Hari ini adalah minggu ke-2 setelah Trinitatis; kita akan merenungkan satu bagian Firman Tuhan berkaitan dengan Kalender Gereja hari ini, yang message utamanya adalah ‘meja Tuhan’. Di dalam ‘meja Tuhan’, undangannya dibuka untuk semua orang, yang kaya, yang miskin, orang lumpuh, orang buta, dan semuanya; mereka dipanggil dari jalan-jalan, dari gang-gang. Di dalam meja Tuhan inilah ada persekutuan yang sejati (koinonia); orang-orang yang tadinya asing, yang tidak seharusnya berada di meja itu, sekarang dianggap sebagai keluarga Kerajaan Allah.
Berbicara tentang panggilan di jalan-jalan dan di gang-gang sebagaimana kita baca di Yesaya 55 ayat 1 dst., Clause Westermann, seorang ahli Perjanjian Lama, pernah mengatakan ini seperti cries of street vendors, orang-orang yang menawarkan barang jualannya di jalan-jalan. Gambarannya seperti kurang anggun, tapi saya pikir ini juga menggambarkan realitas. Seringkali dari perspektif orang yang tidak mengenal Tuhan, mereka pikir Gereja sedang jualan atau sedang marketing sesuatu —cries of street vendors. Memang agak tidak enak kedengarannya, kita lebih suka ada dignitas dong. Tapi dalam hal ini ada realisme teologisnya, karena di dunia ini dari perspektif orang yang tidak mengerti, mereka melihat seakan Gereja saling saingan satu dengan yang lain, kompetitif, semua menawarkan barang dagangannya masing-masing sesuai dengan denominasinya, ajaran teologinya, dsb., seperti persaingan bebas –padahal kenyataannya manusia yang membutuhkan hal itu. Yesus pun waktu berada di dalam dunia, Dia dianggap jualan juga (street vendor), padahal merekalah yang membutuhkan Kristus dan bukan Kristus yang membutuhkan mereka, padahal undangan ini adalah demi kebaikan mereka dan bukan karena Tuhan kekurangan pengikut. Memang sulit untuk berpikir seperti ini apalagi sekarang, ketika semua bisa diakses online, ketika kita ada banyak pilihan, tinggal pilih –maaf istilah ini– “penjual jamu” yang mana, mau variasi yang seperti apa –yang sangat affectionate, yang sangat logika, yang apologetis, yang membahas dengan eksegese, atau yang deep in devotion spiritual, dsb.– macam-macam sekali pilihannya, dan kita seperti bisa memilih. Jadi, Westermann mungkin tidak terlalu keliru waktu mengatakan ‘cries of street vendors’; omong-omong teolog ini sudah seratusan tahun yang lewat, tentu dia tidak tahu apa-apa mengenai keadaan sekarang, tapi kayaknya masih ada benarnya waktu dia mengatakan itu.
Meskipun demikian –kalau kita mendapatkan belas kasihan anugerah Tuhan– kita bisa melihat panggilan di sini sangat rapi. Dalam hal ini seorang komentator lain mengatakan “nothing is jumbled”, bukan karena ini teriakan street vendors lalubicaranya jadi sembarangan, saling bersaing, entah bicara apa dan cuma bikin ribut saja; karena kalau Saudara membaca strukturnya dsb., itu sangat teliti, perkataan demi perkataan sangat teratur, tidak ada yang kacau balau. Kita bisa melihat satu per satu yang ditawarkan di sini.
Yang pertama: “Ayo, hai semua orang yang haus, marilah dan minumlah air” (“come to the waters”). Air adalah kebutuhan yang paling dasar (basic) dalam kehidupan manusia. Yang paling basic ini tidak boleh tidak ada. Yang paling basic ini cukup, tidak kekurangan; orang bisa minum air ini.
Selanjutnya dikatakan: “hai orang yang tidak mempunyai uang, marilah!”Di dalam dunia ini tidak semua orang mampu membeli, bahkan kebutuhan yang paling pokok; namun di sini dikatakan orang yang tidak mempunyai uang, juga marilah, datanglah. Kemiskinan sama sekali bukan batasan atau kategori yang menghalangi orang untuk bisa datang kepada Tuhan, karena datang kepada Tuhan bukanlah urusan kaya atau miskin; kaya miskin itu tidak penting sama sekali dalam hal ini. Kalau di dalam dunia, tentu saja kaya miskin jadi penting sekali, yang boleh datang adalah yang kaya, yang punya keanggotaan, dsb., tetapi di Gereja, kategori tersebut adalah kategori yang tidak penting sama sekali, maka di sini dikatakan ‘orang yang tidak mempunyai uang, marilah, datanglah’.
Di awal tadi dikatakan tentang air, lalu bagian berikutnya bicara tentang anggur dan susu; dikatakan: “… juga anggur dan susu tanpa bayaran!” Apa maksudnya? Maksudnya, di sini bukan cuma bicara kebutuhan dasar, yaitu air –air itu satu hal, dan semua orang perlu air– tapi juga ada kekayaan (richness) di sini, ada anggur dan susu, bukan minuman sembarangan. Saudara jangan tafsir salah dalam pengertian ‘bagi yang tidak doyan minum air, minum wine saja, lebih keren’ –bukan itu poinnya. Waktu di bagian ini dikatakan “terimalah gandum tanpa uang pembeli dan makanlah, juga anggur dan susu tanpa bayaran!” maksudnya basic needs itu satu hal, tapi richness atau kekayaan/kelimpahan juga tersedia (saya tidak pakai istilah ‘luxury’, itu istilah yang tidak tepat kalau dipakai di sini).
Kita tahu yang ditawarkan di sini sebenarnya adalah keselamatan dari Tuhan, yang dikatakan dengan bahasa metafora; dan kita bisa melihat kaitan demi kaitan di sini. Misalnya yang pertama, tidak semua orang merasa diri haus; atau mungkin ada orang yang bilang ‘kalau air sih saya ada’. Ada air itu satu hal, tapi ada true richness anggur dan susu, itu hal yang lain. Betul bahwa Kekristenan menyediakan hal yang paling dasar, tapi juga bisa menyediakan kelimpahan dan kekayaan. Kekristenan bukan cuma menyediakan hal-hal yang dasar lalu jadi agama yang cetek sekali karena setiap kali cuma bicara begitu-begitu tok, tidak ada yang bisa digali lagi, dangkal sekali, tidak menyediakan filsafat hidup yang bagaimana begitu, cuma bolak-balik bilang ‘Yesus baik, Yesus baik’, kayaknya tidak ada lagi berita yang lain –tidak demikian. Memang betul meng-cover basic needs, tapi juga ada anggur dan susu –dan semua itu gratis. Bukan ‘kalau anggur dan susu bayar lho, karena ini untuk orang yang agak kaya, sedangkan untuk yang biasa-biasa saja ada air tersedia’; tidak demikian, itu bukan Kekristenan. Kekristenan bukan kasta-kasta. Hati-hati berpikir secara ‘kasta-kasta’, itu tidak cocok dengan gambaran Kekrstenan, tidak cocok dengan message yang kita renungkan dalam minggu ke-2 Trinitatis ini. Sekali lagi, orang buta, orang lumpuh, orang miskin, orang cacat, dsb., semua diundang.
Ada ‘anggur dan susu’, maksudnya keselamatan yang dari Tuhan itu bukan cuma menyediakan basic needs, tapi juga ada richness, ada delight yang tidak akan pernah habis untuk digali. Berharap Gereja juga bisa menyediakan ini; menyediakan di satu sisi basic needs, bukan masuk dalam gambaran theological oration yang rumit sekali yang tinggi sekali tapi kemudian basic needs tidak dicukupi. Sedikit sharing kesulitan dari gereja-gereja di Eropa; banyak orang akhirnya tidak mau lagi datang ke gereja. Mengapa demikian? Mereka bilang, yang dibahas di gereja adalah berita politik; memang bukan sembarangan pembahasannya, tapi melihat dari perspektif ini dan itu, ada analisanya dsb., namun misalnya orang kesepian, tidak tahu jawabannya apa. Orang kesepian diajak mikirin Ukraina dan Rusia misalnya; bukan tidak ada tempatnya bicara Ukarina dan Rusia –tentu ada tempatnya– tapi orang yang patah hati tidak ada jawabannya, orang yang kesulitan mendidik anak tidak ada jawabannya. Karena apa? Ya, karena lagi ngomongin Ukarina dan Rusia, lagi ngomongin Roe versus Wade, lagi ngomongin entah apa lagi; lalu ini hubungannya apa dengan kehidupan saya?? Tidak ada, tidak berkaitan. Saudara lihat, di sini seperti ada semacam anggur dan susu, ada refleksi teologis yang sangat mendalam, lagipula dalam skala global dan bukan cuma lokal, tapi tidak ada air sebenarnya. Jadi untuk orang yang cuma perlu minum air, ‘maaf ya, kita ‘gak ada air, kamu minum wine saja bagaimana, ini 15% alkoholnya’; apalagi untuk anak kecil, cuma ada wine juga. Atau mungkin terbalik, orang dewasa yang mungkin tidak minum susu lagi, malah diberikan susu. Rumit keadaannya. Akhirnya orang-orang itu pergi meninggalkan Gereja, karena ‘kalau saya mau dengar berita politik, ya, saya tinggal buka channel TV saja dong, saya bisa dapat perspektifnya dari analis-analis, saya ‘gak expect Gereja mengajarkan ini’. Bukan tidak boleh ada perspektif politik sama sekali, tentu ada tempatnya, tapi kalau kita belajar dari Yesaya 55, dari istilah ‘air, anggur, susu’ ini saja kita mendapati yang satu bicara tentang richness, yang satu bicara tentang basic needs, dan dua-duanya di-cover.
Tentu kalau kita balik, yang ada cuma air tapi tidak ada anggur dan susu, tidak ada richness, beritanya cuma itu lagi, itu lagi, “Tuhan itu baik, baik bagi saya dan kamu”, itu saja terus-menerus, putar-putar di dalam bagian itu terus-menerus, tidak ada yang lain, akhirnya Kekristenan dangkal sekali, mirip kalimat-kalimat mantra, tidak ada lagi yang digali, dari dulu ngomongin itu terus. Bukan karena kalimat tadi sepenuhnya salah, tentu saja Allah memang baik, tapi baik itu apa sih maksudnya? Yesus baik, itu apa maksudnya? Sampai di sini saja sudah susah jawabnya. Ada orang mengatakan, “Allah itu baik, lalu kenapa saya masih sakit, kenapa masih ada penderitaan di dalam dunia??” Jadi ini bilang ‘Allah baik’ tapi tafsir sendiri, ‘baik’-nya Allah harus sesuai dengan imajinasinya sendiri, ‘baik’ yang menurut dirinya sendiri, bukan ‘baik’ yang menurut Firman Tuhan. Akhirnya orang-orang seperti ini kesulitan waktu membaca Firman Tuhan karena dia punya konsepnya sendiri tentang Allah, konsep ‘kebaikan Allah’ yang menurut dia sendiri, dia tidak mau mendengar dari kekayaan Alkitab apa artinya waktu bicara tentang kebaikan Allah. Dia tafsir sendiri, fantasi sendiri, pikir-pikir sendiri, dan dia sombong waktu belajar dari Alkitab.
Kembali lagi, ada air, tapi juga anggur dan susu. Yang basic needs, gratis; yang aggur dan susu, juga tanpa bayaran. Jadi ini semuanya free, gratis. Tapi waktu bagian ini saya bandingkan terjemahan bahasa Indonesia dengan terjemahan bahasa Inggris, sepertinya ada yang hilang. Yesaya 55:1 dalam bahasa Inggris: “Come, everyone who thirsts, come to the waters; and he who has no money, come, buy and eat!”(“ … dan siapa yang tidak memiliki uang, marilah, datanglah, belilah, dan makanlah”); sedangkan dalam bahasa Indonesia: “Ayo, hai semua orang yang haus, marilah dan minumlah air, dan hai orang yang tidak mempunyai uang, marilah!” –tidak ada ‘belilah’ di sini. Kata ‘belilah’ hilang dalam terjemahan bahasa Indonesia. Istilah ‘belilah’ ini penting sebenarnya. Saudara mungkin pikir ‘lho katanya gratis, tapi koq disuruh beli, jadinya beli atau gratis; beli artinya tidak gratis, kalau gratis artinya tidak beli ‘kan?’ Tapi itu bukan logika Alkitab; di dalam logika Alkitab, gratis dan beli/bayar. Bayar apa? Tentu bayar harga. Memang bukan beli yang ditawarkan tadi; yang bayar adalah orang lain yaitu Tuhan sendiri, itu sebabnya gratis, tapi ada harga yang harus dibayar. Bukan karena gratis maka jadi murahan, tapi ada yang menyediakan, dan menyediakan berarti membayar dengan harga yang mahal. Kalau orang betul-betul mengerti ini gratis, maka dia akan membayar harga juga. Saudara jangan bingung dalam hal ini, di dalam Alkitab kita tidak mengenal konsep ‘karena gratis maka boleh tidak dihargai’. Saudara perhatikan, dalam hal ini bagus sekali bahasa Indonesia ‘di-harga-i’. Ini sesuatu yang gratis –kalau gratis maka boleh dibilang tidak tercantum harga di situ karena kalau tercantum harga artinya harus beli– tapi ini musti di-harga-i, bukan tidak ada harganya, harganya mahal sekali sebetulnya. Berbahagialah orang yang mengerti ini, mengerti bahwa yang disediakan ini meskipun gratis tapi bukan berarti tidak berharga.
Kita di dalam kehidupan ini cenderung kurang menghargai yang kita tidak bayar, apapun itu, misalnya Saudara dapat buku gratis atau yang lainnya. Kita cenderung tidak menghargai karena kita pikir tidak ada harganya karena dibagi-bagikan free. Dalam hal ini, sebagian orang lalu mengembangkan pendapat ‘makanya jangan pernah gratis, memang dasar manusia tidak bisa diajar; kasih saja harga yang mahal supaya bisa menghargai’; tapi filosofi ini juga masalah yang lain lagi. Kalau saya cuma bisa menghargai karena saya mengeluarkan uang di situ, itu berarti hati saya ada pada uang. Kalau Saudara cuma menghargai sesuatu karena Saudara bayar untuk itu, berarti hati Saudara ada pada uang, Saudara menghargai karena uang Saudara sudah ikut ke sana; dan itu berarti Saudara mengembangkan spiritualitas ‘cinta Mamon’. Solusinya bukan itu, solusinya adalah: menghargai meskipun gratis. Memang tidak gampang edifikasi seperti ini. Injil dan Kekristenan sendiri pun bisa dipikir seperti itu,apalagi Kekristenan Protestan. Kekristenan Protestan dianggap mengajarkan anugerah murahan (cheap grace) karena ini gratis tanpa perbuatan baik, lalu orang bilang, “jadinya tidak perlu perbuatan baik?? gratis begitu saja?? koq enak”, dst., dst. Ini salah mengerti; tapi ada orang yang betul-betul menghidupinya sebagai cheap grace.
Tidak demikian halnya kalau kita membaca bagian dari Yesaya ini versi bahasa Inggrisnya, dikatakan: “come, buy and eat”. Ini sangat paradoks ketika sebelumnya dikatakan “he who has no money”. He atau she who has no money, berarti benar-benar tidak ada uang, tidak bisa beli; tapi tetap diundang untuk datang, “datang saja, ini gratis, koq, datang dan beli” –ada harga yang harus dibayar. Tidak ada istilah ‘beli’ dalam terjemahan bahasa Indonesia, agak one sided terjemahannya, tidak ada paradoksnya di bagian ini. Tapi di dalam bahasa Inggris kalimatnya: “Come, buy wine and milk —yet– without money and without price”, datanglah, belilah anggur dan susu tanpa uang, tanpa bayaran. Kita lalu mengatakan, ‘maksudnya apa kalimat ini?? yang saya tahu, kalau saya beli, ya, musti pakai uang, atau kalau tidak pakai uang, gratis, itu namanya saya ‘gak beli, ‘gak bayar.’ Tapi di sini ada istilah ‘bayar’ dan ada istilah ‘tanpa harga/uang’. Sekali lagi, Kekristenan memang gratis, Injil itu gratis, free, tapi tidak pernah tanpa ada yang membayar harga. Berbahagia kalau kita bisa mengerti prinsip ini. Ini adalah satu perolehan, atau katakanlah penerimaan, yang ada harganya, yang tinggi harganya, dan yang membayar adalah Tuhan sendiri; dalam konteks Yesaya pasal 55, yang membayar adalah Hamba itu (The Servant).Kita tahu kitab Yesaya berbicara tentang ‘Hamba yang Menderita’, satu kiasan yang menunjuk kepada Sang Mesias; dan di bagian ini Saudara membaca bahwa Hamba yang Menderita itulah yang membayar. Waktu Dia membayar apa yang kita tidak bisa bayar, yang kita tidak bisa dan tidak mungkin beli, Dia memungkinkan kita untuk membeli, Dia memungkinkan kita untuk membayar. Sekali lagi, tetap bukan murahan, ada harga yang dibayar.
Di bagian ini dalam bahasa aslinya waktu dikatakan “hai semua orang yang haus, marilah” (“come, everyone who thirsts”), kasusnya adalah kasus vokatif (karena ini panggilan) singular, bukan plural; sementara imperatifnya, “come” atau “marilah”, di dalam kasus plural. Ini suatu paradoks lagi. Waktu dikatakan ‘datanglah/marilah’, yang merupakan bentuk imperatif, kasusnya adalah kasus plural, maksudnya yang diajak datang semua orang; tapi waktu dikatakan ‘hai semua orang yang haus’, meski memang ada istilah ‘semua’, di sini kasusnya sebetulnya kasus singular. Atau penjelasan yang lebih sederhana, misalnya Yohanes 3:16 ada perkataan ‘barangsiapa yang percaya’; istilah ‘barangsiapa’ maksudnya satu orang, tapi undangannya untuk semua. Ini paradoks. Perkataan ‘barangsiapa yang percaya’ mengandung arti bahwa yang percaya itu individu; sementara istilah ‘barangsiapa’ berarti siapa saja, semuanya. Jadi semuanya diundang, tapi begitu ada yang maju menerima undangan tersebut, yang maju itu individu-individu sebetulnya. Maksudnya apa? Inilah message-nya, bahwa undangan ini untuk semua orang, tetapi yang datang, yang merasa diri haus, yang akhirnya merespons undangan ini, adalah pribadi. Setiap orang musti merespons secara pribadi.
Di dalam bagian lain memang kita juga menekankan pentingnya aspek komunal, tetapi aspek komunal tidak pernah meniadakan tanggung jawab pribadi, termasuk juga respons pribadi/personal. Saya agak kuatir dengan orang-orang yang merasa diri sudah ke gereja, sudah dengar firman Tuhan, mungkin datangnya sekeluarga, dsb., tapi tidak pernah react personally di hadapan Tuhan. Kalau ditanya, “Pernah ‘gak berdoa kepada Yesus?” jawabannya, “Pernahlah, ‘kan saya ke gereja tiap Minggu, mana mungkin saya ‘gak pernah berdoa kepada Yesus.” Kalau ditanya, “Pernah ‘gak dengar firman Tuhan?”, jawabnya, “Tentu dengar dong, saya tiap Minggu lho datang ke GRII, dengar firman Tuhan”. Secara komunal dengar firman Tuhan, merasa disapa oleh firman Tuhan dan ada kebersamaan di dalam komunitas, itu satu hal; hal yang lain adalah berespons secara pribadi. Itu sebabnya di bagian ini kasusnya singular. “Semua orang yang haus”, betul artinya semua, siapa saja, tidak peduli buta, kaya, miskin, suku apapun, ras apapun, silakan; tapi siapa yang merespons undangan ini? Yaitu pribadi lepas pribadi. Undangan itu musti direspons secara pribadi, dan tidak bisa ditanggapi hanya secara komunal. Yang dipanggil adalah komunal, itu betul, tapi yang merespons adalah setiap pribadi.
Bagian berikutnya, ayat 2: “Mengapakah kamu belanjakan uang untuk sesuatu yang bukan roti, dan upah jerih payahmu untuk sesuatu yang tidak mengenyangkan?” Dalam gambaran dunia kita, bukan tidak ada orang yang belanja, bukan tidak ada orang yang beli, bukan tidak ada orang yang cari, bukan tidak ada orang yang kehausan; ada banyak yang kehausan, tapi kehausan apa? Kehausan popularitas, kehausan penerimaan manusia, kehausan kekayaan, kehausan macam-macam lainnya silakan Saudara tambahkan sendiri dan daftarnya bisa panjang sekali. Kehausan sih kehausan, kepingin beli sih kepingin beli, tapi beli apa? Kita pernah sharing di PA Wanita salah satu bagian yang ngenes, yaitu tentang Lea, Rahel, dan Yakub. Ada satu saat yang hari itu adalah giliran Rahel tidur dengan Yakub, tapi kemudian Lea mendapatkan buah dudaim dari anaknya, dan dia memberikan buah dudaim itu kepada Rahel yang mandul, karena buah dudaim dipercaya meningkatkan kesuburan. Di situ Lea bilang, “Saya kasih kamu buah dudaim, tapi ini ‘gak gratis ya, kamu hari ini ‘gak tidur sama Yakub ya, saya yang tidur sama Yakub; saya sudah beli lho, dengan buah dudaim ini”. Cinta koq dibeli?? Kalau di dalam kehidupan keluarga, cinta pun musti dibeli, itu masalah besar, itu dysfunctional family, keluarga yang sudah tidak berfungsi dengan baik. Kalau di Gereja, kita musti membeli perhatiannya orang, musti melakukan sesuatu lebih dulu supaya bisa mendapatkan penerimaan orang, itu Gereja yang disfungsional, Gereja yang ‘gak jalan, yang tidak berfungsi dengan benar. Ngenes ya. Cerita seperti ini menyedihkan, karena cinta bukanlah sesuatu yang musti dibeli, ini sesuatu yang diberikan dengan rela. Memang cinta itu mahal, tapi bukan sesuatu yang dibeli. Namun di dalam dunia orang bisa kehausan cinta yang seharusnya tidak dibeli, dan tidak perlu dibeli, dan memang juga tidak bisa dibeli, tapi orang membeli cinta, membeli perhatian, membeli pujian, membeli posisi, membeli jabatan, membeli macam-macam –haus.
Yesaya mengingatkan, “Mengapakah kamu belanjakan uang untuk sesuatu yang bukan roti, dan upah jerih payahmu untuk sesuatu yang tidak mengenyangkan?” —kamu salah deh kayaknya, yang ada padamu kamu belanjakan untuk sesuatu yang bukan roti, yang kamu perlu itu roti sebetulnya, yang kamu perlu itu gandum, yang kamu perlu itu air, yang kamu perlu itu anggur dan susu; kamu mengejar yang bukan-bukan, dan yang bukan-bukan yang kamu pertaruhkan dengan semua jerih payahmu itu sebetulnya tidak mengenyangkan, tidak memuaskan. Ngenes ya, kehidupan seperti ini; sudah bayar harga, sudah mati-matian, sudah habis-habisan, ternyata tidak memuaskan, ternyata begini doang. Saudara membeli cinta/perhatian, dan mungkin hari itu diperhatikan, tapi besoknya sudah lupa lagi. Kasihan sekali. Jadi bagaimana? “Ya, beli lagi dong” –musti beli lagi. Mau sampai kapan kayak begini? Saudara beli perhatiannya orang lain, Saudara mendapatkan penerimaan dari orang tertentu yang somehow musti dibayar, ya, mungkin saja Saudara bisa mendapatkan penerimaannya 2-3 hari, setelah itu dia sudah lupa dengan Saudara. Jadi bagaimana? Beli lagi?? Mau sampai kapan kehidupan kayak begini. Kasihan ya, kehidupan manusia. Betul-betul meaningless kalau dihabiskan dalam kehidupan seperti ini. Jerih payahnya untuk sesuatu yang tidak memuaskan, yang tidak mengenyangkan. Kalau boleh pinjam istilah modern, ini junk food, ini bukan makanan yang mengenyangkan. Kelihatannya seperti enak, manis, gigitan pertama begitu impresif, tapi sebenarnya merusak tubuh, tidak sehat, cuma kenikmatan lidah belaka –tentu yang dimaksud di sini adalah pengertian rohani. Itu kenikmatan yang cuma beberapa menit saja yang bahkan besok pun sudah lupa. Itu sesuatu yang kita tidak bisa contemplate besoknya, ‘O, tadi itu rasanya begini ya…’ –tidak bisa, sudah lewat, sudah tidak ada yang peduli lagi. Kita pun sudah tidak peduli lagi, tapi kita suka mengenyangkan diri dengan hal-hal yang sifatnya tidak memuaskandan tidak lasting ini.
Tuhan mengajak kita berpikir, Tuhan mengajak kita menilai, “Mengapakah kamu belanjakan uang untuk sesuatu yang bukan roti, dan upah jerih payahmu untuk sesuatu yang tidak mengenyangkan? Dengarkanlah Aku maka kamu akan memakan yang baik”. Kalimat ‘dengarkanlah Aku maka kamu akan memakan yang baik’ ini, masuk ke satu motif yang baru; sebelumnya bicara makanan, tasting, bicara urusan lidah dan mulut, sekarang bicara urusan telinga. Dari kalimatnya saja kita tahu bahwa ini bukan dimaksud secara harfiah, ini pasti pengertiannya rohani, karena ‘gak nyambung antara ‘mendengarkan’ dan ‘memakan’, yang lebih nyambung kalau kalimatnya ‘bukalah mulutmu maka kamu akan memakan yang baik’. Jadi, Yesaya mulai dengan bahasa metaforis, lalu di sini masuk ke pengertian yang lebih harfiah secara perlahan-lahan. Tadinya bilang tentang air, tentang gandum, tentang anggur dan susu; sekarang bukan bicara air lagi, bukan bicara gandum, bukan bicara anggur dan susu, tapi bicara ‘Aku’ –“dengarkanlah Aku”. Kado/pemberian yang sesungguhnya adalah diri Tuhan sendiri. Bisa mendengarkan Tuhan, itulah namanya meminum air, menerima gandum, meminum anggur dan susu. Mendengarkan Tuhan, maka kamu akan memakan yang baik, kamu akan menikmati sajian yang paling lezat; ini bicara tentang spiritual delicacy, kesanggupan untuk mendengarkan firman Tuhan itu. Orang yang tidak bisa mendengar firman Tuhan, kehidupannya betul-betul menyedihkan. Inilah yang disebut Yesaya ‘membelanjakan uang untuk sesuatu yang bukan roti upah jerih payahmu untuk sesuatu yang tidak mengenyangkan’. Inilah orang-orang yang tidak bisa mendengar firman Tuhan, tidak bisa menerima firman Tuhan secara individual. Tidak ada kemungkinan itu, tidak ada kesempatan itu.
Dalam Kebaktian sore, kita baru saja menyelesaikan perenungan dari kitab Pengkhotbah. Kitab Pengkhotbah ini menarik, memang banyak kalimat yang ngawur, tapi itu benar di dalam perspektif dunia yang sudah jatuh dan tanpa pengharapan kebangkitan, bahwa memang itulah yang akan terjadi, semuanya sudah diselidiki oleh Pengkhotbah. Misalnya tentang orang yang bekerja, itu bisa saja, tapi kemudian apa, siapa yang akan menikmati? Di dalam dunia ini banyak hal yang menyedihkan terjadi, dan memang betul-betul terjadi seperti itu, kita tidak bisa menghindarinya juga. Ada orang yang dielu-elukan, setelah itu dilupakan, bahkan dicaci maki. Benar-benar meaningless kehidupan seperti ini. Kehidupan Yesus pun sampai kepada salib, kita juga bisa bilang betul-betul meaningless kalau kita tidak bicara kebangkitan Yesus, kalau ternyata Yesus tidak bangkit. Paulus mengatakan hal ini, bahwa kalau Kristus tidak bangkit, maka benar-benar sia-sia –‘sia-sia’ dalam bahasa Pengkotbah artinya ‘meaningless’. Kalau Yesus hanya berhenti sampai pada kematian-Nya, kasihan sekali, sudah capek-capek berjuang untuk kebenaran tapi pada akhirnya dibunuh begitu saja. Hidup ini jadi apa artinya, kalau akhirnya kejahatan yang menang. Random sekali jadinya. Orang benar akhirnya dikalahkan begitu saja, lalu tidak terjadi perubahan apa-apa misalnya, benar- benar meaningless –kecuali ada kebangkitan. Demikianlah kehidupan manusia waktu manusia tidak mendengar firman Tuhan, dia akan cenderung membelanjakan uang untuk sesuatu yang bukan roti, dan upah jerih payahnya untuk sesuatu yang tidak mengenyangkan. Tetapi, kabar baiknya adalah manusia boleh diundang mendengar firman Tuhan. Waktu kita mendengar firman Tuhan, Alkitab mengatakan: “kamu akan memakan yang baik dan kamu akan menikmati sajian yang paling lezat”.
Kemampuan mendengar, ini sesuatu yang penting. Ada teolog Katolik, Karl Rahner, menulis semacam ulasan antropologi tentang kehidupan manusia. Dia mengatakan, manusia adalah manusia karena dia adalah hearer of the world, dia adalah pendengar/penerima firman. Itulah yang memanusiakan. Manusia jadi tidak manusiawi lagi waktu dia tidak jadi pendengar firman. Jangankan tentang firman, kalau dalam kehidupan sehari-hari ada orang tidak mau mendengarkan, tahunya cuma mau didengarkan, orang itu somehow tidak manusiawi. Orang yang tidak pernah bisa mendengarkan orang lain, maunya selalu didengarkan, itu mirip diktator kejam yang tidak pernah bisa mendengarkan orang lain. Manusia adalah manusia bukan cuma karena dia bisa bicara –bicara pun tergantung dari bagaimana dia mendengar– tetapi terutama adalah karena dia bisa mendengar, karena dia bisa menerima masukan, karena dia bisa menerima kritik, karena dia bisa terbuka untuk firman Tuhan.
Kembali ke Yesaya, Saudara lihat di bagian ini dari pembicaraan yang awalnya metaforis, kemudian mulai masuk ke arti spiritual, tapi masih ada campuran dalam bahasanya; dikatakan “dengarkanlah Aku”, ini sudah lebih harfiah sesuai pengertian yang dimaksud, tapi masih pakai metafor ‘makan’, “kamu akan memakan yang baik dan kamu akan menikmati sajian yang paling lezat” –yang dimaksud yaitu spiritual delicacy. Jadi, yang tadinya metafor, sekarang sudah menjadi suatu realitas.
Ayat berikutnya, “Sendengkanlah telingamu dan datanglah kepada-Ku; dengarkanlah, maka kamu akan hidup!” Dikatakan, ‘dengarkanlah, maka kamu akan hidup’ –mendengar dan hidup. Saudara perhatikan di zaman kita sekarang, kapan orang merasa hidup/eksis? Bukan waktu dia mendengar, tapi waktu dia bicara. Waktu dia bicara, dia merasa eksis. Agak terbalik dari firman Tuhan. Orang merasa kalau dia bisa menunjukkan sesuatu, menunjukkan apa yang dia kerjakan, maka dia eksis. ‘I and my achievement’, maka saya eksis; kalau kamu tidak ada apa-apa, tidak ada achievement, tidak ada karya besar, ya, kayaknya kamu tidak terlalu eksis deh, berarti tidak terlalu penting kehidupanmu. Saudara, menurut firman Tuhan kita ini eksis –‘I am … therefore I am’-nya kita– adalah karena Tuhan melakukan sesuatu bagi kita. Sekali lagi, eksistensi kita –yang dikatakan ‘therefore I am’— itu bukanlah karena I achieve, atau I think, atau I speak eloquently. Bukan itu semua. Eksistensi kita bukan di sana. Eksistensi kita, ‘therefore I am’-nya kita adalah karena ‘God has done marvellous things to me’. Karena Tuhan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang besar bagiku, itulah sebabnya aku eksis (kalau boleh pinjam istilah modern); karena Tuhan berbicara kepadaku, dan karena aku menerima/ mendengar, maka aku hidup.
Sekali lagi, ayat 3, “Sendengkanlah telingamu dan datanglah kepada-Ku; dengarkanlah, maka kamu akan hidup!” Kamu hidup bukan terutama karena kamu bisa berbicara (berfirman); memang kita bisa berbicara dalam pengertian mengimitasi Tuhan, karena firman itu adalah Allah, dan Allah berbicara, maka kita sebagai image of God juga berbicara. Ini derivatif namanya. Memang kita tidak pakai istilah ‘berfirman’ tapi ‘berkata-kata/berbicara’, tapi dalam bahasa lain istilahnya sama, misalnya the word, verbum, das wort, semua artinya sama yaitu ‘kata-kata’.Kita berkata-kata karena kita menyerupai Tuhan, tapi sebelum kita berkata-kata, kita mendengar Sang Firman.
Berikutnya: “Aku hendak mengikat perjanjian abadi dengan kamu, menurut kasih setia yang teguh yang Kujanjikan kepada Daud”. Di sini dikatakan ‘perjanjian abadi’ (everlasting covenant), bukan perjanjian yang sementara, bukan ikatan relasi yang kontraktual. Kalau perusahaan dengan perusahaan menandatangani kontrak, itu sesuatu yang boleh di-break; tidak ada perusahan yang kerja sama, lalu waktu salaman bilang, “Perusahaan saya akan setia kepada perusahaanmu sampai maut memisahkan perusahaan kita”. Tidak ada yang seperti itu, karena itu adalah contractual relationship bukanlah covenantal relationship; dan sewaktu-waktu kalau misalnya tidak menguntungkan lagi, maka, “Kayaknya kita cuma bisa sampai di sini, karena sudah ‘gak menguntungkan lagi” –di-break saja. Kalau hubungan pernikahan di-break kayak begini, sedih sekali. “Kayaknya kita ‘gak saling bikin happy lagi, jadi ‘gak ada untungnya lagi kita teruskan, di-break saja” –itu contractual marriage namanya, bukan covenantal marriage. Itu bukan pernikahan Kristen. Relasi kontraktual tentu ada tempatnya di dalam dunia, tidak semua relasi adalah relasi covenantal, tapi kalau pernikahan Saudara jadikan relasi kontraktual, itu masalah, karena pernikahan seharusnya bicara tentang covenantal relationship. Di satu sisi, ada relasi kontraktual yang tidak abadi; tetapi Saudara melihat di sini yang dijanjikan adalah perjanjian yang everlasting. Ini relasi yang langgeng, relasi yang terus-menerus.
Terjemahan bahasa Inggris: “I will make with you an everlasting covenant, my steadfast, sure love”; ada istilah love (kasih) dengan tambahan 2 atribut lagi, ‘steadfast sure love’ –bukan cuma steadfast, tapi juga sure atau teguh dalam terjemahan bahasa Indonesia. Ini kasih yang setia dan yang teguh (steadfast, sure love). Jadi kenapa perjanjiannya bisa abadi, kenapa hubungannya bisa langgeng? Yaitu karena ada kasih setia, ada kasih yang teguh, ada steadfast love, ada sure love. Itulah alasan sebetulnya. Bukan karena tekanan sosial, bukan karena jaga image, apalagi karena tunggu warisan, tapi karena ada kasih yang setia dan kasih yang teguh –dan ini adalah sifat Allah. Kita membaca di Alkitab, Allah itu kasih-Nya kasih yang setia. Kenapa ya, musti ada ‘setia’-nya, kenapa tidak bicara ‘kasih’ saja? Dari perspektif manusia, apalagi kita ini manusia yang sudah jatuh dalam dosa, bicara ‘kasih’ itu bisa tergantung mood (moody), hari ini mengasihi, lalu besok sebal, lalu besoknya entah apa lagi, dsb. Kalau menurut definisi yang ketat, itu bukan kasih, bukan love, tapi mungkin like. Omong-omong kalau di medsos, Saudara pencet ‘love’ atau ‘like’ itu ada bedanya; kalau mengikuti definisi ini, love harus langgeng, tidak boleh di-cancel lagi, sedangkan kalau like ditarik lagi tidak apa-apa –karena cuma like. Kasih, di dalam istilah Alkitab secara pengertian sederhana tentu harusnya langgeng, tapi karena Saudara dan saya ini sering kali tidak mengerti, sering kali confused antara love dan like, kita pikir love padahal like, cuma sementara saja, cuma tergantung suasana hati saja, itu sebabnya perlu istilah ‘kasih setia’ (steadfast love) supaya tidak salah mengerti. Sebetulnya mengatakan ‘God is love’ sudah cukup juga; Yohanes pakai itilah itu, ‘Allah adalah kasih’, dan itu sudah cukup karena itu adalah kasih yang sejati (true love). Tapi waktu kita bicara ‘kasih’, kayaknya kasih kita bukan kasihnya Tuhan; waktu kita bicara ‘kasih’, jadi lain, agak ngambang –dan itulah sebabnya perlu istilah ‘kasih setia’ (steadfast love). Bahkan tidak cukup dengan ‘steadfast’, masih ditambah lagi dengan ‘sure’ —steadfast and sure love (kasih setia yang teguh). Inilah kasih yang setia, bukan kasih yang tergantung mood. Ini kasih yang stabil, ada perseverance.
Dikatakan, “Aku hendak mengikat perjanjian abadi dengan kamu, menurut kasih setia yang teguh yang Kujanjikan kepada Daud”. Kita tahu di Perjanjian Lama ada Davidic covenant; memang Davidic covenant bukan satu-satunya, ada juga Adamic covenant, ada Noahic covenant, ada Mosaic covenant. Apa keunikan Davidic covenant di sini? Di Perjanjian Lama memang Daud memiliki suatu tempat khusus di dalam skema karya Tuhan dalam Kerajaan Allah, dalam sejarah keselamatan. Apakah kekhususan Daud itu? Saudara bisa mendapatinya di ayat 4: “Sesungguhnya, Aku telah menetapkan dia menjadi saksi bagi bangsa-bangsa”. Apa kaitan Daud dengan ‘saksi bangsa-bangsa’? Apa yang dimaksud dengan ‘saksi bangsa-bangsa’?
Dalam hal ini kita bisa membaca berbagai mazmur, tapi salah satu yang cukup representatif, yaitu Mazmur 18:43-45 (44-46). “Engkau meluputkan aku dari perbantahan rakyat; Engkau mengangkat aku menjadi kepala atas bangsa-bangsa; bangsa yang tidak kukenal menjadi hambaku; baru saja telinga mereka mendengar, mereka taat kepadaku; orang-orang asing tunduk menjilat aku. Orang-orang asing pucat layu dan keluar dari kota kubunya dengan gemetar.” Sekarang Saudara bandingkan dengan Yesaya, kalimatnya dekat sekali: “Sesungguhnya, Aku telah menetapkan dia menjadi saksi bagi bangsa-bangsa, menjadi seorang raja dan pemerintah bagi suku-suku bangsa; sesungguhnya, engkau akan memanggil bangsa yang tidak kaukenal, dan bangsa yang tidak mengenal engkau akan berlari kepadamu” (ayat 4-5b). Hal ini dijanjikan kepada Daud. Kita tahu, Daud adalah type of Christ, Daud itu penting karena keturunannya adalah Sang Mesias, sehingga waktu bicara tentang kesaksian bagi bangsa-bangsa/dunia, Saudara bisa mendapatinya dalam beberapa ayat Mazmur, dan ini sesuatu yang khusus di dalam Davidic covenant. Waktu Yesaya ada allusion dengan katakanlah Mazmur 18 ini –yang memang dekat sekali konsepnya bahkan juga kalimatnya– maka sementara di dalam konteks Daud bicara tentang Mesias kaitannya dengan Davidic dynasty atau garis keturunan ke-raja-an Daud, Yesaya merajut bagian ini di dalam konteks teologinya menjadi Servant Massiah. Ini satu paradoks lagi. Yang dipikirkan di dalam ‘Daud’, Mesias itu hubungannya dengan kerajaan (royal line); itu sebabnya orang Israel salah tangkap, mereka kurang ada teologi Yesaya, konsep tentang Mesias mereka melulu Davidic, dan Davidic selalu gambarannya kerajaan, sehingga pantas saja gambaran spiritualitas mereka selalu triumphalist, gambaran yang gagah, yang mau menjungkirbalikkan Romawi –karena pikiran mereka melulu Davidic. Dalam hal ini, sumbangsih teologi Yesaya penting sekali; waktu Yesaya bicara tentang Mesias, dia pakai konsep dan jargon/istilahnya Daud, namun di dalam teologinya Yesaya –ini penting– Mesias adalah Hamba yang Menderita. Yesaya tidak menggeser konsep ‘raja’ dari teologinya Daud, karena memang Mesias itu Raja, tapi dia memberikan nuansa yang baru di sini, bahwa Mesias juga adalah Hamba yang menderita. Jadi, Mesias itu Raja, yang adalah Hamba juga –tidak bisa lebih paradoks lagi. Raja harusnya bukan hamba, hamba bukan raja; kalau hamba, diinjak-injak pun oke, sedangkan kalau raja pastinya powerful. Namun ternyata yang diperkenalkan Alkitab adalah konsep kuasa (power), konsep raja, yang memang betul memerintah, tapi memerintah melalui sosok yang menderita.
Gereja, kalau tidak mengerti teologi Yesaya, akan kacau luar biasa, yang ada cuma teologi Davidic, mengulangi lagi kesalahan dalam pengharapan eskatologi Yahudi pada saat itu –karena tidak ada gambaran teologi Yesaya, Hamba yang Menderita. Betulkah Gereja harusnya –pakai istilah dari bawah– “mendatangkan” Kerajaan Allah? Jawabannya: betul. Betulkah harusnya Gereja mewakili pemerintahan Allah di dalam dunia? Jawabannya: betul. Kalimat itu tidak salah, tapi pertanyaannya: melalui apa? Melalui korban, kalau menurut teologinya Yesaya, yaitu Hamba yang Menderita. Bukan dengan menjadi bossy, bukan dengan menjadi financially resourceful. Bukan dengan interior gereja yang gilang gemilang. Sama sekali bukan itu. Ini bukan bicara hal-hal itu, ini bicara soal Hamba yang Menderita, Mesias. Gereja harusnya menjadi seperti Mesias, menjadi seperti Kristus, karena kita (Gereja) adalah mempelai-Nya; bukankah demikian?
Teologi Saudara, teologi apa sebenarnya? Melulu ‘Davidic’ dan tidak ada ‘Yesaya’-nya? Yesaya memberikan satu warna yang berbeda di sini, ini progressive revelation, tapi sayangnya orang-orang Yahudi di zaman Yesus Kristus tidak terlalu tertarik sepertinya dengan profil dari Yesaya. Itulah manusia. Manusia mungkin bukan tidak dengar firman Tuhan, bukan tidak baca Alkitab, tapi membaca Alkitabnya selektif sesuai yang dia mau, yang cocok dengan dia. Bahaya sekali membaca Alkitab seperti itu. Itu selective hearing, selective perception, dan akhirnya kita tidak pernah bertumbuh; kenapa? Karena kita tidak pernah berurusan dengan ayat-ayat yang kita rasa tidak nyaman. Waktu membaca tentang Yesus Kristus, kita baca yang sifat-sifat-Nya mirip dengan sifat kita sendiri; itu artinya tidak membaca Yesus Kristus, kita tidak sedang mengenal Yesus Kristus. Tidak menolong membaca firman Tuhan seperti itu, itu tidak mendengarkan artinya. Kalau kita mengenal Yesus Kristus, kita juga harus berurusan dengan sifat Dia yang tidak cocok dengan sifat Saudara dan saya, dan bagaimana hal tersebut mengoreksi diri kita, bukan hanya membiarkan sifat-sifat yang sepertinya kita sudah lebih ada koneksi. Saudara tentu tahu, di dalam kehidupan ini betapa menjengkelkannya orang yang mendengar secara selektif. Misalnya Saudara sedang bicara sesuatu tapi dia tidak peduli, lalu begitu tema tertentu dia langsung membelalak matanya, kemudian waktu pembicaraannya tidak cocok lagi dengan temanya dia, dia memalingkan muka lagi mengerjakan yang lain. Menyebalkan orang seperti itu; dia selektif mendengarnya. Lalu, bagaimana kalau kita melakukan yang seperti itu di hadapan Tuhan? Saya kayaknya lebih cocok, dengan model Davidic kingdom, kalau teologinya Yesaya ‘Hamba yang Menderita’ itu apa sih, biar Yesaya sajalah, saya sepertinya lebih cocok dengan model yang triumphalist, model Davidic kingdom –ini persis seperti orang-orang di zamannya Yesus.
Menarik kalau Saudara baca dalam Kitab Suci, maksudnya Injil, di situ seimbang, ada kutipan-kutipan tentang Daud, tapi ada kutipan-kutipan tentang Yesaya juga. Mesias yang digambarkan di dalam Injil juga memakai kutipan-kutipan dari Yesaya, dan ini tidak sedikit. Ini menyatakan bahwa kita tidak bisa pakai puzzle teologi yang hanya one sided, kita akan kesulitan mengertinya, dan nanti konsep mesias-nya salah, konsep kemenangannya salah, konsep keberhasilannya salah. Semuanya salah. Mengapa? Karena teologi kita teologi parsial, teologi yang tidak membiarkan firman Tuhan berbicara sepenuhnya kepada kita. Tuhan mengatakan, “Dengarkanlah Aku”, Alkitab tidak bicara ‘dengarkanlah yang kamu suka’. Tidak ada kalimat itu. Mana ada Alkitab bicara ‘dengarkanlah yang kira-kira cocok dengan temperamenmu’ –tidak ada. “Dengarkanlah Aku”, maksudnya seluruhnya dengarkanlah.
Sekali lagi, Daud memang penting sekali, tapi dia penting bukan karena dirinya sendiri, dia penting karena Kristus. Kehidupan Saudara dan saya, Gereja ini, bisa menjadi Gereja yang penting; karena apa? Jawabannya cuma satu: hanya boleh karena Kristus. Kalau bukan karena Kristus, tidak ada kepentingan apa-apa, dan boleh tidak ada. Kalau bukan karena Kristus tapi karena sesuatu yang lain, gereja itu boleh tidak ada, gereja apapun itu. Waktu kita membaca Alkitab, kita tahu Daud orang yang besar, orang yang mulia secara ukuran manusia, tetapi Alkitab mengajak waktu kita melihat Daud, kita melihat Kristus. Kalau kita tidak melihat Kristus, kita akan terpesona dengan kebesarannya Daud-lah, Abraham-lah, Yakub-lah, dsb., akhirnya kita seperti perempuan Samaria yang berkata kepada Yesus, “Apakah Engkau lebih besar daripada Yakub yang membangun sumur ini?” Dia tidak bisa melihat kemuliaan Kristus karena Yakub terlalu besar di dalam pikirannya, Yakub terlalu penting di dalam kehidupannya, sampai-sampai dia tidak bisa melihat Mesias. Bersyukur akhirnya dia bisa melihat kemuliaan Mesias (Yohanes 4).
Kenapa Daud besar? Karena Daud mengantisipasi Yesus Kristus. Sebetulnya waktu dikatakan’bangsa-bangsa akan datang berlari kepadamu’, itu bukan berlari kepada Daud maksudnya, Daud cuma pendahuluan saja, sedangkan maksudnya adalah berlari kepada Kristus. Bangsa-bangsa akan datang kepada Kristus. Bukan cuma Israel, bukan cuma Yahudi, tapi juga Samaria dan semua bangsa yang lain, akan datang kepada Kristus –dan Daud sebenarnya cuma introduksi saja. Gereja Saudara dan saya sebenarnya cuma introduksi; introduksi kedatangan Kristus. Kalau kita tidak rela jadi introduksi, kalau kita maunya jadi menu utamanya, itu bahaya. Kita akhirnya tidak melihat Yesus tapi melihat yang lain.
Ada satu kutipan yang indah dari Martyn Lloyd-Jones: “I will not glory, even in my orthodoxy, for even that can be a snare if I make a god of it… Let us rejoice in Him, in all His fulness and in Him alone”. ‘Saya tidak akan bermegah bahkan dalam ortodoksi teologi saya’ –kedengaran familiar? “Kita ini Reformed! ortodoks! setia kepada Alkitab!” dan sebagainya; tapi Lloyd-Jones ini Reformed, dan dia mengatakan “I will not glory, even in my orthodoxy”. Saudara bisa menangkap bedanya orang yang betul-betul menjunjung tinggi Kristus? Kristus dan Kristus saja; Let us rejoice in Him —in Christ– in all His fulness and in Him alone —in Christ alone, Solus Christus. Jadi, Daud memang khusus, dan Daud khusus karena dia seperti Kristus.
“Sesungguhnya, Aku telah menetapkan dia menjadi saksi bagi bangsa-bangsa, menjadi seorang raja dan pemerintah bagi suku-suku bangsa; sesungguhnya, engkau akan memanggil bangsa yang tidak kaukenal, dan bangsa yang tidak mengenal engkau akan berlari kepadamu, oleh karena TUHAN, Allahmu, dan karena Yang Mahakudus, Allah Israel, yang mengagungkan engkau.” Perhatikan, dikatakan oleh karena apa? Oleh karena bakatmu, karena jarang-jarang raja yang bisa main kecapi kayak kamu? Oleh karena talenta syairmu? Oleh karena elok parasmu, karena tidak banyak di Alkitab yang dikatakan mukanya kemerah-merahan? Oleh karena itukah? Bukan. Oleh karena Tuhan, Allahmu. Kebesarannya Daud adalah oleh karena Tuhan, Allahmu. Di bagian ini sampai pakai bahasa yang tinggi sekali: “Allah Israel, yang mengagungkan engkau”, atau terjemahan lain mengatakan: “endowed you with splendor” –beautified you, menganggungkanmu, membuat kamu indah.
Apa ya, yang membuat Daud indah? Kerajaannya yang besar itu? Davidic kingdom yang so gloriuous, the golden age of Israel itu? Di sini tidak bicara itu, Alkitab tidak tertarik bicara itu. Kita bisa betul-betul pergi ke tempat yang lain kalau mengembangkan teologi-teologi seperti ini, yang mengagungkan the golden age of Christianity-lah, the age of Medieval-lah di mana katedral-katedral dan the great universities dibangun-lah, dsb. Kita bisa kacau kalau bicara seperti ini, atau bahkan mungkin tentang reformasi –“lihatlah kemuliaan reformasi, kalau ‘gak ada reformasi tidak begini, begini, begini …”. Sekali lagi, ingat kutipan Martyn Lloyd-Jones tadi, I will not glory in anything else but Christ, –not even in the Reformation, or in the Medieval Era, atau the big chatedrals, atau the big universities, atau orang-orang Kristen jenius, atau apapun lainnya. Tidak menarik semua itu; yang menarik adalah Kristus sebenarnya. Saudara membaca di bagian ini, Daud itu besar, magnetnya adalah karena Kristus akan menarik semua orang dari berbagai macam bangsa untuk datang kepadaNya.
Magnet yang sesungguhnya adalah karena Kristus. Kristus sendiri mengatakan di dalam Injil Yohanes, “Waktu Aku ditinggikan, Aku akan menarik orang-orang datang kepada-Ku”. Magnetnya, the real beauty and splendor itu ada pada Kristus, bukan ada pada yang lain. Tapi di dalam dunia, kita terlalu banyak pencobaan, termasuk kita sendiri, Saudara dan saya; kita punya pencobaan-pencobaan, kita bisa membanggakan sesuatu yang lain yang bukan Kristus, akhirnya mengaburkan orang dari melihat kemuliaan Kristus. Mungkin Kristusnya bukan jadi tidak ada sama sekali, tapi jadi Kristus-plus –Kristus plus my eloquance, Kristus plus gereja ini yang desainnya putih, Kristus plus jemaat yang ramah dan selalu tersenyum, dsb., dsb. Kristus plus, Kristus plus, dan Kristus plus –dan itu mengaburkan kemuliaan Kristus. Memang betul Daud didandani demikian rupa, diagungkan, di-beautified, tapi yang membuat Daud itu truly beautiful tidak lain tidak bukan karena dari keturunannya akan lahir Sang Mesias, Hamba yang Menderita, menurut Yesaya. Dan inilah pengharapannya, bahwa semua bangsa-bangsa sebagaimana dikatakan ‘yang tidak kaukenal’, bahkan juga ‘bangsa yang tidak mengenal engkau’, bahwa bukan cuma kita tidak kenal bangsa/suku itu, tapi bangsa/suku itu pun tidak mengenal kita dan tidak ada relasi, tapi kemudian akan didekatkan di dalam Yesus Kristus.
Berharap cerita Gereja kita adalah yang seperti dikatakan oleh Yesaya, berharap kehidupan berjemaat kita ada magnet seperti dikatakan di sini. Tapi pertanyaannya, magnetnya adalah karena apa? Sekali lagi, Yesaya tadi mengatakan, “Mengapakah kamu belanjakan uang untuk sesuatu yang bukan roti, dan upah jerih payahmu untuk sesuatu yang tidak mengenyangkan?” Kita bisa mencoba menarik orang dengan berbagai macam cara, dengan strategi ini dan itu, dengan senyuman ini dan itu; dan itu namanya membelanjakan uang untuk sesuatu yang bukan roti. Tetapi, Kristus itu free, Kristus itu gratis namun tidak pernah murahan, Kristus itu mahal.
Kiranya Tuhan memberkati kita semua.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah(MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading