LAI memberikan judul bagian ini “Impian Mempelai Perempuan”. Tepat seperti yang kita bicarakan minggu lalu, di dalam puisi cinta seperti ini kita bisa mengharapkan adanya mimpi, imajinasi, fantasi, dsb. –dan ini juga Firman Tuhan. Tidak tepat kalau mengatakan bahwa impian, imajinasi, fantasi, itu tidak mungkin Firman Tuhan karena Firman Tuhan tidak boleh impian, fantasi, imajinasi, dsb.; kalau Saudara melihat Kidung Agung, pernyataan seperti itu kurang ada dukungannya. Ayat-ayat yang kita baca ini adalah Firman Tuhan, dan ini dari power of imagination yang dikuduskan oleh Tuhan.
Kita memberikan judul khotbah hari ini “Liebestraum”, terinspirasi dari lagu Franz Liszt, “Love Dream” yang dalam bahasa Jerman “Liebestraum”. Dia sebetulnya menulis 3 lagu, tapi yang terkenal hanya satu, yaitu Liebestraum No. 3 in A-flat major. Kidung Agung pasal 3 ini juga adalah suatu love dream, impian cinta atau mimpi cinta.
Di ayat 1 dikatakan, wanita ini sedang berada di atas ranjang pada malam hari. Di sini Saudara jangan buru-buru menafsir bahwa ini suatu ilusi tentang seks. Memang seks itu sesuatu yang indah, pemberian Tuhan, dan dirayakan dalam pernikahan yang kudus, tetapi motif ‘ranjang’ dan ‘malam’, di bagian lain dalam Perjanjian Lama juga muncul misalnya dalam 2 Samuel 4, cerita tentang Isyboset yang dibunuh secara mengerikan. Jadi, tidak cocok sama sekali kalau munculnya istilah ‘ranjang’ dan ‘malam’ langsung dianggap bicara tentang sexual intent, karena dalam 2 Samuel 4 malah bicara tentang pembunuhan.
Tentu saja pembacaan dari 2 Samuel 4 tidak bisa kita terapkan dalam bagian Kidung Agung ini, karena tidak mungkin kita tafsir mempelai laki-lakinya mau dipenggal karena tidak muncul-muncul misalnya. Dalam hal ini, ada ayat yang lebih dekat, yaitu dari Ayub 33:15, “Dalam mimpi, dalam penglihatan waktu malam, bila orang nyenyak tidur, bila berbaring di atas tempat tidur”. Sama seperti Kidung Agung ini, di sini ‘ranjang’ dan ‘malam’ semata-mata menggambarkan ‘mimpi’. Ini bukan bicara tentang sesuatu yang bernuansa seksual, tapi lebih berkaitan dengan mimpi. Mimpi yang dikarenakan saking rindunya dan saking ingin bertemunya dengan sang kekasih, sehingga dia membangun fantasi seperti ini.
Sekali lagi, di dalam cinta yang sejati ada mimpi, ada fantasi, ada imajinasi. Kalau kita tidak ada bagian ini, jadi seperti ada sesuatu yang kurang dalam cerita cinta kita. Cinta tidak bisa direduksi jadi tanpa mimpi, tanpa fantasi, tanpa imajinasi. Di bagian ini, yang terjadi adalah semacam mimpi buruk (nightmare), yangmungkin juga beautiful nightmare karena saking kangennya; dan di dalam mimpinya kita melihat sebagaimana yang dicatat ayat 1-5.
Kalau Saudara membaca bagian ini dalam kaitan dengan suatu perjumpaan fisik yang riil, termasuk dengan sexual intent, dsb., jadi seperti paradoks, karena kita tahu sebelumnya, di pasal 2:17, dikatakan bahwa mempelai perempuan ini menyuruh kekasih laki-lakinya itu pergi kembali, sehingga berarti kekasih laki-laki itu memang tidak sedang bersama dia. Tapi Saudara jangan menganggap ini sesuatu yang tidak masuk akal (unreasonable), apalagi mengatakan“inilah unreasonability-nya perempuan”. Bukan itu yang dimaksud. Memang ada suatu tension di sini, di dalam pengertian perempuan ini ada penguasaan diri (self-control), dia menyuruh kekasih laki-lakinya pergi kembali, dia menahan diri; tapi kemudian ketika tidur, dia bermimpi tentang kekasih laki-lakinya itu. Ini bukan berarti tadi dia menuruh kekasihnya pergi, lalu sekarang menyesal dan jadi mimpi; tidak ada kalimat penyesalan di dalam bagian ini.
Sekali lagi, kita bisa memaknai ketidakhadiran (absence) dengan indah; ketidakhadiran bisa justru menumbuhkan cinta, ketidakhadiran tidak harus memadamkan cinta. Banyak orang bergumul dengan long distance relationship; ini memang tidak mudah, tapi kalau dalam proporsi yang tepat, hal seperti ini bisa diwarnai dengan indah. Saya mendengar ada “banyak” pacaran yang bubar di masa Covid seperti ini karena tidak tahan dengan long distance relationship, jarak yang jauh, untuk bertemu jadi terlalu mahal, dsb. Pernikahan pun ada yang terancam dengan keadaan seperti sekarang ini. Ada orang yang keluarganya di Malaysia sementara sang suami kerja di Singapura; dan mereka tidak bisa ketemuan karena perbatasan ditutup ketika itu. Mereka lalu sama-sama pergi ke pantai, yang satu di pantai Johor Baru, satunya lagi pantai di Singapura, dan dari jauh mereka cuma bisa melambai-lambai –ngenes sekali.
Memang waktu kita berada dalam keadaan terpisah, bisa ada berbagai persoalan, tapi ini juga bisa menjadi satu momen untuk menumbuhkan cinta; salah satunya melalui mimpi. Tentu saja mimpi bukan sesuatu yang bisa dipaksakan, kita tidak bisa merencanakan mimpi. Dalam gambaran modern, orang bilang mimpi itu “bunga tidur”. Dalam hal ini kita mau coba harmoniskan, bahwa bunga tidur tentunya terjadi karena ada realitas yang memang mencintai, sampai kemudian terbawa mimpi. Apapun itu, perempuan ini betul-betul mimpi tentang cinta, dia mencari jantung hatinya tapi tidak menemukan. Memang sang kekasih laki-laki tidak sedang berada bersama dia tapi berada di tempat lain; dan justru mempelai perempuan ini juga yang menyuruhnya pergi kembali. Jadi, di dalam mimpinya itu, ada semacam excitement untuk berjumpa lagi dengan mempelai laki-laki.
Ada kata yang sering diulang di bagian ini, yang dalam terjemahan bahasa Indonesia dikatakan ‘jantung hatiku’, sementara dalam terjemahan bahasa Inggris ‘the one whom my heart loves’ atau ‘the one whom my soul loves’. Perkataan ini muncul sampai empat kali, dan merupakan suatu pernyataan kunci untuk mengerti motivasi mempelai perempuan ini, yaitu bahwa mempelai laki-laki adalah ‘jantung hatinya’. Waktu kita membaca bagian ini, tentu kita seharusnya mengaitkan dengan cinta kita kepada Tuhan; sembari merenungkan bagian ini tentang cinta mempelai perempuan kepada mempelai laki-laki, itu juga menggambarkan cinta jemaat kepada Kristus, Sang Mempelai Laki-laki.
Di sini ada excitement yang sangat kuat, menanggapi/merespons cinta mempelai laki-laki; tapi memang di bagian ini, yang sedang disoroti adalah cinta yang dari mempelai perempuan kepada mempelai laki-laki. Kita tidak harus terganggu dengan bagian-bagian ini, misalnya menganggap ini perempuan yang terlalu agresif, atau ini laki-laki yang terlalu pasif, atau bahkan menhakimi ‘ini kayaknya kurang reformed, karena harusnya ‘kan yang lebih berinisiatif laki-laki, bukan perempuan, tapi ini koq, selalu perempuan yang mimpi, yang laki-laki ‘gak pernah mimpi’, dsb.Menurut saya, tafsiran seperti itu tidak terlalu berguna. Sebaliknya, kita bisa melihatnya dalam pengertian positif, bahwa orang yang betul-betul mengerti cinta Tuhan, Gereja yang sungguh-sungguh tahu bahwa ini adalah Gereja yang dikasihi/dicintai, dia akan mencintai Tuhan kembali; dan cintanya kepada Tuhan bukan cinta yang superfisial, yang cuma permukaan, yang dingin, melainkan cinta yang excited.
Hal itu kita baca di dalam ayat 2. Di sini ada tiga kali diulang suatu perkataan yang secara tata bahasa Ibrani pakai kasus kohortatif [kohortatif adalah tatabahasa dari kata kerja yang digunakan untuk mengajak diri sendiri]. Di dalam terjemahan bahasa Inggris dikatakan: “I will now arise, I will search the city, … I will seek the one whom my heart loves”; terjemahan bahasa Indonesia: “aku hendak bangun dan berkeliling di kota; … kucari dia, jantung hatiku.” Sayang dalam terjemahan bahasa Indonesia kurang ada pengulangannya; terjemahan yang lebih persis dengan bahasa aslinya seharusnya: “aku hendak bangun, aku hendak berkeliling di kota, … aku hendak mencari dia” –semuanya pakai kasus kohortatif. Ini adalah suatu intensi yang sangat kuat untuk mencari, suatu intensi yang sangat eager, yang betul-betul mau mengejar sang mempelai laki-laki. Mengapa? Karena mempelai laki-laki itu adalah jantung hatinya. Tentu saja pertanyaannya di sini adalah: Apakah kita juga merindukan Tuhan seperti mempelai perempuan ini merindukan sang mempelai laki-laki? Apakah Gereja juga mempunyai suatu ajakan kohortatif kepada dirinya sendiri untuk lebih lagi mencari Tuhan?
Saudara mungkin bingung, ‘kenapa musti mencari, bukankah sudah menemukan?’ Inilah persoalannya. Ada suatu dialog antara Michael Welker dengan John Polkinghorne, yang didokumentasi dalam buku “Faith in The Living God”. Di situ ada satu istilah yang menarik, yaitu Gereja sebagai truth seeking community. Apa artinya? Memang betul Gereja sudah menerima kebenaran dari Tuhan, tapi Gereja juga terus mencari (keep seeking). Ini konsep yang penting.
Jangan hanya melihat diri sebagai ‘yang sudah menemukan kebenaran’ , atau lebih celaka lagi kalau menganggap diri ‘yang memiliki kebenaran’. Itu bahaya sekali. Meskipun Gereja sudah menemukan kebenaran, tapi keep seeking. Kita ini belum di surga, maka kita keep seeking. Kita belum sepenuhnya di dalam perfect union with Christ, itu baru nanti di surga, oleh sebab itu keep seeking seperti mempelai perempuan ini yang juga belum menikah. (Kalau kita membaca dari perspektif pendekatan ‘drama’, memang pasal 3 ini belum bicara tentang pernikahan, itu sebabnya merayakan pernikahan secara sexual intercourse masih ditahan di bagian ini).
Kita ini ada ‘sudah’ dan ada ‘belum’-nya. Waktu kita merenungkan tentang ke-belum-an ini, selalu ada tempat untuk mencari dan mencari. Salah satu kecelakaan di dalam Gereja/Kekristenan ataupun dalam diri orang Kristen adalah kalau dia menempatkan dirinya sebagai yang sudah menemukan (finder), karena dengan demikian dia jadi tidak mencari lagi. Lagi pula, setelah itu dia menempatkan orang lain sebagai yang mencari, “datanglah kamu semua kepadaku, aku akan memberikan kepadamu kebenaran yang sudah kutemukan; kamu yang belum menemukan, datanglah kepadaku, aku akan mengajarkan kepadamu kebenaran.”
Saya percaya ada poinnya bicara seperti itu, tapi juga banyak melesetnya, kalau kita tidak hati-hati. Kalimat ini, ‘kita menerima kebenaran dari Tuhan’, memang ada benarnya; tapi kalau kita memosisikan diri sebagai agen kebenaran, kita mungkin perlu mengingat lagi perkataan Luther, “extra nos”, bahwa yang menyelamatkan kita itu di luar kita. Kebenaran itu extra nos, outside of ourselves. (Memang betul Calvin ada komentar soal bagian yang lain, ‘apa gunanya Kristus, kalau di luar kita, kalau kita tidak dipersekutukan dengan Dia, kalau kita tidak di dalam Dia dan Dia di dalam kita’; tapi itu aspek yang lain lagi, dan kita tidak membicarakan itu kali ini).
Apa yang dimaksud Luther dengan ‘extra nos’? Maksudnya: saya bukan kebenaran, kebenaran itu bukan saya; Gereja bukan kebenaran, Gereja masih dalam proses terus menggali kebenaran. Kalau kita menghayati demikian, maka ini Gereja yang sehat. Kalau orang memosisikan diri sebagai yang selalu memberitahu, menasehati, mengajar, seakan yang lain selalu terus perlu diajari oleh dia sedangkan dia sendiri tidak rendah hati untuk belajar, ini orang yang bermasalah. Ini distorted self knowledge, karena dia tidak sadar bahwa dirinya sendiri perlu belajar. Dia tidak ada kerendahan hati untuk belajar dan dinasehati, tapi dia sendiri selalu mau menasehati. Hati-hati, orang Reformed jangan seperti ini. Saudara jangan seperti ini, sukanya menasehati, menggurui, dsb., tapi sendirinya tidak bisa dinesehati, sendirinya tidak bisa dikoreksi, sendirinya kalau diberi teguran langsung sensitif luar biasa; sebaliknya, suka memberikan teguran-teguran kepada orang lain. Yang seperti ini, adalah orang yang tidak bertumbuh. Menyedihkan sekali gambaran seperti ini.
Semakin orang bertumbuh, semakin orang dewasa, itu ditandai dengan kerendahan hati untuk terus mencari. Waktu bertemu dengan orang lain, mungkin dia akan lebih banyak mendengar daripada mengajar. Sebenarnya, posisi saya di sini, di mimbar seperti ini, adalah salah satu posisi yang paling bahaya, karena setiap kali berdiri di sini, kami mengajar, kami berkata-kata, tapi tidak mendengar dari orang lain; yang kami ajarkan, Saudara mengetahuinya, sedangkan yang Saudara ajarkan, kapan Saudara sharing-kan kepada saya. Tetapi bukan cuma saya, hal ini juga berlaku untuk Gereja, yaitu kalau Gereja tidak mendengar, tidak terus mencari, tidak terus berkeliling dan mengatakan kepada dirinya sendiri “aku hendak bangun, aku hendak berkeliling di kota, di jalan-jalan, di lapangan-lapanga, kucari dia, jantung hatiku”.
Perhatikan kalimat selanjutnya ini: “Kucari, tetapi tak kutemui dia.” Apakah ini kalimat putus asa, jadi kasihan sekali perempuan ini karena sudah mencari-cari tapi tidak menemukan? Nanti dulu, ceritanya belum selesai. Ada prosesnya dia belum menemukan, tapi tidak jauh dari bagian ini kita membaca dia menemukan. Tadinya tidak ketemu, lalu ketemu, tapi setelah ketemu, dia terbangun, dan ternyata cuma mimpi. Inilah dinamika dalam cinta, menemukan tapi menemukannya di dalam mimpi.
Sebelum masuk ke bagian itu, kita melihat di ayat 3 dia ditemui peronda-peronda kota. Ini agak tidak cocok dengan pengharapannya. Tentu dia berharap menemukan kekasihnya, jantung hatinya; ataupun seandainya tidak menemukan, dia berharap ditemukan. Alangkah bahagianya kalau seperti itu. Seorang perempuan, kalau dirinya ditemukan, tentu lebih bahagia daripada menemukan. Tapi di ayat 3 ini “kabar buruknya” adalah yang menemukan malah peronda-peronda kota; ‘saya cari jantung hati tapi malah saya ditemui oleh peronda-peronda kota’. Namun setidaknya bagian ini masih netral, tidak ada bahaya di sini –dan Saudara jangan tambah-tambahkan sendiri.
Apa yang digambarkan tentang peronda-peronda kota di sini? Setelah ditemukan peronda-peronda kota, perempuan ini tanya, “Apakah kamu melihat jantung hatiku?”, dan peronda-peronda kota itu tidak bisa menjawab. Tidak dicatat ada jawaban di dalam Kidung Agung ini. Kita bisa berasumsi bahwa mereka diam saja, tidak tertarik; dan dalam hal ini bisa ada benarnya kalimat yang mengatakan “beauty in the eyes of the beholder” atau “love in the heart of the lover”, bahwa cinta itu ada di dalam hati orang yang mencintai, sedangkan peronda-peronda kota ini tidak ada urusan dengan sang kekasih laki-laki. Mungkin laki-laki itu juga lewat di sana, tapi terabaikan, karena dia memang bukan jantung hatinya peronda-peronda kota ini.
Cinta itu menemukan dan ditemukan. Tanpa cinta, ada banyak hal yang kita luput dalam kehidupan ini, bukan karena mata kita kurang tajam, apalagi mengatakan ‘saya tidak melihat karena kita kurang kritis’ atau ‘saya tidak melihat karena saya ini kurang curiga’. Dunia ini merayakan virtue curiga, virtue kritis, termasuk juga virtue ngajar-ngajarin seperti kita bicarakan tadi. Kidung Agung tidak tertarik dengan itu; menurut Kidung Agung, kita tidak melihat bukan karena tidak curiga. Peronda-peronda kota tadi tidak melihat mempelai laki-laki, lalu kita bilang ‘itu karena kurang curiga, sih; coba dia pikir bisa ada maling masuk kota, mungkin dia jadi lihat’ –tapi perkataan ini tidak menolong apa-apa, karena kalau melihat pun melihatnya sebagai maling, dan itu tidak menolong juga. Yang menolong adalah: cinta. Cinta itu menemukan dan melihat. Tanpa cinta, kita tidak melihat. Tanpa cinta, tidak ada orang bisa melihat Tuhan, tidak ada orang bisa menemukan Tuhan dan menemui Tuhan. Bahkan Tuhan pun menemukan kita dan menemui kita, bukan tanpa cinta; Dia menemui kita dengan cinta-Nya.
Peronda-peronda kota ini, waktu ditanya “apakah kamu melihat jantung hatiku?”, bagi mereka tidak ada urusan, ‘itu bukan urusan gue, itu urusanmu; kita sih, lihat banyak sekali yang lewat sini, mana kita tahu yang mana kepunyaanmu’. Bagi peronda-peronda kota, semua yang lewat sama saja, tapi dari perspektif mempelai perempuan ini, tidak semua laki-laki sama. Bahkan perempuan ini melihat mempelai laki-lakinya seperti Salomo, meski Salomo sendiri sebetulnya tidak menarik untuknya; dia hanya tertarik dengan laki-laki ini. Jadi dalam perspektif peronda-peronda kota, laki-laki tersebut cuma one among others. Apakah Yesus Kristus juga one among others untukmu? Apakah Yesus Kristus juga cuma salah satu di antara banyak laci dalam kehidupanmu? Kalau Saudara menjawab “ya”, berarti posisimu adalah peronda-peronda kota itu, bukan sebagai mempelai Kristus. Mempelai Kristus tidak melihat Kristus seperti itu; mempelai Kristus melihat the uniqueness of Christ, bukan seperti peronda-peronda kota yang tidak tahu apa-apa ini, yang cuma lihat banyak orang lalu lalang. Tidak demikian dengan mempelai wanita, dia melihat sang mempelai laki-laki bukan sebagai salah satu di antara yang lain, tapi sebagai satu-satunya jantung hatiku.
Selanjutnya di ayat 4, dikatakan bahwa perempuan ini meninggalkan mereka; bagian ini dalam bahasa aslinya bisa diterjemahkan ‘pass over them’ atau ‘behind them’. Dari kata kerja yang dipakai, ini bukan berarti perempuan tersebut putus asa lalu balik meninggalkan mereka dalam pengertian balik ke rumah, melainkan karena cintanya yang dalam kepada mempelai laki-laki, dia terus pergi mencari dan tidak berhenti mengejar. Dia bukan pulang karena menyerah, tapi mengejar lebih jauh lagi.
Ayat 4: “Baru saja aku meninggalkan mereka, kutemui jantung hatiku” –ada reward di sini. Barang siapa mencari Tuhan dengan segenap hatinya, dia menemukan Tuhan. mempelai perempuan ini menemukan jantung hatinya, memegangnya, dan tidak melepaskannya, “kupegang dan tak kulepaskan dia”. Sekali lagi, kalau kita bandingkan dalam kata kerjanya, ini bahkan dipakai oleh Tuhan sendiri di dalam Perjanjian Lama, yang menggambarkan bahwa Tuhan tidak pernah melepaskan dan meninggalkan. Yosua 1:5, “Seorang pun tidak akan dapat bertahan menghadapi engkau seumur hidupmu; seperti Aku menyertai Musa, demikianlah Aku akan menyertai engkau; Aku tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau.” Ini perkataan Tuhan, Sang Panglima perang itu sendiri, kepada Yosua.
Dalam Kidung Agung, perkataan tersebut dipakai oleh mempelai perempuan kepada mempelai laki-laki. Di sini Saudara tidak usah terganggu, “Ini ‘gak cocok’ mustinya yang mengatakan ‘kan mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan, karena menurut teologi Reformed … dst., dst.” Jadi resek kalau Saudara berpikirnya seperti ini terus, inisiatif harus selalu dari laki-laki, dan perempuan harus selalu kelihatan pasif. Memang poin itu ada benarnya, tapi bukan berarti bagian-bagian yang menggambarkan “inisiatif” kemudian jadi menjungkirbalikkan tatanan teologi yang sudah establish yang selama ini kita percaya.
Dalam 3 perumpamaan yang dikatakan Tuhan Yesus, ada perumpamaan tentang domba yang hilang yang dicari oleh gembalanya, ada perumpamaan uang mina yang hilang yang dicari oleh pemiliknya, dan ada perumpamaan anak bungsu –dan juga anak sulung– yang hilang; apakah cerita anak bungsu itu jadi kurang reformed karena somehow anak bungsu itu tidak dicari dan sepertinya dia yang balik sendiri? Apakah 2 perumpamaan yang pertama itu reformed, lalu perumpamaan yang ketiga kurang reformed? Resek sekali anggapan seperti itu. Yang dicatat di sini, bahwa inisiatif Tuhan bukanlah tanpa respons manusia. Sederhana sekali. Inisiatif Tuhan bukanlah tanpa tanggung jawab manusia; dan yang disoroti dalam perumpamaan ketiga tersebut adalah tanggung jawab manusia –sesederhana itu. Apakah kita terganggu dengan pembicaraan perspektif ‘tanggung jawab manusia’? Apakah kita terganggu dengan pembicaraan perspektif ‘respons manusia’, lalu itu tidak perlu ada, dan setiap kali bicara respons manusia, harus bicara inisiatif Tuhan?? Kalau inisiatif Tuhan tapi tidak ada respons manusia, jadi apa ceritanya? Jadi tidak ada cerita relasi kalau demikian.
Dalam bagian Kidung Agung tadi, ini adalah kata kerja yang biasanya dipakai untuk Tuhan, yang berjanji kepada umat-Nya. Dia berkata kepada Yosua, “Aku tidak akan pernah meninggalkan engkau”; ini janji Sang Mempelai Laki-laki kepada umat-Nya. Tapi, kata yang sama bisa juga dipakai oleh mempelai perempuan kepada mempelai laki-laki; apakah ini tidak boleh?? Apakah kita tidak boleh bilang, “O, Tuhan, aku mengasihi engkau”, dan cuma boleh bilang “Tuhan mengasihi saya”?? Bukankah aneh pikiran seperti ini, pikiran yang resek.
Kalau kita sungguh-sungguh mengerti cinta kasih Tuhan kepada kita, tentu saja respons kita adalah mengasihi Dia. Kalau kita sungguh-sungguh tahu Tuhan itu setia, maka respons kita adalah setia kepada-Nya. Kalau kita mengerti bahwa Tuhan mengakui kita sebagai umat-Nya, maka respons kita adalah mengakui Dia sebagai Tuhan dan Allah kita –itu baru benar. Lalu apa yang membuat kita terganggu di sini? Masakan mempelai perempuan tidak boleh pakai istilah ini? Kita bilang itu terlalu agresif, terlalu inisiatif, terlalu Armenian, kalau bukan semi Pelagian?? Sangat resek tafsiran kayak begini. Bukan itu yang dimaksud di bagian ini; ini adalah respons yang tepat, sebagaimana Tuhan tidak melepaskan kita, kita harusnya tidak melepaskan Tuhan. Dan, hal itu dinyatakan dengan indah di dalam bagian ini; setelah mempelai perempuan menemukan jantung hatinya, dia memegangnya erat-erat dan tidak melepaskannya –tidak melepaskan Tuhan.
Saudara jangan sungkan dengan perkataan “tidak melepaskan Tuhan”, lalu merasa jadi terlalu maksa. Kadang-kadang Gereja seperti frigid –maaf pakai istilah ini, pakai bahasa cinta– tidak ada responsnya sama sekali; sudah dicintai mati-matian tapi seperti tidak ada nafsunya sama sekali. Dingin. Bergeming. Tuhan terus mencintai tapi Gereja seperti diam-diam saja. Sudah pasti itu bukan gambaran cinta. Gambaran cinta adalah respons.
Sebagaimana mempelai laki-laki tidak membiarkan mempelai perempuan lepas, demikian juga mempelai perempuan tidak membiarkan mempelai laki-laki lepas, “kupegang dan tak kulepaskan dia”. Komitmennya jelas. Dan ini tidak harus dibaca sebagai ngatur-ngatur, dominasi, agresif, dsb. –kalau seperti itu, Saudara salah baca. Ini adalah respons yang sehat dari mempelai perempuan.
Gereja, kalau tidak mengejar Tuhan, memegang Tuhan dan tidak melepaskan Tuhan, berarti Gereja itu sebetulnya tidak mengerti cinta Tuhan. Sekali lagi, Gereja yang berusaha mengejar Tuhan, lalu memegang Tuhan dan tidak mau melepaskan Tuhan seperti Yakub yang mengatakan “kecuali Engkau memberkati aku, aku tidak akan melepaskan Engkau”, apakah itu berarti Armenian? Atau semi Pelagian? Tidak. Ini Reformed. Yang tidak percaya ini, bukan Reformed. Kalau orang merasa kalimat seperti ini bukan Reformed, sepertinya dia tidak mengerti teologi Reformed, karena ini ada di Alkitab. Bagaimana mungkin kita tidak menerima kesaksian Alkitab, sementara Alkitab sendiri menggambarkan seperti itu. Saya kuatir dengan gambaran ”reformed” yang distorted, yang frigid, yang pasif, tidak ada dinamika, dingin, tidak ada nafsu, tidak ada gairah, stoik, lalu mengatakan “inilah tandanya orang yang mengerti anugerah Tuhan”. Omong kosong. Itu bukan tanda orang yang mengerti anugerah Tuhan. Itu Gereja yang tidak mengerti anugerah Tuhan sebetulnya, yang tidak menanggapi kembali cinta Tuhan, yang tidak excited di dalam pengejaran akan Tuhan, Sang Mempelai Laki-laki.
Selanjutnya, setelah mempelai perempuan itu memegang dan tidak melepaskan, dia membawanya ke rumah ibunya, ke kamar orang yang melahirkan dia. Di sini ada istilah ‘rumah ibunya’, lalu ‘kamar’, kelihatannya sudah sangat intim, sehingga apa lagi yang bisa kita nantikan, sudah pasti intimate relationship, expressing love –itu sangat natural.Tapi yang menarik, kalimat berikutnya yang muncul adalah kalimat refrein yang sama lagi: “Kusumpahi kamu, puteri-puteri Yerusalem, demi kijang-kijang atau demi rusa-rusa betina di padang: jangan kamu membangkitkan dan menggerakkan cinta sebelum diingininya!” (ayat 5) –delayed gratification.
Kita sudah menjelaskan ‘delayed gratification’ ini dalam khotbah minggu lalu. Ada beberapa pendapat di dalam tafsiran mengenai hal ini. Ada yang berpendapat ini mungkin ‘sulaman’ karena tidak cocok dengan bagian sebelumnya; tadi sudah bicara ‘rumah’, bicara ‘kamar’, lalu tiba-tiba interupsi lagi, jadi seakan-akan redaktur tulisan ini sirik atau bagaimana, karena orang sudah mau melampiaskan, sudah mau menikmati cinta, tiba-tiba kembali ada kalimat “jangan kamu membangkitkan dan menggerakkan cinta sebelum diingininya”. Mungkin redakturnya iseng atau bagaimana, lalu setiap kali bikin delayed gratification lagi dan lagi. Ini seperti kita sedang mau kasih es krim kepada anak, dan dia sudah netes air liurnya, lalu kita ambil lagi, kita kasih lagi, kita ambil lagi, “tunggu, nanti, ada saatnya, ada waktunya”. Apa maksudnya kalimat-kalimat seperti ini? Kenapa “mempermainkan” orang yang sudah jatuh cinta, dan selalu di-interupsi dengan refrein yang agak “unfortunate” ini, “jangan kamu membangkitkan dan menggerakkan cinta sebelum diingininya”? Dalam hal ini, tafsiran tersebut mengusulkan untuk melakukan kritik teks, jangan-jangan ini sulaman, jangan-jangan versi yang lebih tua tidak ada bagian ini.
Kita secara sederhana menerima versi ini saja, sebagaimana yang kita baca. Tapi apa poinnya di sini? Setelah gambaran ‘rumah’ dan ‘kamar’ yang sangat berbau erotik ini, mendekati erotic celebration, tiba-tiba ada interupsi; berarti mungkin justru inilah message-nya. Kidung Agung tidak pernah jatuh kepada model erotic celebration yang tidak ada penguasaan diri. Ini mungkin bisa diperbandingkan dengan Pengkhotbah.
Orang seringkali mengatakan bahwa Pengkhotbah dan Kidung Agung itu somehow sangat kontras. Kalau kita lihat dalam kanonisasi, Pengkhotbah dan Kidung Agung letaknya bersebelahan; setelah Pengkhotbah, lalu Kidung Agung. Pengkhotbah sangat pesimistis, hidup ini sia-sia. Di dalam keterbatasannya, dia tidak bisa melihat ada kehidupan setelah kematian. Dia berpikir, setelah manusia mati maka sudah selesai, sehingga dia berpikir segala sesuatu di dalam dunia ini sia-sia –sangat negatif. Di sisi lain, ada gambaran kontras dari Kidung Agung yang sangat merayakan kehidupan. Tapi Saudara perhatikan, di dalam Pengkhotbah bukan tidak ada kenikmatan. Pengkhotbah juga memberikan tempat di dalam gambaran hidupnya yang sia-sia itu, untuk menikmati –nikmatilah minyak, anggur, itu hasil jerih lelahmu, jangan tidak menikmati. Di dalam gambarannya yang luar biasa gersang, ada ayat-ayat yang bicara tentang kenikmatan. Sebaliknya, di dalam kitab yang sangat merayakan kesenangan dan kenikmatan seperti Kidung Agung, ada peringatannya.
Kita tidak kenal gambaran Pengkhotbah yang super pesimistis yang tidak memberikan tempat sama sekali untuk kenikmatan; kita juga tidak kenal gambaran Kidung Agung yang semuanya tentang merayakan kesenangan dan tidak perlu ada kesederhanaan (temperance) serta penguasan diri (self-control) sama sekali. Bagaimanapun, di dalam bayang-bayang kitab bijaksana, salah satunya adalah the way of moderation, moderasi, jalan tengah. Memang ada titik berat ‘perayaan’ (celebration) di sini, tapi tetap moderated celebration, bukan excessive celebration. Itu sebabnya di bagian ini seperti sudah bagus-bagus mengatakan, “kupegang dan tak kulepaskan, sampai kubawa dia ke rumah ibuku, ke kamar orang yang melahirkan aku”, yang sepertinya hanya tinggal satu langkah lagi, tapi kemudian kalimat berikutnya, “jangan kamu membangkitkan dan menggerakkan cinta sebelum diingininya!”. Saudara membaca di sini, di dalam perayaan cinta, bahkan di dalam dimensi yang boleh dikatakan erotis, tetap ada elemen kontrol, tidak kehilangan penguasaan diri. Di dalam konteks ini, perempuan tersebut sadar bahwa ini adalah mimpi, fantasi. Bisa dikatakan di sini dia ‘bangun’, dia sadar bahwa ini mimpi (tidak usah pakai “hanya”). Mimpi yang indah, namun memang mimpi.
Dari perspektif modern, khususnya Renē Descartes, ada pembicaraan tentang “what is reality?” Realitas itu apa? Yang mana yang mimpi, mana yang realitas? Dan tentu saja di dalam pemikirannya, yang lebih tinggi adalah realitas, sedangkan mimpi, ya, cuma mimpi, ilusi, bukan realitas. Lalu waktu tidur dan kemudian bangun, dia mempertanyakan, sebetulnya yang realitas yang mana, apakah yang waktu tidur atau waktu bangun, dsb. Intinya, yang mau dikatakan adalah: mimpi itu rendah, di bawah, sedangkan realitas–lah yang kita mau, yang lebih tinggi itu. Aufklerung, rasionalisme, enlightenment, dsb., membuat kita merendahkan mimpi sebagai yang bukan realitas. Atau di dalam versi film Matrix, ada realitas dunia yaitu dunia yang warna biru dan ada dunia mimpi yaitu dunia yang disetir oleh kode-kode komputer dsb., yang bukan relitas; yang realitas adalah ketika dia makan daging yang tidak enak itu. Ada realitas, ada mimpi; ada mimpi, ada realitas.
Menarik bahwa di dalam gambaran postmodern seperti mau merayakan mimpi, karena somehow mimpi itu lebih indah; namun tetap saja Saudara tidak bisa keluar dari gambaran dikotomi antara mimpi dan realitas, tetap ada dualisme antara mimpi dan realitas. Bahkan di dalam kehidupan sehari-hari kita juga pakai istilah ini; kalau orang cerita muluk-muluk, kita bilang, “Ah, kamu itu mimpi!”, maksudnya mimpi itu utopia, idealis, tidak mengukur kekuatan diri. Tetapi kalau kita kembali kepada Kidung Agung, tidak ada dualisme itu. Memang membedakan, jelas bahwa mimpi adalah mimpi, dan itu di dalam keadaan yang ‘bukan mimpi’ –jelas keduanya bisa dibedakan– tapi mimpi tidak direndahkan. Dia tidak bangun dengan kecewa, ‘yah, cuma mimpi, berarti tidak riil dong, cinta kasih saya ini; itu cuma mimpi, tapi kenyataannya tidak demikian, kenyataannya dia tidak ada di sini, saya kecewa, itu cuma indah di dalam mimpi’, kemudian bikin kontras yang tidak habis-habisnya antara fantasi dan imajinasi dengan yang disebut realitas. Kidung Agung tidak demikian. Itu bukan cara Kidung agung melihat; sebaliknya, ada rajutan antara mimpi dan realitas. Salah satu pembedaannya adalah: di dalam mimpi, imajinasi bisa tinggi sekali, sudah masuk kamar, sudah demikian intim; tapi kemudiaan ketika bangun, dia sadar ini mimpi. Ada kesadaran, bangun, penguasaan diri (self-control). Tapi self-control tidak meniadakan mimpi, tidak meniadakan imajinasi, bahkan imajinasi yang bisa dikatakan di garis batas untuk disebut erotik itu.
Memang sulit membahas hal seperti ini, karena kita seringkali menganggapnya tabu, dsb., di dalam gambaran pietisme yang sempit; apalagi kalau sudah bicara soal ‘erotik’ dsb. Di dalam bahasa penulis-penulis ‘mystic’, karena mereka memakai bahasa cinta, Saudara bisa mendapati kalimat-kalimat yang sebetulnya merupakan erotic language. Kita sebagai orang Reformed mungkin tidak terlalu sensitif dengan hal-hal seperti itu. Mungkin Saudara tahu ada lagu yang cukup terkenal, judulnya “He Touch Me” –yang memang bukan lagu Reformed. ‘Touch’ adalah bahasa erotik, tapi di sini bicara tentang Kristus, yang menyentuh jiwa kita –tetap dalam pengertian spiritual, bukan jasmani. Ini bahasa spiritual.
Ini sama seperti Perjamuan Kudus, Saudara betul-betul makan dan minum, makan roti dan minum anggur; tapi di dalam bahasa rohani, kita makan tubuh/daging Kristus dan minum darah Kristus. Dari sesuatu yang jasmani –makan dan minum adalah urusan jasmani– kemudian diangkat ke dalam pengertian rohani, karena kita memiliki iman, bukan naturalis. Dalam Baptisan, orang dibaptis dengan air; mengapa dengan air? Karena air memang membersihkan. Tapi yang mau dikatakan di sini bukan dibersihkan dengan air secara jasmani-nya, melainkan mau menunjuk bahwa sebetulnya darah Kristus yang membersihkan. Inilah maksudnya pakai bahasa erotik tapi dalam pengertian rohani, sebagaimana kalimat “He touch me”. Bagian ini kalau tidak ada, jadi sulit bicara cinta. Bicara cinta di dalam pengertian teologi proposisional, dalam pengertian definisi-definisi skolastik, dsb., tapi tidak melibatkan bahasa-bahasa erotik, itu sulit –meskipun kita mengertinya di dalam pengertian rohani tadi, bukan dalam pengertian fisik.
Kembali ke Kidung Agung, mempelai perempuan ini sadar, dia bangun, dan dia mengatakan, “jangan kamu membangkitkan dan menggerakkan cinta sebelum diingininya”. Cintanya, kerinduannya kepada mempelai laki-laki, meskipun itu “hanya” mimpi, namun tetaplah cinta yang riil. Bukan karena “hanya” mimpi lalu dia mencurigai diri sendiri, ‘jangan-jangan saya tidak cinta, karena yang tadi itu cuma dalam bentuk mimpi, sedangkan kenyataannya saya tidak pernah betul-betul mengejar secara harfiah dan keliling-keliling kota, itu cuma terjadi di dalam mimpi’. Tidak ada yang seperti itu di dalam Kidung Agung. Cintanya di-afirmasi melalui mimpinya, melalui imajinasinya; tidak harus di-dualisme-kan atau di-dikotomi-kan antara mimpi dengan realitas. Kalaupun ada pembedaan, pembedaannya adalah ini: perlu ada self-control. Mimpi bisa ke mana-mana –namanya saja mimpi. Mimpi itu tidak kenal batas. Waktu orang mimpi, bisa saja hari ini ‘saya di Eropa’, padahal kapan perginya, kapan karantinanya, dsb.; semua itu bisa dijelajahlewat mimpi –tiba-tiba di Eropa, tiba-tiba balik lagi ke Indonesia, dsb.– tapi dalam realitas memang tidak bisa. Namun juga, ketika bangun, kita tahu dalam kehidupan ini kalau ke luar negeri kita perlu paspor, perlu vaksin, perlu karantina, dsb. –perlu tatanan, perlu pengaturan, perlu self-control. Jadi, self-control — mimpi, mimpi — self control.
Terakhir, kita mau membicarakan bagian ini dalam kaitan cinta Kristus kepada kita dan cinta kita kepada Kristus. Perhatikan di pasal 2:17, mempelai perempuan menyuruh mempelai laki-laki untuk kembali, “kembalilah, kekasihku, berlakulah seperti kijang”. Di sini saya tidak mau menafsir berlebihan hal ini, nanti bisa keliru; tapi kita tahu, Yesus kembali kepada Bapa. Memang itu bukan karena murid-murid yang mengatakan, “Yesus, Engkau naiklah kembali ke surga”, namun somehow di dalam hal ini ada kemiripan, yaitu Yesus tidak lagi bersama dengan murid-murid-Nya, Dia kembali kepada Bapa. Kita tidak bersama-sama dengan Dia, tapi Dia hadir bersama dengan kita. Melalui apa? Ini jawaban kontroversial: yaitu melalui mimpi, imajinasi, fantasi –termasuk Perjamuan Kudus yang bukan tanpa imajinasi Saudara dan saya.
Waktu kita percaya dengan iman, bahwa kita bukan hanya makan roti dan minum anggur, tapi juga makan tubuh Kristus dan minum darah Kristus, hal itu tentu saja bukan tanpa imajinasi kita. Di sini kita bicara imajinasi yang suci (holy imagination); ini bukan imajinasi orang yang sakit jiwa, ini bukan tentang orang yang pikirannya sudah tidak realistis, tapi imajinasi yang alkitabiah. Sekali lagi, kalau Saudara tidak ada imajinasi waktu Perjamuan Kudus, Saudara akan sulit sekali menghayati apa artinya ‘saya makan tubuh Kristus dan minum darah Kristus’. Kalau kita hanya penekanan literal, “Saudara jangan sampai ke situ ya, kita konsentrasi saja, pokoknya kita hanya sedang makan roti dan minum anggur”, berarti kita bukan sedang Perjamuan Kudus. Kalau cuma makan roti dan minum anggur, ya, tidak usah di dalam Perjamuan Kudus ini, nanti saja di luar. Hal yang membedakan makan roti dan minum anggur di dalam Perjamuan Kudus, yaitu karena kita bukan hanya makan roti dan minum anggur, tapi makan tubuh Kristus dan minum darah Kristus.
Mempelai perempuan ini mengejar sang mempelai laki-laki, di dalam mimpi, di dalam imajinasinya, di dalam fantasinya. Desire-nya ini tidak mati, dia tetap memimpikannya –memimpikan kehadiran sang mempelai laki-laki. Pertanyaannya, Saudara memimpikan kehadiran Kristus-kah? Saya pakai istilah ‘mimpi’ bukan dalam pengertian delusi, ilusi, tapi dalam pengertian yang dikuduskan, bahwa kita memimpikan kedatangan Kristus. Atau, kita tidak memimpikan itu, sudah kerasan sekali di dunia ini sampai tiak memimpikan kedatangan Kristus, tidak tertarik dengan Kristus yang datang kembali, yang seperti itu, kayaknya bukan cerita cinta kita; cerita cinta kita adalah saya dan properti yang lebih banyak, saya dan uang yang makin lama makin banyak –itulah yang saya mimpikan. Apa yang kau cintai sebetulnya? Saudara mimpi apa? Kita mimpi apa sebetulnya dalam kehidupan ini?
Perempuan ini jelas, mimpinya adalah mempelai laki-laki, bukan mimpi yang lain. Dia mimpi sedang mengejar mempelai laki-laki; fokusnya jelas. Peronda-peronda kota itu tidak pernah mimpi laki-laki ini; yang mimpi laki-laki ini cuma mempelai perempuan, karena desire-nya, devotion-nya, jelas terhadap sang mempelai laki-laki –dan bukan tanpa fantasi. Desire-nya tidak berhenti begitu saja, meskipun mempelai laki-laki ini belum hadir secara fisik.
Demikin juga kehidupan kita. Kita menantikan consummation kasih Allah, ketika kita berjumpa kembali dengan Dia. Di sini, pengalaman kita selalu broken; dan Perjamuan Kudus adalah cicipan dari Perjamuan Besar (The Great Banquet) kelak yang kita akan rayakan bersama dengan Kristus. Di situ ada consummation of God’s love, di dalam segala kepenuhannya. Tetapi selama kita masih di dalam dunia, di sini dan sekarang, apa bagian kita? Yaitu seperti perempuan ini: mengejar dengan segenap hati.
Saya akan mengakhiri dengan beberapa ayat dalam Perjanjian Lama yang bisa kita renungkan dalam kaitan dengan Kidung Agung 3:
- Ulangan 6:5, “Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu.”
- Yeremia 29:13, “apabila kamu mencari Aku, kamu akan menemukan Aku; apabila kamu menanyakan Aku dengan segenap hati, Aku akan memberi kamu menemukan Aku, demikianlah firman TUHAN.”
- Ulangan 4:29, “Dan baru di sana engkau mencari TUHAN, Allahmu, dan menemukan-Nya, asal engkau menanyakan Dia dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu.”
Jemaat yang dikasihi Tuhan, seperti Tuhan sendiri mengundang kita, mari kita mencari Tuhan, Allah kita, dan menemukan-Nya, asal kita terus bertekun dan setia menanyakan Dia dengan segenap hati kita dan dengan segenap jiwa kita.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah(MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading