara/diayomi. Bonhoeffer menulis kalimat ini waktu dia ada di penjara, waktu dia betul-betul mengalami kejamnya worldly powers. Orang-orang seperti Bonhoeffer ini memilih untuk berlindung (took refuge) di dalam Tuhan, daripada tunduk kepada Hitler dan aman. Demikian juga di Tiongkok, orang-orang seperti Wang Yi memilih tunduk kepada the good powers, yaitu Tuhan, daripada kepada pemerintah yang tidak mengerti Kekristenan. Bagaimana dengan Saudara dan saya di Jakarta? Negara kita memang tidak menganiaya orang Kristen, tapi bukan berarti di Jakarta tidak ada worldly powers.
Mazmur 2 ini mengundang dan memberikan kepada kita keberanian untuk senantiasa percaya kepada the good power itu, kuasa Yahweh itu, meskipun di dalam dunia ini kelihatannya seperti tidak historis, seperti bukan realita. Orang-orang Israel pada zaman itu juga melihat seperti ada jarak antara ideal dari mazmur ini dibandingkan realitas pengalaman hidup mereka. Itu sebabnya kita juga bisa membaca mazmur ini dari perspektif kitab nabi-nabi yang menubuatkan kerajaan Daud yang akan datang (eskatologis). Kita tidak bisa memahami Mazmur 2 ini tanpa perspektif eskatologis; dan karena itu tepat sekali kalau Mazmur 2 ini kita terapkan pada Kristus, yang juga eskatologis. Tapi sebelum masuk ke sana, kita masih mau menggali dalam konteks Perjanjian Lama.
Dalam Perjanjian Lama, Mazmur ini juga boleh dibaca dalam pembacaan yang sifatnya “demokratisasi” dari istilah raja; maksudnya, ‘raja’ di bagian ini bukan dimengerti sebagai raja yang cuma satu di Israel, melainkan dalam pengertian bahwa semua orang Israel adalah raja. Saudara bayangkan misalnya mazmur seperti ini dibaca di dalam zaman pembuangan atau bahkan lebih belakangan lagi, ketika itu mana rajanya? Memang tidak ada. Itu sebabnya di dalam iman orang Israel, mereka mengerti bahwa semua orang Israel rajanya adalah rajanya, yang diurapi oleh Tuhan. Demikian juga waktu kita mau menghayati mazmur ini; di negara kita Indonesia ini tidak ada raja, kalau begitu siapa rajanya? Yaitu kita semua. Semua orang Kristen adalah imam, semua orang Kristen punya fungsi nabi. Demikian juga semua orang Kristen juga punya fungsi raja; inilah yang dimaksud dengan demokratisasi dari mazmur ‘raja’.
Saudara bisa juga membaca konsep seperti ini di Mazmur 8. Di situ Saudara dapat melihat dengan jelas demokratisasi konsep ‘raja’; biasanya raja cuma 1 orang tapi sekarang konsep ini bahkan dikenakan untuk semua umat manusia. Mazmur 8: 5, “… apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya?” Disambung ayat 6: “Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah”, lalu perhatikan: “dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat” –ini bahasa tentang raja/royal. Siapa biasanya yang dimahkotai? Tentu saja raja. Tapi, siapa raja itu? Kalau menurut penulis Mazmur 8, raja itu adalah manusia. Ini bukan sekedar bicara tentang Daud –dan cuma Daud saja—tapi bicara tentang umat manusia, yang semuanya adalah raja, dan karena itu dimahkotai dengan kemuliaan dan hormat. Itu sebabnya –masih dalam konteks Perjanjian Lama—kita bisa mengerti Mazmur 2 ini bahwa raja yang diurapi itu adalah Israel. Tentu kita bisa juga membacanya sebagai Daud, tapi kita juga bisa membacanya sebagai seluruh orang Israel.
Lalu kalau kita membaca titel atau sebutan raja sebagai ‘anak Allah’ di Mazmur 2 ini, kita bisa mengerti, itu sebabnya di Perjanjian Baru Yesus dikatakan mempunyai relasi yang sangat khusus dengan Allah –yaitu karena titel ‘Mesias’ dan titel ’Anak Allah’ seperti yang dibicarakan di Mazmur 2. Maksudnya, kita musti membaca titel Yesus sebagai ‘Anak Allah’ dari perspektif Mazmur 2, bukan cuma membaca Mazmur 2 dari perspektif ‘Yesus Anak Allah’. Kita bisa membaca Perjanjian Baru dari perspektif Perjanjian Lama, atau membaca Perjanjian Lama dari perspektif Perjanjian Baru, karena dua-duanya betul. Di sini Saudara bisa mengerti pergumulannya jemaat mula-mula. Ini seperti kalau dalam tradisi Tiongkok, yang biasa pakai titel ‘anak langit’ adalah kaisar, lalu Saudara hidup pada zaman itu tapi Saudara bilang “anak langit itu adalah Yesus”. Di situ Saudara betul-betul dalam bahaya, bisa dipenggal kepalanya. Itulah yang dialami jemaat mula-mula; ketika itu Kaisar menyebut dirinya ‘anak Allah’, Kaisar adalah soter (juruselamat), Kaisar itu membawa kabar baik (itulah kepercayaan pada saat itu), tapi Markus mengatakan, ‘O, tidak, yang Anak Allah adalah Yesus, Yesus itu Juruselamat, dan Yesus datang membawa kabar baik’ —semua istilah yang persis dipakai dalam penyembahan kaisar pada waktu itu. Di zaman ini kita kehilangan kosa kata yang polemik seperti itu; kita tidak ditangkap kalau bilang “Yesus adalah Juruselamat” karena memang tidak ada orang yang menyebut dirinya juruselamat, tetapi jemaat mula-mula, waktu mereka mengaku kalimat seperti itu, mereka sangat mungkin menjadi martir.
Demikian juga kalau kita membaca dari perspektif Perjanjian Baru; misalnya Kisah Para Rasul mengutip Mazmur 2 ini dalam Kis. 4: 23-31; di situ digambarkan bahwa bangsa-bangsa non Yahudi melawan Kristus, Yang Diurapi. Itu sebabnya Mazmur 2 juga menjadi dasar/basis yang membuat jemaat mula-mula punya keberanian untuk bersaksi, di tengah-tengah adanya ancaman untuk tunduk kepada kuasa-kuasa dunia dan tidak berlindung kepada Yahweh. Dalam konteks kita, meskipun tidak ada penganiayaan orang Kristen, tapi saya tidak percaya kalau di negara kita tidak ada worldly powers. Dari zaman ke zaman, kuasa-kuasa dunia itu selalu ada, termasuk juga di zaman kita, di Jakarta kota kita. Yang saya kuatirkan, orang Kristen tidak menyadari kalau itu adalah worldly powers, lalu dengan gampangnya menyerahkan kepalanya ikut kuasa-kuasa dunia. Itu sebabnya kita ini seperti “kurang menderita”. Kalau kita tunduk kepada kuasa-kuasa dunia,tentu saja tidak ada penganiayaan. Misalnya Saudara percaya pada the power of money (kuasa uang), ‘yah, hidup di dunia ini, musti kenalan dengan orang-orang yang berkuasalah, supaya kalau ada kesulitan kita amanlah’, di situ sepertinya Saudara aman. Itu sebabnya, daripada berlindung kepada Yahweh, kita lebih memilih untuk berlindung kepada worldly powers itu. Mazmur 2 ini sekali lagi mengundang kita, jangan tunduk kepada raja-raja dunia karena mereka bukan kekuasaan yang paling ultimat –sekalipun kita belum bisa melihatnya sekarang. Dalam hal ini, Injil adalah termasuk bagaimana kita belajar percaya dan mempercayakan diri kepada Anak Allah, pada pemerintahan-Nya dan Kerajaan-Nya, yang berada dalam oposisi dengan worldly powers.
Ada satu kutipan yang bagus dari tafsiran, sbb.: “Preaching the Son of God is a mission, designed for the situation of conflict” (memberitakan Anak Allah adalah satu misi yang didesain di dalam situasi konflik). Maksudnya, kita dipanggil untuk memberitakan Anak Allah di dalam situasi yang bersifat polemik. Tetapi seringkali waktu kita memberitakan Injil, kita mau selunak mungkin supaya bisa diterima, semulus mungkin supaya kita tidak usah menambah musuh, bahkan kalau bisa sedikit menyesuaikan dengan selera dunia ini supaya kita jangan dibenci. Maka tidak heran kalau Kekristenan jadi tidak ada pengaruhnya. Pada zaman jemaat mula-mula, Kekristenan jumlahnya tidak banyak tapi begitu mempengaruhi dunia, sementara sekarang Kekristenan sepertiga penduduk dunia, tapi lihat, pengaruhnya apa? Kerajaan Allah tidak bergantung pada jumlah, melainkan bergantung pada sikap hati yang mau tunduk kepada Yahweh daripada tunduk kepada aturan-aturan worldly powers. Waktu Kekristenan lebih memilih untuk tunduk kepada kuasa-kuasa dunia ini, ya, sudah, tidak ada pengaruh apa-apa, lupakan saja Kekristenan, masa depannya gelap sekali.
Terakhir, dari perspektif kitab Wahyu kita juga bisa membaca Mazmur 2 sebagai nubuatan eskatologis. Dari kitab Wahyu, ada ayat yang dipakai dalam oratorio-nya Handel, Messiah; dalam Hallelujah Chorus, ada kata-kata “The kingdom of the world is became the kingdom of our Lord, and of His Christ; He shall reign for ever and ever”. Ini adalah janji yang kita terima dari Alkitab. Tapi kalau Saudara mendengar kotbahnya dunia, Saudara akan mendengar kalimat seperti ini: “Money shall reign for ever and ever, and ever, and ever” –itunamanya‘money chorus’. Di sini Saudara dipanggil untuk menentukan sikap, tunduk kepada worldly powers dan sepertinya kelihatan aman tapi terakhir akan dihakimi oleh Tuhan, berurusan dengan murka Tuhan; atau kita berlindung pada Allah dan pada Kristus.
Kiranya Tuhan memberkati kita semua.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading