Bagian ini adalah kesimpulan dari bagian yang kita sudah bahas, yaitu persidangan Stefanus. Stefanus ini disidang dalam persidangan Mahkamah Agama, untuk mempertanggungjawabkan apa yang dia kerjakan. Mereka pada dasarnya tidak kreatif, mereka menuduhkan sesuatu yang sama dengan yang mereka tuduhkan kepada Yesus; Stefanus dituduh menghujat agama Yahudi, yaitu menghujat hukum Musa dan menghujat Bait Suci –sama dengan tuduhan yang dituduhkan kepada Yesus.
Apakah Stefanus betul melakukan itu? Dalam pledoinya, kita bisa simpulkan: ya dan tidak. Ya, karena Stefanus menjabarkan bagaimana Bait Suci bukan lagi tempat yang didiami Allah, karena Allah tidak berdiam dalam kemah yang dibikin manusia, kerangkeng/kandang yang dibikin manusia untuk Tuhan, supaya seolah-olah dengan convenient Tuhan bisa di-conjured up, bisa disuruh-suruh untuk muncul sekarang atau ‘sekarang gua lagi mau happy-happy, jadi pause dulu, gua ‘gak mau lihat muka Lu, jangan muncul dulu, ya Tuhan’, seolah-olah Tuhan bisa di-conjured up dan di-conjured down, bisa di on and off semau kita.
Tentu bukan semua orang, namun beberapa orang dalam Perjanjian Lama dan juga dalam zaman Yesus, menganggap Bait Suci Yerusalem adalah semacam itu, suatu teknologi untuk menghadirkan Tuhan, teknologi untuk memastikan penyertaan Tuhan, teknologi untuk mengundang dan barangkali juga menghentikan Tuhan –untuk mengendalikan Yang di Atas. Ini adalah semacam yang dikerjakan bangsa-bangsa –yang tidak menyembah Yahweh– kepada dewanya, lalu hal ini dikerjakan oleh mereka di Yerusalem untuk menyembah Yahweh. Itu sebabnya Stefanus mengatakan, “Nenek moyangmu mengusung kemah Molokh, bintang ilahmu Refan, patung-patung yang kamu buat untuk disembah (patung lembu emas).” Patung lembu emas itu bukan dimaksudkan sebagai bentuk Tuhan, tapi sebagai perwujudan dari kendaraan Tuhan. Jadi ketika dikatakan Harun, “Lihatlah Allahmu yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir”, maksudnya bukan Allah Israel adalah lembu, tapi bahwa Allah Israel tidak kelihatan, dan diusung oleh lembu tersebut. Ini sesuatu yang mau mengatakan bahwa orang Israel barangkali menyembah Allah yang benar, Allah yang sejati, namun dengan cara yang sama seperti bangsa-bangsa lain. Kira-kira itulah tuduhan Stefanus.
Allah tidak berkenan kepada mereka, sehingga Allah membuang nenek moyang orang Israel yang menyidang Stefanus ini. Namun Allah adalah Allah yang panjang sabar dan berlimpah belas kasihan, maka Dia menyertai hukuman-Nya itu dengan janji. Allah berjanji di ujung penghukuman-Nya, bahwa akan ada pengampunan; setelah Israel dibuang, mereka akan dipanggil pulang, mereka akan kembali ke Yerusalem, dan Allah akan kembali berkenan kepada mereka, kalau mereka mengikuti Orang Benar yang dibangkitkan Allah itu, yang seperti Musa. Sebagaimana Musa memanggil mereka keluar dari perhambaannya di Mesir, demikianlah Orang ini –yang kemudian hari disebut Mesias– akan memanggil mereka keluar dari perhambaan idolatry mereka. Tapi, Stefanus mengatakan, Orang itu bukannya mereka ikuti, malah mereka bunuh. Orang Benar yang dari Tuhan itu dibunuh oleh umat Israel; Stefanus mengatakan “Nenek moyangmu sudah membunuh Orang Benar yang dari Tuhan itu.” Tentu kita tahu, yang dimaksudkan oleh Stefanus adalah Yesus. Yesus dibunuh oleh mereka; dan mereka inilah yang sekarang menyidang Stefanus.
Perkataan Stefanus ini membuat mereka panas hati, lalu mereka yang tertusuk hatinya itu melempari Stefanus sampai mati. Jadi pada akhir persidangan Stefanus, pledoinya bukan menghasilkan pengurangan hukuman atau menghindarkan dia dari hukuman mati, tapi malah membuat mereka menyetop persidangan itu. Beberapa penafsir mengatakan, Stefanus bukan dieksekusi sebagai hasil proses persidangan, melainkan dibunuh oleh gerombolan (mob violence), yang bersifat ekstra-yudisial (di luar persidangan). Jadi, ini adalah sebuah pembunuhan –demikian Lukas mengatakannya dalam pasal 8:1a, ‘Saulus juga setuju dengan pembunuhan atas Stefanus’. Kalau orang dihukum mati, memang nyawanya hilang, tapi tidak bisa dikatakan dia dibunuh; seperti halnya orang-orang yang dihukum mati di Indonesia, tidak dikatakan pemerintah membunuh mereka melainkan pemerintah mengeksekusi mereka. Kenapa tidak dikatakan membunuh? Karena mereka sudah melewati proses persidangan, maka itu bukanlah pembunuhan. Pembunuhan adalah kalau orang yang satu punya niat jahat terhadap orang yang lain (bahkan pemerintah pun bisa melakukan ini, seperti pembunuhan politik yang pemerintah lakukan terhadap musuh negara); dan ini berbeda dari eksekusi, karena eksekusi melewati proses pengadilan, sedangkan pembunuhan tidak. Stefanus dibunuh, menurut perspektif Lukas, bukan dieksekusi. Kenapa demikian? Karena persidangannya belum selesai. Stefanus baru bersaksi, lalu mereka tidak mau mendengar suara Stefanus, mereka menghentikan dia, mereka menyeret dia keluar kota, dan langsung melempari dia dengan batu.
Stefanus dibunuh oleh mereka; dan ini menyatakan persis apa yang mereka lakukan terhadap Yesus. Bahkan Stefanus di akhir hidupnya juga berseru kepada Tuhan seruan yang sama dengan Yesus, “Janganlah tanggungkan dosa ini kepada mereka.” Ini tentu mengingatkan para pembaca Lukas akan apa yang dikerjakan Yesus sebelum Dia meninggal.
Menarik bahwa Kisah Para Rasul ini ditulis oleh Lukas, teman seperjalanan Paulus. Paulus dan Lukas pernah berada dalam penjara yang sama, rumah penginapan yang sama. Jadi Saudara bisa bayangkan seperti ini: malam-malam setelah mereka selesai mengajar dan melakukan rutinitas, mereka kemudian ngobrol; ketika itu Lukas sambil meneliti dan mengumpulkan bahan tulisannya, dia memperlihatkan draft-nya kepada Paulus untuk dibaca. Di sini saya jadi ingat N.T. Wright dan Brian Walsh (yang menulis “The Transforming Vision”) pada suatu ketika tinggal sama-sama kira-kira satu tahun, dan setiap sore selesai Wright meneliti dan menulis pada hari itu mengenai commentary, dia lalu memberikan kepada kawannya itu, dan mereka mendiskusikan apa yang ditulis hari itu, lalu besoknya begitu lagi. Demikianlah yang mungkin terjadi di antara Lukas dan Paulus; dan Saudara bisa bayangkan Lukas menyampaikan draft bagian ini, pasal 8 awal ini, dan dia tulis di situ ‘Saulus juga setuju atas pembunuhan Stefanus’ (Saulus adalah nama Ibraninya Paulus; Paulus merupakan nama Yunani). Mungkin Paulus lalu manggut-manggut, mungkin mukanya jadi serius, mungkin dia jadi ingat ketika dia masih punya mindset bahwa orang-orang Kristen harus dilenyapkan, sebagaimana diikatakan di ayat 3 ‘Saulus berusaha membinasakan jemaat itu, dia memasuki rumah demi rumah, menyeret laki-laki dan perempuan (biasanya perempuan dikecualikan dalam perang), dan dijebloskan ke penjara’. Lalu Saulus, yang sekarang sudah dibaptis, sudah jadi Kristen, sudah jadi pemberita Injil Yesus, ketika membaca draft tulisan Lukas, dia membaca ada nama dia, nama Ibraninya yang sekarang sudah jarang dia pakai, dan orang tersebut, orang yang sudah mati itu (dalam surat-suratnya Paulus mengatakan ada bagian dalam diri seseorang yang sudah mati, ketika dia bersatu dengan kematian Yesus, dikuburkan dalam baptisan) –setuju atas pembunuhan Stefanus. Stefanus ini pada saat terakhirnya berseru kepada Tuhan, seperti Yesus berseru kepada Tuhan, menyerukan minta pengampunan dari Tuhan atas orang-orang yang membunuh dia; sedangkan Saulus setuju sepenuh hati atas pembunuhan Stefanus karena jemaat Kristen mula-mula ini harus dibinasakan, disetop, berhubung kehadiran mereka berarti ancaman, berhubung kalau mereka benar berarti orang-orang Yahudi salah. Itulah pemahaman Saulus pada waktu itu; dan bisa kita bayangkan ketika dia membaca draft tulisan Lukas ini, seperti apa kira-kira perasaannya.
Apa artinya bahwa jemaat Yahudi menganggap orang-orang Kristen sebagai ancaman? Saya kira, artinya mereka sedang meninggikan identitas agama mereka, di atas makna dan kesetiaan mereka terhadap perjanjian antara nenek moyang mereka dengan Musa. Setidaknya itulah yang coba ditekankan Stefanus dalam pledoinya, bahwa orang Yahudi sudah menggantikan kesetiaan, cinta, dedikasi yang sejati kepada Yahweh, dengan dedikasi kepada Bait Suci, penanda agama mereka. Apa bedanya cinta kepada Allahnya Israel –Allahnya Abraham, Isahk, dan Yakub– cinta kepada perintah-perintah-Nya (melakukan hukum Musa), dengan setia kepada Bait Suci dan membunuh orang yang dianggap menodai Bait Suci? Bukannya sama saja?? Bukannya Bait Suci adalah agama Musa, dan agama Musa adalah Bait Suci, sehingga kalau kamu cinta kepada hukum Musa, cinta kepada Yahweh, pasti kamu tersinggung kalau ada orang bilang “runtuhkan saja Bait Suci ini, dalam tiga hari Aku akan membangunnya”, kamu pasti tertusuk hatinya, dan membunuh orang semacam itu serta murid-muridnya toh?? Saya kira itu adalah perspektif dari Sanhedrin; sedangkan perspektif Kristen, perspektif murid-murid Yesus, bagaimana?
Menarik bahwa murid-murid Yesus yang mula-mula kebanyakan orang Yahudi juga, orang-orang yang membaca Taurat juga, orang-orang yang juga tetap pergi ke Bait Suci. Kita ingat, setelah Petrus dan Yohanes berkhotbah di Hari Pentakosta dan membaptiskan 3000 orang, mereka bukan lantas bilang, “Kami ini sekarang Kristen, kalian juga sekarang Kristen, jadi jangan lagi pergi ke Bait Suci”. Mereka tidak mengatakan itu; hari Sabat berikutnya mereka tetap datang ke Bait Suci Yerusalem, mereka ikut berdoa di sana (berdoa di Bait Suci itu bisa beberapa kali dalam sehari). Artinya apa? Artinya: anggota Sanhedrin melihat Yesus dan murid-murid-Nya –termasuk Stefanus yang mereka bunuh– adalah bukan Yahudi dan anti hukum Musa, dengan demikian kalau mereka ada, maka hukum Musa akan terancam, Tuhan benci mereka, dan mereka harus dibunuh. Itulah sikap orang Yahudi. Lalu bagaimana sikap orang Kristen? Apakah persis sama dengan itu hanya dibalik saja, bahwa selama orang Yahudi masih ada, selama Bait Suci masih berdiri, maka Kristen terancam, dan kita harus melenyapkan mereka? Jawabannya: tidak. Petrus, Yohanes, dan juga Stefanus, kita lihat tidak hendak melenyapkan Bait Suci, itu hanya tuduhan dari orang Yahudi; dan belakangan kita tahu Paulus juga bukan hendak melenyapkan agama Yahudi.
Surat Roma pasal 11 menyatakan hal yang sama mengenai pilihan: “mereka adalah orang-orang yang dicintai Tuhan menurut nenek moyang, tapi mereka seteru Injil karena kamu”; maksudnya apa? Maksudnya, mereka adalah umat Tuhan juga, tapi bukan berarti mereka lebih istimewa secara substansial dari yang lain karena mereka orang pilihan –lalu kita hubung-hubungkan dengan ‘pantas saja yang menang Nobel banyak orang Yahudi’ dsb.– melainkan ini suatu ingatan bahwaTuhan bukan menghadirkan orang Kristen sebagai antitesis yang terpanggil untuk melenyapkan/ menghancurkan tesisnya. Jadi, kita bukan terpanggil untuk menghancurkan apa yang ada di belakang kita supaya di atas puing-puingnya kita membangun Kekristenan.
Gereja Tuhan bukan dibangun di atas puing-puing Bait Suci, walaupun Bait Suci memang bakal jadi puing-puing (tapi bukan orang Kristen yang menghancurkan melainkan Titus, jendral Romawi). Orang Kristen tidak dipanggil untuk menghancurkan Bait Suci dan Yudaisme supaya mempersedikit saingan, lalu di atas puing-puing agama mereka itu kita membangun agama kita; alias kita sebagai antitesis, menghancurkan mereka sebagai tesis. Bukan itu panggilan kita. Namun ini tentu bukan berarti mereka tidak ada elemen yang berlawanan dengan kita, karena kenyataannya mereka memang memandang kita sebagai antitesis yang harus dilenyapkan. Jadi, saya kira agak bodoh kalau kita menyembah Yudaisme, menjadi fanboy-nya Yudaisme seolah-olah segala sesuatu yang berbau Yahudi pasti hebat banget. Itu sikap yang tidak tepat, keliru, karena mereka ingin melenyapkan kita; namun kita musti jelas bahwa panggilan kita bukan untuk melenyapkan mereka. Ini bukan karena kita tidak suka berantem, takut, atau apapun, melainkan karena itu memang bukan panggilan kita, karena Yesus tidak melakukan itu, Paulus tidak melakukan itu, Petrus dan Yohanes tidak melakukan itu, sehingga kita sebagai murid-murid Tuhan, orang-orang Kristen di abad 21 juga tidak terpanggil untuk melakukan itu, walaupun tentu saja kita mengetahui sepanjang 2000 tahun sejarah, ada periode gelap di mana orang-orang Kristen punya anggapan Yudaisme harus dilenyapkan karena mereka adalah pembunuh Tuhan.
Istilah “pembunuh Tuhan” ini, mungkin kita kurang peka sebagai orang Indonesia di mana orang Yahudi tidak terlalu banyak populasinya, sehingga ketika Mel Gibson mengeluarkan film “The Passion of the Christ”, kita jadi kurang peka juga bahwa film itu ada elemen-elemen anti Yudaisme yang agak mencolok. Dalam hal ini ada alasan kenapa mereka sensi banget, karena sejak Edict of Milan tahun 313, Kekristenan merajai sejarah di Eropa, orang-orang Yahudi terpinggirkan. Orang-orang Yahudi mengalami diskriminasi dalam dominasi Kekristenan selama setidaknya 1500 tahun. Intinya, sepanjang sejarah pernah ada periode kita menganiaya mereka, sementara dalam periode awalnya memang kita yang dianiaya mereka. Mengenai hal ini, kita perlu menyadari panggilan kita, sehingga kita perlu bertobat juga dari sikap tadi, sikap menuding “lu pembunuh Tuhan; maka pantaslah kalau kita jahat sama lu, mendiskriminasi kamu”, dst.; walaupun kita juga tidak perlu jadi fanboy Yudaisme. Kita cukup mengatakan, bahwa Tuhan tidak hendak membangun Gereja-Nya di atas puing-puing Yudaisme yang dilenyapkan, dihancurkan, dipunahkan sama sekali. Lalu apa yang hendak Dia kerjakan? Yaitu, untuk kita mengakui bahwa apa yang mereka terima merupakan bayang-bayang, petunjuk, untuk digenapi oleh Yesus, untuk digenapi oleh Gereja, umat Tuhan yang baru. Kita tidak mau mengatakan Yudaisme adalah antitesis, dalam pengertian harus dihancurkan, musuh dari Kekristenan; namun kita juga bukan mau mengatakan mereka itu golden era, masa keemasan yang harus kita ulangi, yang harus kita turuti karena mereka saudara tua. Kita mengatakan bahwa mereka itu mengalami/menyaksikan kehadiran Tuhan di masa lampau, di mana mereka dipilih sebagai satu bangsa, untuk melaluinya segenap bangsa mendapatkan berkat; lalu pada periode Yesus, ketika Mesias datang, mereka menolak Mesias itu, sehingga kemudian Mesias itu menjadi mesias bagi banyak bangsa, bahkan tanpa melalui peranan bangsa Yahudi. Jadi, tadinya panggilan Tuhan sejak Israel dipanggil adalah: segala bangsa akan mendapat berkat melalui mereka, mereka menjadi beacon of the nations, kota di atas bukit, terang dan garam bagi bangsa-bangsa; tapi karena mereka gagal, mereka menolak, mereka bisa dikatakan membunuh Mesias, maka yang terjadi adalah: berita Injil sampai secara langsung kepada bangsa-bangsa yang tidak mengenal Tuhan, bangsa gentiles yang tidak bersunat itu; secara langsung Tuhan berkarya di tengah bangsa-bangsa ini lewat pemberitaan para rasul tanpa mereka harus menganut atau menjadi simpatisan agama Yahudi, sebagaimana yang terjadi sekarang ini, sebagaimana yang terjadi selama 20 abad ini, yaitu Roh Allah ternyata bekerja di antara gentiles. Itulah yang dipersaksikan Lukas lewat kesaksian Petrus, Yohanes, Paulus, Barnabas, juga Apolos.
Mereka bersaksi bagaimana di tengah bangsa-bangsa yang tidak bersunat ternyata Roh Allah bekerja; bahwa ternyata Roh dari Allahnya Abraham, Ishak dan Yakub, juga bekerja di tengah bangsa-bangsa yang bukan Yahudi itu. Ini mau mengatakan apa? Mau mengatakan –sebagaimana dalam kitab Roma– bahwa karena ketidaktaatan mereka, kita dijadikan umat Tuhan. Tentu bukan berarti kalau misalnya Israel taat –kalau misalnya Yesus dikenali oleh imam dan imam berlutut di hadapan Yesus dan menerima Yesus, lalu Herodes pun demikian, lalu Yesus diterima di kalangan orang Yahudi dan semua orang Yahudi jadi Kristen– maka segala bangsa jadi tidak dapat berkat, jadi tidak diselamatkan gara-gara orang Yahudi menerima Yesus dengan baik, lalu agama Kristen jadi sekadar reformasi internal agama Yahudi untuk kalangan sendiri. Tentu tidak demikian. Yang saya mau katakan, mereka itu tidak taat secara de facto, mereka melawan Mesias yang dibangkitkan Allah, bahkan membunuh-Nya, dan karenanya terjadilah penyebaran kabar tentang Kerajaan itu tanpa lewat mereka, melainkan lewat rasul-rasul yang tidak semuanya orang Yahudi juga. Tidak hanya rasul-rasul yang 12 atau 13 orang itu, tapi juga sekelompok murid-murid lain dan juga muridnya murid, yang memberitakan kabar baik Injil itu. Injil sendiri tidak semuanya ditulis oleh rasul-rasul saja, tapi juga oleh murid-murid mereka, antara lain Yohanes Markus. Jadi, kabar mengenai datangnya pemerintahan Tuhan tersebar luas bukan hanya melalui orang Yahudi akhirnya –gara-gara penolakan orang Yahudi. Orang-orang Yahudi menolak Mesias; dan justru karena itu, kabar mengenai datangnya pemerintahan Tuhan tersebar dengan lebih cepat, termasuk melalui kita, orang-orang bukan Yahudi, orang-orang tidak bersunat.
Apa yang kita bisa refleksikan dari bagian ini? Saya kira, bagian ini bicara kepada kita mengenai sosok Stefanus, yang di satu sisi digambarkan mirip dengan yang terjadi pada Yesus. Stefanus dan Yesus ada paralelnya, bukan dalam arti Stefanus mati bagi manusia untuk menggantikan dosa atau hukuman mereka,melainkan dalam arti Stefanus mati karena tuduhan yang sama dengan Yesus; dan yang kedua, Stefanus mengampuni orang-orang yang membunuh dia secara tidak adil, seperti Yesus; dan ketiga, Stefanus juga diterima oleh Tuhan.
Dikatakan di bagian ini, Stefanus melihat langit terbuka dan Yesus berdiri di sebelah kanan Allah. Waktu dikatakan ‘Yesus berdiri’, gestur tersebut mewakili dua hal. Yang pertama, berdiri adalah sikap seorang saksi; artinya Yesus bersaksi membela Stefanus. Stefanus seolah-olah tidak ada yang belain dia dalam persidangan Sanhedrin, namun Stefanus tidak melihatnya demikian, Stefanus melihat ada yang belain dia, yaitu Yesus sendiri, Yesus yang bangkit. Yang kedua, berdiri adalah sikap menghormati dan menyambut orang yang sedang datang. Dalam sebuah persidangan, kalau hakim mau masuk atau mau keluar, maka semua orang di ruangan itu disuruh berdiri, karena hakim mewakili suara Tuhan atau pertimbangan Ilahi. Jadi, waktu dikatakan Yesus berdiri, artinya Dia menghormati seseorang yang akan datang; dan orang itu hanyalah seorang Stefanus. Coba bayangkan, kalau kamu datang, lalu Presiden Republik Indonesia berdiri menyambut kamu, kayaknya terhormat banget ‘kan. Ini cuma Stefanus doang, yang kalau dibandingkan dengan Petrus, Petrus itu berkhotbah lalu 3000 orang bertobat, sedangkan Stefanus mempertobatkan berapa orang?? Tidak ada catatannya. Namun demikian, waktu Stefanus kembali kepada kemuliaan, Tuhan berdiri menyambut dia.
Dari sini saya kira kita bisa belajar satu hal, bahwa kita mungkin kadang-kadang merasa sendirian waktu kita membela yang benar. Elia, dalam masa-masa paling gelap hidupnya, mengatakan, “Aku ini seorang diri saja berjuang keras, habis-habisan, untuk Tuhan, sementara yang lain sudah menyembah Baal –sudah ikut arus dunia ini”. Elia merasa terbakar amarah sendirian. Tapi kenyataannya tidak; Tuhan mengingatkan Elia bahwa ada 7000 orang yang mulutnya tidak mencium Baal. Dalam masa-masa sulit di mana 100 orang nabi Tuhan harus disembunyikan di sebuah gua supaya tidak dibunuh Ahab, ternyata masih ada 7000 orang lain –yang tidak disebut namanya maupun jabatannya—yang setia pada Tuhan. Jadi, Elia kelihatannya hanya merasa dia sendirian, namun kenyataannya dia tidak sendirian; sedangkan Stefanus, orang-orang melihat dia sendirian dikeroyok orang sampai mati, tapi dia tidak sendirian, ada yang menyertainya, ada yang membelanya, hanya saja mereka tidak bisa lihat –dan yang membela dia tidak lain tidak bukan adalah Yesus sendiri.
Saya mau menghubungkan hal tersebut dengan poin yang kedua; Stefanus biasanya dikaitkan dengan kemartiran, lalu kita mengatakan Stefanus adalah martir yang pertama. Ini keliru. Lho, orang yang mati bagi Injil ‘kan pertama Stefanus, Pak? Memang benar, tapi definisi “martir” bukanlah mati bagi Injil saja, “martir” artinya saksi; dan orang yang bersaksi bagi Tuhan tidak tentu harus mati, lebih banyak yang tidak mati. Kalau martir dianggap harus mati, maka Paulus pun jadi tidak memenuhi syarat karena dalam buku Lukas yang ini ending-nya Paulus tidak mati, Paulus mengajar dengan lancar tanpa halangan apapun (tentu kita tahu akhirnya Paulus mati dipenggal). Jadi apakah Paulus martir? Saya akan mengatakan, Paulus juga martir, karena martir artinya saksi, martir bukan orang yang mati bagi Tuhan saja. Saksi kadang-kadang mati bagi Tuhan, namun dalam most cases saksi hidup bagi Tuhan. Dengan demikian kita tidak perlu mempermasalahkan seakan-akan mati bagi Tuhan itu paling mulia; memang mulia, tapi hidup bagi Tuhan juga mulia. Dan, Stefanus ini karena sering kita kaitkan dengan martir, saya mau menyebutkan hal yang lain, satu istilah dalam percakapan kita yang populer, yaitu sindroma martir (martyr syndrome).
Kalau kamu pergi ke psikiater/konselor, lalu dia bilang, “Kamu itu saya deteksi ada martyr syndrome”, maka kira-kira kamu bangga atau tidak? Wah, saya disamakan dengan Stefanus lho, saya ini saksi Tuhan yang baik, sampai konselor saya bilang saya ada sindroma martir, jadi saya ini martir, keren banget –kira-kira akan begitu atau tidak? Tentu tidak; dan jangan. Kalau kamu googling “martyr syndrome”, kamu bakal batal bangga, karena martyr syndrome definisinya adalah semacam orang yang menyediakan dirinya sebagai keset, yang berkorban, lalu orang-orang lain ngeset di atas punggungnya. Jadi dia ini menanggung segala kesusahan, penghinaan, kesulitan, kematian, bahaya –semua dia yang tanggung. Lho, itu ‘kan bagus, Pak? Tunggu dulu; karena lanjutannya adalah: supaya dia bisa berbangga hati, merasa benar sendiri, merasa lebih tinggi daripada orang lain, lebih terhormat, lebih bermoral, karena dia sudah menderita. Itulah martyr syndrome.
Lho, martyr syndrome itu tuduhan jahat, Pak! Martir itu sudah susah, lalu dibikin lebih susah dengan dicurigai motif-motifnya; dan yang mencurigai ‘kan orang-orang yang tidak Kristen mungkin, mereka mencurigai Kristen makanya mengejek kita dan bilangnya kita martyr syndrome. Dalam hal ini, saya kira sebagai orang Kristen kita punya satu modal, yaitu kita sudah diampuni, kita sudah diterima, kita sudah dibenarkan, maka kita tidak perlu mencari-cari pembelaan diri untuk membuktikan kita tidak salah; kita tidak perlu mencari-cari justification for ourselves, karena Yesus itulah justification bagi kita. Dengan demikian kita tidak perlu bersikap defensif setiap kali ada orang menuduh hal-hal tertentu yang jadi ciri khas orang Kristen –termasuk martyr syndrome (karena cukup banyak orang Kristen yang martyr syndrome, agak jarang sindroma yang lain).Jadi kalau hal itu dituduhkan kepada kita, kita jangan buru-buru defensif, “Tidaklah, kita tidak begitu”, mentang-mentang begitu-nya itu buruk. Kita ini punya modal, karena kita sudah dibebaskan oleh Tuhan, sudah diampuni, sudah diterima oleh Yesus, bukan karena kamu bagus, bukan karena kamu benar, bukan karena kamu righteous, tapi simply karena Yesus itu righteous. Jadi kamu tidak perlu membuktikan dirimu benar, tidak bersalah. Kalau tuduhannya “di antara orang Kristen ada martyr syndrome”, kita akan bilang, “Ya, barangkali benar, barangkali saya juga begitu; yuk, kita timbang.” Saya kira itu sikap yang lebih tepat.
Mengenai martyr syndrome, coba kita pikirkan, apakah Stefanus kejangkitan martyr syndrome? Saya kira, tidak. Stefanus tidak kejangkitan martyr syndrome. Dia mati demi Injil, dia hidup demi Injil; dan itu bukan persoalan terlalu besar. Bukan persoalan yang genting seolah-olah ‘gua harus mati bagi Injil, gua harus menderita bagi Injil; sekarang ini koq gua ‘gak menderita ya, gua mesti cari penderitaan; gua koq ‘gak mati-mati bagi Injil, gua mesti cari bahaya biar cepetan mati bagi Injil. Tidak begitu sikap Stefanus. Saya kira sikap Paulus juga sama; Paulus mengatakan: “Kalau aku hidup, aku hidup bagi kebaikanmu, bagi Kerajaan Allah lebih nyata dalam diri kamu, Jemaat; tapi kalau aku mati, aku berkumpul bersama dengan Tuhan”. Dengan demikian bagi Paulus, dia mati, itu keuntungan, dia hidup, itu keuntungan juga; kalau dia mati, itu keuntungan bagi dirinya sendiri, kalau dia hidup, itu keuntungan bagi jemaat. Hal itu bukan masalah besar, itu poinnya; sedangkan orang yang martyr syndrome akan mengatakan, definitely lebih mulia mati, lebih mulia menderita, lebih mulia rugi, lebih mulia kalau kita mengalami segala hal yang menyusahkan. Namun kenyataannya segala hal yang menyusahkan itu –kematian, penderitaan, kerugian, nama yang buruk, dsb.– itu bukan masalah besar. Di satu sisi bukan sesuatu yang harus dihindari, di sisi lain juga bukan sesuatu yang dicari-cari, tapi just adiaphora dan bukan masalah besar, baik lewat kematian si martir maupun lewat keselamatan si martir, baik lewat Paulus berada dalam penjara maupun lewat Paulus dilepaskan dari penjara.
Paulus bukan mengglorifikasi keadaan dia yang ada dalam penjara –bahkan Paulus tidak pernah mengglorifikasi dengan sikap martyr syndrome dalam pengertian negatif tadi– Paulus juga pernah berdoa, mengharapkan dengan dasar bahwa Tuhan baik dan murah hati, untuk dia dilepaskan dari penjara. Paulus pernah mengatakan di akhir Surat Roma, bahwa dia yakin Tuhan akan melepaskan dia dari penjara untuk bisa menemui jemaat di Roma; dia mengatakan, “Aku akan berjumpa lagi dengan engkau; saya cukup yakin Tuhan akan melepaskan saya dari belenggu ini”, dst. Jadi pertanyaannya: apakah kematian/penderitaan si martir adalah satu-satunya cara untuk Tuhan dimuliakan? Jawabannya: tidak. Lalu apakah kelepasan si martir, keselamatan secara jasmani dari si martir adalah satu-satunya cara Tuhan dimuliakan, karena kalau Paulus mati di penjara, dsb., berarti Tuhan ‘gak becus memelihara si martir? Jawabannya: tidak juga. Jadi, dalam hal ini saya kira sikap yang benar adalah: kita mesti melihat bahwa di dalam catatan Lukas –dan saya kira juga dalam surat-surat Paulus– baik kematian maupun kehidupan, keterbelengguan maupun kemerdekaan, penderitaan maupun kegembiraan, kekurangan maupun kelimpahan, itu tidak pernah menghalangi Tuhan mewujudkan kehendak-Nya di bumi seperti di surga. Dengan demikian mengenai hal-hal tersebut kita bersikap adiaphora, itu bisa baik dan bisa buruk juga, itu hal-hal yang tidak terlalu penting untuk diributkan.
Setelah kematian Stefanus, Lukas menyambung dengan mengatakan bahwa penganiayaan terhadap jemaat di Yerusalem jadi makin hebat, sehingga mereka tersebar. Mereka tersebar ke mana? Mereka tersebar ke seluruh daerah Yudea dan Samaria. Ini frasa yang sama yang dipakai dalam Amanat Agung Yesus: “Segala kuasa sudah diberikan bagi-Ku di surga dan di bumi; maka pergilah, jadikan semua bangsa murid-Ku, baptiskanlah mereka dan ajarkanlah mereka”, dan ‘pergilah’ tersebut adalah ke seluruh Yudea, Samaria, dan sampai ke ujung bumi. Frasa tersebut dipinjam oleh Lukas di bagian ini, yaitu Yudea dan Samaria.
Mereka tersebar ke Yudea dan Samaria, juga melalui penganiayaan itu. Jadi, di sini kita mesti menghindari sikap martyr syndrome yang seolah-olah hanya lewat penganiayaan sehingga kita harus mengusahakan dianiaya. Saya kira tidak demikian. Tidak perlu menghindari, tapi juga tidak perlu mengusahakan, sebab tidak terlalu penting lewat apa Tuhan mewujudkannya, tapi kita mesti meyakini bahwa Tuhan akan mewujudkan kehendak-Nya, lewat apapun, karena Tuhan adalah Tuhan yang mewujudkan kehendak-Nya bahkan lewat ketidaktaatan umat-Nya. Lewat ketidaktaatan Israel, segala bangsa menerima Injil, menerima Mesias. Namun tentu kita juga tidak mengatakan, “Wah, yang tidak taat, tidak dihukum”, karena Israel nyatanya mengalami dihukum oleh Tuhan. Kita tentu tidak mau dihukum oleh Tuhan, maka kita tentu menaati Tuhan; yang tadi itu bukan alasan untuk kita tidak menaati Tuhan, melainkan hanya mau mengatakan bahwa Tuhan bisa memakai segala sesuatu untuk mewujudkan kehendak-Nya.
Kematian Stefanus, dalam penceritaan Lukas, tidak menghentikan tersebarnya Injil. Orang-orang percaya menjadi sangat sedih, mereka sangat meratapi Stefanus. Dalam hal ini beberapa penafsir mengatakan, ini dapat ditafsirkan sebagai suatu gestur protes; bahwa mereka menguburkan dan meratapi Stefanus dengan sangat, itu adalah wujud protes mereka, wujud pembangkangan mereka terhadap power. Koq, bisa? Karena mengenai orang-orang Yahudi melempari orang-orang yang dianggap melawan agama mereka dengan batu dan membunuhnya, beberapa rabi dengan eksplisit mengajarkan: dilarang meratapi orang-orang (bidat) yang dibunuh dengan dilempari batu; mereka tidak boleh diratapi, tidak boleh diberikan proper burial. Ini mirip juga seperti halnya orang-orang Kristen mencegah orang-orang tertentu dikuburkan di kuburan Kristen untuk mendapatkan proper burial, karena dianggap bidat; di antaranya yaitu orang Protestan dilarang dikuburkan dalam kuburan Katolik dan orang Katolik dilarang dikuburkan dalam kuburan Protestan, pada masa-masa Reformasi ketika mereka ini berperang. Intinya, praktik meratapi dengan sangat dan menguburkan Stefanus, adalah suatu pembangkangan, karena hal tersebut tidak diperbolehkan, namun toh mereka melakukannya. Ini merupakan public protest dari orang-orang Kristen yang minoritas terhadap otoritas Sanhedrin. Itu sebabnya tidak heran bahwa Saulus, yang setuju dengan pembunuhan Stefanus, lalu berusaha menghentikan jemaat Kristen. Dia memasuki rumah demi rumah, menyeret laki-laki dan perempuan keluar, dan menyerahkan mereka untuk dipenjara. Demikian akhir dari bagian yang kita baca hari ini.
Pada hari ini kita belajar sesuatu, bahwa apa yang Tuhan kerjakan tidak dapat dihalangi, baik oleh ketidaktaatan manusia, maupun oleh persekongkolan manusia (persekongkolan Sanhedrin di bagian ini), maupun oleh apapun lainnya. Saya akan akhiri pembahasan ini dengan membaca satu bagian yang seolah-olah merupakan refrein, yaitu dari kata-kata penutup Kisah Para Rasul, pasal 28:30-31, demikian: Paulus –Paulus yang setuju akan pembunuhan Stefanus tadi– tinggal dua tahun penuh di rumah yang disewanya sendiri itu; ia menerima semua orang yang datang kepadanya –seakan-akan hidup normal saja padahal dia tawanan Kekaisaran Romawi yang paling powerful di dunia pada waktu itu, dan musuh dari Sanhedrin– Dengan terus terang dan tanpa rintangan apa-apa ia memberitakan Kerajaan Allah dan mengajar tentang Tuhan Yesus Kristus. Jadi, dalam Kisah Para Rasul ini kita telah melihat Allah tak dapat dihalangi, Kerajaan-Nya tak dapat dihalangi, it will marching on; apapun yang kita hadapi, dan apapun yang kita usahakan untuk menghalanginya –dalam hal ini ketidaktaatan kita–tidak akan menghalangi kuasa Tuhan untuk mewujudkan kehendak-Nya di bumi seperti di surga. Dan pada akhirnya nanti, kita akan melihat bagaiman kemuliaan Tuhan memenuhi segenap eksistensi lewat glorifikasi yang Dia kerjakan di dalam segala eksistensi.
Kita menantikan itu, kita menyaksikan itu, kita merayakan itu –dan kita merayakannya lewat gestur Perjamuan Suci hari ini. Seperti dikatakan Zwingli, kita mengingat apa yang Tuhan sudah kerjakan dalam Yesus tapi juga sekaligus kita mengantisipasi ekspektasi kita yaitu Yesus akan datang kembali, di dalam Perjamuan Suci; karena di sini kita diundang oleh Tuhan untuk melihat seperti Stefanus melihat apa yang tidak terlihat bagi orang yang tidak percaya, yaitu bahwa kita tidak sendirian di sini, bahwa ada yang berdiri membela kita dan berdiri menyongsong kita, yakni Yesus.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading