Ketika membaca cerita ini, seringkali orang Kristen menafsirkan bagian ini lebih ke arah penggembalan, bahwa kita tidak usah takut ketika di dunia ini banyak topan dan keributan melanda karena Yesus itu berkuasa, sehingga kita akan aman-aman saja, tenang saja; jadi kita memakai ayat-ayat seperti dalam bagian ini secara pastoral. Namun kalau kita melihat lebih teliti, cerita ini sebenarnya bukan satu cerita untuk menggembalakan (pastoral); cerita ini lebih fokus kepada Pribadi Kristus (Kristologi), daripada mengenai Kristus sebagai gembala, dst. Juga jangan lupa, cerita ini melanjutkan ajaran Yesus tentang perumpamaan Kerajaan Surga. Di pasal 4 Yesus mulai mengajarkan perumpamaan tentang Kerajaan Surga, setelah itu langsung masuk ke cerita ini, sehingga ini berarti relasi kedua bagian tersebut dekat sekali. Kita tidak bisa mengabaikan ajaran Yesus sebelumnya dalam perumpamaan tentang Kerajaan Surga, lalu langsung membaca cerita mujizat ini; ada beberapa poin dalam perumpamaan Kerajaan Surga yang harus kita mengerti sebelum kita masuk ke bagian ini. Yang pertama, khususnya dalam perumpamaan kita melihat murid-murid Yesus tidak mengerti. Bahkan di bagian akhir ditulis, ketika Yesus mengajar dengan perumpamaan, Dia akan sekali lagi menjelaskan kepada murid-murid-Nya.
Ketika Yesus mengajar dengan perumpamaan, semua murid-murid-Nya tidak mengerti. Walaupun mereka orang yang dipilih, mereka mendengar, mereka mendapat penjelasan, mereka tetap tidak mengerti. Mengapa? Ini mau menegaskan satu poin penting mengenai sifat Kerajaan Surga, yaitu meskipun Kerajaan Surga itu sesuatu yang publik/umum, tapi juga sekaligus tersembunyi (hidden). Walaupun Kerajaan Surga itu seperti pohon yang besar, tapi ketika diberikan kepada kita, Kerajaan Surga itu seperti satu biji. Memang betul akan menjadi publik/umum, tapi Kerajaan Surga itu tersembunyi (hidden). Kita bisa melihat Yesus, kita bisa mendengar perkataan Yesus, tapi tidak tentu kita bisa mengerti Yesus itu. Publik/umum tapi juga tersembunyi –ini satu poin yang sangat penting dalam perumpamaan tentang Kerajaan Surga, khususnya di kitab Markus.
Sekarang kita masuk ke dalam cerita ini, “Angin ribut diredakan”. Di ayat 35-36 tertulis: ‘Pada hari itu (hari ketika Yesus mengajar perumpamaan tadi), waktu hari sudah petang, Yesus berkata kepada mereka: “Marilah kita bertolak ke seberang.”’ Setelah itu mereka meninggalkan orang banyak, mereka membawa Yesus dalam perahu bersama dengan perahu-perahu lain (karena satu perahu tidak bisa memuat 12 murid), dan bertolak ke seberang. Di bagian ini kita tidak tahu mengapa harus di saat ini Yesus tiba-tiba mau pergi ke seberang, tapi yang menarik di bagian ini yaitu kalimat ‘mereka meninggalkan orang banyak itu’ –Yesus meninggalkan orang banyak itu. Dalam tradisi Protestan, motto Gereja kalau dikatakan secara karikatur seolah-olah seperti ini: “pergilah membangun Gereja di tempat yang orangnya banyak”. Itu sebabnya sekarang ini orang bangun gereja di mal, yang selain praktis dan nyaman, adalah tempat yang orangnya banyak; jarang kita melihat orang mau buka gereja di tempat yang orangnya sedikit. Tetapi Alkitab menulis, Yesus meninggalkan orang yang banyak itu, pergi ke seberang. Jelas sekali, Yesus tidak menganggap meninggalkan banyak orang itu sesuatu yang masalah, Yesus begitu saja meninggalkan, Dia tidak mengejar jumlah yang banyak itu. Mengapa?
Yesus bukan anti angka [dalam pengertian ‘jumlah’], Yesus bukan anti orang yang banyak. Kadang-kadang kita sebagai orang Reformed bilang: ‘mengapa kita tidak banyak angka, karena kita pertahankan kualitas; karena kita pertrahankan kualitas, maka tidak ada kuantitas’ –kita sedikit self-victim, self-defense. Tapi saya percaya, Yesus bukan seperti ini; Dia meninggalkan orang banyak bukan karena Dia anti angka, bukan karena Dia mau mengejar kualitas, dsb. Dalam cerita ini –khususnya ketika kita melihat cerita berikutnya—Yesus meninggalkan orang banyak itu. karena Dia tahu Kerajaan Surga itu milik semua orang. Yesus menyeberang ke mana? Ke daerah orang-orang Gerasa, orang-orang yang non Yahudi. Dia tinggalkan orang-orang Yahudi yang banyak itu, Dia pergi ke tempat orang-orang non Yahudi. Yesus sangat sadar, Kerajaan Surga milik semua orang, bukan hanya milik orang-orang Yahudi. Tapi kita seringkali sebaliknya; kita merasa, di mana ada angka, di situ Gereja; di mana ada angka, di situ Kerajaan Surga. Kita hanya menekankan sifat publik/umum Kerajaan Surga, sedangkan sifat tersembunyinya tidak ada.
Yesus bukan saja meninggalkan orang yang banyak, tapi bahwa orang banyak itu orang-orang Yahudi, yang artinya Dia juga meninggalkan keluarga-Nya, saudara-saudara-Nya, ras-Nya, dan pergi kepada orang-orang Gerasa. Satu “penyakit” orang Kristen –khususnya orang-orang Kristen Tionghoa—bagi mereka seringkali Kerajaan Surga itu ya, di rumahnya, keluarganya, cucu saya, anak saya, suami saya, istri saya; orang-orang saya, itu Kerajaan Surga, sedangkan orang-orang luar, ya, cincai-lah mereka mau ngapain. Bagi banyak orang Kristen, di mana Kerajaan Surga? Ya, di gereja, gedung ini, inilah Kerajaan Surga; yang di luar itu bukan, jadi di sini saja. Tapi Yesus bukan demikian. Alkitab jelas mengatakan, Yesus meninggalkan orang-orang yang banyak itu, Dia pergi ke tempat orang Gerasa.
Selanjutnya ditulis dalam cerita ini: ‘Lalu mengamuklah taufan yang sangat dahsyat dan ombak menyembur masuk ke dalam perahu, sehingga perahu itu mulai penuh dengan air. Pada waktu itu Yesus tidur di buritan di sebuah tilam.‘ (ayat 37-38). Kalau kita membaca Alkitab secara teliti, kita tidak boleh menganggap cerita ini sekedar tentang terjadi taufan, Yesus tidur, lalu Yesus melakukan mujizat –lewat begitu saja. Kalau kita baca seperti itu, artinya kita tidak membaca dengan teliti, atau kita sama sekali tidak niat; bahkan ada juga orang yang ketika masuk bagian ini, dia salah fokus. Orang seperti ini fokusnya ke taufan-nya, dan kemudian akan mengatakan ‘ini danau, bukan laut, bagaimana mungkin di danau terjadi taufan, jadi ini bukan cerita yang asli, kita harus selidiki, dst.’. Kalau kita baca Alkitab salah fokus, itu parah.
Kita tidak boleh salah fokus. Ketika membaca cerita ini, jelas sekali di sini sedang memakai satu cerita di Perjanjian Lama, yaitu kisah Yunus. Cerita ini sama dengan cerita Yunus; di kapal, terjadi taufan, Yesus tidur, seperti juga Yunus di kapal dan tidur, seakan tidak peduli. Ceritanya mirip sekali. Dalam cerita Yunus, orang-orang di kapal takut mereka akan mati; murid-murid Yesus di sini juga takut mereka akan mati. Strukturnya persis sekali. Tapi Markus bukan cuma mau menyatakan kesamaan Yesus dengan Yunus; kalau kita hanya memperhatikan kesamaan Yesus dan Yunus, kita akan sama seperti murid-murid, menganggap Yesus adalah seorang guru dan seorang nabi, yang tidak peduli dengan orang-orang sekitar Dia –seperti Yunus. Yunus tidak peduli dengan orang-orang di kapalnya, mau mati, ya matilah. Tetapi Yesus berbeda sekali dari Yunus –inilah yang Markus mau nyatakan dalam kisah ini. Yesus itu bukan Yunus. Yunus berada di kapal gara-gara dia tidak mau taat kepada Tuhan. Yunus melarikan diri dari Tuhan, tidak mau taat perintah dan kehendak Tuhan, tidak mau mengasihi dan mengampuni orang-orang non Yahudi itu. Dia tidak mau ke Niniwe memberitakan kabar pengampunan Tuhan, dia kabur. Dan, Tuhan menghukum dia, ada taufan dst. Ketika taufan mengamuk pun, Yunus tidak mau bangun; semua orang di kapal berdoa kepada dewanya masing-masing –yang pastinya kita tidak setuju—tapi Yunus berdoa kepada Tuhan pun tidak mau. Yesus bukan demikian. Yesus di dalam perahu bukan karena Dia menolak Tuhan dan tidak taat kepada Tuhan, tapi justru Dia sedang taat kepada Tuhan, Dia tahu Kerajaan Surga itu bukan cuma untuk orang Yahudi, tapi untuk orang-orang non Yahudi juga, untuk semua orang di dunia. Itu sebabnya Dia berada di dalam perahu itu, mau pergi ke daerah orang Gerasa. Untuk apa? Untuk menyatakan diri-Nya kepada mereka, untuk mengusir setan, untuk memberitakan bahwa Kerajaan Surga sudah tiba bukan saja bagi orang Yahudi tapi juga bagi orang-orang non Yahudi –bagi seluruh dunia. Yesus bukan Yunus, Yesus bukan sedang melarikan diri.
Di sini kita melihat jelas Pribadi Yesus; Yesus sebagai manusia, yang Dia tahu dan yang Dia lakukan, itu klop. His knowledge and His action fits. Seringkali orang mengatakan “di gereja, saya kenal orang yang setiap hari baca Alkitab, setiap hari renungan, ikut kelas ini kelas itu, eh, hidupnya ‘gak beres, di keluarga ada orang ketiga, di bisnis menipu, ‘gak jujur”. Omongan seperti ini sudah makanan sehari-hari kita di gereja, tentang orang Kristen, yang seharusnya tidak demikian. ‘Tahu kehendak Tuhan?’ Tahu. ‘Tahu Yesus Juruselamat?’ Tahu. ‘Tahu Sepuluh Hukum?’ Hafal! Sepuluh Hukum 1 sampai 10 hafal, dibalik dari 10 sampai 1 juga bisa! Tapi hidupnya tidak beres, dan dikomplain orang non Kristen. Capek sekali kita mendengar yang seperti ini; kapan Gereja mau bertobat? Yesus tidak demikian. Yesus tahu kehendak Tuhan, dan Dia taat sepenuhnya. Yesus bukan Yunus. Pengetahuan-Nya dan tindakan-Nya cocok, koheren. Apa yang Dia tahu, Dia jalankan.
Satu kutipan dari Thomas A. Kempis dalam bukunya “The Imitation of Christ”, dia mengatakan: “Many words do not satisfy the soul; but a good life eases the mind and a clean conscience inspires great trust in God”. Dia sedang merenungkan mengenai pengetahuan dan kelakukan kita, dan dia mengatakan banyak kata-kata itu tidak akan memuaskan jiwa kita, tetapi hidup yang baik akan meringankan pikiran kita; bukan banyaknya pengetahuan, doktrin, teologi, dsb. yang meringankan pikiran kita, melainkan hidup yang baik itulah yang meringankan pikiran kita. Selanjutnya, satu hati nurani yang bersih, itu membuat kita percaya kepada Tuhan. Mengapa ada orang doktrinnya banyak tapi tidak bisa percaya kepada Tuhan? Karena hidupnya tidak beres, banyak kegelapannya, banyak nodanya, mana bisa percaya kepada Tuhan? Tentu tidak bisa. Dia cuma percaya Tuhan akan menghukum dirinya. Thomas A. Kempis bilang “a clean conscience inspires great trust”, bukan “many knowledge inspires great trust”; bukan otak yang besar membuat kita bisa percaya kepada Tuhan, tapi hati nurani yang bersih, itulah yang membuat kita bisa percaya kepada Tuhan. Satu hal yang klise, yang setiap pengkotbah selalu mengulang-ulang, yaitu supaya pengetahuan dan kelakuan kita klop, the action and the knowledge fits.
Dalam bahasa Ibrani, tidak ada istilah ‘taat’ (obey); istilah ‘obey’ dalam kamus Ibrani adalah shema, yang kita mengerti sebagai ‘dengar’. Untuk orang Yahudi, mendengar itu sekaligus berarti taat. Orang yang mendengar tapi tidak taat, mendengar tapi tidak melakukan, berarti dia tidak shema, tidak mendengar. Mendengar dan taat bukan 2 kata yang terpisah tapi 1 kata; tidak ada kemungkinan mendengar tetapi tidak taat, karena keduanya tercakup dalam satu istilah, yaitu shema. Ketika kita mendengar, itu artinya kita taat –ini satu paket. Orang yang mendengar Firman Tuhan dan tidak menjalankannya, maka berdasarkan definisi Alkitab dia sama sekali tidak mendengar. Itu bukan true listening.
Selanjutnya ayat 38b, ‘Maka murid-murid-Nya membangunkan Dia dan berkata kepada-Nya: “Guru, Engkau tidak perduli kalau kita binasa?”’ Pertama, kita melihat murid-murid ini memanggil Yesus sebagai guru. Mereka masih menganggap Yesus sebagai guru, walaupun mereka sudah melihat Yesus mengajar perumpamaan Kerajaan Surga, Yesus mengusir setan, Yesus menyembuhkan banyak orang. Yesus sudah melakukan begitu banyak hal, tapi tetap mereka menganggap Yesus guru. Mereka tidak sadar bahwa Yesus itu Mesias, Sang Anak Allah. Di sini sekali lagi ditekankan sifat tersembunyi dari Kerajaan Allah; walaupun Yesus ada di tengah-tengah mereka, makan dan tidur bersama-sama dengan mereka, mereka tidak sadar Dia ini Sang Anak Allah. Kita tentu ingat, ketika Yesus di atas kayu salib, ada orang Farisi mengatakan ‘kalau Engkau selamatkan diri-Mu, turunkan diri-Mu, saya akan percaya’ –tetapi mereka tidak akan percaya. Sekalipun Yesus turunkan diri-Nya, melakukan mujizat itu, mereka tidak akan percaya. Jangan kita kira, orang melihat Yesus pasti percaya. Banyak orang bilang ‘saya tidak percaya Tuhan, saya tidak percaya Yesus, saya mau melihat Yesus dulu baru saya percaya’. Tidak tentu! Murid-murid-Nya ini melihat Yesus, mendengar ajaran Yesus, dan tetap tidak percaya, tetap tidak sadar Yesus itu Mesias, mereka tetap panggil Dia ‘guru’.
Kedua, murid-murid-Nya mengatakan “Engkau tidak peduli” –‘Don’t You care? Apa Engkau tidak peduli?’ Mereka bukan sedang mengharapkan Yesus meredakan angin topan, mereka tidak berharap itu, karena di Perjanjian Lama yang bisa meredakan angin topan hanya Tuhan, sedangkan Yesus ini inkarnasi jadi manusia. Mereka juga tidak mengharapkan Yesus saat itu punya kuasa begitu besar, yang bisa langsung meredakan angin topan. Yang membuat mereka marah, dan juga kuatir serta takut, adalah Yesus ini koq sepertinya sama sekali tidak peduli, kita sudah mau mati, sudah mau tenggelam, Lu kayak Yunus saja, tidur nyenyak, enak bener; kita sudah mau mati, Lu kayak ‘gak mau tahu saja, bangun untuk berdoa pun tidak. Mereka marah pada Yesus; ‘Engkau tidak peduli kalau kita binasa? Kita sudah mau mati, lho, Yesus. Ya, mungkin Engkau bukan Tuhan, tapi ‘kan Engkau guru kami?? Mengapa bangun untuk doa pun tidak mau??’ Mereka tidak mengerti, mereka marah.
Kita sebagai orang Kristen seringkali juga sama. Kita seringkali berada di posisi murid-murid; ketika kita mengalami kesulitan, dan Tuhan diam, di saat itu kita menganggap Yesus itu Yunus. Tuhan, koq, Engkau tidak peduli? Saya ini susah, sudah kebanjiran, mobil hilang, semua harta hilang, koq Kamu diam-diam saja? Kamu cuma Yunus, ya?? Tetapi kita harus pikir kembali; kalau setiap kali kita ada kesulitan lalu Tuhan langsung bicara, setiap kali kita jatuh lalu Tuhan langsung bilang “oh, hati-hati, ya”, itu menyatakan Tuhan seperti tidak berdaulat sama sekali, tidak ada rencana sama sekali sehingga setiap kali Tuhan harus menjelaskan kepada kita “begini lho …”. Kalau seperti itu, jadinya siapa yang Tuhan, siapa yang manusia? Kita menuntut Tuhan setiap kali harus berespons, setiap kali harus bersuara. Ini seperti orangtua dengan anaknya, waktu anak bilang, “Pa, saya tidak mau sekolah”, papanya bilang, “Okelah, itu hidup kamu, tidak masalah kalau tidak mau sekolah”; kalau anaknya bilang, “Pa, saya mau narkoba”, papanya bilang, “Okelah, tidak masalah”. Orangtua yang membiarkan saja anaknya mau melakukan apapun, itu orangtua yang tidak ada rencana, orangtua yang tidak berdaulat sama sekali, orangtua yang tidak pernah memikirkan masa depan anaknya sendiri. Tapi Tuhan bukan begitu. Tuhan tidak perlu setiap kali kita ada kesulitan, Dia berbicara. Mengapa? Karena yang berdaulat adalah Tuhan, bukan manusia.
Jadi, pertama-tama ketika kita melihat Tuhan diam di dalam kesulitan kita, kita harus sadar bahwa Tuhan itu berdaulat. Bukan dalam arti Dia Tuhan yang berdaulat yang bisa membuat kita susah, melainkan bahwa Dia melebihi kita. Dia melebihi kesulitan sementara kita. Dia melebihi hidup kita. Dia berdaulat. Hormati ke-diam-an Tuhan. Kalau Tuhan terus berbicara, terus berespons, itu seperti anak-anak, seperti bukan Tuhan yang berdaulat, seperti Tuhan yang tidak ada rencana. Tetapi Tuhan kita adalah Tuhan yang ada rencana kekal, Tuhan yang berdaulat. Ketika Tuhan diam, hormati kedaulatan Dia, akui bahwa kita hanyalah makhluk yang sementara.
Kedua, ketika Tuhan diam dalam kesulitan kita, kita harus sadar bahwa Tuhan diam bukan berarti Dia tidak bicara; Tuhan bisa tetap bicara. Kita akan melihat dalam kitab Ayub pasal 33 ayat 14 mengenai jawaban Elihu; (kita tahu, Tuhan marah kepada 3 teman Ayub –Elifas, Bildad, dan Zofar– tetapi tidak kepada Elihu; ketika Elihu bicara, Tuhan lanjutkan, sehingga artinya Tuhan lumayan setuju dengan perkataan Elihu) Elihu mengatakan: “Karena Allah berfirman dengan satu dua cara, tetapi orang tidak memperhatikannya.” Ketika itu, dalam sengsaranya Ayub bukan saja mengatakan Tuhan tidak adil, tapi salah satu tuduhannya yang paling keras adalah menganggap Tuhan tidak bersuara, tidak ada respons sama sekali. Tuhan, saya sudah kehilangan anak, kehilangan bisnis –kehilangan segala-galanya—sudah sakit kulit juga, koq Kamu say ‘hai’ saja tidak?? Tidak ada suara, tidak ada sapa, tidak mengunjungi, diam seribu bahasa. Tapi kemudian Elihu menjawab Ayub, “Allah itu bukannya diam, Allah itu berfirman dengan satu dua cara, lu yang ‘gak ngerti, lu yang ‘gak tahu!” Allah, dalam ke-diam-an Dia, tetap berbicara. Kemudian di ayat 19 Elihu mulai menjelaskan: “Dengan penderitaan ia ditegur di tempat tidurnya”; apa artinya? Elihu mau menjelaskan ‘Tuhan itu tidak menegur kamu dengan mulut-Nya, Tuhan tidak berbicara kepada kamu dengan mulut-Nya; di dalam penderitaanmu, Tuhan juga sedang berbicara kepada kamu’. Tuhan sedang berbicara terus-menerus, Tuhan tidak pernah diam, selalu ada wahyu. Itulah penghiburan kita, bahwa Tuhan mewahyukan diri-Nya, Tuhan terus menyatakan diri-Nya. Tuhan tidak pernah diam. Di dalam penderitaan kita, mungkin penderitaan itu sendiri adalah cara Tuhan berkomunikasi dengan kita. Tuhan tidak buka mulut dari surga berbicara kepada kita untuk berkomunikasi dengan kita; kesulitan kita sendiri mungkin adalah cara Tuhan berkomunikasi. Jadi, ketika Tuhan kelihatannya diam, bukan berarti Dia tidak peduli dengan kita. Juruselamat kita Tuhan Yesus, bukanlah Yunus –amat sangat berbeda.
Ayat 39, Ia pun bangun, menghardik angin itu dan berkata kepada danau itu: “Diam! Tenanglah!” Lalu angin itu reda dan danau itu menjadi teduh sekali. Di sini pertama-tama kita jelas melihat bahwa Yesus sungguh-sungguh adalah Anak Allah. Dalam Perjanjian Lama hanya Tuhan yang bisa meredakan angin dan taufan, lalu di sini Yesus meredakan angin dan taufan. Ini berbeda sekali dengan Yunus; Yunus berdoa, lalu Tuhan yang bekerja. Pendeta Stephen Tong sering mengatakan, ketika Yesus membangkitkan orang dari kematian, itu berbeda dari semua rasul dan semua nabi, Dia hanya pakai firman “bangun!”, dan orang itu langsung bangun; there is qualitative difference between Jesus and all the prophets and all the apostles. Poin ini kita harus jelas.
Namun yang lebih menarik di sini, seperti dikatakan banyak tafsiran, bahwa cara Yesus menghardik taufan dalam kisah ini mirip sekali dengan cara Yesus mengusir setan. Kita melihat dalam Markus 1:25 tertulis: ‘Yesus menghardik roh jahat itu, kata-Nya: “Diam, keluarlah daripadanya!”’ Cara Yesus mengusir setan dan cara Yesus meredakan angin topan sama, Yesus menghardiknya dengan mengatakan “Diam!” Ini bukan berarti taufan di sini adalah pekerjaan setan, ini bukan berarti Yesus sedang melawan setan karena setan mau menghalangi Yesus melakukan pekerjaan Tuhan, juga bukan berarti angin topan dalam dirinya sendiri ada evil spirit atau jahat. Bukan itu. Yesus menghardik angin topan dengan cara sama seperti Dia menghardik setan, adalah karena efek yang ditimbulkan oleh setan dan efek yang ditimbulkan dalam hati murid-murid Yesus karena taufan, itu sama. Mengapa setan teriak-teriak ‘Yesus adalah Anak Allah, Yang Kudus dari Allah’? Karena setan mau kita memiliki konsep yang salah tentang Yesus, dia mau kita mengenal Yesus dari mujizat-Nya, bahwa Yesus adalah Mesias yang melakukan mujizat, Yesus adalah yang menyembuhkan orang, ‘kamu ikut Dia, kamu sembuh’. Itulah yang setan mau, yaitu supaya kita punya konsep yang salah tentang Mesias. Dan, efek dari angin topan di kisah ini pun sama. Kita lihat murid-murid-Nya, ketika menghadapi angin topan, murid-murid menganggap Yesus bukan Mesias lagi, mereka menganggap Yesus sebagai Yunus; ‘Lu ‘gak peduli, doa pun Lu ‘gak mau, Lu guru, Lu ada pengajaran, ada perumpamaan, tapi Lu sama saja dengan Yunus’. Jadi efeknya sama, kita langsung mendapat wrong concept of Christ; dua-duanya membuat kita punya pengertian terhadap Yesus yang salah. Itu sebabnya Yesus menenangkan angin ribut dengan cara demikian. Dia mau menyatakan, bahwa Dia Sang Anak Allah, Mesias, bukan saja berotoritas di atas kuasa yang jahat, Dia juga berotoritas di atas seluruh kuasa dalam dunia ini.
Dalam dunia ini kita melihat kuasa-kuasa dunia, dan kadang kita merasa takut. Kita melihat kuasa politik, kita melihat kuasa militer, kita melihat kuasa-kuasa dunia ini dan kita seperti ditelan angin topan. Kita bisa takut, kita bisa gentar. Itu semua bisa membuat kita tidak percaya dan bersandar kepada Tuhan lagi. Ada satu peribahasa Mandarin tentang hal ini. Seperti kita tahu, orang Tiongkok dulu menggiling kacang untuk membuat susu kacang, mereka meletakkan kacang di tengah, lalu alat gilingan didorong maju-mundur; dan alat penggilingnya begitu besar sekali. Begitu besarnya alat penggiling itu, sampai ada peribahasa Mandarin mengatakan: “kalau ada uang, lu bisa suruh setan yang dorong gilingan itu”. Itulah kuasa uang; kalau ada uang, setan yang jahat itu pun takluk sama kamu. Begitu besarnya kuasa uang –kuasa dunia ini—sama seperti angin topan di sini. Tetapi Yesus menghardik angin topan, menyatakan “Saya berotoritas”.
Yesus sebelumnya sudah mengatakan “Anak Manusia berotoritas untuk mengampuni dosa”, dan di sini Yesus mengatakan “Saya berotoritas atas seluruh ciptaan”. Kita bisa bayangkan, betapa ini penghiburan yang begitu besar. Mungkin tidak bagi kita yang aman-aman saja sekarang, tetapi bagi pembaca pada saat itu menghadapi Kerajaan Roma yang begitu besar dan mereka dianiaya, sementara Yesus entah di mana. Mereka cuma mendengar cerita bahwa Yesus sudah naik ke surga; mereka percaya Yesus sudah di surga, tetapi yang di depan mata mereka sekarang adalah Kerajaan Romawi, yang begitu kuat. Namun melalui cerita ini Markus mau mengatakan, Tuhan yang kamu percayai itu bukan hanya Tuhan yang mengampuni dosamu, Tuhan yang kamu percayai adalah Tuhan yang berotoritas atas seluruh ciptaan dunia ini –seluruhnya. Baik itu uang, pemerintah, ataupun alam dan angin topan, Yesus katakan “diam!” dan mereka diam.
Ayat 40, Lalu Ia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?” Bagian kedua dari kalimat ini, ‘mengapa kamu tidak percaya’, terjemahan bahasa Indonesia sebenarnya tidak begitu tepat; yang lebih tepat mau mengatakan ‘mengapa kamu belum cukup percaya’. Jadi ini bukan berarti murid-murid tidak ada iman sama sekali, mereka ada iman tapi tidak cukup. Di bagian mana iman mereka tidak cukup? Yaitu mereka tidak percaya bahwa Yesus bisa menjamin keselamatan mereka, mereka kurang percaya bahwa Yesus bisa melindungi mereka. Yesus bisa mengajar mereka, itu oke, tidak ada masalah, Yesus itu pengajarannya bagus. Yesus bisa menyembuhkan orang yang sudah sakit, yang sudah jatuh, mereka percaya. Tetapi Yesus yang bisa melindungi mereka dari kuasa dunia ini, mereka belum percaya –lack of faith. Mereka belum cukup iman, mereka takut. Mengapa mereka bisa kurang iman? Ujung-ujungnya karena mereka gagal melihat bahwa Tuhan sedang bekerja secara powerful melalui Yesus. They failed to see that God is powerfully and presently working through Jesus.
Mereka gagal melihat bahwa Tuhan, dengan kuasa-Nya yang besar, sedang bekerja melalui Yesus. Ini penting sekali. Kita harus sungguh-sungguh bisa melihat bahwa Tuhan, yang bekerja secara powerful, sungguh-sungguh sepenuhnya bekerja melalui Yesus. Tuhan bekerja melalui Yesus, ini bukan mau menyatakan bahwa Yesus hebat, Yesus penuh dengan kuasa; ketika kita sadar Tuhan sungguh-sungguh bekerja sepenuhnya melalui Yesus, baru kita akan ngeh bahwa salib itu bukan kekalahan. Di mata manusia, kalau Yesus begitu berkuasa, mengapa Dia disalibkan, bukankah salib itu hina sekali?? Tetapi itulah yang dinyatakan Alkitab, Tuhan bekerja luar biasa melalui Yesus, dan Yesus ini adalah Yesus yang disalibkan. Secara normal kita tidak mau itu. Bagi kita, orang yang berkuasa, matinya seharusnya seperti Elia, yang diangkat ke surga dengan kereta berapi. Kita maunya mereka mati seperti Musa, di atas gunung, lalu ada malaikat yang memperebutkan mayatnya. Itulah bagi kita orang yang berkuasa; tetapi Yesus, yang sepenuhnya berkuasa, mati disalib. Maka, kalau kita tidak bisa melihat bahwa Tuhan bekerja melalui Yesus, kematian Yesus itu kekalahan. Ini satu ironi dan misteri, tapi inilah iman kita yang kita dapatkan dalam Alkitab: the most powerful Man in the world, died in the most diviting way. Orang yang paling berkuasa di dunia, yang bisa menghardik angin topan, yang bisa berotoritas atas dosa, cara matinya adalah cara yang paling kalah, paling hina, paling memalukan. Tetapi ketika kita mengerti semua relasi ini, baru kita sadar, bahwa kuasa yang kita peroleh dalam Kristus bukanlah kuasa dunia, bahwa kemenangan yang kita terima dalam Kristus bukanlah kemenangan dunia, meski Orang yang paling berkuasa dalam sejarah dunia matinya seolah-olah paling terkalahkan.
Lalu akhirnya, ayat 41, ‘Mereka menjadi sangat takut dan berkata seorang kepada yang lain: “Siapa gerangan orang ini, sehingga angin dan danau pun taat kepada-Nya?”’ Rasa takut mereka di bagian ini bukan seperti takut karena angin topan tadi, melainkan takut dan hormat, takut yang kudus (holy fear). Mereka kagum dan takut. Reaksi mereka sama seperti orang-orang di kapal Yunus, mereka melihat yang terjadi, mereka kagum dan takut. Tapi bedanya, orang-orang di kapal Yunus setelah melihat semua itu, mereka memberikan persembahan kepada Tuhannya Yunus; sedangkan di sini, ketika murid-murid melihat Yesus melakukan mujizat, mereka bilang ‘siapa orang ini’ –tetap tidak sadar. Mereka confused, tidak jelas siapa ini, mereka tidak tahu bagaimana berespons. Dari sini kita melihat, bahwa kalau kita bisa “melihat” Yesus, itu anugerah. Orang yang bisa melihat Yesus, itu sama seperti biji yang diambil oleh Yesus dan ditaruh di tanah yang subur. Bukan biji itu sendiri yang berjalan ke tanah yang subur, melainkan penaburnyalah yang mengambil biji tersebut dan taruh di tanah yang subur. Kamu bisa melihat, karena Saya yang gerakkan kamu, Saya yang taruh kamu di tanah yang subur sehingga kamu bisa lihat; bukan kamu sebagai biji yang jalan ke tanah yang subur sehingga bisa melihat. Ini adalah anugerah.
Terakhir, pertanyaan murid-murid ini, “siapa gerangan orang ini, sehingga angin dan danau pun taat kepada-Nya?”, bukan ditulis supaya kita hina-hina mereka, ‘wah, murid-murid ini kacau, rasul-rasul ini ternyata goblok-goblok juga, ‘gak lulus STT ini’ –bukan seperti itu. Ini adalah pertanyaan retorik. Pertanyaan ini sebenarnya pertanyaan untuk kita. ketika Markus menulis “siapa gerangan orang ini”, dia mau kita bertanya kepada diri kita masing-masing. Untuk kamu, siapakah itu Kristus? Siapakah Orang ini, yang kamu baca? Siapakah Orang ini, yang kamu percayai itu? Orang yang sudah mati di atas kayu salib, Orang yang sudah mengusir setan, Orang yang sudah membangkitkan orang dari kematian, Orang yang sudah menghardik angin topan, untuk kamu Dia itu siapa? Jawaban Markus gampang: Yesus adalah Yang lebih besar daripada Yunus, Dia adalah Sang Anak Allah yang sempurna, yang diutus oleh Tuhan, yang berkuasa penuh untuk berdaulat, memiliki berotoritas atas seluruh dunia. Dia mungkin matinya kelihatan kalah secara kasat mata manusia, tapi kamu harus sadar, Dia itu sungguh-sungguh powerful. Tuhan sungguh-sungguh sepenuhnya bekerja melalui Dia, di dalam kematian-Nya, di dalam salib-Nya, di dalam kebangkitan-Nya. Dari sini baru kita sungguh-sungguh melihat Siapa itu Pemenangnya, Siapa itu Tuhan atas dunia ini.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading