Kita melanjutkan eksposisi Injil Markus. Di bagian ini LAI memberi judul “Lewi pemungut cukai mengikut Yesus”, dan di terjemahan bahasa Inggris (NIV) diberi judul “The calling of Levi”. Kalau kita melihat ceritanya, saya pikir judul ini tidak terlalu tepat, karena tujuan utama cerita ini bukan tentang Lewi dipanggil, melainkan melalui cerita ini Markus mau menyatakan bagaimana pengampunan diaktualisasikan.
Di ayat 13 tertulis: Sesudah itu Yesus pergi lagi ke pantai danau, dan seluruh orang banyak datang kepada-Nya, lalu Ia mengajar mereka. Ini mirip sekali dengan pasal 2:1, di situ mereka datang dan Yesus mengajar mereka; lalu sekarang mereka datang lagi dan Yesus mengajar mereka lagi. Kita tahu, mereka datang bukan dengan motivasi yang benar. Mereka melihat Yesus melakukan mujizat dan mereka tetap saja tidak mengerti, tidak mau terima, mereka datang karena ingin tahu; dan Yesus tetap mengajar mereka. Dari sisi cerita ini, kita juga bisa melihat diri kita sama seperti mereka. Kita seringkali melihat Firman begitu jelas, pimpinan Tuhan begitu jelas, tapi kita masih saja mengeraskan hati, kita masih saja berdosa; lalu ketika kita kembali kepada Yesus, Yesus menerima kita lagi, Yesus mengajar kita lagi, sama seperti Yesus sekali lagi mengajar mereka.
Dari sudut pandang struktur, kita melihat Markus seolah-olah mengulang ceritanya. Dari ayat 1 Markus sudah menulis bahwa orang datang dan Yesus mengajar, lalu di pasal 2:13 sekali lagi Markus menulis bahwa mereka datang dan Yesus mengajar. Di sini Markus memakai ayat tersebut sebagai jembatan untuk menunjukkan kepada kita bahwa ayat yang sebelumnya dan cerita perikop ini, ada kaitannya. Ceritanya tidak berhenti di sana, maka Markus sekali lagi mengulang poin ini, bahwa orang datang, dan Yesus mengajar.
Dalam cerita yang pertama, poin utamanya yaitu Yesus adalah Anak Manusia yang memiliki kuasa untuk mengampuni dosa. Dan dalam cerita bagian ini, poin utamanya adalah bagaimana kita mengaktualisasikan/ menghidupi pengampunan dosa. Kita sudah tahu Yesus punya kuasa mengampuni dosa, dan sekarang kita mau melihat bagaimana kita melakukan pengampunan itu. Markus mau mengaktualisasikan hal-hal yang spiritual itu. Di cerita sebelumnya dia menyatakan apa itu iman; iman adalah kita bersama-sama bekerja, sama seperti 4 orang itu beriman dan bersama-sama bekerja menolong dan mengangkat orang yang lumpuh. Demikian juga di bagian ini, Markus mau menyatakan apa itu pengampunan secara riil.
Ayat 14, Kemudian ketika Ia berjalan lewat di situ, Ia melihat Lewi anak Alfeus duduk di rumah cukai lalu Ia berkata kepadanya: "Ikutlah Aku!” Banyak tafsiran memperdebatkan siapa sebetulnya Lewi ini, karena dalam Injil Matius ceritanya mirip sekali, dan kita dengan gampang bisa katakan itu Matius. Tapi banyak juga yang mengatakan Lewi dalam cerita ini bukan Matius, karena disebutkan namanya “Lewi, anak Alfeus”; sementara dalam cerita Yesus memanggil 12 murid-Nya, dicatat salah satunya adalah Matius, dan tidak dicatat bahwa Matius itu anak Alfeus. Bahkan dalam daftar nama tersebut, disebutkan Yakobus adalah anak Alfeus –meski bukan berarti Lewi adalah Yakobus. Perlu kita tahu, nama-nama seperti Matius, Lewi, Yakobus, pada saat itu adalah nama-nama yang umum, sehingga kita tidak bisa langsung bilang Lewi di sini pasti Matius. Namun hal itu bukan poin yang paling penting; yang paling penting di sini adalah bahwa dia seorang pemungut cukai. Markus sengaja menulis itu.
Pertama-tama kita mau melihat pada nama ‘Lewi’. Orang yang bernama Lewi, kemungkinan besar orang dari kaum Lewi. Jadi orang ini orang Israel, kaum Lewi; dan orang kaum Lewi harus melayani di tempat ibadah. Tetapi Lewi di sini bukan berada di tempat ibadah, dia adalah pemungut cukai. Dalam Perjanjian Lama, jelas sekali ketika orang Israel meminjamkan uang, mereka tidak boleh mengambil bunga. Lewi dalam cerita ini, adalah orang Lewi, orang Israel, yang bekerja buat orang Roma, yang ke mana-mana mengambil bunga/pajak dari saudara-saudaranya sesama Israel; jadi dia pasti sangat dibenci orang Israel. Setiap kali ‘pemungut cukai’ muncul dalam cerita Alkitab, konotasinya selalu negatif, tidak ada posisi netral, kita tahu ini orang yang kurang baik. Sama juga seperti Zakheus pemungut cukai, dia orang yang kurang baik, itu sebabnya dia mengatakan ‘kalau saya sudah menipu siapa pun, saya akan kembalikan 4 kali lipat’. Kalimat itu diucapkan bukan berarti dia tidak pernah membohongi orang, dia justru pernah merugikan orang dan sekarang mau bertobat. Dan kalau kita melihat dari konteks sejarah Roma, kita bisa mengerti alasannya pemungut cukai begitu dibenci, yaitu karena mereka memang orang-orang yang jahat, yang korupsi. Waktu orang melihat pemungut cukai, bagi mereka itu sudah pasti orang yang jahat, pasti kerjasama dengan pemerintah, menindas orang yang miskin, mengambil uang di dalam, dst.
Jadi, ketika Yesus memanggil Lewi, pemungut cukai itu, hal tersebut sangat mengagetkan karena Lewi bukan orang yang baik. Kalau Yesus memanggil Petrus, Yohanes, Yakobus, kita tahu mereka nelayan, dan orang nelayan bukan berarti orang yang kaya atau pintar tapi setidaknya mereka baik, mereka orang biasa. Kita masih bisa terima kalau murid-murid Yesus orang baik, seperti nelayan yang rendah hati, tidak terlalu kaya, dan mereka ikut Yesus. Ketika yang dipanggil adalah Lewi, pemungut cukai, orang yang jahat, yang bukan cuma dipanggil bertobat tapi dipanggil jadi murid Yesus, kita susah terima. Tetapi kita musti melihat di dalam anugerah Tuhan; Tuhan bisa memanggil orang yang baik untuk menjadi murid-Nya, dan Tuhan juga bisa memanggil orang yang “jahat”, yang moralnya hancur, untuk menjadi murid-Nya. Bahkan kalau kita menerima tafsiran yang mengatakan Lewi ini Matius, berarti salah satu rasul adalah pemungut cukai, orang jahat. Apa yang terjadi di sini? Yesus, dalam anugerah-Nya, Dia memanggil orang yang jahat seperti Lewi ini, menjadi murid-Nya.
Yesus melihat dia, Yesus berkata, “Ikutlah Aku!” Ayat 14b, Maka berdirilah Lewi lalu mengikuti Dia. Di sini artinya jelas, Lewi bukan sekedar mengikuti Yesus, tapi secara implisit kita mengerti bahwa dia benar-benar membuang segala-galanya –hidup lamanya, pekerjaannya, dosanya – dan sekarang mengikut Yesus. Kita tidak mengerti emosi Lewi saat itu, apakah dia terharu, apakah dia terkagum-kagum, dsb., tapi satu hal yang pasti, Lewi sadar dia bukan orang yang baik. Dia tahu, yang dilakukannya terhadap saudaranya sesama orang Israel, bukanlah hal yang baik. Dia tahu, kerjasamanya dengan orang Romawi, bukanlah hal yang baik. Dia tahu, dirinya bukan orang yang baik; jadi ketika Yesus –rabi besar, yang melakukan mujizat, yang begitu baik, yang begitu suci—memanggilnya, dia meninggalkan segala-galanya dan mengikut Kristus.
Banyak orang ketika menerima panggilan, mereka merasa takut, bahkan lari. Mengapa? Mengapa orang takut memenuhi panggilan sebagai hamba Tuhan full time? Sebetulnya, di lubuk hati yang paling dalam, mereka bukan takut, mereka tetap menganggap diri cukup baik. Kalau orang benar-benar sadar dirinya tidak baik, dirinya hancur dan bobrok, lalu ada Tuhan yang suci yang sekarang memanggil dirinya untuk masuk ke dalam pekerjaan yang kudus, orang itu akan tinggalkan segala-galanya, baginya semua itu fana. Saya menerima Kristus dan menerima panggilan jadi hamba Tuhan di momen yang sama. Saya bukan dari keluarga Kristen, jadi saya tidak begitu mengerti Kekristenan, doktrin, dsb. Dan ketika saya terima panggilan Tuhan, saya benar-benar tidak tahu apa-apa; orangtua tanya Kekristenan, saya juga tidak bisa jawab. Tapi ketika saya terima Tuhan, saya cuma tahu bahwa Tuhan itu baik, dan saya tidak baik –yang lainnya kosong plong, saya masih bingung. Doa saya waktu itu, “Tuhan, Engkau Tuhan yang baik, saya tahu saya tidak baik; kalau Engkau, Tuhan yang baik, mau menerima saya, orang yang jahat ini, saya serahkan semuanya.” Sejak saat itu saya serahkan dan Tuhan pimpin. Bersyukur pada Tuhan. Poin saya di sini, kalau kita sadar betapa jahatnya dan hancurnya kita di hadapan Tuhan, dan Tuhan yang seperti ini datang memanggil kita, di saat itu kita benar-benar seperti Lewi; dia sadar dirinya tidak baik, dan dia langsung meninggalkan segala-galanya, dia mengikut Kristus.
Setelah itu, ayat 15 dikatakan: Kemudian ketika Yesus makan di rumah orang itu, banyak pemungut cukai dan orang berdosa makan bersama-sama dengan Dia dan murid-murid-Nya. Lewi ini memanggil Yesus makan malam bersama. Ini bukan makan malam biasa, karena dikatakan bahwa banyak orang bersama dengan dia, artinya dia sedang berpesta; sekarang saya sudah bisa tinggalkan ikatan dunia, sekarang saya bisa masuk mengikut Kristus yang kudus, sekarang saya bisa melayani Yesus, Mesias, dan saya bisa berbagian dalam Kerajaan Tuhan.
Orang di gereja suka merasa kasihan melihat hamba Tuhan, seperti tidak ada masa depan, meninggalkan segalanya jadi hamba Tuhan, lalu orang bilang, “Dia dulu direktur, dulu CEO; dia dulu gajinya 1 M, 2 M, 3 M, sekarang jadi hamba Tuhan, kasihan banget”. Bapak/Ibu sekalian, kita tidak usah kasihan hamba Tuhan; di cerita ini, ketika Lewi pergi ikut Yesus, dia pesta. Dia bukan nangis-nangis, “Aduh, kerjaan saya, masa depan saya, semua sudah ‘gak ada…”. Lewi tinggalkan itu dan dia berpesta. Orang tidak usah kasihani dia. Yesus bilang, “Kuk-Ku itu ringan.” Ketika kita dipanggil menjadi hamba Tuhan, itu bukan satu beban yang berat, itu ringan. Kita di gereja seolah-olah bicaranya ‘lu dulu di dunia yang enak, sekarang masuk dunia yang kacau’, seolah-olah dulu di surga, sekarang masuk neraka, ‘kasihan lu jadi hamba Tuhan, jadi sekarang saya kasih amplop, kasih ini, kasih itu’. Padahal tidak juga. Memang sekarang saya bicara dalam posisi ruangan ber-AC yang jemaatnya duduk baik-baik, dsb., tapi tentu tidak semua hamba Tuhan seperti ini, banyak dari mereka yang setengah mati. Ada yang seumur hidup menginjil ke negara yang baru, berkotbah 30 tahun tapi 1 jiwa pun tidak ada yang dimenangkan. Ada yang di hutan 5 tahun dan tidak ada jemaat sama sekali. Ada yang penginjilan di desa dan tidak ada hasil sama sekali. Saya pernah mendengar kesaksian dalam KKR Regional, ada satu tim yang naik ke atas gunung, dan di situ ada satu rumah di satu desa. Di situ tinggal seorang misionaris. Misionaris ini memang merasa terbeban dan dipanggil untuk melayani di sana; dan waktu itu sudah 5 tahun. Selama 5 tahun dia berkenalan, melakukan penginjilan, memberitakan Alkitab, dst., dan satu orang pun tidak ada yang percaya. Bagi hamba Tuhan seperti itu, kita tahu, sulitnya setengah mati. Waktu kami ke sana, bicara-bicara dengan dia, melayani dia, berfoto bersama, dia lalu bilang, “Pak, tahu ’gak, sebetulnya hari ini saya sudah mau turun, saya sudah mau menyerah, sudah 5 tahun tidak ada satu orang pun yang mau dengar. Tapi Bapak hari ini naik ke tempat ini, saya percaya itu jawaban Tuhan.” Dia kemudian melanjutkan lagi pelayanannya. Jadi memang ada hamba Tuhan yang betul-betul setengah mati, tetapi intinya sama, meski hamba Tuhan setengah mati dan susah, bukan berarti hamba Tuhan merasa itu beban, bukan berarti jadi hamba Tuhan masuk ke dunia yang lebih kacau, lebih jelek, dsb. Justru kita harusnya seperti Lewi dalam cerita ini. Kalau Bapak/Ibu punya anak mau jadi hamba Tuhan, jangan nangis-nangis, “Aduh, Nak, saya sekolahkan kamu S1 ke Amerika, sekarang kamu mau ke Sumba jadi penginjil… “. Jangan begitu. Anak itu benar-benar sedang mengikut Tuhan, dan dia masuk ke dunia yang lebih baik, bukan dunia yang lebih jahat. Justru Bapak/Ibu yang kerja di kantor dsb. itu yang lebih sulit, bukan kami yang lebih sulit; jadi jangan dibolak-balik. Intinya, hamba Tuhan jangan dikasihani; kita hargai dan hormati hamba Tuhan, tapi jangan dikasihani. Yesus bukan panggil hamba Tuhan jadi orang sengsara yang ini tidak ada itu tidak ada.
Ayat 16, Pada waktu ahli-ahli Taurat dari golongan Farisi melihat, bahwa Ia makan dengan pemungut cukai dan orang berdosa itu, berkatalah mereka kepada murid-murid-Nya: "Mengapa Ia makan bersama-sama dengan pemungut cukai dan orang berdosa? " Kalau kita membaca bagian ini, seringkali kita langsung cepat menghakimi, ‘lihat tuh, orang Farisi, mereka jahat, licik’. Tetapi, waktu kita begitu menuduh orang Farisi, sebetulnya kita juga orang Farisi. Sama saja. Mereka menuduh Yesus, kita menuduh orang Farisi. Putar-putar sama saja, tidak ada bedanya.
Seorang vikaris cerita, ada satu guru Sekolah Minggu yang cerita kepada anak-anak di kelasnya tentang orang Farisi dan pemungut cukai yang masuk ke Bait Allah. Orang Farisi itu begitu sombong, mengatakan, “Tuhan, saya bersyukur saya bukan pemungut cukai, bukan orang jahat. Saya tidak berzinah, saya puasa, saya kasih perpuluhan; saya tidak seperti dia”; sedangkan si pemungut cukai tidak berani dekat-dekat, rendah diri, malu, pukul-pukul dada, mengatakan, “Tuhan, saya orang berdosa”; dan Tuhan bilang, orang ini pulang dengan dibenarkan. Setelah selesai menceritakan itu, guru Sekolah Minggu tadi mengajak anak-anak berdoa; dia berdoa begini: “Tuhan, kami bersyukur kami bukan orang Farisi … “. Jadinya sama saja. Seringkali kita begitu, kita hakimi orang Farisi, tapi kita sendiri juga cepat sekali jadi seperti orang Farisi.
Sebenarnya, kalau kita melihat cerita di bagian ini, bahwa orang Farisi menuduh Yesus, itu fair-fair saja, karena Yesus duduk makan bersama pemungut cukai dan orang-orang berdosa. Dan yang dimaksud dengan ‘orang berdosa’ di sini, bukanlah dalam arti ‘berdosa’ berdasarkan Alkitab; yang dimaksud di sini, betul-betul perampok, pencuri, koruptor, orang yang berzinah, orang-orang yang benar-benar bobrok moralnya. Mereka itulah yang duduk makan bersama-sama dengan Yesus, jadi normal saja kalau orang Farisi mempertanyakan, Yesus begitu kudus, mengapa Dia mau duduk bersama-sama dengan orang-orang seperti ini. Tetapi di sini poin utamanya, pengampunan akan menuju kepada persekutuan; persekutuan dengan siapa? Persekutuan dengan orang berdosa. Pengampunan yang tidak menuju ke dalam persekutuan orang berdosa, itu bukan pengampunan yang sejati. Kita harus ingat, ketika Tuhan mengampuni kita, Dia bukan cuma bilang kepada kita, “Hei! Anda diampuni, ya, sekarang pergi.” Tuhan tidak begitu. Tuhan bilang, “Anda diampuni, kalian diampuni, sekarang kalian bisa masuk ke dalam Kerajaan-Ku, kalian sekarang bisa bersekutu dengan-Ku, kalian sekarang bisa bersama-sama masuk ke dalam Perjamuan Kudus dengan-Ku.” Jadi bukan kita diampuni, lalu setelah itu didepak, good bye! Bukan seperti itu. Tuhan yang ampuni kita, dan Dia bersekutu dengan kita, Dia menganggap kita anak-anak-Nya.
Pengampunan bukan cuma masalah hati. Seringkali kita bilang “Ya, sudahlah, saya ampuni dia, yang penting saya tidak akan ketemu dia lagi selama-lamanya, saya lupakan saja; Saya orang Kristen, saya berbelas kasihan, saya ampuni kamu, kamu jangan muncul lagi di depan saya”. Yesus tidak seperti itu. Yesus tidak bilang, “Saya ampuni kamu, kamu jangan ke gereja lagi”; Yesus bilang, “Saya ampuni kamu, kamu ke gereja, kamu masuk ke dalam tubuh-Ku.” Itulah pengampunan.
Dalam cerita ini, Yesus mengampuni orang-orang berdosa ini, Dia makan bersama-sama dengan orang-orang berdosa ini. Saya tahu, itu hal yang tidak gampang. Pasti sulit sekali untuk mengampuni dan kemudian bersekutu dengan orang-orang itu. Hanya saja, ini ajaran Alkitab, inilah yang Tuhan lakukan. Bapak/Ibu kira Tuhan mengampuni kita dan bersekutu dengan kita, itu gampang?? Kita yang menyalibkan Yesus, lho. Kita, orang berdosa, yang menyalibkan Yesus. Kita yang menyalibkan Anak-Nya yang tunggal, yang dikasihi-Nya. Ketika Tuhan mengampuni kita, Tuhan lakukan apa? “Saya ampuni kamu, sekarang kamu menjadi anak-Ku, kamu masuk ke dalam persekutuan-Ku.” Ini yang disebut Perjamuan Kudus. Kita yang berdosa, sekarang kita bukan saja diampuni, bukan saja dilepas, tapi kita diundang menjadi anak Tuhan.
Bapak/Ibu sekalian, ketika kita mengampuni seseorang, itu berarti musuh kita sekarang menjadi teman kita. Ini hal yang sulit yang kita tidak mungkin bisa lakukan, kecuali ada Roh Kudus. Tanpa Roh Kudus, tidak mungkin musuh kita bisa menjadi teman kita. Alkitab menuntut kita demikian. Bukan cuma melupakan, bukan cuma menghilangkan rasa benci, tapi sekarang kita aktif mengasihi, memanggil mereka bersama-sama bersekutu dengan kita, sama seperti Yesus memanggil orang-orang pemungut cukai, orang-orang berdosa, untuk masuk ke dalam persekutuan dengan Dia.
Ayat 17, Yesus mendengarnya dan berkata kepada mereka: "Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit; Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa." Dua kalimat ini sebenarnya artinya sama. Dan kita harusnya sudah tahu, bahwa kalimat ini bukan berarti Yesus bilang ada orang benar, ada orang berdosa. Bukan itu artinya; hanya ada 2 macam orang: orang berdosa, dan orang berdosa yang menganggap dirinya benar.
Dalam konteks cerita ini, mengapa orang Farisi menganggap dirinya benar? Karena mereka tidak bersekutu dengan orang-orang jahat tersebut, mereka “suci”, mereka eksklusif. Di mata mereka, Yesus najis, karena Dia sudah bersentuhan, mungkin salam tangan, dengan orang-orang berdosa, seolah-olah teman-teman Yesus semuanya orang-orang jahat; tapi lihat kami, kami orang benar, teman-teman saya orang Farisi, orang Saduki, imam, pemimpin Bait Allah, dsb. Bapak/Ibu, tentu benar bahwa kita harus membenci segala hal yang jahat. Itu panggilan kita sebagai orang Kristen. Tapi kita juga harus sadar dan mengakui bahwa kita pun jahat, kita pun berdosa. Bukan cuma orang lain yang berdosa, kita pun berdosa.
Bapak/Ibu, ketika kita mengaku diri kita berdosa, itu bukan satu pengakuan terhadap Tuhan saja, ‘O, Tuhan, Engkau kudus, saya berdosa’. Ketika kita mengaku diri kita berdosa, kita juga sedang mengaku bahwa semua orang berdosa. Ini artinya apa? Artinya, bahwa sekarang kita ada ruang untuk menerima orang lain. Ruang buat orang-orang yang menyakiti kita, ruang buat orang-orang yang kita anggap moralnya jahat. Ketika kita menerima bahwa diri kita orang berdosa, kita bisa bilang kepada orang-orang itu, “Sebetulnya, kalian dan saya mirip; kita sama-sama berdosa, kita berada dalam satu platform yang sama, walaupun secara anugerah umum moral saya lebih jujur daripada kamu, mungkin kamu lebih nakal daripada saya, tetapi pada dasarnya kita sama-sama adalah orang berdosa.”
Orang yang tidak mengaku dirinya berdosa, dia hatinya tidak mungkin bisa luas. Kalau orang tidak mengaku dirinya berdosa, dia anggap dirinya elitis, di atas, eksklusif –seperti orang-orang Farisi di sini. Jadi sempit. Tapi, ketika kita sadar diri kita ada di bawah, ketika kita sadar kita berdosa, maka kita bisa benar-benar membuka diri, kita bisa menerima lebih banyak orang, kita bisa menerima lebih banyak situasi. Itulah sebabnya Paulus bisa menginjili kepada begitu banyak orang, ke negeri ini dan itu, ke kota ini dan itu, yaitu karena dia mengaku dirinya orang yang paling berdosa, dirinya yang paling rendah di antara orang yang rendah. Dia merasa dirinya berdosa, dan dia berhutang kepada orang yang lain. Dia melihat orang lain bukan orang yang lebih jelek daripada dirinya, melainkan ‘sayalah yang lebih berdosa daripada kamu’. Sekarang dia bisa terima semua golongan orang, dan dia ke mana-mana memberitakan Injil.
Kita sebagai Gereja, sebagai orang Kristen, hal paling gampang yang bisa kita lakukan adalah menghindar, jadi orang steril. Pak Tong pernah bilang, ada orangtua yang lihat koran, semua isinya bad news, dan dia tidak mau anaknya terkontaminasi oleh hal-hal yang jahat seperti itu. Jadi orangtua ini gunting semua berita yang buruk, sisa koran yang bolong-bolong. Akhirnya apa yang anaknya lakukan? Pergi ke tetangga, baca koran di sana. Bagi kita, yang paling gampang adalah kita steril diri kita sendiri, tidak mau bersentuhan dan tidak mau ada persekutuan dengan orang yang jahat. Gereja seringkali juga begitu –khususnya di Barat. Gereja tidak mau bersekutu dengan orang yang homoseks. Gereja tidak mau bersekutu dengan orang yang perampok. Gereja tidak mau bersekutu dengan orang-orang yang dianggap berbeda. Steril saja. Kita bangun iman kita sendiri. Orang-orang lain itu kita hina saja, kita hakimi saja, kita tidak usah bersentuhan dengan mereka. Itulah yang paling gampang yang Gereja bisa lakukan.
Apa hal yang susah? Kita bersekutu sama seperti Yesus bersekutu, itulah hal yang paling susah. Kita satu meja dengan orang yang jahat, itu sungguh-sungguh paling susah. Ada satu kesaksian ketika saya melayani KKR Regional di Sumba Barat. Setiap kali kami ke sana, ada satu orang tukang ojek yang waktu kami datang, dia langsung jemput, dia langsung menjamu. Waktu kami mapping tempat-tempat yang mau dikunjungi, dia langsung menunjukkan rute yang paling efisien, dia kasih tahu kalau yang ini sekolahnya masih ada, yang itu sekolahnya sudah tutup, dsb. Dia bantu semuanya, sehingga kita sudah tidak usah susah-susah lagi, semuanya beres. Malam hari, waktu istirahat, dia akan panggil semua tukang ojek sejumlah yang kita perlukan, dan dia bantu negosiasi –karena dia sendiri tukang ojek. Dan Bapak/Ibu tahu, dia pernah bunuh orang! Kalau kita menghindari orang seperti ini, kalau kita tidak memberi kesempatan, kita akan kehilangan begitu saja seorang rekan dalam Kerajaan Tuhan. Inilah yang Yesus –Markus—mau ajarkan kepada kita dalam perikop ini.
Gereja, orang Kristen, harus mengampuni. Mengampuni itu bagaimana? Mengampuni dalam persekutuan. Persekutuan siapa? Persekutuan dengan Kristus, sebagaimana Kristus sendiri bersekutu dengan kita, orang-orang berdosa. Gereja yang tidak ada pengampunan, itu Gereja yang anggap diri benar –self righteous Church. Tetapi di sini kita lihat, ketika Yesus datang mencari orang berdosa, Dia benar-benar turun ke paling bawah, dan Dia bersekutu dengan mereka. Dia ambil rupa seorang budak, untuk memanggil, menerima, dan mengampuni orang berdosa. Kalau Kristus melakukan ini, saya pikir kita semua, orang Kristen, juga harus demikian.
Kiranya Firman hari ini bisa menolong kita, memberkati kita semua.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed injili Indonesia Kelapa Gading