Kita sekarang masuk ke musim berikutnya dalam Kalender Gereja, yang disebut Lent, yaitu masa 40 hari sebelum Paskah; Rabu Abu (Ash Wednesday) adalah hari pertama penanda dimulainya Musim Lent. Tahun ini saya mulai mencoba memperkenalkan kembali tradisi Kalender Gereja; dan harapan saya tahun-tahun depan kita bukan cuma lebih mengikuti Penanggalan Gereja sedunia dalam hal perikop-perikop yang dibahas, tapi juga bagaimana gesture, praktika, habit bersama, liturgi, ritual, yang datang bersama dengan musim-musim Kalender Gereja tersebut. Kalau dalam Rabu Abu, salah satu ritualnya adalah Saudara diberikan abu berbentuk salib di dahi Saudara, untuk mengingatkan kembali identitasmu adalah di dalam Kristus, dan bahwa Saudara sebenarnya abu. Ini satu hal yang mungkin perlu dihidupkan kembali. Salah satu alasannya adalah karena di dalam Gereja, Saudara dibentuk bukan cuma dengan pengubahan di kepala (otak), tapi juga dengan pengubahan di tubuh; dan ini satu hal yang penting.
Apakah Lent itu? Istilah Lent sebenarnya berarti periode musim semi, mirip dengan istilah Jerman “lenz”, dan ini bukan istilah yang ada di Alkitab –sama seperti istilah “tritunggal” juga tidak ada di Alkitab. Namun sama seperti kita mendekati istilah Tritunggal, di sini yang penting bukan istilahnya melainkan apa maknanya, dan kenapa hal ini penting. Lent adalah suatu waktu yang dikhususkan oleh umat Tuhan untuk menyiapkan diri bagi Paskah, maka waktunya adalah 40 hari sebelum Paskah. Sebagaimana banyak tradisi Gereja yang baik, ini berasal dari Gereja-mula-mula, abad-abad pertama kekristenan (abad 1-4); dan yang menarik, bahkan di zaman-zaman yang sangat less distraction kehidupan manusianya dibandingkan zaman kita –belum ada smartphone, dsb.– para Bapa Gereja sudah peka akan kebutuhan ini, bahwa umat Tuhan perlu dibantu untuk mempersiapkan hati dan diri bagi Paskah, dan adalah satu hal yang sulit kalau mereka harus mempersiapkan dirinya sendiri. Itu sebabnya istilah “Bapa Gereja” ini penting karena mereka memang para orangtua, dan sebagai orangtua, senantiasa akan berusaha menolong/mempersiapkan anak-anaknya menghadapi peristiwa-peristiwa besar dalam hidup mereka; misalnya kita mempersiapkan mereka untuk suatu hari menghadapi kehilangan orang yang mereka cintai, kedukaan, dan caranya adalah ketika misalnya suatu hari mereka menemukan seeokor burung yang mati di pekarangan, kita mengajak mereka bersama-sama menguburkan burung tersebut.
Apa sesungguhnya problem yang sedang di hadapi dalam mempersiapkan diri ini, apa kesulitannya? Kita mungkin pikir kesulitannya adalah seperti orang mau masuk ke kolam air dingin, perlu dibantu pelan-pelan dengan ciprat-ciprat sedikit dulu, basahi kaki dan tangannya dulu,dst.; tetapi problemnya mungkin bukan itu. Dalam persiapan khotbah ini, saya sangat terbantu oleh seorang pakar Theologi bernama Julie Canlis. Julis Canlis dan suaminya adalah orang Amerika tapi mereka pelayanan di Skotlandia. Tiga belas tahun mereka pelayanan di sana, maka anak-anak mereka semuanya lahir di Skotlandia, besar di Skotlandia, makan makanan Skotlandia, tumbuh sebagai orang-orang yang berbahasa aksen Skotlandia dan berbudaya Skotlandia. Setelah tiga belas tahun tersebut, mereka akan kembali ke Amerika, dan mereka bingung, bagaimana caranya mempersiapkan anak-anak itu jadi orang Amerika, karena budayanya sangat berbeda. Akhirnya, alih-alih memesan tiket pesawat yang bisa membawa mereka ke Amerika dalam 13 jam, mereka malah mem-booking tiket kapal laut yang perjalanannya dari Skotlandia ke Amerika memakan waktu tujuh hari lebih sedikit. Dalam periode waktu tersebut, mereka mendoakan kehidupan mereka yang akan datang, mereka membicarakan seperti apa kondisi di Amerika, mereka bersama-sama sharing kesulitan dan tantangan yang mungkin terjadi, sehingga setelah tujuh hari ini berlalu dan anak-anak mereka berdiri di haluan kapal melihat Patung Liberty itu makin lama makin besar, mereka sudah siap menjadi orang Amerika. Jadi, Lent adalah mirip seperti itu.
Problem ketidaksiapan kita dalam menghadapi Paskah bukanlah seperti takut momen ujian maka kita ingin menunda-nunda hari tersebut datang, melainkan ketidaksiapan yang sebaliknya; kita tahu Paskah akan segera datang, lalu bagaimana agar kita terhindar dari ingin cepat-cepat masuk ke dalam Paskah, sehingga misteri dan juga kekaguman akan Paskah lewat dan hilang. Ini sama seperti problem dalam Natal, kita ingin cepat-cepat buka kado, kita tidak ingin menanti –dan itu sebabnya perlu ada Masa Adven. Dalam hal ini, mungkin memang inilah salah satu tugas Gereja, yaitu melatih kita untuk senantiasa menanti, untuk belajar menunggu, karena dunia selalu memburu-buru kita. Lent berarti Gereja yang memilih naik kapal 40 hari, dan bukan ambil pesawat yang 1 hari sampai, meskipun bisa.
Kenapa persiapan ini mengambil bentuk 40 hari? Karena walaupun istilah Lent bukan dari Alkitab, namun bentuk ritual persiapannya mengambil dari kehidupan Yesus, yaitu momen Yesus pergi ke padang gurun untuk dicobai Iblis; dalam arti tertentu, para Bapa Gereja ingin umat Tuhan mengikuti jejak hidup Yesus, untuk membuat narasi hidup Yesus jadi narasi hidup kita. Kenapa ini penting? Memangnya dalam hidup kita pengalaman padang gurun kurang banyak kali ya, ‘gak tahu saja lu hidup gua kayak apa?? Bukan demikian, Saudara. Walaupun setiap kita ada pengalaman-pengalaman padang gurun dalam hidup kita masing-masing, secara umum pengalaman tersebut bukan ada karena kita mau, bukan ada karena kita memilihnya, kita justru tidak suka dengan pengalaman-pengalaman seperti itu; sedangkan dalam setiap catatan Injil Sinoptik, perginya Yesus ke padang belantara untuk dicobai adalah jelas pimpinan Roh Kudus. Bukan karena Dia menjauh dari Tuhan maka Dia mengalami padang gurun; justru karena Dia mendekat kepada Tuhan, dan Tuhan mendekat kepada Dia maka Dia mengalami padang gurun, karena –seperti yang nanti kita akan lihat– ada sesuatu di padang gurun yang hanya padang gurunlah yang bisa memberikan bagi kita.
Itu sebabnya hari ini kita akan coba pergi bersama dengan Yesus ke padang belantara; dan itu sebabnya momen Lent biasanya ditandai dengan ritual puasa. Minggu depan ini kita akan masuk ke dalam bulan puasa bagi saudara-saudara kita yang beragama Islam; ini satu hal yang semua orang tahu, tapi celakanya banyak orang yang tidak tahu bahwa dalam Kekristenan tradisional, Kekristenan warisan turun-temurun dari Gereja-mula-mula dan Bapa-bapa Gereja di abad-abad pertama, Kekristenan juga punya musim puasa, dan itulah yang kita sebut dengan Musim Lent.
Di ayat 1 Saudara lihat jelas sekali bahwa Yesus pergi ke padang gurun dipimpin oleh Roh. Tapi kita perlu bertanya pertanyaan yang utama, yaitu ketika Yesus dipimpin oleh Roh ke padang gurun untuk dicobai Iblis, apa yang sesungguhnya diujicobakan (dalam bagian ini, istilah yang diterjemahkan dengan “pencobaan”, dalam bahasa Yunaninya sebenarnya tidak berbeda dari istilah “ujian” atau test, tidak lebih positif, tidak lebih negatif). Ayat pertama memberikan kita satu petunjuk mengenai apa yang diujicobakan, dengan cara melihat apa yang bukan diujicobakan, apa yang tidak menjadi ujiannya, yaitu bahwa 40 hari puasa Yesus adalah terjadi sebelum ujiannya; dengan demikian yang diuji disini bukanlah kemampuan Yesus untuk menahan lapar, dan berarti impilkasinya adalah sebaliknya, bahwa puasa tersebut dilakukan untuk mempersiapkan Yesus menghadapi ujian.
Inilah poin pertama pembahasan kita, sebenarnya seperti apa puasa versi Injil; dan seperti biasa, untuk kita bisa mengerti A, biasanya lebih mudah dengan membahas yang bukan A. Hari ini secara umum ada dua pengertian puasa di dunia: yang pertama kita bisa sebut dengan istilah puasa versi spiritual/ideal; yang kedua kita bisa sebut dengan istilah puasa versi sekuler/modern –dan keduanya bukanlah konsep puasa yang ditemukan dalam Injil. Kita akan coba mempelajari ini dengan juga membandingkan beberapa lukisan tentang pencobaan Yesus dari berbagai zaman.
Yang pertama, puasa versi spiritual/ideal. Konsep ini melihat kisah Yesus berpuasa 40 hari sebagai figur ideal dalam berpuasa.Yesus ketika berpuasa, gambarannya mirip dengan figur koboi dalam iklan Marlboro yang jadul itu. Figur koboi Marlboro punya suatu nuansa, yaitu orang yang mandiri, self-sufficient, ‘gak butuh apa-apa, tidak peduli dengan pendapat orang lain mengenai dia, ‘gak butuh siapapun, hampir selalu sendirian, hanya ada dia sendiri dengan rokoknya –dan belakangan rokoknya pun tidak diperlihatkan. Saudara jarang sekali lihat dia bersama-sama dengan orang-orang lain; dan kalaupun ada orang-orang lain, dia selalu dihadirkan sebagai seorang yang berdiri sendiri di depan, memimpin, tidak butuh siapapun, malah justru orang lain mungkin yang butuh dia. Inilah figur ideal –seperti dalam iklan hari ini “laki tu begini”. Ini satu hal yang menarik, karena kalau kita melihat lukisan-lukisan yang awal dari zaman Gereja-mula-mula, kita mungkin sekilas berpikir gambarannya mendukung gambaran puasa ala koboi Marlboro tadi.
Kita coba melihat lukisan Temptation of Christ, St. Marks Chatedral, Venice. Ini lukisan yang sangat awal, ada tiga fase pencobaan Yesus dan yang terakhir adalah kemenangan-Nya. Sekilas gambarannya seperti mendukung gambaran puasa ala koboi Marlboro tadi, karena kalau Saudara perhatikan, postur Yesus sangat tegak, kuat, kokoh, berdirinya sangat upright, tangannya selalu terarah dengan sengaja; sementara Iblis digambarkan kecil dan gelap, tidak ada kemungkinan menanglah di hadapan Tuhan Yesus. Jadi mungkin inilah yang kita pikir mewakili gambaran konsep puasa yang pertama tadi. Namun sesungguhnya konsep Gereja-mula-mula mengenai Yesus, punya perbedaan yang halus tapi sangat mendasar dari konsep puasa ideal atau konsep puasa ala gambaran Marlboro tadi.
Apa bedanya konsep ‘koboi Marlboro’ dengan konsep yang digambarkan lewat lukisan ini, dan khususnya yang kita lihat di dalam Injil? Yang pasti, kita tahu bahwa jalan salib, jalan penyangkalan diri yang Yesus lakukan, itu tidak pernah merupakan tujuan akhir Yesus. Yesus bukan masokhis, penyangkalan diri yang Yesus lakukan, itu tidak pernah merupakan tujuan hidup-Nya, melainkan hanya sarana untuk mendapatkan sesuatu yang lain, dan itu bukan kemandirian tapi justru relasi, keterbukaan, keterikatan dengan Bapa. Dalam versi puasa yang pertama tadi, yaitu versi puasa ideal/spiritual, puasa digambarkan sebagai sesuatu yang merupakan tujuan akhir itu sendiri, sesuatu yang baik pada dirinya sendiri, bahkan idealnya dalam versi ini puasa tidak pernah berhenti. Kalau si koboi Marlboro tadi tiba-tiba pulang ke rumah lalu seperti anak saya Niko, memeluk bonekanya dan mengatakan, “Oooohhh…”, jadi hancur banget ‘kan gambarannya sebagai koboi Marlboro, lalu apa poinnya keren-keren di luar kalau ternyata di dalamnya kayak begitu?? Apa poinnya puasa sementara kayak begitu; kamu berlatih puasa, itu tujuannya supaya suatu hari bisa hidup terus-menerus kayak begitu. Yang seperti ini sebenarnya puasa yang pada dasarnya adalah diet, idealnya bisa dijalankan terus-menerus, bukan suatu hari berhenti lalu jadi gendut lagi. Inilah puasa versi yang pertama, puasa yang good in itself, puasa yang ideal. Tetapi jelas sekali dari kisah Yesus, bahwa puasanya Yesus ada batasnya, 40 hari lalu setop.
Ketahanan diri (endurance), penguasaan diri, jelas sekali bukanlah tujuan akhir Yesus. Apalagi kalau kita tahu bahwa orang-orang sezaman Yesus malah mengenal Yesus sebagai orang yang sering banget datang ke pesta, bahkan berpesta dengan orang-orang berdosa pula. Jadi, apa tujuan puasa dalam Injil? Puasa, punya sesuatu yang lain yang menjadi tujuan, puasa adalah tempat persiapan untuk menghadapi pencobaan, puasa tidak pernah menjadi tujuan akhir itu sendiri. Inilah bedanya. Puasanya Yesus, itu dilakukan justru supaya Dia mendapatkan sesuatu yang lain yang lebih berharga, dan bukan sekadar mengurangi tok. Dia berhenti makan, justru supaya Dia lebih bisa menikmati dan mencerna firman dari Bapa. Sangat menarik bahwa ini sebenarnya suatu pola yang dilakukan Gereja-mula-mula. Mereka puasa garam, puasa minyak, karena di zaman tersebut garam dan minyak adalah komoditas utama, sehingga cara paling gampang untuk berhemat adalah dengan berhenti makan garam dan minyak. Kenapa mereka melakukan ini? Karena dengan uang yang mereka hemat, mereka bisa memberi lebih banyak kepada orang miskin dalam bulan itu dibandingkan bulan-bulan sebelumnya. Mereka bukan mengurangi demi mengurangi tok, tapi demi menambah sesuatu yang lain. Puasa tidak pernah jadi tujuan akhirnya; inilah kontras antara puasa versi pertama tadi (puasa ideal) versus puasa yang kita lihat Alkitab.
Yang kedua, puasa versi sekuler. Ini konsep puasa yang sebaliknya, puasa yang dilihat sebagai satu hal yang negatif, super sulit, dan ujungnya dipertanyakan apakah worth it atau tidak, bahkan apakah ada efek baiknya at all. Kita bisa melihat nuansa seperti ini digambarkan misalnya dalam lukisan Ivan Kramskoy, Christ in the Wilderness. Gambarannya berbeda banget dari lukisan yang pertama tadi. Kristus di sini digambarkan begitu lemah, tangannya terlipat erat satu dengan yang lain, dan kalau dilihat secara detail tangan kiri-Nya sudah seperti tangan mayat, begitu kurus dan seperti membusuk. Melihat ini, kita merasa ini adalah momen yang Kristus sebentar lagi kalah, sebentar lagi tidak tahan. Ini Kristus yang lemah, Kristus yang pandangan matanya tidak fokus. Ini Kristus yang membuat kita bertanya-tanya, apakah Dia bakal menang atau tidak, dan sepertinya tidak tentu. Menariknya juga, dalam lukisan ini kita tidak melihat figur Iblis; dengan demikian salah satu poinnya adalah: lukisan ini secara ambigu mempertanyakan, ‘sebenarnya ada atau tidak sih penggodanya? jangan-jangan ini cuma psychological break down, orang yang sudah setengah gila karena kelaparan??’ Hal ini memang disengaja; Kramskoy bukan sedang mengusulkan ini sebagai yang benar, tapi dia mau mengajak kita untuk melihat ambiguitas tersebut. Ini satu intepretasi yang menarik, dan tentunya bukan tanpa positif sama sekali karena dalam gambaran Kristus yang seperti ini kita jadi lebih bisa appreciate misalnya sisi kemanusiaan dari Kristus, kita bisa appreciate bahwa puasa bagi Yesus benar-benar sesuatu yang riil penderitaannya (satu hal yang kita tidak temukan dalam lukisan yang pertama tadi). Dalam lukisan ini ada pergeseran konsep puasa, puasa menjadi sesuatu yang begitu menyulitkan, begitu susah, begitu negatif.
Satu contoh lagi yang lebih ekstrim adalah lukisan yang lebih modern, lukisan dari Michael O’Brien, Christ’s Temptation in the Desert. Ini lukisan yang sangat surealis; tangan Tuhan Yesus seperti menahan beban yang begitu berat, dan di pojok kiri bawah ada tangan yang menunjuk, itulah tangan Iblis si penuduh (karena Iblis memang penuduh). Inilah yang pada dasarnya sangat menggambarkan interpretasi orang modern terhadap pengalaman padang gurun. Kalau Saudara lihat gambarannya dengan detail, di sekitar Yesus cuma ada batu dan semak duri; padang belantara digambarkan sebagai tempat yang benar-benar sangat menyakitkan, dan dipertanyakan ‘sebenarnya buat apa sih ke tempat seperti ini, ‘gak ada poinnya penderitaan seperti ini, ‘gak ada positif-positifnya sama sekali’. Adalah satu hal yang lumrah kalau orang modern melihatnya seperti itu, karena dalam dunia kita sebagai orang modern hari ini, sedikit sekali ruang yang disisakan untuk perasaan ketidaknyamanan. Sedikit sekali ruang yang disisakan dalam zaman kita hari ini, akan perasaan ketidakbahagiaan. Dengan demikian, ini satu konsep yang melihat puasa sebagai sesuatu yang cuma merusak, begitu negatif; dan mungkin pandangan seperti inilah yang membuat kita –sama seperti pandangan yang pertama tadi– gagal mengerti tujuan sebenarnya dari Lent.
Saudara, mungkin inilah bagaimana banyak orang melihat Lent, yaitu Lent sebagai waktu di mana kita menyiksa diri secara bodoh; atau Lent adalah waktu di mana kita berusaha menunjukkan kehebatan diri sehingga kita mungkin bisa memelintir sedikit tangan Tuhan untuk mengikuti kehendak kita. Tapi dua-duanya bukanlah pandangan Alkitab, dan bukan pandangan Gereja-mula-mula mengenai pengalaman padang gurun dan puasa. Padang gurun dalam Alkitab justru adalah momen persiapan pertempuran. Dengan demikian, pertama-tama, ini adalah waktu yang sementara, tidak selamanya; dan yang kedua, pengalaman penyangkalan diri dalam padang gurun bukan menghasilkan kekosongan/kehampaan pada orangnya, melainkan justru akan menghasilkan kepenuhan dengan Bapa, lebih sadar, lebih terbangunkan, lebih peka, dan mungkin bahkan lebih berkuasa. Dan dalam hal ini kita melihat bahwa ‘berkuasa’ bukanlah hal yang abstrak, karena bagi orang Gereja-mula-mula, mereka lebih berkuasa untuk menjadi saluran berkat bagi kehidupan orang miskin dalam bulan Lent. Matius membuatnya sangat jelas, bahwa Yesus mempersiapkan diri-Nya untuk menghadapi pencobaan dengan berpuasa 40 hari. Puasa-Nya itulah yang mempersiapkan diri-Nya terhadap pencobaan, puasa itulah yang menguatkan Dia di hadapan pencobaan dan bukan membuat Dia runtuh di hadapan pencobaan.
Di sini kita jadi bertanya, kalau demikian, apa yang sedang digodok dalam masa puasa 40 hari tersebut, yang membuat Yesus bisa menghadapi dan menang akan pencobaan? Jawabannya adalah: hal yang terjadi persis sebelum Yesus pergi ke padang gurun, yaitu Yesus dibaptis; ini bukanlah cuma urusan air dan lain-lainnya, tapi poin utama adalah: dalam Baptisan, identitas Yesus diproklamirkan, yaitu sebagai Anak Allah yang dikasihi, yang kepada-Nya Allah berkenan. Inilah poinnya. Kenapa deklarasi tersebut muncul dalam Baptisan, adalah karena dalam momen Baptisan itu Yesus belum ngapa-ngapain. Sadarkah Saudara akan hal ini? Dalam momen Baptisan itu, Yesus belum ngapa-ngapain, Dia belum memulai pelayanan publik-Nya; peristiwa Baptisan dan Pencobaan selalu ditaruh para penulis Injil sebagai momen yang mengawali pelayanan Yesus, setelah peristiwa inilah baru Dia mulai pelayanan publik-Nya. Jadi, Dia belum melakukan mukjizat apa-apa, Dia belum mengajar apa-apa, Dia belum bisa menunjukkan di CV-Nya sesuatu yang bisa di-centang (ü) bahwa ‘Aku sudah melakukan ini, dan ini, dan ini, dan ini … maka Allah Bapa mengatakan kepada-Ku, “Engkau Anak yang Kukasihi, good boy, pintar, kepada-Mu Aku berkenan”’. Tidak demikian, Saudara. Belum ada apa-apa dalam CV-Nya, tapi Allah Bapa sudah terlebih dulu mengatakan, “Ini identitas-Mu, Engkau Anak yang kukasihi, Aku berkenan kepada-Mu; bukan karena apa yang Engkau bisa capai, bukan karena apa yang Engkau akan capai, tapi semata-mata karena Aku berkenan kepada-Mu, karena Engkau Anak-Ku. Itu tok”.
Saudara mengerti sekarang, kenapa Roh lalu memimpin Yesus ke padang gurun, kenapa inilah yang digodok di padang gurun. Di padang gurun, Yesus juga tidak bisa ngapa-ngapain, di padang gurun tidak ada yang Dia bisa lakukan. Di padang gurun, tidak ada tempat untuk Dia berkhotbah kepada orang-orang. Tidak ada pencapaian yang Dia bisa lakukan di padang gurun. Padang gurun, kalau dalam konsep Israel, adalah tempat di mana manusia tidak bisa menjalankan panggilannya sebagai gambar rupa Allah, karena gambar rupa Allah tugasnya adalah menjaga dan memelihara taman, dunia ini, sedangkan di padang gurun tidak ada hal itu. Padang gurun adalah tempat yang impossible untuk menjalankan panggilan Tuhan, tapi di situlah tempat Yesus benar-benar menggodok, mematangkan habis-habisan, identitas ini –justru di padang gurun. Kalau Dia menggodok hal ini di tempat Dia berkhotbah, di tempat Dia punya banyak pengikut, itu ‘gak masuk akal karena itu jadinya centang (ü) dalam CV; justru di padang gurunlah Dia bisa benar-benar menggodok identitasnya sebagai Anak yang dikasihi Bapa-Nya, bukan karena pencapaian-Nya. Daklam hal ini Saudara bisa yakin ini adalah poinnya karena lihatlah apa sih yang jadi cara Iblis mencoba Yesus, yaitu: “Jika Engkau adalah Anak Allah, buktikan …”.
Saudara, inilah cara Iblis bergerak di dalam hidup Yesus: buktikan Engkau adalah Anak Allah; jangan lewat omongan orang lain, enak saja, buktikan lewat apa yang Engkau bisa lakukan dong. Inilah pola setan bekerja dalam hidup kita: buktikan —buktikan dirimu kepada orangtuamu, kepada teman-temanmu, kepada guru-gurumu, kepada dirimu. Jadi, pencobaan yang dialami kita di padang gurun selalu adalah pencobaan akan identitas, apakah kamu aman (secure) berpegang pada identitasmu sebagai anak Tuhan yang dikasihi –itu tok– atau Saudara ternyata perlu sesuatu yang lain di luar itu, karena Saudara tahu ‘kan kalau Saudara berpegang pada identitasmu sebagai anak Allah yang dikasihi tok, maka Saudara ada resiko disalah mengerti orang lain. Saudara, hidup ini apa sih? Hidup ini ajang kontes popularitas ‘kan. Kita seumur hidup disuruh mencari identitas kita dengan permainan-permainan identitas –siapa yang lebih kuat, siapa yang lebih cepat, siapa yang lebih pintar, siapa yang lebih ganteng, siapa yang lebih ini dan itu. Kalau Saudara orang yang aman dalam identitasmu sebagai anak Tuhan yang dikasihi, maka Saudara tidak akan merasa perlu ikut-ikutan permainan identitas seperti itu; dan itu berarti Saudara ada resiko disalah mengerti orang lain —ah, dia penakut saja, dia pengecut, chicken. Satu hal yang menarik, ini bukan cuma terjadi di luar sana, di dalam Gereja pun banyak permainan identitas seperti ini, cuma mungkin lebih halus —siapa yang sudah baca Alkitab dari depan sampai belakang, siapa yang sudah baca Alkitab dari depan sampai belakang lebih dari 5 kali, siapa … , dst.
Saudara lihat, setiap pencobaan yang diberikan kepada Yesus ini adalah satu tantangan bagi Yesus untuk membuktikan siapa diri-Nya lewat cara yang tidak melibatkan Bapa. Inilah sebabnya pencobaan yang terbesar dalam hidup seseorang selalu bersifat spiritual, bukan urusan wanita, bukan urusan harta, bukan urusan anggur, dsb. Setan tahu tidak ada gunanya menggoda Yesus dengan semua hal itu, maka setan mencoba Yesus untuk membuktikan keanakan-Nya.
Pencobaan yang pertama: “Kalau Kamu adalah Anak Allah, ubah dong batu jadi roti.” Ini berarti setan sedang mengatakan kepada Yesus: “Padang gurun yang sedang Kamu alami sekarang ini, itu salah-Mu sendiri, wong Kamu bisa keluar dari situasi ini, Kamu tinggal ubah batu jadi roti”. Itu salah kamu, orang Kristen yang baik harusnya tidak di padang gurun, orang Kristen yang baik harusnya tidak mengalami semua ini, pasti ada something wrong dalam hidupmu maka engkau mengalami semua ini ‘kan, maka solusinya juga ada pada dirimu, do something, ayo dong lakukan sesuatu!
Pencobaan yang kedua: “Karena Kamu bilang Kamu Anak Allah, lompat dong, lompat!” Ini pencobaan yang kita semua hadapi, lakukan sesuatu yang spektakuler, buktikan kamu seorang Kristen yang baik, jangan cuma jadi Kristen KTP; siapa sih orang dunia yang mau ikut kamu kalau kamu biasa-biasa saja. Kamu mau jadi kesaksian bagi pembantu rumah tanggamu, bagi sustermu, bagi supirmu, bagi orang-orang yang ada dalam hidupmu, ya, kamu harus extra ordinary dong di depan mereka, kamu harus sangat-sangat saleh di depan mereka, karena Tuhanmu ‘gak mau kamu jadi orang yang biasa-biasa saja, lakukan something yang spektakuler!
Pencobaan yang ketiga: “Semua ini buat-Mu, kalau Engkau sujud menyembahku.” Ini godaan untuk tidak menunggu cara dan waktu Allah Bapa. Setan sedang mengatakan kepada Yesus: “Begini Yesus, Kamu ‘kan jelas nubuatnya sebagai Mesias, Kamu ‘kan jelas nubuatnya jadi Raja, dan itu ‘kan nubuat dari Alkitab, dari Firman Tuhan, maka pasti akan digenapi ‘kan, ujungnya ‘kan kamu akan jadi Raja. Jadi, ya sudah, ‘gak usah tunggu, kenapa juga harus lewat jalan salib, itu tidak masuk akal, wong semua ini Kamu bisa dapatkan sejak sekarang, lebih efisien, lebih cepat.” Itulah pencobaan yang ketiga, klaim janji-janji Bapa bagimu sekarang, jangan menunggu.
Saudara lihat, ini sebabnya satu-satunya defense yang Yesus bawa untuk menghadapi pencobaan ini, dan yang Dia godok di padang gurun bersama dengan Roh Kudus, adalah hanya kalimat yang Dia terima dalam baptisan-Nya: Engkau adalah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mu Aku berkenan (sebelum Engkau melakukan apapun yang lain dalam hidup-Mu, Engkau sudah Anak-Ku, Engkau sudah Kuperkenan). Poin dari pencobaan Yesus adalah: Dia sedang dicobai untuk mendapatkan kekuatan-Nya dari tempat yang lain, dari hal-hal lain selain dari bahwa Ia diperkenan oleh Allah Bapa. Dan, di sinilah peran Roh Kudus yang sering kali kita tidak peka; Roh Kudus tahu Yesus perlu kekuatan untuk menghadapi pelayanan-Nya selama tiga tahun ke depan, dan kekuatan dari satu kata itu, “dikasihi”, adalah cukup, bukan cuma untuk pencobaan ini tapi juga untuk tiga tahun tersebut.
Saudara, ini satu hal yang sering kali kita lupakan sebagai peran Roh Kudus dalam hidup seseorang, karena ini peran yang sangat tersembunyi. Biasanya kita melihat peran Roh Kudus konsepnya malah terbalik, yaitu peran Roh Kudus adalah ketika Dia bekerja secara spektakuler, penuh dengan mukjizat, penglihatan-penglihatan, kebetulan-kebetulan yang tidak bisa dijelaskan, seperti hujan yang tiba-tiba berhenti tepat waktu KKR, KKR yang dipenuhi banyak orang, dan seterusnya yang semacam itu. Tetapi apa sesungguhnya pekerjaan Roh Kudus yang sejati dalam Alkitab? Paulus mengatakan dalam Kolose 3:3, “Sebab kamu telah mati, dan hidupmu tersembunyi bersama dengan Kristus, di dalam Allah.” Waktu Saudara dan saya menjadi orang Kristen, kita ini hidupnya disembunyikan di dalam Kristus; dan ini salah satu peran Roh Kudus yang kita sering kali tidak sadar, bahkan salah satu peran yang paling fundamental, yaitu memasukkan kita ke dalam Kristus, membuat kita mendapatkan identitas kita di dalam Kristus –itu sebabnya tersembunyi, karena memang tidak kelihatan. Sering kali kita bingung, identitasku di dalam Kristus itu apa? Tidak kelihatan, pokoknya semua yang Kristus lakukan. Lalu aku-nya apa? Tidak kelihatan. Itulah identitas kita di dalam Kristus. Jadi ‘gak seru ‘kan, kita tidak ingin identitas yang seperti ini karena tidak kelihatan, tersembunyi. Kita maunya sesuatu yang lebih spektakuler, yang lebih visible, yang bisa di-atributkan bukan cuma pada Kristus tapi juga pada diri kita; yang bisa konklusif membuktikan kepada dunia, kepada keluarga kita, kepada orang-orang kantor kita, kepada murid-murid sekolah kita, bahwa kita orang Kristen yang serius, misalnya kalau punya suara kenabian, itu mantap!
Satu kritik balik kepada kalangan kami, para pendeta dan vikaris; saya tidak tahu sudah bertemu dengan entah berapa banyak pendeta, vikaris, mahasiswa praktek –termasuk saya sendiri– yang menjadi hamba Tuhan, masuk STT, karena menginginkan suara kenabian itu. Saudara bayangkan kalau Saudara dipanggil menjadi hamba Tuhan, masuk STT, lalu waktu keluar apa Saudara mau menjadi pendeta yang biasa-biasa saja?? Tidak mau ‘kan. Saudara maunya, ‘Kalau saya dipanggil masuk STT, ada something yang spesial dong; masa iya gua jadi pendeta yang fungsinya di gereja cuma bikin pendeta yang lain kelihatan lebih bagus?? Konyol banget. ‘Gak bisa kayak begitu dong, saya ini harus ada something-nya, saya harus ada satu hal yang punya saya sendiri dan orang lain ‘gak punya!’ Itulah yang sering kali banyak pendeta dan vikaris inginkan; dan itu juga yang sering kali bikin kami hancur, karena yang Bapa mau adalah sesuatu yang berbeda, Dia mau kita bukan menggapai melainkan menerima identitas kita sebagai anak-anak yang dikasihi, sebelum ada pencapaian apa-apa. Bagi C.S. Lewis, ini satu karunia (gift), yang juga suatu beban yang sangat mengerikan, yang susah sekali untuk ditanggung. Lewis mencoba mengungkapkannya seperti ini: ‘Kamu sadar ‘gak sih, siapa kamu di dalam Kristus? Kamu itu adalah bumbu rahasia bagi kebahagiaan Allah, Allah tidak bahagia tanpa kamu! Bisa bayangkan ‘gak?? Bisa percaya tidak kalimat itu, bahwa kamu bukan cuma dikasihani, tapi kamu dikasihi; Tuhan delight in you, sebagaimana seorang pelukis senang dengan karyanya, sebagaimana seorang bapak senang/bahagia terhadap anaknya, demikianlah Allah mengasihi kamu!’ Rasanya tidak masuk akal bukan? Siapa di antara kita yang bisa dengan gampang meng-aminkan hal ini?? Itu sebabnya C.S. Lewis mengatakan, ini beban mulia yang pikiran kita tidak sanggup memikirkan, namun inilah realitas di dalam diri Tuhan. Ke-anak-an kita sebagai anak Tuhan adalah suatu beban kemuliaan, inilah satu-satunya identitas yang otentik bagi orang Kristen; dan puasa yang Yesus lakukan adalah puasa demi menghadapi pencobaan terhadap identitas ini.
Puasanya Yesus, sekarang kita bisa terapkan ke dalam puasanya kita; apakah itu, yang darinya kita perlu berpuasa supaya kita bisa menghadapi ujian-ujian akan identitas kita? Saudara perlu tanya dirimu sendiri. Kamu berusaha jadi orang Kristen yang seperti apa? Kamu berusaha menjadi super Christians yang centang (ü) banyak boks, atau bisa puas menjadi orang Kristen yang biasa-biasa saja? Mungkin Saudara mengatakan, “Oh, iya dong, Pak, saya ‘kan kayak begitu; Bapak kayak ‘gak kenal jemaatmu sendiri, jemaat Kelapa Gading ‘kan kayak begitu. Kami cuma ibu-ibu, kami cuma bapak-bapak, kami ‘gak bisa ngapa-ngapain, kami orang-orang biasa yang ‘gak berpendidikan, jangan tuntut kami. Kami tidak ada yang ingin jadi super Christians, kami oke koq jadi orang Kristen yang biasa-biasa saja.” Yakin? Saudara benar mau jadi orang Kristen yang biasa saja, seorang Kristen tok, dan bukan menjadi orang Kristen yang reformed misalnya? Saudara tidak kepingin jadi seorang Kristen yang punya suara kenabian? Saudara tidak kepingin jadi seorang Kristen yang mengerti dengan mendalam? Seorang Kristen yang hatinya peka memperjuangkan orang miskin? Seorang Kristen yang mengabarkan Injil, dan jika tidak maka tidak bisa tidur? Seorang Kristen yang hidupnya dipenuhi mukjizat? Yang terakhir ini –dipenuhi mukjizat– mungkin tidak juga, karena kita anggap itu gereja seberang, namun bukan berarti di gereja kita tidak ada ekuivalensinya.
Saudara lihat, semua ini adalah kecenderungan-kecenderungan yang membuat kita mendasarkan identitas kita di atas sesuatu yang lain selain Kristus! Itu sebabnya dalam merespons panggilan Kristus, kita malah berpaut pada hal-hal tersebut; dan celakanya, sering kali kita tidak menyadari hal-hal tersebut sebenarnya apa. Saudara mengerti sekarang perlunya ada Musim Lent, karena sering kali kita baru menyadari keberadaan sesuatu dalam hidup kita pada momen ketika hal tersebut diambil –itulah padang gurun. Itu sebabnya Yesus dipimpin ke padang gurun, dan itu sebabnya Roh yang sama akan memimpin engkau dan saya ke padang gurun kita masing-masing.
Julie Canlis menulis buku berjudul “A Theology of the Ordinary”. Adalah menarik bahwa orang ini menulis theologi menjadi orang Kristen biasa-biasa, dengan positif; dan orang ini adalah orang yang sangat tepat untuk menulis buku seperti itu karena dia sendiri adalah seorang Kristen perfeksionis gila-gilaan. Julie Canlis adalah seorang Kristen yang serius. Dia mengatakan, waktu Tuhan membawa dia ke dalam pengalaman padang gurun, dia tidak sadar itu padang gurun karena tidak kelihatan seperti padang gurun. Bahkan kalau sampai padang gurunnya benar-benar kelihatan seperti padang gurun, dia akan suka, dia akan senang, karena itu berarti bagi dia kesempatan untuk membuat dia kelihatan seperti orang Kristen yang kokoh, yang dewasa Kekristenannya. Julie Canlis mengaku, dia adalah orang yang selalu mintanya kepada Tuhan seperti ini: “Tuhan, beri saya sesuatu yang benar-benar susah, untuk saya lakukan bagimu, ya Tuhan”. Itulah yang dia minta; dan tentu saja Tuhan tahu, itulah berhalanya, itulah identitas hasil konstruksinya yang sudah rapi-rapi dia susun. Kalau Saudara Tuhan, Saudara akan tempatkan orang ini di mana? Ini orang Kristen yang sangat serius, sangat rajin, sangat dalam mempelajari imannya, sangat aktif menghidupi pelayanannya; dan Saudara mau taruh dia di mana? Waktu kuliah di Westminster University, dia mempersiapkan diri untuk pergi ke India, bhakti sosial di sana –seperti inilah tipe orangnya. Namun, dia mengatakan pengalamannya akan padang gurun adalah dengan Tuhan menghentikan langkahnya pergi ke India, dan malah memanggilnya masuk ke suatu tempat yang dia tidak sangka-sangka, yang tidak kelihatan seperti padang gurun; dan itu adalah sebuah sorority group atau sebuah fraternity group. Saudara mungkin tahu, universitas-universitas di Amerika punya perkumpulan-perkumpulan mahasiswa semacam ini, yang biasa namanya pakai “phi” dan alpha/beta/gamma, dst. Itu tempat-tempat yang Julie paling anggap rendah, karena itu adalah tempat mahasiswa-mahasiswa bergajulan nongkrong, tempat mahasiswa-mahasiswa yang ‘gak ada tujuan hidup, tempat-tempat yang dangkal luar biasa yang tiap kali orang bertemu tujuannya untuk kontes popularitas –siapa yang paling cool, siapa yang bisa bikin party paling asyik, siapa yang tahan minum paling kuat, dsb. Julie mengatakan, “Saya ini orang Kristen; saya ini kerennya justru waktu saya bisa memperlihatkan kepada dunia bahwa saya tidak perlu semua itu, saya tidak perlu kehidupan sosial seperti orang-orang lain itu, saya tidak perlu dating kayak mereka, saya tidak perlu minum-minum, saya tidak perlu kelihatan cool. Saya tidak butuh semua itu, saya orang Kristen, itu yang keren. Itu sebabnya saya maunya ke India. Tapi Tuhan menghentikan saya dan memasukkan saya ke grup itu.” Bukan saja masuk ke grup tersebut tidak bakal bisa mendukung panggungnya untuk menjadi orang Kristen super, tapi juga bahwa Tuhan menghentikan langkahnya dan memanggil dia masuk ke frat group bukan untuk jadi domba di tengah serigala yang sanggup mengubah semua serigalanya menjadi domba seperti dirinya –bukan itu– melainkan hanya untuk diperbaiki, dibengkelin urusan identitas dirinya tadi. Itulah yang dia bilang, paling memalukan. Namun lewat pengalaman seperti inilah Julie sadar apa yang dia perlu pelajari, bukan cuma dalam momen hari itu di perkumpulan mahasiswa itu, tapi seumur hidupnya, yaitu: bukan bagaimana menjadi orang Kristen yang lebih super, melainkan bagaimana belajar menjadi orang Kristen yang dikasihi Tuhan, yang landasan hidupnya, identitasnya, murni hanya karena itu dan cuma itu saja. Belajar untuk berhenti mengejar semua identitas di panggung bikinan dirinya sendiri sebagai seorang super Kristen, karena –ini kalimat bagus yang Julie katakan— “Semua identitas-identitas itu selalu gampang banget saya labelkan ‘demi dan bagi Kristus’, tapi sesungguhnya identitas-identitas itu tidak pernah di dalam Kristus. It’s always for Christ, but it’s never in Him”.
Panggilan kita, adalah untuk kita di dalam Kristus, dan disembunyikan dalam Kristus. Inilah satu-satunya identitas Kristen yang kokoh dan bertahan. Satu-satunya yang bisa menjaga identitasmu secara kokoh adalah hanya Kristus, bukan dirimu, bukan orangtuamu, bukan teman-temanmu, bukan jumlah likes dan follows di sosmed-mu. Saudara bayangkan, kalau Saudara membangun indetitasmu dalam produktifitasmu, maka hari ketika engkau sakit, engkau akan masuk padang gurun. Kalau engkau membangun indetitasmu dalam kekudusanmu, kerohanianmu, maka begitu engkau ada kegagalan dan dosa, engkau akan masuk ke padang gurun yang lain. Silakan Saudara isi masing-masing, “kalau saya membangun identitasku dalam … maka begitu … diambil, saya bisa hancur.” Inilah ironinya pemberhalaan, kita berusaha membangun panggung identitas kita karena kita rasa inilah caranya mengokohkan identitas saya. Kita susun itu lapis demi lapis, tapi ternyata setiap lapisan yang kita susun rapi dalam panggung, itu hanya akan menambah level berantakan yang akan terjadi ketika suatu hari panggung tersebut roboh di padang gurun. Semakin kita berusaha menciptakan sendiri keunikan kita, menggapai sendiri keunikan kita, sesungguhnya semakin kita menghancurkan, membahayakan, meresikokan keunikan kita. Itu sebabnya hanya dalam Kristus keunikanmu terjaga, hanya dalam Kristus identitasmu aman. Inilah paradoksnya kehidupan Kristen, semakin engkau tersembunyi dalam Kristus, semakin engkau menemukan dirimu di sana.
Saudara, apakah keunikan orang Kristen? Orang Kristen tentu harus ada keunikannya dong, Tuhan Yesus sendiri mengatakan, “Dari mana orang-orang bisa tahu kamu orang Kristen kalau kamu tidak beda.” Jadi, memang ada bedanya, kalau begitu kita perlu mencari keunikan kita ‘kan, identitas kita siapa, bedanya kita dibandingkan orang lain apa. Tetapi, pikir-pikir lagi, bukankah semua orang di dunia seperti itu? Kalau semua orang di dunia mencari identitas atas dasar keunikan diri, bedanya diri dibandingkan orang lain, lalu kalau kita juga ikut-ikutan cara yang sama, maka apa bedanya?? Orang Kharismatik kadang menuduh orang Kristen lain kurang mukjizat, “tidak seperti kami”, lalu orang Reformed kadang menuduh orang Kharismatik kurang pengetahuan, “tidak seperti kami”, jadi bedanya apa?? Sama-sama memperjuangkan keunikan dengan cara memperlihatkan apa yang beda; dan kembali lagi kita bilang, “Kalau ‘gak ada bedanya, bagaimana, Pak??” Simalakama. Saudara, jadi apa keunikan sejati orang Kristen? Orang Kristen tahu sesuatu yang orang lain tidak tahu; tapi apakah itu? Mereka tahu bahwa mereka tidak berbeda, mereka tahu bahwa mereka tidak unik, bahwa mereka diselamatkan oleh karena anugerah, bahwa mereka diselamatkan dan diperkenan dan dikasihi sebelum mereka mencapai apapun dalam Tuhan, bahwa Allah memilih mereka bahkan sebelum dunia dijadikan. Itulah bedanya, maka inilah keunikan sejatinya: seorang Kristen harusnya seorang yang justru paling bisa menerima manusia jenis apapun di dunia ini. Keunikan saya sebagai orang Kristen adalah: saya tahu, saya tidak unik. Dan justru itulah keunikan Kristen yang sejati, yang tidak bisa ditemukan di manapun selain pada orang yang ada di dalam Yesus Kristus.
Semua identitas yang lain mendasarkan dirinya pada apa yang saya mampu lakukan, apa yang saya punya, apa yang saya bisa; itu sebabnya ini semua identitas yang membangun rumah di atas pasir, semakin tinggi membangun, semakin spektakuler runtuhnya. Saudara lihat, peran Roh Kudus dalam hidup kita adalah ini: membuat kita mendengar kata-kata yang kita tidak bisa percaya itu, “engkaulah anak-Ku yang Kukasihi, kepadamulah Aku berkenan; bukan karena apa yang engkau bisa berikan, bukan karena apa yang engkau bisa lakukan, tapi hanya karena Aku mengasihimu”. Saudara, yang Roh Kudus lakukan dalam hidup kita adalah membuat kita terus-menerus mendengar hal ini sehingga kita pelan-pelan mulai bisa lebih rileks, bisa lebih melepaskan pegangan kita atas panggung-panggung bikinan kita; untuk menyadari bahwa di dalam Kristus, saya lebih Jethro dibandingkan di atas panggung berjudul “Jethro” itu. Adalah ironis, bagaimana kita selalu terjebak dalam konsep “semakin saya buka pintu bagi Tuhan, maka semakin kecil ruang buat diri saya”; memang benar ada ayat mengatakan “Dia harus bertambah, aku berkurang”, tapi waktu Saudara dikurangi, Saudara diberikan suatu ganti yang lebih dirimu dibandingkan kalau engkau mengikuti kehendakmu sendiri. Identitasmu lebih “engkau’ ketika engkau mengikuti kehendak-Nya.
Semakin kita menemukan identitas kita dalam Kristus, semakin kita secure terhadap segala sesuatu. Buktinya, berapa banyak dosa dalam hidup kita disebabkan karena kita sebenarnya tidak percaya bahwa kita ini sungguh dikasihi? Kenapa di antara kita ada yang sering kali mengejar prestasi mati-matian? Karena kita tidak percaya, kita bisa dikasihi tanpa otak kita. Kenapa sering kali mengejar intimacy dengan orang lain, tidak tahan sendirian, perlu orang lain? Mungkin karena kita begitu insecure terhadap diri kita, sehingga kita senantiasa perlu bukti bahwa kita ini loveable lho, kita ini pantas dikasihi lho –dan itu datang dari keberadaan seseorang yang tangannya selalu memegang tangan kita, maka kita tidak tahan kalau itu tidak ada. Kenapa kita mengejar makanan? Bisa banyak alasan, tapi mungkin karena kita sudah menyerah mencari kasih, karena kita sudah yakin bahwa kita ini tidak pantas dikasihi, jadi ya udahlah, I don’t care lagi, makan saja sebanyak mungkin, karena rasa lapar yang ada di dalam kita adalah rasa lapar yang tidak berhenti ketika perut penuh dengan makanan, rasa lapar akan kasih. Kenapa kita mengkonsumsi pornografi? Karena pornografi tidak bisa menolak kita sebagaimana wanita atau pria yang riil.
Saudara, kita semua punya hal-hal ini, hal-hal yang kita pakai untuk menghibur hati kita yang merasa tidak patut dikasihi itu. Tentu tidak semua dosa kita disebabkan gara-gara ini, tapi paling tidak, saya bisa dengan yakin mengatakan kebanyakan dosa-dosa kita datang dari hal ini. Ketidakyakinan bahwa kita ini dikasihi, membuat kita senantiasa membangun panggung-panggung dalam kehidupan kita. Masa Lent, adalah masa di mana Gereja mengundangmu untuk berpuasa dari hal-hal tersebut, dari hal-hal yang kepadanya engkau senantiasa berpaling untuk membangun panggung-panggung identitasmu. Masa Lent memanggilmu untuk menaruh dirimu di padang belantara 40 hari, untuk melihat apakah kata-kata dari Tuhan “engkau anak-Ku yang Kukasihi, kepadamu Aku berkenan” itu ternyata bisa cukup besar untuk memuaskan dahaga jiwa kita. Itulah masa Lent. Inilah kuncinya untuk mengalahkan berbagai pencobaan dalam hidup kita.
Henri Nouwen, seorang Katolik, pernah melakukan suatu sabbatical, tinggal selama enam bulan dengan suatu komunitas biarawan. Dia menulis dalam jurnalnya: Hanya lewat melihat mereka, saya baru sadar satu hal; biarawan-biarawan itu, perjalanan rohani mereka seumur hidup bukanlah untuk menjadi orang Kristen yang makin lama makin super, makin aktif bagi Tuhan, makin luar biasa pengendalian dirinya, makin luar biasa penyangkalan dirinya –bukan itu–perjalanan rohani para biarawan adalah simply belajar lebih menerima kasih Tuhan bagi mereka. Tindakan iman paling besar –mungkin– yang seorang biarawan bisa lakukan, adalah untuk bisa menerima kasih Tuhan bagi dia. Inilah perjalanan besar iman seorang biarawan, yaitu untuk benar-benar percaya, Tuhan mengasihimu, meskipun sementara kamu makin sadar, makin peka, akan dosa-dosamu, akan kekurangan-kekuranganmu, akan keterbatasan-keterbatasanmu. Godaan terbesar dalam sebuah biara, adalah meragukan kasih Tuhan.
Saudara, masih banyak hal yang kita bisa bicarakan mengenai Lent –bagaimana Puasa ini lebih baik jika dilakukan bukan secara sendiri-sendiri tapi bersama dengan komunitas, bagaimana Puasa ini ada kaitannya dengan Baptisan kita– tapi kita tidak punya waktu untuk hari ini; kita punya waktu di tahun-tahun mendatang, untuk tahun-tahun yang mendatang lagi. Untuk tahun ini, cukuplah kita diperkenalkan kembali akan musim ini, dan doakan tahun depan Gereja kita mulai bukan saja merenungkan tapi juga menjalankan musim ini dengan segala alat-alatnya, ritual-ritualnya, sarana-sarananya. Jadi, kesimpulan dari ‘kenapa Lent perlu ada’ dan ‘bagaimana kita melihat Lent’ adalah bahwa Lent tidak kurang dari suatu kesempatan untuk mendapatkan identitas kita yang kokoh di dalam Tuhan. Itu sebabnya Musim Lent bukan cuma musim puasa, tapi juga musim pertobatan; karena pertobatan dalam Musim Lent bukan cuma urusan kita jadi aware akan dosa-dosa kita yang banyak lebih dari sebelumnya, melainkan juga kita lebih peka akan kasih Tuhan bagi kita yang menerima kita apa adanya, dan bagaimana kita sering kali tidak hidup atas dasar identitas tersebut. Inilah karunia yang kita temukan di padang gurun, kesempatan untuk meruntuhkan identitas-identitas palsu yang kita bangun untuk menipu diri, kesempatan untuk berhenti mengubah batu jadi roti, dan untuk menerima roti dari tangan Tuhan.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading