Saya mengambil tema atau bagian Alkitab yang akan kita renungkan ini, dari suatu pilihan yang memang sudah ditetapkan, yang biasanya dalam Kamis Suci/ Kamis Kudus (Holy Thursday) seperti ini adalah salah satu ayat kotbahyang bisa kita renungkan.
Waktu kita mempelajari bagian-bagian seperti ini –tentang Paskah (Passover)– tentu saja kita sebagai orang percaya (orang Kristen), tidak mungkin melepaskan dan tidak mengaitkannya dengan Kristologi. Kita tidak mungkin membicarakan bagian ini tanpa terang Perjanjian Baru; waktu membaca bagian ini, Perjanjian Baru akan menolong dan menerangi kita untuk bisa lebih mengerti artinya. Meski demikian, kita akan mencoba melihat keindahan yang ada di dalam Perjanjian Lama itu sendiri, yaitu di dalam kitab Keluaran; sekali lagi, bukan tanpa Perjanjian Baru, tapi mungkin dalam arah sebaliknya, yaitu bagaimana pemahaman kita akan Paskah Perjanjian Baru itu juga perlu diterangi oleh pengertian Paskah Perjanjian Lama –sebagaimana juga sebaliknya. Ada keindahan-keindahan tersendiri yang kita pelajari waktu kita merenungkan bagian ini di dalam kitab Keluaran.
Kalau kita membaca di dalam Alkitab, seringkali cerita-cerita Alkitab, narasi-narasi, peristiwa-peristiwa yang ada di dalamnya itu kemudian membantu menciptakan suatu liturgi tertentu dalam Gereja; dari narasi peristiwa-peristiwa di dalam Alkitab itu, kemudian ada liturgi-nya. Salah satu yang jelas sekali yaitu Perjamuan Terakhir. Perjamuan Terakhir adalah satu peristiwa di Alkitab, kemudian ada liturginya, yaitu Perjamuan Kudus sebagaimana yang kita rayakan. Jadi di sini Saudara melihat bahwa liturgi seringkali dibentuk oleh narasi-narasi/ cerita-cerita yang ada di dalam Alkitab. Tetapi kalau Saudara membaca Keluaran 12 ini, di sini sangat menarik karena –saya mengutip seorang penafsir bernama Fretheim— justru liturgi inilah yang mendahului peristiwa pembebasan.
Waktu Saudara membaca Kel. 12: 1-28, Saudara akan menyadari bahwa bagian-bagian ini adalah pengaturan-pengaturan liturgis, suatu ketetapan yang diberikan oleh Tuhan, yang sangat berkaitan dengan bagaimana orang Israel harus beribadah di hadapan Tuhan. Ini sebuah cicipan sebelum mereka nanti akan dibebaskan dan akan beribadah kepada Tuhan di padang gurun. Sebagaimana dikatakan Fretheim, dalam cerita ini Saudara mendapati bahwa justru liturgi mendahului pembebasan yang dialami Israel; di sini bukan narasi yang membentuk liturgi, sebaliknya justru liturgi itu yang membentuk narasi tersebut. Saya mengutip Fretheim, “it has shaped the event itself”, bahwa liturgi membentuk peristiwa itu sendiri, “the event is a liturgy”; atau kalimat yang lain: “act of God is also a liturgical event”, karya/tindakan Allah adalah juga peristiwa liturgis, bukan cuma narasi-narasinya.
Tentu saja narasi adalah sesuatu yang penting kita pelajari, mengarahkan kehidupan kita, memberikan makna, dsb., tapi juga jangan lupa aspek liturgis ini. Kita tidak bisa mengatakan, “Ini ‘kan cuma liturgis, ini cuma ibadah, yang penting keadilan sosial (social justice)” dsb. –apalagi dalam situasi seperti ini. Kalau kita kembali ke Alkitab, kita tidak mendapati adanya dikotomi antara ‘beribadah kepada Tuhan dengan benar’ dan ‘kepekaan kita terhadap keadilan sosial, sesama, dsb.’ Kita tidak bisa mengatakan, “Ah, orang ini orang Kristen yang cuma rajin beribadah, hidupnya cuma urusan liturgi, tapi secara sosial dia tidak pernah terlibat dengan kesulitan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat”; kalau seperti itu, saya percaya, pasti ada yang salah di dalam ibadah orang tersebut. Kita tidak bisa mengatakan liturgi itu sekedar hanya liturgi, cuma Ibadah doang, cuma berdoa doang, cuma puji-pujian, cuma mendengarkan Firman Tuhan,karena iniberarti kita belum mengerti bahwa Tuhan juga bekerja dalam peristiwa liturgis (liturgical event).
Pembacaan ini, yaitu tafsiran liturgical terhadap Keluaran 12, bagi saya menarik; dan ini tetap ada benturan dengan kehidupan kita sehari-hari. Seorang penulis bernama James K. A. Smith, menulis tentang cultural liturgies. Di dalam dunia ini ada liturgi-liturgi kebudayaan, baik kita sadari atau tidak, dan ini berbenturan dengan liturgi Kristen. Jadi, bukan saja kabar baik yang dicatat dalam Alkitab (Injil) berbenturan dengan cerita-cerita yang ada di dalam dunia, bukan saja worldview yang diajarkan Alkitab berbenturan dengan worldview dunia, tapi juga liturgi Kristen (liturgi Alkitab) berbenturan dengan liturgi-liturgi yang ada di dalam dunia ini –dalam hal ini tentu saja dunia merayakannya secara halus sehingga Saudara tidak sadar bahwa itu juga sebetulnya semacam liturgi.
Contoh sederhana, waktu kecil kita mengenal lagu “bangun tidur, kuterus mandi, tidak lupa menggosok gigi”, dst.; ini juga “liturgi”, liturgi tentang apa yang dilakukan setelah bangun dst. Mungkin sekarang untuk kita yang sudah dewasa, lagunya berubah jadi “bangun tidur, kupegang HP, tidak lupa mengecek sosmed”, dst. –“liturgi” kehidupan kita. Kalau kita membaca tentang kehidupan orang-orang puritan, waktu mereka bangun tidur, yang pertama-tama ada dalam pikiran mereka –“liturgi” mereka—adalah memikirkan Tuhan. Yang mereka lakukan pertama-tama adalah mengoreksi arah hatinya, diperbaiki, diluruskan, diarahkan kepada Tuhan. Itulah liturginya orang-orang puritan. Sedangkan liturginya orang modern, termasuk Saudara dan saya, mungkin yang tadi itu. Belum lagi “liturgi-liturgi” yang lain waktu kita menghadapi dunia. “Liturgi” belanja, ada ceritanya sendiri. “Liturgi” berteman, ada liturginya juga. Semua ada “liturgi”, ada aturan-aturannya, ada langkah-langkahnya. Lalu, kalau kita tidak sadar, liturgi-liturgi tersebut sebenarnya sedang membentuk kita.
Liturgi itu sesuatu yang sangat powerful, bukan “cuma sekedar liturgi doang”, bukan “sekedar ritual mati”, tapi ini sesuatu yang sangat membentuk kita. Itu sebabnya James Smith mengatakan: “Those cultural liturgies aren’t something that you do, but they do something to you” (liturgi-liturgi dunia itu, bukan cuma sekedar sesuatu yang kamu lakukan, tetapi liturgi-liturgi itu balas mendikte kita). Kalau setiap kali bangun tidur kita langsung sibuk dengan HP, kita tidak merenungkan Firman Tuhan, tidak berdoa, tapi langsung sibuk menjawab pesan yang masuk satu per satu, dsb., maka tidak heran kalau sepanjang hari kehidupan kita gelisah, cemas, dsb., itu karena kita sudah dikuasai oleh liturgi-liturgi tersebut. Ada peperangan liturgi di sini. Peperangan antara liturgi dunia dan liturgi yang disediakan oleh Alkitab, yang kita tidak bisa bilang itu “cuma sekedar liturgi”, karena yang ada di dunia ini pun bukan cuma sekedar liturgi.
Di dalam pemikiran James Smith –yang Agustinian– dia mengatakan bahwa dengan mengontraskan cultural liturgies tersebut dengan liturgi-liturgi yang benar di dalam Alkitab atau di dalam cerita Kristen, di situ kita jadi sadar, kita jadi disoroti, kita jadi mengenal diri, bahwa kita sebenarnya adalah “apa yang kita cintai”. We are what we love, kita ini adalah apa yang kita cintai. Liturgi bukanlah sekedar ritual; dengan kebiasaan-kebiasaan (habit) kita, terjun dan terlibat dalam liturgi-liturgi tersebut –liturgi apapun—itu sebenarnya menyatakan apa yang kita cintai dalam hidup ini. Contoh sederhana, kalau kita tidak bisa lepas dari HP, berarti memang kita cinta HP. Liturgi-liturgi itu mendikte kita hanya untuk menyatakan arah hati kita. Sekarang mungkin kita lebih setengah mati kalau tidak ada WiFi daripada tidak ada makanan. Sekarang mungkin kita lebih merasa dunia kiamat kalau tidak ada charger daripada tidak ada yang lainnya, seakan-akan charger ini suatu kebutuhan yang kita tidak bisa hidup tanpanya. We are what we love; dari mana kita mengetahuinya? Ya, dari kebiasaan-kebiasaan (liturgi-liturgi) itu; di situlah kita mengetahui arah hati kita.
Itu sebabnya liturgi-liturgi yang baik, liturgi-liturgi Kristen, seharusnya juga membawa kita untuk mengarahkan hati kepada Tuhan; yang kita sungguh-sungguh cintai seharusnya adalah Tuhan sendiri, Allah. Kita bukan mencintai dunia yang sedang lewat ini, kita juga bukan mencintai hal-hal yang dirayakan di dalam dunia ini, tapi kita mencintai Allah dengan segenap hati kita, dengan segenap pikiran kita, dengan segenap kekuatan kita, dengan segenap jiwa kita. Apa yang Saudara dan saya cintai? Itu sangat ditentukan dengan keterlibatan kita dalam liturgi-liturgi kehidupan kita. Liturgi-liturgi apa yang ada dalam kehidupan Saudara?
Waktu Saudara membaca bagian ini, Saudara mendapati betapa Keluaran 12 ini sangat dipenuhi dengan dimensi liturgis. Kita bisa menggalinya dengan sangat kaya, tetapi intinya, Gereja berada dalam peperangan dengan liturgi-liturgi dunia; Gereja sedang berperang dengan liturgi-liturgi yang diciptakan oleh dunia ini.
Saat-saat seperti sekarang ini [pandemi COVID-19] memang cocok sekali terjadi dalam periode Lent, ketika banyak orang dalam tradisi Kristen memang mengisolasi diri, berpantang, ada certain detachment dari dunia. Orang-orang Kristen yang saleh sudah menghayati ini ratusan tahun, tapi kita sekarang ini seperti dipaksa oleh keadaan untuk mengisolasi diri. Mungkin di sini Tuhan mengingatkan kita bahwa inilah masa Lent yang sesungguhnya, tetapi kita merasa terganggu, kita mungkin rasa ingin berontak, kita tidak tahan, dsb. Jangan-jangan, selama ini kita sudah sangat dikendalikan oleh liturgi-liturgi dunia. Liturgi produktifitas misalnya –saya baru jadi someone kalau saya menghasilkan sesuatu. Jadi sebetulnya ini manusia atau mesin? Atau manusia bangga kalau dia jadi seperti mesin? Dalam liturgi produktifitas seperti itu, tentu saja kita jadi gelisah di dalam saat-saat seperti ini; kita mengatakan kontemplasi/merenung itu pengangguran, buang-buang waktu, waktu saya jadi habis begitu saja tidak ada artinya, dsb. Jangan-jangan, kita selama ini sudah didikte oleh “liturgi produktifitas” tadi, liturgi kerja; atau yang lainnya mungkin liturgi shopping, liturgi bergosip, liturgi ngomong yang bukan-bukan dengan teman-teman, liturgi traveling, dan entah liturgi apa lagi yang menguasai kehidupan kita. Namun Keluaran 12 mengajak kita untuk merenungkan, bahwa liturgi bukanlah sekedar suatu ritual kosong; liturgi jauh dari itu.
Apa yang bisa kita pelajari dari liturgi Alkitabiah yang dicatat dalam Keluaran 12 ini? Ada beberapa hal. Di situ Tuhan memakai elemen dari ciptaan, elemen dari natur, yang kemudian ditinggikan sedemikian rupa hingga menjadi tanda keselamatan/tanda penebusan –yaitu darah. Ini adalah darah seekor anak domba; anak domba ya, cuma seekor anak domba yang merupakan gift of creation/gift of nature, tapi Tuhan menggunakan elemen dari ciptaan ini, kemudian diangkat sedemikian rupa menjadi tanda pembebasan, tanda penebusan.
Perhatikan di sini, tidak ada ketakutan soal natural theology sebagaimana yang ditakutkan Karl Barth misalnya; ‘hati-hati dengan nature, kita perlu God’s special grace, hati-hati natural theology’— kita tidak melihat gambaran itu di sini. Atau kalau memakai istilah yang lebih sederhana, di sini kita tidak mendapati ketakutan akan pemberhalaan (idolatry), meski ini mengambil dari ciptaan/natur. Dari pengaturan yang diberikan Tuhan kepada Israel ini, tidak ada ketakutan terhadap pemberhalaan, misalnya ‘hati-hati lho pakai dunia yang kelihatan dijadikan tanda, hati-hati lho pakai roti dan anggur nanti bisa disembah-sembah, hati-hati pakai darah anak domba nanti jadi pengertian magis, nanti jadi pengertian mistis yang tidak karuan’, dsb. Kalau kita merenungkan liturgi di dalam Keluaran 12 ini, kita akan mendapati bahwa bahaya pemberhalaan memang selalu ada bersamaan dengan ciptaan, tetapi ini tidak harus menjadi penghayatan satu-satunya; ada penghayatan yang lain, penghayatan yang benar. Apakah itu? Yaitu waktu kita menerima elemen ciptaan/natur yang ditetapkan Tuhan itu sebagai tanda. Tanda berarti menunjuk kepada sesuatu yang lain yang ditunjuk oleh tanda itu. Tanda bukan menunjuk kepada dirinya sendiri. Orang yang melihat tanda sebagai sesuatu yang menunjuk kepada dirinya sendiri, itu jadi bukan tanda lagi.
Gereja, juga bisa kita bilang sebagai ‘tanda’; tanda yang menunjuk kepada Kristus. Waktu Gereja menunjuk kepada dirinya sendiri, maka Gereja jadi bukan tanda lagi. Kalau Gereja berhenti menunjuk Kritus, maka Gereja sudah kehilangan aspek sakramental ini, dan jadi ada pemberhalaan di sini. Kita, orang Kristen, kalau tidak menjadi tanda yang menunjuk kepada Kristus, maka kita jadi pemberhalaan yang lain lagi. Dalam cerita Keluaran 12 ini, Saudara membaca bahwa orang-orang Israel diatur oleh Tuhan sendiri, yang menetapkan “ini lho, seekor anak domba; darahnya kamu oleskan di ambang pintu”. Ini adalah sesuatu yang dari dunia ciptaan, tetapi mereka bisa menghayatinya dengan benar, mereka tidak jatuh ke natural theology, mereka tidak jatuh ke idolatry. Mereka tidak jatuh kepada pemberhalaan dari tanda itu sendiri lalu jadi sesuatu yang magis, yang berkhasiat, yang kalau tidak ada maka seakan Tuhan tidak bisa bekerja; tanda di sini diposisikan di tempat yang benar. Apakah Saudara dan saya, apakah Gereja Saudara dan Gereja saya, juga memosisikan diri secara benar seperti ini, menjadi tanda yang menunjuk kepada Kristus?
Dalam cerita ini Saudara membaca juga bahwa dalam liturgi Keluaran 12, lambang ini bukan tanpa janji Allah, bukan tanpa Firman. Sama juga seperti waktu kita merayakan Perjamuan Kudus, di situ ada roti dan anggur (tanda), dan itu bukan tanpa pemberitaan Firman Tuhan, bukan tanpa janji Tuhan, bukan tanpa pengertian kita tentang sakramen itu; bukan tanpa itu semua melainkan dengan pengertian kita akan Firman Tuhan, apa makna sakramen itu menurut Firman Tuhan. Jadi, Saudara melihat di sini, darah anak domba itu –yang adalah tanda– diberikan kepada Israel bukan tanpa janji Tuhan, bukan tanpa Firman Tuhan. Mereka yang hanya memperhatikan tanda itu sendiri, yang adalah elemen dari dunia ciptaan, tapi tidak peduli dengan Firman Tuhan, tidak peduli dengan janji-janji Tuhan, akan rentan sekali jatuh ke dalam pemberhalaan tadi.
Tanda/sakramen yang tidak ada Firman Tuhan-nya, bukanlah konsep sakramen yang ada di dalam Alkitab. Dalam hal Perjamuan Kudus, ini bukan sesuatu yang magis, otomatis, mekanis, lalu tidak peduli dia beriman atau tidak beriman pokoknya kalau ikut Perjamuan Kudus maka dia menerima keselamatan –dalam teologi Reformed, kita tidak mengajarkan seperti itu. Seseorang menerima keselamatan, itu semata-mata karena anugerah Tuhan. Darah Kristus yang dicurahkan, yang diminum dalam pengertian rohani, dan tubuh-Nya yang adalah makanan rohani kita, diterima bukan tanpa iman pribadi orang yang menerimanya. Memang sudah pasti bukan tanpa anugerah Tuhan, tapi secara subjektif juga bukan tanpa iman orang tersebut.
Jadi Saudara melihat di sini, bahwa pemahaman tentang tanda atau sakramen ini, tidak bisa kita lepaskan dari pemahaman Firman Tuhan, tidak bisa kita lepaskan dari janji-janji Tuhan. Pertanyaannya, apakah kita mengenal janji-janji Tuhan? Apakah kita mengenal Firman Tuhan?
Di dalam Kejadian 12 ini, mengapa memakai darah? Darah berarti ada kehidupan; dalam pengertian Perjanjian Lama, nyawa dipercayai berada di dalam darah. Dengan demikian waktu darah dicurahkan, berarti ada kehidupan yang dikorbankan, menggantikan kematian yang seharusnya dialami oleh Israel. Ada pertukaran yang bahagia di sini; saya meminjam istilahnya Luther, fröhliche Wechsel, joyful exchange, happy exchange –istilah yang juga dipakai Calvin. Yesus yang seharusnya tidak mengalami kematian karena Dia tidak berdosa, tapi Dia mati di atas kayu salib menggantikan Saudara dan saya; kita yang seharusnya mati, tapi kita mendapatkan kehidupan kekal; kebenaran Kristus diperhitungkan bagi kita, kesalahan kita dilempar kepada Kristus sehingga Dia mati di atas kayu salib –ada pertukaran yang bahagia di sini. Liturgi Keluaran 12 sudah menunjuk ke situ; ada anak domba yang dikorbankan, yang darahnya harus dialirkan, menggantikan orang Israel yang harusnya mati. Ini liturgi Alkitab. Saudara bandingkan dengan liturgi yang ada di dalam dunia; kalau perlu saya mengorbankan orang lain supaya saya mengalami kehidupan.
Berapa banyak di dalam dunia ini, karena dosa keserakahan, karena dosa ketidakpuasan, maka orang mengorbankan sesamanya, memeras sesamanya, menindas sesamanya?? Liturgi-liturgi seperti itu biasa, budaya oportunistik dari liturgi-liturgi seperti itu subur sekali. Ini sangat berbenturan dengan liturgi Alkitab, berbenturan dengan liturgi Keluaran pasal 12. Di situ ada pengorbanan, ada penggantian untuk memberikan kehidupan kepada yang seharusnya mati –ini liturgi Alkitab. Apakah kehidupan kita juga dibentuk oleh liturgi Alkitab seperti ini? Atau jangan-jangan waktu kita ke gereja, kita Perjamuan Kudus, kita seakan memahami liturgi seperti ini, tapi begitu sampai lapangan parkir langsung teriak-teriak, dulu-duluan keluar, dsb. –padahal barusan saja Perjamuan Kudus. Akhirnya liturginya jadi ritual kosong, sementara di dalam kehidupan yang terjadi adalah self-assertion, self-determination, bukan self-sacrifice. Kalau seperti ini, liturgi-liturgi Kristen jadi sesuatu yang kosong, bukan membentuk kita.
Perhatikan, kalau Saudara membaca pasal 12 yang sangat kaya ini, Tuhan sangat serius mengatakan supaya ini dilakukan terus-menerus, harus selalu diingat. Mengapa? Karena bagi Tuhan, liturgi itu membentuk kehidupan manusia, ini bukan suatu ritual kosong. Mengapa Tuhan sangat serius di sini sehingga kalau ada orang yang tidak melakukan, atau melanggar, dia harus dilenyapkan dari Israel? Karena Tuhan tahu, liturgi ini membentuk kehidupan orang Israel. Kalau Israel tidak dikuasai liturgi seperti ini, maka liturgi-liturgi dunia akan menguasai kehidupan Israel, baik itu liturgi Babilonia, liturgi Romawi, liturgi Mesopotamia, dst., dst. –liturgi-liturgi itu akan menguasai Israel. Demikian juga Saudara dan saya, liturgi mana yang sedang menguasai kita? Harap di dalam Kamis Suci kita merenungkan bagian ini, the liturgical power yang membentuk kehidupan kita, yang membentuk worldview kita, gaya hidup kita, filosofi hidup kita, dan semuanya.
Apalagi yang bisa kita pelajari di dalam liturgi Keluaran 12 ini? Istilah “passover” berarti dilewati/diluputkan; ini berarti Israel tidak lebih baik daripada Mesir. Israel sama sekali tidak lebih baik daripada Mesir. Israel juga harusnya sangat patut untuk dimurkai Tuhan –itu sebabnya istilah yang dipakai ‘pass over’, dilewati. Apa maksudnya? Bahwa seandainya tidak ada pengaturan darah anak domba ini, maka anak-anak sulung orang Israel akan mati juga, Israel akan mengalami tulah yang sama dengan orang Mesir. Ini bukanlah karena ‘ya, kamu bangsa yang lebih baik, kamu ‘kan bangsa pilihan-Ku, jadi kamu akan terus luput dari malapetaka’, sama sekali tidak, Israel adalah bangsa yang seharusnya juga mengalami tulah. Mereka tidak mengalami tulah karena apa? Yaitu karena Allah Israel melewati, meluputkan.
Ada bedanya kalau kita menghayati pemeliharaan Allah dari perspektif seseorang yang seharusnya kena bencana tapi kita tidak tertimpa bencana, dari persepektif seseorang yang seharusnya mengalami malapetaka tapi karena belas kasihan Tuhan kita tidak mengalaminya, dibandingkan dengan perspektif ‘ya, pastilah saya tidak mengalami malapetaka, ‘kan saya orang pilihan, ‘kan saya biji mata Allah, ‘kan saya orang Kristen yang taat, ‘kan saya banyak melayani, ‘kan saya orang yang murah hati, ‘kan saya orang baik, ‘kan saya orang saleh, ‘kan saya berpuasa di saat-saat seperti ini’. Itu adalah penghayatan yang sama sekali berbeda dari penghayatan yang ada di dalam Keluaran 12. Saudara lihat di sini, orang Israel itu seharusnya juga dimusnahkan, seharusnya juga mengalami tulah, tetapi mereka dilewati, di-pass over oleh Allah, semata-mata karena belas kasihan Ilahi. Maksudnya apa? Maksudnya, bagi Israel Paskah atau Passover itu bukan sekedar memori atau ingatan, tapi –seperti yang dikatakan dalam tulisan para penafsir—ini adalah reenactment of the saving event, ini seperti suatu pengulangan yang dihadirkan kembali, sehingga Paskah yang dulu, yang sudah lewat itu, direalisasikan lagi in every new present (saya mengutip Fretheim); di dalam kekinian, itu diperbaharui lagi.
P. T. Forsyth menulis kalimat seperti ini: “In a sacrament is there not something done, not merely shown, not merely recalled? It is no mere memorial”. Bukankah di dalam sakramen itu –kalau kita percaya itu sungguh-sungguh sakramen– sesuatu sungguh-sungguh terjadi, sesuatu sungguh-sungguh dilakukan, ada God’s action di dalamnya, bukan sekedar dipamerkan, bukan sekedar ditunjukkan, bukan sekedar dinyatakan, dan juga bukan sekedar diingat-ingat. Ini bukan sekedar peringatan (memorial), apalagi nostalgic memorial. Memang ada aspek ingatan (remembrance), tapi ini bukan sekedar mengingat; di dalam saat kita Ibadah, mendengarkan Firman, saat kita berbagian di dalam sakramen, di situ God’s saving event terjadi lagi dan sekali lagi. Forsyth bersikeras tentang sacramental view of preaching, bahwa kotbah sendiri punya dimensi sakramen. Maksudnya, kotbah bukanlah sekedar deklamasi, bukan sekedar komunikasi, deklarasi, pidato, perkataan, apalagi pemberitahuan, informasi, atau perluasan wawasan, atau sekedar sentuhan emosi; waktu kotbah, keselamatan yang dari Tuhan itu sungguh-sungguh dinyatakan, sungguh-sungguh diberikan/dikaruniakan sekali lagi. Waktu Saudara dan saya ikut dalam Perjamuan Kudus, di situ korban Kristus diberikan lagi kepada kita. Bukan berarti Yesus disalibkan lagi dan lagi –pasti bukan itu pengertiannya– tapi dalam teologi Reformed kita percaya, karena Yesus mengatakan “I am the bread of life” maka berarti Dia selalu adalah roti hidup itu, sehingga setiap kali kita Perjamuan Kudus, di situ kita sekali lagi makan dan minum sekali lagi tubuh dan darah Kristus. Inilah yang disebut dengan “realized in every new present”; di situ Kristus sekali lagi memberikan tubuh dan darah-Nya untuk kita nikmati secara rohani, bukan dalam pengertian makan dan minum secara jasmani –dan pastinya bukan tanpa iman.
Baik yang dikatakan oleh Fretheim maupun Forsyth, maksudnya adalah: waktu Saudara mendengar kotbah, waktu Saudara ikut kebaktian, waktu Saudara berbagian dalam sakramen, seperti dicatat dalam Keluaran 12 waktu orang Israel berbagian di dalamnya, di situ karya keselamatan Tuhan dialami oleh mereka, dihadirkan di dalam kehidupan mereka. Jadi kotbah bukanlah sekedar perluasan wawasan, menambah informasi, lalu kita bilang “O, insightful ya, saya jadi tambah pengertian”, dsb. –memang pengertian bukan nothing, tapi itu bukan segala-galanya.
Kehidupan Saudara dan saya harus semakin bersekutu di dalam Kristus. Saudara dan saya harus lebih menghayati lagi apa artinya keselamatan yang kita terima dari Tuhan, bagaimana liturgi-liturgi itu hadir dalam kehidupan kita; bukan cuma pada saat Ibadah seperti sekarang ini dan bukan cuma pada hari Minggu, bukan cuma dalam periode Lent dan juga bukan cuma pada masa isolasi seperti yang sekarang kita alami, tapi di dalam seluruh keseharian kita yang entah suatu saat nanti tidak ada lagi wabah, liturgi-liturgi tersebut masih menguasai kehidupan kita.
Kita berdoa kepada Tuhan, supaya saat-saat Pekan Kudus seperti ini dipakai Tuhan untuk menolong kita memahami liturgi-liturgi kehidupan yang Tuhan mau hadirkan dalam diri Saudara dan saya. Apakah Saudara gelisah dalam saat-saat seperti ini? Apakah Saudara merasa kesepian? Apakah Saudara merasa tersendiri? Apakah Saudara bosan? Apa yang ada di dalam pikiran jiwa Saudara? Pertanyaan ini bisa mengajak kita merenungkan, liturgi apa yang membentuk kita selama ini, liturgi apa yang membentuk kehidupan Saudara dan saya.
Poin terakhir, Saudara membaca di ayat 27 setelah orang Israel diberikan semua liturgi ini, maka dikatakan: Lalu berlututlah bangsa itu dan sujud menyembah. Bangsa itu berlutut dan sujud menyembah. Ada perasaan ketidaklayakan di sini. Bangsa Israel tahu, mereka diperlakukan seperti ini bukan karena mereka spesial, bukan karena mereka secara rohani lebih unggul (spiritually more superior) daripada bangsa Mesir. Mereka sangat tahu bahwa mereka adalah bangsa yang tidak layak di hadapan Tuhan, ada perasaan ketidaklayakan, yang membawa mereka kepada sikap berlutut, sikap sujud dan menyembah. Dan, perasaan ketidaklayakan ini membawa kepada hati yang sungguh-sungguh bersyukur, hati yang masih bisa tersentuh, yang tidak bersungut-sungut.
Lawan kata dari perasaan ketidaklayakan (sense of unworthiness) adalah perasaan berhak/layak (sense of entitlement). Kalau dalam kehidupan ini kita selalu merasa layak mendapatkan, merasa ‘saya harusnya ‘kan diperlakukan seperti ini, saya harusnya ‘kan ada fasilitas itu, saya harusnya ‘kan bisa pergi ke luar, saya harusnya ‘kan bisa begini begitu, saya harusnya ‘kan bisa kerja, saya harusnya ‘kan bisa belanja, saya harusnya … harusnya … harusnya …’ –perasaan layak itu—maka itu membawa kita tidak bisa bersyukur, yang ada adalah ngomel, ngomel, ngomel, sakit hati, sakit hati, sakit hati. Tapi bersyukur di dalam bagian ini Israel menghayatinya secara benar. Bangsa ini berlutut, sujud menyembah kepada Tuhan. Mereka tahu, mereka tidak seharusnya mendapatkan perlakuan istimewa seperti ini.
Seperti juga Saudara dan saya pada saat ini, kalau kita tidak kena sakit-penyakit, itu juga tidak seharusnya. Ini bukan sesuatu yang wajar; ini sesuatu yang tidak biasa, yang seharusnya membawa Saudara dan saya bersyukur kepada Tuhan, ‘kenapa di dalam dunia yang serakah dan dikuasai dosa ini, koq saya masih belum hancur, keluarga saya masih belum hancur, gereja saya masih belum hancur,’ dsb., betapa ada pemeliharaan Tuhan. Inilahyang dihayati oleh Israel; mereka ada perasaan ketidaklayakan, dan mereka sujud menyembah, mereka bersyukur kepada Tuhan.
Saudara tentu tahu kelanjutan ceritanya, setelah bangsa Israel dipimpin keluar, sayangnya waktu di padang gurun ujian itu diberikan kepada Israel, ternyata mereka gagal. Isael yang pernah sadar bahwa diri mereka tidak layak lalu mereka bersyukur kepada Tuhan, mereka dengan dipimpin oleh Miryam memuji Tuhan, dipenuhi dengan sukacita waktu mereka bisa menyeberang laut itu –mereka begitu bersukacita waktu mengalami pembebasan yang dari Tuhan– tidak lama setelah itu mereka masuk ke dalam sungut-sungut, mereka rasa bosan. Sense of entitlement itu menguasai mereka lagi. Apa yang mau saya katakan? Kekristenan itu bukan suatu agama sentimental, yang Saudara jadi “high” di saat-saat tertentu, termasuk bahkan di dalam hari Jumat Agung Saudara mungkin keluar air mata, tersentuh, dsb. Saya bukan mengatakan itu gombal atau air mata buaya, tetapi kita masih perlu diuji setelah itu.
Waktu di ayat 27 tadi dikatakan bahwa bangsa ini berlutut dan sujud menyembah, kita juga tidak berani mengatakan “ah, itu munafik!”; Alkitab tidak bicara mereka munafik, dan kita musti membacanya secara tulus bahwa bangsa itu betul-betul berlutut dan sujud menyembah, menunjukkan mereka ini ada perasaan ketidaklayakan dan bersyukur. Waktu mereka dibebaskan, bisa menyeberang Laut Merah, kemudian mereka memuji Tuhan bersama dengan Miryam, kita percaya itu mereka lakukan dengan tulus karena Alkitab tidak memberikan keterangan redaksional apa-apa. Tetapi, setelah itu akan datang ujian.
Dalam Kamis Suci seperti ini, kita merenung, kita mungkin tersentuh. Besok dalam Jumat Agung kita merenungkan cinta kasih Kristus, pengorbanan-Nya yang begitu dalam, mungkin kita mencucurkan air mata. Tapi setelah itu, kita diperhadapkan kembali pada peperangan dengan liturgi dunia. Dunia ini akan berusaha mengisi kita dengan liturgi-liturginya. Lalu bagaimana Saudara dan saya berespons?
Kita tidak bisa satu tahun sekali waktu Jumat Agung menangis-nangis di hadapan Tuhan lalu pukul-pukul dada, dsb., ataupun juga dalam saat-saat retreat atau KKR, tapi kemudian dalam keseharian kita kembali dikuasai oleh liturgi-liturgi dunia. Harap itu tidak terjadi, karena itu sangat menyedihkan hati Tuhan, kita jadi seperti main-main dengan Kekristenan. Itu sebabnya Saudara membaca di bagian ini, Tuhan sangat serius, kalau ada orang yang tidak melakukan ritual liturgi ini, sudah dibilang roti tak beragi lalu tetap memakai ragi, maka orang itu harus dilenyapkan dari Israel.
Tuhan itu begitu mengasihi kita. Dia sangat serius membentuk kehidupan Saudara dan saya. Tuhan yang begitu mengasihi kita itu, tidak rela kalau kehidupan kita dibentuk oleh liturgi-liturgi dunia, karena hal tersebut menghancurkan kehidupan Saudara dan saya.
Kiranya di dalam momen seperti ini –Kamis Suci, Jumat Agung, Sabtu, Minggu Paskah, Senin Paskah—menjadi saat-saat yang sungguh-sungguh mengubah kehidupan kita, dan bukan cuma secara momentan saja tapi membuat kita bisa terus bertekun, setia, dan kita bisa memasuki kehidupan kita selanjutnya bukan dengan liturgi-liturgi yang ada di dalam dunia, tetapi liturgi yang sudah disediakan oleh Allah kita sendiri.
Kiranya Tuhan memberkati kita.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading