Kita memasuki Minggu Ke-2 Lent, suatu musim persiapan. Sama seperti Adven adalah musim persiapan, yang mempersiapkan kita masuk ke dalam realitas Tuhan yang datang, maka Lent mempersiapkan kita masuk ke dalam realitas Tuhan yang mati dan bangkit. Jadi kalau kita menyadari bahwa kita butuh masa Adven, harusnya kita juga tidak susah untuk menyadari alasannya kita butuh masa Lent. Namun lucunya, secara umum gereja-gereja Protestan lebih terbuka untuk mengingat Adven dibandingkan Lent. Salah satu faktor penyebabnya, karena Adven dalam liturginya lebih aman, cuma menyalakan lilin satu demi satu dari satu Minggu ke Minggu berikutnya; sedangkan Lent dalam liturginya ada Rabu Abu (orang Katolik dahinya diberi tanda dari abu), ada puasa, ada giving alms kepada orang miskin, sehingga ketika melihat ritual-ritual ini, kita orang Protestan merasa aneh dan bahkan mungkin merasa ini berbahaya karena bukankah kita sudah diselamatkan dari nuansa-nuansa ritualisme ala Katolik Roma seperti itu. Itu juga sebabnya dalam tahun kedua gereja kita menjalankan Kalender Gereja, saya masih belum akan menjalankan liturgi-liturgi tersebut, kita masih pelan-pelan mengajak Saudara mengerti dulu Kalender Gereja-nya.
Adven, mungkin juga lebih menarik bagi orang Protestan karena kita sudah capek dengan budaya Natal duniawi yang terlalu materialistis, dan dengan demikian waktu kita diajak merenungkan Natal melalui kegelapan, maka Adven bahkan refreshing. Adven menarik karena mengajak kita menghindari abuse yang kita rasakan selama ini pada masa Natal; sedangkan Lent mungkin kebalikannya, kita merasa abuse yang terjadi pada masa Lent justru nuansa Katolik Roma tadi yang menantikan Minggu Sengsara dengan segala ritual-ritualnya. Sama seperti Natal di-abuse oleh dunia, mungkin kita merasa Jumat Agung dan Paskah di-abuse oleh pihak-pihak seperti orang-orang Katolik Roma. Merespons hal ini, tentu kita bukan menyangkal adanya abuse dalam hal seperti itu, bahwa sebagian –tidak semua– orang-orang Katolik mungkin telah meng-abuse ritual-ritual tersebut. Mungkin Saudara ada ingatan waktu sekolah dulu, ada anak yang kerjanya ngomong kotor, karakternya jelek, tapi pada Rabu Abu dia muncul dengan abu di dahinya, sehingga kita merasa itu cuma ritual belaka, yang di luar tok putih-putih sedangkan di dalamnya tulang-belulang. Dalam hal ini kita mengatakan, memang bisa jadi seperti itu tapi bisa juga tidak, hanya Tuhan yang mengetahui hati.
Tetapi, hal kedua yang lebih penting adalah: kita perlu bertanya, kalau itu ritual yang mungkin salah atau tidak baik, lalu kita sendiri bagaimana? Apa yang kita lakukan untuk mempersiapkan diri kita bagi Jumat Agung dan Paskah? Secara umum, dalam tradisi Gereja Protestan memang tidak ada persiapan rohani semacam itu untuk mengingat kembali peristiwa Jumat Agung dan Pasakah setiap tahunnya. Ironisnya, ini event yang bagi orang Protestan merupakan sentral; bahkan bagi Paulus pun ini event yang sangat sentral dalam Kekristenan. Kita merasa, waktu orang lain mempersiapkan Paskah sampai tujuh minggu dengan segala ritual-ritualnya, itu sesuatu yang kebablasan, seakan lebih kafir daripada Kristen, namun mungkin dalam hal ini kita lebih perlu introspeksi dan bertanya sebenarnya siapa yang kafir di sini, kalau kita sendiri sama sekali tidak ada suatu bentuk persiapan hati bagi event yang besar ini. Apakah kita simply menghindari bentuk-bentuk luar karena kita sudah tahu dalamnya busuk anyway, jadi biarkan saja, tidak usah dipoles-poles, biarkan saja busuk luar dalam, setidaknya jadi tidak munafik? Kalau demikian, ya, sudah pasti kita tidak lebih baik.
Di satu sisi, memang mengikuti ritual belaka secara mekanis sudah pasti salah, namun saya rasa sama salahnya kalau kita lantas membuang sama sekali persiapan jenis apapun dalam menantikan kematian dan kebangkitan Yesus. Inilah yang kita mau lakukan dalam musim Lent; kita bukan mau terjebak dalam ritualisme mekanis, tapi kita juga bukan mau jatuh ke ekstrim berikutnya di mana kita throwing the baby out with the bathwater (membuang air mandi bayi dan bayinya ikut terbuang). Tuhan Yesus sering kali menkritik orang Farisi yang berdoa dan berpuasa dengan motifasi yang salah, misalnya karena ingin dilihat manusia, tapi Tuhan Yesus tidak serta-merta mengatakan tidak usah lagi berdoa atau berpuasa, Tuhan Yesus mengajarkan apa sesungguhnya motivasi dan sikap yang tepat di balik doa dan puasa. Jadi ini berarti hal-hal itu akan dilanjutkan terus.
Dalam minggu-minggu ini kita mau coba menyelidiki kembali, apa sesungguhnya maksud dan tujuan yang alkitabiah di balik perjalanan Gereja dalam Lent setiap tahunnya. Kita sudah memulainya minggu lalu, kita lanjutkan minggu ini dan seterusnya sampai Jumat Agung dan Paskah. Sekali lagi, tahun ini kita belum akan menjalankan Liturgi Lent secara full –dengan abu, puasa, dsb.– namun paling tidak di sini Saudara jadi bisa melihat apa maksud dan tujuan di balik hal-hal yang eksternal itu, dan apa yang terjadi ketika kita membuangnya sama sekali, yaitu iman kita jadinya iman yang murni internal tok, di hati tok, atau bahkan di otak tok; iman jadi semacam sistem keyakinan, ‘saya percaya seperangkat kalimat-kalimat mengenai Tuhan’. Iman dalam Alkitab tidak bisa seperti itu, iman dalam Alkitab selalu ada aspek embodiment-nya, iman itu dihidupi dan tidak cuma disetujui, iman menuntut keseluruhan hidup kita –otak, hati—tapi juga tangan dan kaki. Inilah salah satu tujuan adanya Lent, mengungkapkan kepada kita sejauh apa dan setotal apa sesungguhnya hidup kita dituntut di hadapan Tuhan.
Perikop Minggu Ke-2 Lent hari ini diambil dari Lukas 13:31-35. Namun kita tidak cuma akan membahas dari satu bagian ini saja, kita akan membahasnya secara unit, secara lebih kontekstual, dan kita akan melihat ada tujuh kisah yang oleh Lukas dibahas jadi satu kesatuan dalam pasal 13-14, meskipun sering kali kita melihatnya terpisah-pisah dan tidak berhubungan.
Lukas 13:22-14:35 (Jalan yang Sempit)
13:24 –> Jawab Yesus kepada orang-orang di situ …
13:32 –> Jawab Yesus kepada mereka (orang Farisi) …
14:3 –> Lalu Yesus berkata kepada ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi itu …
14:7 –> Ia mengatakan perumpamaan ini kepada mereka (tamu-tamu pesta) …
14:12 –> Yesus berkata juga kepada orang-orang yang mengundang Dia …
14:16 –> Tetapi Yesus berkata kepada-nya (salah seorang tamu) …
14:25 –> Sambil berpaling Ia berkata kepada mereka (orang banyak) …
Lukas 13:22-14:35 pada dasarnya merupakan satu unit, dan ada 7 kisah berbeda namun semuanya berhubungan, Lukas menyatukan kisah-kisah tersebut. Dari mana kita tahu? Ini bukan tebak-tebakan kita, melainkan karena Lukas memberikan dengan cukup jelas bahwa ketujuh cerita tersebut dibingkai dalam mode yang sama, yaitu Yesus sedang merespons sesuatu, baik itu yang dikatakan orang ataupun yang terjadi di hadapan-Nya. Saudara lihat, di setiap bagian tersebut ada Yesus menjawab, Yesus berkata, Yesus mengatakan, dst., sehubungan orang-orang atau hal-hal yang terjadi di hadapan-Nya. Kita akan coba melihat, apa yang sedang mau diutarakan lewat ketujuh bagian ini.
Kita mulai dengan dua kisah yang pertama, Lukas 13:22-35, “Siapa yang Diselamatkan” dan “Keluhan Yesus terhadap Yerusalem”. Dalam skema tadi, untuk seluruh ceritanya saya taruh judul yang sama, yaitu “Jalan yang Sempit”. Ini diambil dari kisah yang pertama, ada orang bertanya kepada Yesus, “Apakah yang diselamatkan sedikit saja?” lalu Tuhan Yesus mengatakan, “Ya, pintunya sempit”. Jadi saya rasa “Jalan yang Sempit” ini judul yang bukan hanya mewakili kisah pertama tapi juga keseluruhan tujuh kisahnya, mungkin karena Lukas ingin membahas dari ketujuh kisah ini apa artinya pintu Kerajaan Allah yang sempit itu.
Sebelum masuk ke kisah pertama, kita perlu membawa dulu ke permukaan, apa yang terpendam, yaitu bahwa iman Kristen itu iman yang sempit. Kita perlu menyadari ini. Mungkin kita terbiasa mendengar bahwa kita harus memilih pintu yang sempit dibandingkan pintu yang lebar, tapi kita kadang-kadang ‘gak nyambung bahwa sebenarnya hal-hal yang sempit itu bukan hal-hal yang positif di kepala kita, apalagi pada zaman kita. Kita mungkin lebih gampang mengira dunialah yang punya problem dengan kesempitan Kristen; tetapi, unit pengajaran hari ini akan mengekspos betapa kesempitan Kristiani dalam Alkitab adalah skandal bahkan bagi Saudara dan saya.
Omong-omong, Alkitab tidak pernah malu dengan kesempitan seperti ini. Kekristenan memang sempit, bagi Alkitab. Pintu masuknya sempit, tidak semua orang bisa masuk. Dan, hal ini bukan sesuatu yang mengenainya kita perlu minta maaf/permisi; realitas dunia memang seperti itu koq. Orang main bola, jelas tidak bisa mencetak gol dengan menendang bolanya ke sembarangan semua tempat; yang namanya gol, semua juga tahu itu dibatasi, gol hanya terjadi ketika bolanya masuk melewati ruang yang sempit, di antara dua tiang gawang yang kecil itu, yang kalau dibandingkan dengan keseluruhan lapangannya tentu kecil banget, sempit sekali. Namun itulah kesempitan; dan memang dunia seperti itu, koq. Seorang pilot jelas tidak bsa mendaratkan pesawatnya sembarangan di segala tempat kalau dia mau mendarat dengan selamat, dia terbatas hanya bisa mendarat dalam kesempitan bandara; di bandara pun tidak semua tempat boleh, ada penyempitan lagi, yaitu hanya di landasan; landasannya pun tidak setiap kali, harus tunggu waktu yang sempit yang ditentukan oleh tower, dst. (Saudara tentu ingat apa yang terjadi belum lama ini, ketika pesawat Jeju Air melewati batas kesempitan landasan). Jadi, ketika hal-hal yang biasa dalam hidup kita saja kayak begitu, jangan heran ketika Kekristenan itu sempit. Yang dibahas Lukas dalam bagian ini jauh melampaui semua itu; ini mengenai pintu kepada hidup yang hidup yang kekal, pintu kepada Kerajaan Allah, maka jangan heran kalau pembatasannya dan kesempitannya pun bertambah-tambah. Inilah yang akan kita lihat; dan sebelum kita nanti syok akan seberapa sempitnya pintu masuk ke dalam Kerajaan Allah ini, kita musti membereskan dulu bahwa kita tidak usah terlalu heran ketika hal tersebut terjadi, bahwa seluruh tema dari ketujuh episode ini membahas bahwa keselamatan hanya bisa ditemukan dalam kesempitan ini.
Narasi yang pertama, ‘sedikit sajakah orang yang akan diselamatkan’; ada orang bertanya kepada Yesus, “Tuhan, sedikit sajakah orang yang akan diselamatkan?” Satu hal menarik, waktu Tuhan Yesus merespons orang, kita tidak pernah bisa expect jawabannya kayak apa, selalu out of the box. Di sini orang tanya mengenai mereka yang diselamatkan, tapi Tuhan Yesus mengubah jawabannya menjadi tantangan yang personal, “kamu” –mengenai kamu. Tuhan Yesus tidak tertarik dengan debat teologis yang cuma urusan curiosity. Ada beberapa kali Tuhan Yesus membalas pertanyaan-pertanyaan theological curiosity kayak begini, ‘berapa banyak yang diselamatkan’, dengan tantangan yang bersifat personal, ‘kamu’: kamu akan berdiri di luar, kamu akan mengetuk-ngetuk pintu, kamu akan berkata ‘bukakan kami pintu’, kamu akan berkata ini dan itu, dst. –tantangan personal.
Bukan cuma itu yang mengagetkan, dalam bagian ini Saudara lihat bahwa orang itu bertanya urusan jumlah yang diselamatkan, dan Tuhan Yesus merespons dengan basically bicara urusan kapan keselamatan itu datang. Tuhan Yesus mengatakan, “Pintunya sekarang masih terbuka, tapi nanti kalau pintunya sudah tertutup, tidak akan ada lagi kesempatan untuk masuk; kalau kamu telat, kamu bisa mengatakan banyak alasan untuk jadi dasar diperbolehkan masuk –bahwa kamu pernah table fellowship dengan Sang Tuan Rumah, kamu pernah mendengar pengajaran-Nya, dsb.– tapi itu ‘gak ngaruh, faktanya kamu yang sudah pernah table fellowship ini, kamu yang pernah mendengar pengajaran ini, tidak mengambil kesempatan untuk melangkah masuk melalui pintu yang sempit ketika pintu masih terbuka”. Kenapa Tuhan Yesus membalas pertanyaannya seperti ini? Tanya apa, jawabnya lain; tanya mengenai jumlah yang diselamatkan itu sedikitkah, jawabannya mengenai kapan keselamatan itu datang. Ini menarik karena Tuhan Yesus seperti menyeleweng dari pertanyaannya, namun jawaban tersebut justru sangat tepat.
Kalau Saudara tanya ‘sedikitkah jumlah orang yang diselamatkan’, berarti Saudara sedang menaruh urusan ini dalam hal ‘siapa yang bertanggung jawab sehingga sedikit orang yang diselamatkan, adalah si yang menyelamatkannya itu’. Namun dengan mengubah pertanyaannya, Tuhan Yesus membuat kita menyadari bahwa yang membatasi jumlah orang yang diselamatkan, yang membuat orang yang diselamatkan jadi sedikit, bukanlah karena ada kuota tertentu yang begitu sudah full maka tidak bisa masuk lagi; bahwa hal tersebut begitu terbatas, poinnya adalah karena orang-orang tidak mengambil kesempatan itu, tidak bertindak selagi masih ada kesempatan. Jadi problemnya bukan di sana (Tuhan), problemnya di sini (manusianya). Ini poin yang pertama, pintunya sempit karena waktunya sempit.
Narasi yang kedua, mengenai ancaman Herodes. Dalam episode ini, tentunya ada poin di mana Yesus sedang membongkar bahwa Herodes itu cupu, ‘gak ngefek sama sekali; Tuhan Yesus punya jadwal pelayanan sendiri. Dia mengatakan, “Aku punya dua hari lagi; hari ini dan besok Aku akan melayani, pada hari yang ketiga Aku akan kelar –ini akan terjadi, bodo amat Herodes mengancam atau tidak”.
Omong-omong, Herodes di bagian ini adalah Herodes Antipas. Dia bukan raja, dia adalah tetrakh (artinya salah satu penguasa dari empat daerah). Dia salah satu dari empat anak Herodes Agung, dan dalam hal ini dia menguasai daerah Galilea. Kuasanya terbatas, dan dia bisa berkuasa di situ sebenarnya hanya karena Romawi memberikan kuasa tersebut. Jadi Herodes ini raja boneka; sementara Yesus mengatakan, “Aku melakukan pekerjaan yang riil, dengan kuasa yang riil; Aku mengusir setan, aku menyembuhkan orang —Herodes bisa apa?”
Saudara juga bisa melihat di bagian ini pola yang sama dengan kisah yang pertama, mengenai kesempatan dan waktu. Dikatakan ‘dua hari’ Yesus melayani; ini adalah hari-hari Dia ingin menarik anak-anak Yerusalem kepada-Nya seperti seekor induk ayam. Dua hari Ia akan menjalankan hal ini, namun pada hari yang ketiga pekerjaan-Nya akan selesai, dan dengan demikian kesempatan untuk anak-anak ayam bisa berlindung di balik sayap-Nya pun akan selesai. Jadi kisah kedua maupun kisah pertama tadi menekankan hal yang sama, urgency, pintu Kerajaan Allah sempit, dalam arti tidak selamanya ada waktu untuk masuk melaluinya. Demikian dua kisah yang pertama.
Empat kisah berikutnya (kisah ke-3, 4, 5, 6) terjadi dalam satu momen yang sama, satu Sabat yang sama (pasal 14:1-24). Kita mulai dengan kisah ketiga, jawaban Yesus kepada ahli-ahli Taurat dan orang Farisi. Adegannya adalah satu pertemuan dinner Sabat, ada banyak orang di sana, ada orang-orang Farisi juga; dan mereka ini dikatakan ‘mengamat-amati Yesus’ (ini bukan mengamati soal pakai tas brand apa, melainkan mengamati dalam arti cari kesempatan untuk menyerang). Lalu muncul seseorang yang sakit busung air, dan Yesus tidak menunggu mereka menyerang, Yesus langsung mengantisipasi dengan melepaskan beberapa tembakan.
Pertama, Dia bertanya ‘apakah boleh menyembuhkan pada hari Sabat, atau tidak’. Semua dari mereka diam, karena kalau mereka jawab ‘boleh menyembuhkan’, mereka akan jadi pelanggar hukum menurut standar mereka sendiri. Mereka ini mungkin sekali sedang menunggu-nunggu Yesus melakukan sesuatu hal yang melanggar Hukum Sabat dengan menyembuhkan orang, jadi waktu Yesus mengatakan demikian, Dia sedang merespons apa yang ada dalam hati mereka. Mereka tidak mungkin menjawab ‘boleh menyembuhkan’, karena itu akan membuat mereka jadi pelanggar hukum Musa, yang dalam tafsiran mereka melarang untuk menyembuhkan orang pada hari Sabat. Tapi kalau mereka menjawab ‘tidak boleh’, ini akan mengekspos kegelapan/ kekejaman hati mereka di hadapan banyak orang, maka mereka diam karena mereka tidak ingin terekspos ke kiri atau ke kanan.
Yesus pun melepaskan pertanyaan yang kedua, yang membuat mereka mau tidak mau terbongkar; Yesus mengatakan: “Hukum Sabat, bagi kamu melarang orang untuk menyelamatkan binatang yang jatuh ke sumur pada hari Sabat, ya; tapi kalau yang jatuh itu binatang-mu, atau bahkan anak-mu, siapa yang bakal mikir-mikir dulu sebelum menarik mereka keluar??” Dengan pertanyaan seperti ini, Tuhan Yesus mau membongkar bahwa bukan cuma belas kasihan melampaui hukum Sabat, tapi bahkan sifat orang yang mau menjaga keuntungan pribadi, menjaga propertinya sendiri, ternyata juga melampaui hukum Musa. Para orang Farisi ini sok-sok-an mengatakan mau menjalankan hukum dan aturan, dan bahkan menuntut orang lain melakukannya juga, tapi mereka sendiri ternyata ‘gak segitu inflexible-nya, mereka sendiri ternyata bisa membelokkan peraturan-peraturan itu kalau sudah kepepet, cuma lip service tok.
Sekali lagi, waktu kita melihat orang Farisi diserang Tuhan Yesus, kita perlu menempatkan diri di tempat yang tepat. Bukan ikut hina-hina mereka, tapi kita mengambil sikap reflektif, karena urusan iman yang tidak konsisten seperti ini bukan cuma kesalahannya orang Farisi, kita semua juga mungkin sama. Kita mengklaim diri Kristen, murid Kristus, Gereja, tapi kita mungkin tidak tahu –atau bahkan tidak peduli– apa sesungguhnya yang Kristus katakan mengenai Gereja-Nya harusnya kayak apa. Saudara tentu tahu waktu kita bikin rapat, harus ada keputusan, ini penting; namun lebih penting dari keputusan sebuah rapat adalah follow up-nya, ada pelaksanaannya, tidak bisa cuma memutuskan doang lalu setelah itu tidak dikerjakan, apa gunanya?? Perlu ada konsistensi. Ada keputusan, perlu ada tindak lanjutan; ada keputusan, perlu ada keberanian dan perjuangan untuk benar-benar menjalankan keputusan tersebut sampai semuanya terjadi, sampai pada semua konklusi-konklusinya, dan dengan menerima semua efeknya. Itu baru namanya keputusan yang tepat. Inilah pintu yang sempit dari Kerajaan Allah bagi Lukas; tidak ada tempat untuk Saudara masuk dengan iman yang setengah jadi, tidak ada tempat untuk Saudara masuk dengan sekadar setuju atas keputusan ini tapi kemudian tidak ada follow up-nya. Kita akan melanjutkan ceritanya, dan Saudara akan melihat hal ini lebih jelas lagi.
Cerita yang keempat, mengenai perumpamaan pertama dalam bagian ini: kalau kamu datang ke pesta, jangan duduk di tempat kehormatan, nanti kamu dihina; sedangkan kalau kamu duduk di tempat yang hina, kamu mungkin justru akan dihormati, dst. Ada sesuatu yang mau diberitakan Tuhan Yesus bagi kita, bahwa aturan main seperti ini ternyata juga berlaku dalam hal keselamatan. Kalau Saudara datang ke dalam Kerajaan Tuhan dengan merasa diri qualified, Saudara akan menemukan dirimu dicap tidak qualified –exactly karena Saudara merasa dirimu qualified. Ini sesuatu yang sebenarnya bukan cuma berlaku di Kerajaan Allah, ini sesuatu yang sangat practical, karena kita tahu bahwa orang yang mengangkat dirinya akan diturunkan, orang yang senantiasa jaim adalah orang yang image-nya justru paling rusak.
Kita tahu, produk yang iklannya paling banyak di mana-mana justru adalah produk yang orang paling malas membelinya. Iklan pun bisa too much. Bayangkan saja kalau Saudara buka website lalu keluar iklan ‘kamper pengusir kucing’, lalu buka website lain juga muncul iklan yang sama, ‘kamper pengusir kucing’. Saudara kesal, lalu sekarang buka Tokped, dan di Tokped-mu muncul juga si ‘kamper pengusir kucing’. Saudara kemudian pergi ke Hypermart, dan di pintu depan ada spanduk ‘diskon kamper pengusir kucing’. Saudara lagi mandi, lalu terdengar dari luar mobil lewat dengan pengeras suara seperti mobil jualan tahu bulat tapi ini jualan kamper pengusir kucing. Kalau seperti itu, saya berani jamin Saudara tidak bakal mau beli kamper pengusir kucing itu; bodo amat rumah Saudara diganggu kucing seberapa banyak, Saudara tidak akan mau beli barang itu.
Yang mempromosikan diri terus-menerus, akan direndahkan, ini pragmatis, kita tahu ini memang benar. Namun yang mencengangkan, Yesus membukakan bahwa inilah juga inti dari realitas rohani kita di hadapan Tuhan. Kalau kita datang di hadapan Tuhan dan mengatakan, “Saya patut diterima”, maka kita akan ditolak, karena itu menunjukkan apa yang sesungguhnya ada di dalam hati kita; tapi ketika engkau datang di hadapan Tuhan dan mengatakan, “Aku patut ditolak, aku hanya bisa meminta anugerah”, maka engkau akan memperoleh penerimaan –itulah Injil. Ini pintu yang sempit, Saudara, karena kalau Saudara mau masuk ke dalamnya, Saudara tidak bisa membawa kualifikasi-kualifikasimu. Waktu Saudara berusaha masuk ke dalamnya dengan membawa semua status, pencapaian, semua yang Saudara rasa baik dan membuat engkau terlihat baik di mata siapapun, Saudara malah tidak akan bisa masuk, Saudara malah akan terdiskualifikasi. Tidak ada yang bisa masuk pintu yang sempit itu, kalau dia kukuh membawa serta bagasi staus-status dan kepentingan dirinya.
Cerita yang kelima, kalimatnya ditujukan kepada orang yang mengundang Yesus, karena Yesus sedang bicara sesuatu mengenai mengundang orang. Yang Yesus bicarakan di sini adalah sebuah prinsip dalam skala yang kosmis, universal, yaitu bahaya dari sikap yang kalkulatif, kalau kamu mengundang orang, kamu undang buat apa; kamu undang orang yang kaya, yang oke, karena dengan demikian kamu juga diundang?
Zaman itu relasi masyarakat memang demikian –bahkan sampai zaman sekarang–karena ada sistem yang biasa dinamakan sistem patronage, masing-masing orang menjadi patron bagi yang lain —kalau bikin pesta, undanglah orang-orang yang setara atau lebih tinggi, jangan undang orang yang lebih rendah, ngapain; kamu undang orang yang lebih tinggi supaya suatu hari hidupmu bisa dipermudah ketika kamu bertemu mereka lagi mau minta izin atau lainnya, orang tersebut akan mengatakan, “O, ya, ya, ini orang baik, saya pernah dijamu makan di rumahnya, makanannya cukup enak”, dsb., sehingga kamu bisa mendapatkan hal-hal yang mempermudah hidupmu.
Mengadakan perjamuan, itu tidak murah, tapi kenapa banyak orang melakukan? Karena ini investasi; dan ini investasi yang pada akhirnya selalu berhasil. Demikian juga halnya dengan kita; berapa banyak kebaikan dalam hidup yang kita lakukan itu simply kebaikan yang tanpa pamrih? Jarang ‘kan. Banyak hal yang kita lakukan dalam hidup ini, dilakukan dalam sebuah pengharapan bahwa suatu hari nanti somehow ada benefit-nya buat kita. Dan, concern untuk keuntungan pribadi seperti ini pun harus dilepas, jika seseorang mau masuk melalui pintu yang sempit itu. Ada sebuah hymn Latin tua yang kata-katanya mengatakan sbb.: kenapa saya ingin mengasihi Tuhan, bukan untuk mendapatkan surga, dan bukan juga supaya tidak masuk neraka; bukan dengan harapan untuk mendapatkan sesuatu atau untuk dihadiahi sesuatu, tapi kita mengasihi Tuhan sebagaimana Dia mengasihi kita apa adanya, bukan untuk sesuatu melainkan untuk kita.
Cerita yang keenam, perkataan Yesus kepada seorang tamu. Tamu ini mengeluarkan kalimat yang tentunya tidak salah, dan juga bisa disetujui banyak orang: “Alangkah berbahagia-nya kalau orang diundang masuk ikut dalam perjamuan yang Allah berikan”. Ini orang yang sudah mengalami perjamuan di rumah-rumah, lalu mengatakan, “Berbahagialah orang yang akan dijamu dalam Kerajaan Allah”, kelihatan rohani, lewat hal yang kelihatan dia membicarakan hal yang tidak kelihatan. Semua orang bisa mengangguk-angguk mendengar-nya, namun Yesus merespons dengan mengatakan: “Ya, sekarang lu ngomong kayak begitu, tapi nanti ‘gak tentu lho; ketika harinya tiba, ketika perjamuan itu akhirnya tiba, ‘gak tentu!”
Dalam cerita ini Tuhan Yesus lalu memberikan satu perumpamaan: seorang tuan rumah yang mengundang orang, lalu dia mengirim hamba-hambanya untuk mengonfirmasi undangan tersebut. Bahwa undangan itu bisa dikonfirmasi, berarti orang-orang tersebut sudah diundang dan sudah RSVP, sudah mengatakan “yes”; tuan rumah tidak bakal suruh hamba-hambanya datang mengingatkan, kalau mereka tidak bilang “yes” waktu pertamanya, jadi artinya ini sudah kedua kali. Namun ketika diingatkan, semua dari mereka ada alasan, saya baru punya ladang, saya baru beli lembu, saya baru kawin, dsb. Kenapa mereka melakukan hal seperti ini? Tentu saja karena undangan tersebut ternyata tidak sebegitu berharganya di mata mereka. Waktu menerima undangannya, mereka mengatakan, “Berbahagialah orang yang akan dijamu dalam perjamuan Allah”, tapi pada saat pesta itu benar-benar tiba, ternyata ada hal-hal lain yang lebih penting, lebih berharga. Saudara, ini bicara apa? Prioritas; dan prioritas seperti itu pun harus ditanggalkan kalau kita mau masuk melalui pintu yang sempit.
Ada satu cerita, seorang petani mempunyai sapi. Sapi ini suatu hari hamil, dan si petani bahagia sekali, karena dia sedang dalam satu situasi di mana ternaknya sudah cukup banyak untuk bisa self-sufficient menjalankan farm, sehingga kalau ada satu lagi yang hadir, ini jadi ekstra/bonus yang bisa dijual untuk mendatangkan profit sangat besar. Sementara dia menunggu, sapi ini melahirkan anak sapi kembar. Ini berarti dia akan dobel profitnya, tadinya akan mendapatkan sejumlah A, sekarang jadi 2A, dua kali lipat. Dia berpikir baik-baik, lalu bilang kepada istrinya: “Kita ini orang Kristen, kita mendapat berkat Tuhan besar seperti ini; nanti waktu kita jual dua anak sapi ini, separuh hasilnya kita beri kepada Tuhan, karena kita tidak sangka-sangka dapat anak sapi kembar”. Istrinya mengatakan, “Ya, boleh, itu bagus, sangat rohani.” Beberapa minggu kemudian, si petani masuk rumah dengan wajah pucat pasi, lalu istrinya tanya, “Kenapa?” Ternyata kedua anak sapi itu sakit parah, mungkin bisa mati. Beberapa hari kemudian si suami kembali masuk ke rumah, kali ini dengan wajah sangat sedih, lalu istrinya tanya, “Bagaimana kabarnya?” Suami ini bilang, “Ada satu yang sembuh, dan satu lagi tidak tertolong, mati; yang mati anak sapinya Tuhan”. Istrinya bingung, memangnya kapan kita pernah dengan jelas menentukan yang mana anak sapi kita, yang mana anak sapinya Tuhan?? Poinnya adalah: dalam hidup kita ini yang mati selalu anak sapinya Tuhan.
Kita punya prioritas, ada hal-hal yang kita mau beli, ada hal-hal yang kita mau lakukan, ada hal-hal yang kita mau kerjakan; dan poinnya: selalu yang mati adalah anak sapinya Tuhan.Saudara, kita harus tahu satu hal, waktu kita memprioritaskan Tuhan, itu tidak pernah cuma berarti kita memberikan kepda Tuhan dengan rela hati; hampir tidak pernah seperti itu. Kalau Saudara memberikan prioritas kepada Tuhan, itu berarti Saudara juga memberikannya secara berkorban, tidak mungkin tidak. Giving priority, selalu means giving sacrificially. Selalu.
Dalam PA kita sedang membahas hal ini, kita melihat contoh-contohnya di Alkitab. Waktu orang dalam Alkitab dikatakan ‘taat, mendengar suara Tuhan’, itu artinya kayak apa? Orang mengatakan, “Ya, saya mau mendengar suara Tuhan, itu ‘kan kayak begini: Tuhan beritahu saya sesuatu, saya mendengar suara-Nya, dan saya ikut. Jadi kayak ikutin GPS ‘kan, Tuhan mengatakan ‘300 meter ke depan belok kiri’, maka saya ikut. Saya mau ikut Tuhan, tidak ada masalah ikut Tuhan seperti itu”. Tapi Saudara tidak pernah melihat kayak begitu di Alkitab. Taat kepada Tuhan, memprioritaskan suara Tuhan, itu selalu tabrakan dengan hal-hal yang lain. Taat kepada Tuhan, mendengar suara Tuhan, itu selalu tabrakan dengan apa yang mata kita lihat. Adam dan Hawa, waktu mereka disuruh taat suara Tuhan, itu berarti melawan apa yang mata mereka lihat, bahwa buah itu kelihatannya baik di mata mereka, buah itu menjadi hasrat mereka, namun Tuhan mengatakan “tidak boleh”; itulah yang namanya mendengar suara Tuhan. Abraham, waktu mendengar suara Tuhan, itu berarti dia mengurbankan anaknya yang tunggal di mezbah, mati bagi Tuhan. Musa, waktu dipanggil oleh Tuhan, mendengar suara Tuhan, maksudnya berarti Musa harus menelan ‘bahwa saya ini bukan orang yang tepat, Tuhan, jangan panggil saya, saya tidak pandai bicara, tidak bisa, bukan saya’; dan Tuhan mengatakan ‘kamu dengar suara-Ku, artinya kamu prioritaskan diri-Ku di atas apa yang kamu lihat, kamu rasakan, kamu pikir’. Itulah Saudara, yang namanya mendengar suara Tuhan.
Kalau kita kembali pakai ilustrasi Google Maps/GPS, ilustrasinya bukanlah Saudara diberikan suatu rute lalu Saudara harus mengikuti 300 meter belok ke mana. Tidak seperti itu. Yang terjadi adalah: Saudara enter address-nya di Google Maps, lalu Saudara diberikan beberapa rute, dan Google Maps memilihkan rute mana yang menurut dia paling cepat; tapi berhubung Saudara sudah pengalaman menyetir di Jakarta, melihat rute tersebut Saudara akan mengatakan ‘tidak mungkin ini jalan yang paling cepat, jalan itu selalu macet, pasti ada jalan lain; atau bisa saja jalan yang itu sedang lampu merah dan Google Maps tidak tahu; atau jalan yang ditunjukkan itu jalan tikus yang cuma bisa dilewati motor, Google Maps ini ‘gak bisa dipercaya’. Itulah Saudara, artinya bergumul dalam iman. Kalau Saudara mau pakai ilustrasi Google Maps, selalu seperti itu.
Saudara lihat, untuk masuk lewat pintu yang sempit, tidak bisa ada hal-hal lain kayak begini; orang banyak datang ke pintu itu membawa segala sesuatu. Membawa ide-idenya sendiri mengenai Kekristenan; dan itu semua musti dilepas. Membawa status dan reputasinya; tidak bisa juga, itu semua musti dilepas. Membawa kalkulasi keuntungan yang bisa didapatkan; itu juga harus lepas. Dan, priorotasmu, timbangan-timbanganmu mengenai apa yang dalam hidupmu kauanggap lebih berharga atau kurang berharga, itu semua juga harus dilepas. Semua harus dilepas untuk masuk melalui pintu yang sempit ini. Terlalu sempit untuk mebawa semua barang tersebut. Ayub mengatakan ‘telanjang aku datang, telanjang aku pergi’; dan pada dasarnya Lukas di sini juga sedang mengatakan hal yang sama: telanjang jugalah aku harus masuk ke dalam Kerajaan Allah.
Cerita-cerita dalam Lukas ini benar-benar satu unit, bukan kebetulan cerita-cerita ini digabung jadi satu. Seperti tidak berhubungan, tapi lihat, ada tema yang sama. Inilah tempat di mana semua orang datang ke perjamuan dengan baju-baju mereka yang mewah, namun basically Tuhan Yesus menelanjangi mereka habis-habisan. Itulah realitas Kerajaan Allah. Yang datang dengan baju mewah, ditelanjangi; yang datang untuk mengambil dari meja, mejanya dikosongi. Nyanyian Maria di awal kitab Lukas, yang Maria katakan mengenai Yesus adalah bahwa Yesus akan menurunkan mereka yang berkuasa dari takhta, yang kaya Dia usir pergi dengan tangan hampa. Segala sesuatu haru dilepaskan untuk mengikut Yesus. Kalau Saudara tidak percaya bahwa semua cerita-cerita ini mengarah ke sana, lihatlah cerita yang terakhir, cerita yang ketujuh.
Cerita yang ketujuh, Yesus berbicara kepada orang banyak (14: 25-35). Ini bagian terakhir dari ketujuh ceritanya, dan ini adalah sebuah summary dari enam kisah sebelumnya, ketika Yesus beralih kepada orang banyak. Orang banyak ini mengikut Dia dengan antusias, karena berasumsi bahwa Kerajaan Allah itu seperti yang mereka pikirkan –kebangkitan Israel secara politis, Yesus jadi raja orang Yahudi dan berarti menurunkan Herodes serta Pilatus/Romawi. Mereka datang dengan kalkulasi seperti ini. Mereka datang dengan membawa neraca nilai mereka. Mereka datang dengan membawa ide-ide mereka sendiri. Namun Tuhan Yesus tahu itu, Dia bukan sedang mencari penonton, Dia mencari pengikut. Dia tidak mencari orang-orang yang curious ‘Yesus itu siapa’, Dia mencari orang-orang yang punya komitmen.
Inilah pintu sempit aspek yang terakhir: komitmen. Pada bagian ini komitmen diberitakan dalam empat hal. Yang pertama, Tuhan Yesus mengatakan: “Barangsiapa mau mengikut Aku, ia harus benci dengan keluarganya”. Saudara jangan khawatir, di sini kita tidak disuruh menghina-hina orangtua kita, kita tidak disuruh membuat anak kita kelaparan; ini simply gaya bahasa Semitik pada zaman itu untuk mengungkapkan bahwa saya mengasihi sesuatu sebegitunya sampai-sampai terhadap yang lain kayak benci. Ini bicara prioritas, bicara mengenai mengasihi Tuhan sebegitu melampaui kasih-kasih yang lain. Yang kedua, harus siap mengikut Yesus dalam salib, artinya siap mati bersama-Nya. Yang ketiga, gambaran mendirikan bangunan, artinya harus hitung cost-nya, harus siap bayar harganya, jangan sampai investasi bodong. Yang keempat, ini pertempuran, harus direncanakan strateginya, harus pikir apakah kita bisa kuat melawan sampai menang atau tidak. Inilah pintu Kerajaan Allah, pintu yang benar-benar sempit. Tidak ada tempat untuk masuk dengan kalau begini bagaimana, kalau begitu bagaimana, nanti bagaimana, dsb.
Kalau Saudara masih belum yakin, lihat tiga ayat yang terakhir, ayat 33-35, ini summary-nya: “siapa yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi murid-Ku” –siapa yang tidak rela ditelanjangi, tidak bisa menjadi murid, Saudara hanya bisa menjadi murid jika Saudara rela menanggalkan segala sesuatu. Itulah yang Yesus katakan yang membuat murid jadi murid, sama seperti yang membuat garam jadi garam,; tanpa ini, ngomong tok. Inilah yang namanya pemuridan dalam Kerajaan Allah. Kapan waktunya? Sekarang, sempit, tidak ada waktu lain, tidak ada tempat lain. Siapa orangnya? Kamu. Apa harganya? Segala sesuatu. Saudara lihat, bukan cuma orang dunia yang harus bergumul dengan kesempitan Kristiani.
Kita sering kali pikir kesempitan Kristiani yaitu bahwa satu-satunya jalan menuju keselamatan, menuju Bapa, adalah melalui Yesus Kristus, bukan melalui Muhamad, Sidharta Gautama, dan siapapun yang lain. Tapi Saudara lihat inilah kesempitan Kristiani yang sejati, yaitu Lent. Lent adalah mengenai kita mempersiapkan diri menerima kematian dan kebangkitan Kristus; dan kenapa kita perlu ini, karena sama seperti Natal, kita juga melihat Jumat Agung dan Paskah tidak melalui kegelapan. Kita melihat Natal itu terang-terang tok, nostalgia tok, dan kita melihat Jumat Agung serta Paskah juga sama, bahwa ujungnya Tuhan Yesus yang mati, Tuhan Yesus yang bangkit, Dia membawakan kita keselamatan lewat semua itu. Tapi tidak demikian, yang Saudara lihat dalam Paskah memang benar itu kehidupan, namun itu kehidupan yang tidak lahir tanpa kematian; itu poinnya Minggu Sengsara. Inilah kehidupan Kristiani, yang tidak bisa lahir dalam hidupmu kecuali melalui kematian.Inilah kesempitan Kristiani yang sejati, bahwa kehidupan yang sejati di dalam Allah anya bisa diterima melalui pintu yang sempit ini, yang ketika Saudara masuk ke dalamnya, rasanya kayak mati, bagaimana mungkin saya bisa masuk lewat pintu sesempit itu. Kehidupan dalam Tuhan, itu menuntut kita mati terhadap diri. Pertanyaannya, kesempitan yang seperti ini, kehidupan yang seperti ini, kita siapkah melangkah masuk?
Ada tiga hal aplikasi yang saya coba renungkan; ini sebabnya dalam Kerajaan Allah hal yang paling terutama adalah kerendahan hati. Kerendahan hati ada banyak aspeknya, tapi kita perlu memikirkan bersama-sama bahwa orang yang masuk ke dalam Kerajaan Allah adalah orang yang bisa rendah hati.
Waktu kita melihat perumpamaan yang Tuhan berikan tadi (ayat 16), ada orang-orang yang dikirim untuk memberi undangan, lalu ada juga konfirmasinya. Jadi di sini ada jeda waktu antara undangannya sampai dengan pestanya. Ini satu hal menarik, karena setiap kali Tuhan Yesus memberikan gambaran Kerajaan Allah lewat perumpamaan, hampir selalu ada dua fase seperti ini. Ada undangan yang sudah diberitakan, tapi juga masih belum selesai, sedang disiapkan. Kalau Saudara melihat orang sedang mempersiapkan pestanya, Saudara mungkin bisa mencium bau masakannya, bahkan bisa terlebih dulu bersukacita karena mengantisipasi nanti malam makan enak, dsb. Saudara bersukacita, tapi Saudara belum masuk. Hampir semua perumpamaan Tuhan Yesus ada elemen ‘already and not yet’ ini. Kerajaan Allah itu kuasanya sudah mulai sekarang, sudah mulai masuk ke dalam hidup kita, namun pemenuhannya belum, pemulihannya lama. Ini seperti kalau Saudara cedera lalu sudah mulai sembuh, Saudara melihat kuasa kesembuhan itu masuk ke dalam hidupmu, tapi belum kembali ke sediakala, belum fully healed, already and not yet. Jika seorang atlet mengalami cedera dan sedang dalam masa pemulihan seperti ini, apa hal yang paling buruk yang dia bisa lakukan? Yaitu mencoba mempercepat pemulihan tersebut. Waktu dia coba mempercepat pemulihan tersebut, dia malah membuka diri terhadap bahaya cedera yang lebih parah. Pemulihan itu mengambil waktu. Waktu Saudara mau dipulihkan, Saudara harus humble, merendahkan diri di bawah kelambanan pemulihan tersebut. Apakah kita seperti ini dalam kehidupan Kristiani kita? Ini salah satu pintu yang sempit itu.
Anak saya, saya belikan mainan Lego, main pasang-pasangan, karena saya mau mereka belajar menunggu. Waktu mereka lihat ada boks mainan baru itu, mereka ingin langsung buka dan mainin. Tapi tidak bisa. Mereka harus menunggu bapaknya membikinkan dulu karena mereka belum bisa bikin sendiri, mereka baru dua tahun. Jadi waktu saya bikin Lego tersebut, misalnya bikin mobil, mereka lewat dan lihat, lewat dan lihat, dan mereka bisa melihat mainan tersebut progressing, dari badan mobilnya, lalu mesinnya, pintunya, bagian-bagiannya, sampai kemudian rodanya. Harapan saya, dengan mereka lewat dan lihat, lewat dan lihat, mereka belajar sabar, belajar menunggu. Namun akhirnya saya juga yang harus belajar sabar karena setiap kali mereka lewat, mereka terus-terusan tanya, “Sudah jadi, belum? Sudah jadi, belum? Ayo, mau mainin, mau mainin …”,lagipula barangnya masih setengah jadi mereka sudah paksa ambil dan mau mainin dengan bagian-bagian yang masih ngegantung dan lepas-lepas, dsb. “Tunggu dulu”, saya bilang –dan saya yang akhirnya musti belajar sabar— “Jangan dulu, perlu ada ini dulu, itu dulu, baru bisa dimainin; kamu ‘gak ngerti, Papa lebih ngerti, kamu harus tunggu Papa”. Itulah anak kecil. Anak kecil tidak bisa menunggu; kenapa? Karena anak kecil tidak ada humility, mereka pikir mereka ngerti. Anak kecil pikir, perasaan mereka yang mutlak dan benar; kenapa? Karena mereka tidak bisa menunggu. Orang yang masuk ke dalam Kerajaan Allah, dia bisa menunggu karena humble; salah satu aspek humble adalah kemampuan untuk menunggu.
Sama seperti itu, kita tahu Yesus itu Tuhan, kita mungkin sudah melihat Dia datang ke dalam hidup kita, kita mungkin juga sudah merasakan pemulihan-pemulihan yang Dia bawa ke dalamnya, tapi mungkin dalam hidup ini kita lebih peka dengan kesedihan hati atau penderitaan yang kita alami, atau kerusakan dan kehancuran di dunia, perang, mayat-mayat bergelimpangan, lalu kita melakukan apa yang Yohanse Pembaptis lakukan ketika dipenjara oleh Herodes. Dia mengirim muridnya kepada Yesus, dan bertanya, “Engkaukah yang kami tunggu-tunggu itu, atau kami harus tunggu orang lain lagi?” –kalau Engkau Raja, kenapa kepalaku sebentar lagi dipenggal? Kenapa masih begitu banyak rasa sakit? Kenapa Engkau tidak membabat habis saja semua kejahatan?? Kita seperti anak kecil yang merebut Lego setengah jadi dari tangan papanya. Saudara, inilah namanya masuk ke dalam Kerajaan Allah, kita perlu belajar kerendahan hati; dan itu salah satunya berarti kita harus belajar menunggu.
Yang kedua, humility bukanlah sekadar bisa menunggu tapi juga bisa menerima. Pesta yang diberitakan dalam perumpamaan tadi itu bukan pesta potluck yang tiap orang datang bawa makanan masing-masing lalu share; juga bukan restoran di mana kita bawa uang sendiri dan siap bayar. Perumpamaan Tuhan tadi adalah sebuah pesta di mana orang yang diundang tersebut datang dan segala sesuatu sudah disiapkan bagi mereka, jadi mereka hanya datang dan mereka harus menerima. Menerima, harus ada kerendahan hati. Saudara tidak bisa membeli. Saudara tidak bisa datang ke perjamuan ini dan prepare sendiri, Saudara harus menerima apa yang sudah disediakan.
Menerima sesuatu tanpa bisa berkontribusi apa-apa, itu humility. Dan lihat, bagaimana dalam hidup kita hal ini sering kali tidak kita lakukan, kita sering kali gagal dalam hal ini, yaitu bukan cuma ketika kita datang dan coba sok-sok-an berkontribusi, tapi juga ketika kita datang ke hadapan Tuhan dan merasa diri terlalu rusak di hadapan Tuhan. Bukankah banyak dari kita mengalami hal seperti ini, ketika kita berdosa lalu bertobat, berdosa lalu bertobat, berdosa lalu bertobat, … entah sampai berapa kali, akhirnya kita merasa ‘sudahlah, saya ‘gak perlu tobat lagi, saya terlalu rusak, saya hancur, ‘gak bisalah’. Atau ketika konseling, kita mengaku dosa kita, lalu pendeta membongkar bahwa di bawah dosa tersebut ada dosa lain yang kita tidak sadar; dan kita merasa ‘ya, ampun, ternyata ada dosa itu, baru ngeh koq saya sehancur itu’, dan akhirnya kita malas berdoa, malas bersaat teduh, malas ke gereja, merasa tidak bisa pelayanan, menarik diri dari pelayanan sebagai song leader atau liturgis atau lainnya (entah berapa ratus kali saya dengar yang kayak begitu). Tapi lihat, di balik perasaan orang yang merasa diri terlalu rusak bagi Yesus, itu justru ketinggian hati (pride).
Dalam NREC yang lalu, Pendeta Ivan dapat pertanyaan begini: “Saya mau bunuh diri, Pak, karena hidup saya terlalu hancur, hidup saya tidak ada meaning!” Pak Ivan lalu mengatakan, “Orang mau bunuh diri, biasanya dia bilang karena benci diri; tapi orang mau bunuh diri, sebenarnya kadang-kadang justru karena dia cinta diri terlalu tinggi. Kamu bilang kamu hancur, karena kamu taruh dirimu di level sekian, lalu kamu tidak pernah bisa mencapai, kamu jatuh dan jatuh terus, akhirnya kamu mengatakan ‘hidupku tidak ada maknanya’ –karena kamu taruh dirimu di level terlalu tinggi. Kamu menganggap ‘kalau saya hidup, harusnya hidupku di level sekian, sedangkan di bawah itu, saya tidak mau terima’. Itu pride, Itu cinta diri kebablasan”. Jadi, orang yang merasa diri terlalu rusak di adapan Tuhan, sebenarnya sedang mengatakan bahwa dirinya itu sedang berusaha melayakkan dirinya di hadapan Tuhan. “Saya harusnya bisa melayakkan diri di hadapan Tuhan, baru saya datang” –jadi saya menolak untuk masuk karena sibuk melayakkan diri sebelum masuk; saya tidak cukup layak, harusnya saya bisa layak.
Contoh lain, Saudara diundang ke perjamuan makan di restoran top class yang per orang bayarnya 200 juta. Teman Saudara bilang, “Saya sudah belikan tiket buat kamu, kamu bisa datang, tidak perlu bawa apa-apa, semua sudah lunas; ayo makan sama-sama.” Kita mengatakan, “Wow! Thank you!” Lalu lanjutannya: “Nanti sebelum datang, aku akan panaskan nasi goreng bikinanku kemarin, aku bawa ya; thank you banget sudah mengundang kayak begini, nanti kita bisa sharing nasi gorengku di restoran.” Temen Saudara akan bilang apa? Dia akan bilang, “Ini bukan potluck, Man; Lu ‘gak ngerti seberapa bagusnya restoran itu, dan sudah dibayar, jadi berarti kamu tidak bisa menambah kebaikan restoran tersebut, apalagi dengan nasi goreng bikinan sendiri yang dipanasi di microwave.” Kamu hanya bisa datang ke restoran ini jika kamu siap menerima, tidak ada jalan lain; kalau kamu datang dengan menambahi, aku justru tidak akan kasih kamu masuk, karena kalau kamu datang untuk menambah, kamu justru akan merusak –itulah Kerajaan Tuhan.
Kerajaan Tuhan itu gratis, anugerah. Datanglah, segala sesuatu sudah disediakan. Bawa diri saja, jangan bawa segala status dan pencapaianmu dan kebaikanmu; bahkan juga jangan bawa rasa bersalahmu masuk, karena di hadapan Tuhan itu cuma bentuk lain dari kesombongan. Pintu Kerajaan Allah tidak cukup lebar untuk hal-hal itu. Sadarkah kita?
Yang terakhir, kita perlu merendahkan diri kita di bawah prioritas Kerajaan Allah. Dalam perumpamaan tadi, si tuan rumah sesungguhnya mengundang dua kali; yang pertama, mengundang orang, lalu berikutnya dia mengutus hamba-hambanya untuk konfirmasi. Orang-orang itu semua sudah oke, sudah RSVP, namun ketika harinya tiba, mereka mengemukakan 1001 alasan, ada hal-hal yang tadi kita katakan ‘lebih penting’. Kenapa ini terjadi? Ini berarti waktu mereka pertama kali terima undangan, mereka mengiyakan karena mereka pikir undangan pesta perjamuan ini tidak akan mengganggu hidup mereka sehari-hari. Mereka pikir, mereka bisa menjadi bagian dalam Kerajaan ini dan somehow agenda serta goal-goal mereka tidak akan terganggu. Tidak bisa demikian, Saudara. Kerendahan hati, itu berarti datang mengakui Yesus sebagai Raja –ini Kerajaan Allah–berarti ikut aturan main Sang Raja. Tidak ada sesuatu yang bisa ber-ada di antara kamu dengan Sang Raja, Dia harus jadi yang terutama. Ketaatanmu terhadap Dia, perhatianmu terhadap business-nya Dia, itu yang harus jadi terutama.
Ini berarti, bagi orang yang dalam Kerajaan Allah, kalau peraturan Kerajaan itu akan membuat pendapatanmu berkurang, yang mana yang akan menang? Omong-omong bagi Saudara yang punya bisnis online, Saudara tetap buka toko dan proses orderan atau tidak pada hari Minggu? “Hah! Memang harus sebegitunya, Pak?? Bukannya kita sekarang sudah orang Kristen, kita sudah tidak diikat Hukum Taurat dsb.?” Ya, Saudara benar, namun realitas spiritual yang ditunjuk oleh hukum Sabat itu tetap berlaku, yaitu Tuhan tidak mau produktifitas menjadi Allahmu. Kalau produktifitas tidak jadi Allahmu, berarti ada waktu dalam hidupmu di mana engkau setop, berhenti dari memproduksi. Ada waktu untuk beristirahat. Ada waktu untuk mengatakan ‘diri saya, istri dan anak-anak saya, bisa hidup bukan karena saya bisa jual barang sebanyak-banyaknya tapi karena anugerah Tuhan; dan karena saya percaya hal ini, bukan cuma ngomong tok, maka saya batasi waktu-waktu produktif dalam hidupku, ada waktu untuk berhenti, ada waktu untuk beristirahat’. Itulah true Sabbath. Itu sebabnya Saudara lihat, tidak bisa Saudara berhenti tanpa menyembah; berhenti dalam Alkitab (Sabat) itu menyembah, karena waktu Saudara berhenti itu, Saudara sedang menyembah Tuhan dan bukan dewa produktifitas. Tapi, dalam hidup kita yang mana yang menang?
Kalau peraturan Kerajaan itu akan membuat opsi ‘dapat pasangan’ dalam hidupmu jadi berkurang, yang mana yang akan menang? Kalau peraturan Kerajaan itu akan membuat ini dan itu, dan ini dan itu, yang mana yang akan menang? Saudara lihat, ini pun urusan kerendahan hati, apakah engkau membawa neraca nilaimu masuk kedalam Kerajaan Allah atau tidak.
Omong-omong, satu hal mengenai Lent yaitu bahwa ini bulan puasa bagi orang Kristen juga. Sekali lagi, saya belum mau mengajak Saudara di sini secara formal berpuasa; kalau Tuhan menghendaki, tahun 2026 kita mulai. Kenapa Lent identik dengan praktika puasa? Puasa Kristiani, itu bukan urusan disiplin diri, bukan urusan siapa yang lebih kuat, bukan mengenai mengurangi melainkan menambah. Kita mengurangi sesuatu dalam hidup kita karena kita merasa hal tersebut bisa dipakai untuk menambah. Gereja-mula-mula misalnya, mereka puasa garam karena waktu itu garam mahal, sebulan makan tanpa garam akan menghemat banyak uang, dan uangnya bisa dipakai untuk orang-orang miskin. Konsep puasanya tidak pernah cuma mengurangi; konsep puasanya adalah mengurangi sesuatu supaya bisa menambah jadi lebih sesuatu yang lain, yang biasanya tidak ada, yang biasanya tidak bisa. Saudara boleh coba mulai hal ini kecil-kecilan dalam Lent kali ini, pribadi lepas pribadi, atau bicarakan dengan KTB masing-masing, mau puasa apa. Puasanya tidak harus makanan, bisa yang lain; tapi puasanya harus menambah, tidak cuma mengurangi tok. Tidak ada poinnya puasa yang cuma mengurangi. Dan, kenapa ini cocok dengan Lent? Karena inilah hidup Kristiani; prioitas yang dijalankan bukan prioritas kita. Inilah namanya masuk dalam Kerajaan Allah, menjalankan agenda Allah dan bukan agenda diri, masuk ke pintu yang sempit. Pertanyaannya: apakah kita siap dengan ini, atau tidak? That’s why perlu persiapan, that’s why perlu Lent.
Kita siap atau tidak? Tidak tahu, kita tidak bisa jawab. Kristus siap. Dalam kisah kedua tadi, Tuhan Yesus mengatakan, “Betapa seringnya Aku rindu untuk membawa kamu, anak-anak Yerusalem, masuk ke dalam lindungan sayap-Ku”. Ini gambaran yang menarik. Kalau Saudara mendengar cerita-cerita orang di peternakan, ada kisah-kisah bahwa kalau kandang ayam kebakaran, kadang-kadang mereka menemukan induk ayam yang mati terbakar, namun ketika mereka membuka sayapnya, mereka menemukan anak-anaknya masih hidup karena terlindung di bawah sayap si induk ayam. Ini gambaran jelas, anstisipasi dari apa yang Kristus akan lakukan. Dia itulah yang datang muntuk mengajak anak-anak Yerusalem berlindung karena Dia rela memberikan hidup-Nya total, melepaskan segala sesuatu, bagi kita. Tapi bayangkan perasaan yang Yesus ungkapkan di sini: anak-anak Yerusalem terancam kebakaran, ada rubah –dalam cerita yang sama adalah Herodes– pemangsa ayam; ada kebakaran dan ada predator, dan induk ayam siap memberikan nyawa-Nya ganti anak-anak-Nya, tapi anak-anak-Nya tidak mau.
Apakah kita siap menerima kehidupan dari Kristus, yang kelihatannya seperti kematian ini?
Atau kita mau memperjuangkan apa yang di mata kita kelihatannya seperti kehidupan,
tapi sesungguhnya api dan gigi rubah?
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading