Kita telah selesai tema Epifania, sekarang masuk ke musim berikutnya, Lent. Sebelumnya, kita mau lebih dulu mengingat kembali apa artinya Lent. Untuk itu, kita perlu menyadari bahwa ini bukan cuma beralih dari satu musim ke musim berikutnya, dari Epiphany ke Lent, tapi sesungguhnya beralih dari satu siklus ke siklus berikutnya. Perlu Saudara ingat, Kalender Gereja bukan dimulai pada 1 Januari, melainkan pada awal Desember, jadi sebenarnya kita sudah mengalami tiga musim yang berbeda, yang pertama Adven, kemudian Natal, lalu Epifania. Tiga musim ini merupakan satu siklus, yaitu Cycle of Light, yang fokusnya pada Inkarnasi (Incarnation); dan sekarang kita beralih ke siklus berikutnya, terdiri dari tiga musim juga, yaitu Lent, Minggu Sengsara dan Paskah, lalu berakhir pada Paskah, yang merupakan Cycle of Lifeyang fokusnya pada Kematian dan Kebangkitan (Death & Resurrection).Keduanya sama-sama mengungkap misteri keselamatan yang Tuhan bawa bagi dunia, namun fokusnya berbeda; yang satu menekankan bahwa Allah telah datang, dan yang kedua menekankan untuk apa Dia datang yaitu untuk mati dan juga bangkit (Death & Resurrection).
KALENDER GEREJA:
Cycle of Light (Incarnation):
• Advent –> Anticipation
• Christmas –> Fulfillment
• Epiphany –> Proclamation
Cycle of Life (Death & Resurrection):
• Lent –> Anticipation
• Holy Week –> Fulfillment
• Pentecost –> Proclamation
Kalau Saudara perhatikan skema di atas, ada satu pola yang diulang dalam setiap siklusnya, yaitu ada penantian (anticipation), lalu penggenapan (fulfillment), kemudian proklamasi (proclamation). Dalam siklus yang pertama, antisipasinya adalah Adven (menanti kedatangan Yesus), lalu digenapinya pada Natal, dan kemudian ada proklamasi atas Siapa yang datang ini, yaitu pada Epifani. Dalam siklus yang kedua, Lent adalah penantian dari kesengsaraan Kristus dan kebangkitan-Nya, lalu penggenapannya pada Minggu Kudus (Minggu Sengsara dan Kebangkitan), kemudian diproklamasikan dalam Pentakosta.
Berdasarkan skema seperti ini maka pertanyaan mengenai apakah Lent itu, paling mudah kita mengerti kalau kita lihat paralelnya dengan skema yang di atas yaitu Adven, bahwa keduanya adalah masa persiapan, masa penantian sebelum penggenapannya. Ingatkah Saudara kenapa kita perlu Adven, kenapa kita perlu belajar menanti dan mempersiapkan hati untuk Natal? Yaitu supaya Natal yang kita terima bukan lagi Natal versi duniawi yang cuma nostalgia tok, yang cuma terang-terang tanpa kegelapan tok –maka Adven selalu dimulai dengan kegelapan, diperlihatkan dengan menyalakan satu lilin, dua lilin, dst., sampai empat lilin. Lent mirip dengan ini, yaitu masa kita belajar menanti dan mempersiapkan hati untuk menerima Jumat Agung dan Paskah, kematian dan kebangkitan Yesus. Itulah Lent; dan kita membutuhkannya sama seperti kita butuh Adven, karena kita tahun demi tahun telah kehilangan makna Natal yang sesungguhnya, dan demikian juga tahun demi tahun kita telah kehilangan makna kematian dan kebangkitan Yesus yang sejati.
Sama seperti perayaan Natal Kristen banyak terbawa oleh komersialisasi dunia, ide kita mengenai hidup Kristen pun sering kali terseret oleh dunia. Kalau Saudara lihat Cycle of Life tadi,hidup Kristiani adalah hidup yang bangkit, namun bangkit bukanlah tanpa kematian, bangkit bukan berarti tanpa salib, bangkit justru melalui salib; namun banyak dari kita yang hidup seakan-akan Jumat Agung dan Paskah tidak terjadi, kita tidak menghidupi pola kematian-kebangkitan ini. Hidup kita simply warnanya ala dunia, di mana sebisa mungkin kematian dijauhkan, fokus hidup kita bukan lagi Kristus melainkan urusan baju kita mereknya apa, rumah kita pakai cat apa, rekening bank kita segendut apa, kita tinggal di cluster sebagus apa, mobil kita keluaran tahun berapa, iPhone kita iPhone generasi ke berapa –simbol-simbol prestige yang orang lain punya yang kita kejar, dan juga simbol-simbol prestige yang kita punya yang orang lain kejar, itulah fokus hidup kita. Fokus hidup kita sangat mudah bergeser dari salib yang terpancang dan kubur yang kosong, digantikan dengan hal-hal duniawi. Dalam hal ini, pola yang sama juga terjadi kalau kita merayakan Natal tanpa Adven, Bayi Yesus diganti dengan Sinterklas, kado, serta salju bohongan.
Lent adalah musim di mana para Bapa Gereja ingin kita bertindak melawan itu semua; Lent adalah satu momen di mana kita diajak untuk go back to the basics. Kita dilatih setiap tahun untuk mempersiapkan hati kita masuk ke dalam Minggu Sengsara dan Paskah, dengan cara kita dibawa untuk mengalami dalam minggu-minggu Lent ini apa sebenarnya hidup Kristiani ini, yaitu hidup yang bukan tanpa kematian, melainkan justru hidup yang terlahir melalui kematian. Lent adalah musim di mana kita diajak untuk menyadari, bahwa sama seperti Natal bukanlah Natal tanpa Adven, bukanlah Natal tanpa kegelapan, melainkan Natal yang baru kelihatan cahaya sesungguhnya ketika kita rela masuk melalui kegelapan, demikianlah Lent mengajak kita untuk menyadari bahwa kehidupan ilahi, kehidupan Kristiani, itu juga bukan kehidupan yang tanpa kematian —indeed, kebangkitan Kristus adalah hidup yang terlahir dari matinya hidup yang lama.
Kehidupan Kristiani baru kelihatan cahayanya ketika kita rela masuk ke dalamnya melalui kematian; itulah Lent. Itu sebabnya dalam Lent tema-tema yang dibicarakan adalah pencobaan Kristus, panggilan Kristus untuk kita mematikan kuasa dosa, pertobatan di hadapan Kristus, pemulihan yang Kristus bawa setelahnya. Tema-tema ini mengajak kita untuk menyadari bahwa hidup Kristiani selalu bergesekan dengan kematian; namun juga pada saat yang sama mengungkap bahwa kematian di dalam Kristus tidak lagi jadi sesuatu yang hanya mematikan, melainkan malah jadi jalan masuk bagi kehidupan. Itulah Lent. Setelah itu kita merayakan Palm Sunday sebelum berikutnya kita masuk ke dalam Minggu Sengsara, lalu Paskah, di mana kita melihat contoh sejati dari pola mati-bangkit itu.
Omong-omong, kalau Saudara tidak menangkap semua yang saya bicarakan dalam introduksi ini, don’t worry, karena inilah jeniusnya Kalender Gereja, bahwa musim-musim ini ada untuk kita alami bersama-sama, bulan cuma untuk kita analisa. Saudara mungkin belum menangkapnya hari ini, tidak usah khawatir, karena setelah kita 5-10 tahun menjalankan Kalender Gereja nanti, Saudara akan tahu apakah Lent itu, Saudara akan tahu bukan hanya dengan otakmu, Saudara akan tahu dengan darah dan dagingmu.
Hari ini kita masuk ke perikop pertama dalam Lent, yang selalu mengenai pencobaan Kristus; dan karena ini tahun Lukas, kita akan membaca bagian ini dari Injil Lukas. Dalam khotbah ini kita akan coba melihat dua hal besar; yang pertama mengenai apa pencobaan itu, dan yang kedua mengenai bagaimana Yesus menghadapinya –bukan bagaimana kita menghadapinya melainkan bagaimana Yesus menghadapinya.
Yang pertama, apa itu pencobaan –mengenai apa persisnya pencobaan itu, jenisnya kayak apa, kita sering kali salah mengertinya di mana, menyerang kita dalam hal apa.
Apa itu pencobaan? Kita bisa mulai dari bingkai besar perikop ini, yaitu ayat 1 dan 14. Apa yang diulang dalam ayat 1 dan 14? Yesus masuk ke dalam pencobaan seperti apa, dan Yesus keluar dari pencobaan seperti apa, di sini bingkainya sama, yaitu sama-sama dikatakan bahwa Yesus penuh dengan Roh (penuh dengan kuasa Roh Kudus), Yesus masuk seperti itu dan keluar juga seperti itu. Di bagian ini pada dasarnya pencobaannya gagal, Yesus tetap teguh, karena Yesus yang bertahan melawan pencobaan ini adalah Yesus yang sama baik di depan ataupun di belakang, sama-sama dipenuhi oleh Roh. Dengan demikian, Saudara lihat bahwa orang yang bertahan melawan pencobaan adalah orang yang bisa bertahan pada jalur yang sama, jalur Roh, tidak goyah. Itu sebabnya dalam Old English, mengenai bagian ini orang sering mengatakan “the zeal of Jesus”; orang yang zealous, orang yang punya zeal, adalah orang fokus pada satu hal, dia mempertahankan apa yang penting, dia tidak terlalu peduli dengan hal-hal yang urgent/mendesak. Kalau kita melihat inilah caranya Yesus bisa bertahan melawan pencobaan, maka pencobaan itu apa? Pencobaan adalah godaan untuk keluar jalur.
Kalau Saudara suka menyetir di Jakarta, Saudara mungkin mengalami seperti saya alami sehubungan tol di Jakarta yang tidak beraturan di mana masuk dan di mana keluar-nya. Paling gampang pakai contoh tol Yos Sudarso, antara ruas Sunter sampai Cempaka Putih, ada masuk tapi tidak ada keluar. Ruas antara Cempaka Putih sampai Pramuka, ada keluar atau masuk? Tidak tahu juga; polanya lain-lain, bisa ada keluar dan ada masuk, bisa ada masuk saja atau keluar saja. Ruas dari Pramuka sampai Cawang, lain lagi. Itu sebabnya jalan tol di Jakarta susah ditebak. Anggaplah Saudara sedang di tol Yos Sudarso, lalu ternyata macet, dan Saudara ingin menghindari macet tersebut, Saudara merasa jalur atas dan bawah sama saja, jadi bisa turun dulu lalu nanti naik lagi. Tapi begitu Saudara turun, Saudara tidak bisa naik lagi, Saudara bingung entah di mana naiknya. Seperti itulah pencobaan; Saudara keluar jalur lalu setelah itu Saudara tidak bisa balik lagi.
Kalau kita pakai gambaran ini, maka yang namanya pencobaan paling sedikit ada dua cara kita keluar dari tol. Yang pertama, pencobaan yang bersifat lebih langsung, dinamakan the sins of commission. Pencobaan ini misalnya waktu kita digoda untuk marah, digoda terhadap seks, digoda untuk mengambil uang, digoda akan kuasa, dst. Ini seperti Saudara berada di jalan tol lalu Saudara keluar/turun tol karena ada sesuatu yang urgent, ada sesuatu yang Saudara rasakan dan Saudara ambil keputusan untuk belok. Misalnya, Saudara sedang di tol Yos Sudarso, Saudara lapar, akhirnya keluar tol dulu, beli KFC, dan setelah itu tidak tahu bagaimana balik masuk tol itu lagi. Kita sering kali menghadapi pencobaan seperti ini, kita rasa ada yang urgent, perlu turun dulu, tidak masalah toh nanti pasti bisalah balik lagi –tapi ternyata tidak bisa. Ini pencobaan jenis pertama.
Contoh lain, misalnya dalam sejarah, sebagaimana seorang sejarawan bernama Plutarch mengisahkan mengenai Alexander The Great, seorang raja yang besar. Alexander punya seorang kawan baik bernama Cleitus, yang menjadi sahabat karena pernah menyelamatkan nyawanya. Namun suatu hari mereka bertengkar; dan karena itu para jendral langsung menyembunyikan semua pedang Alexander karena mereka tahu dia ini sumbu pendek, bisa-bisa terjadi hal yang tidak diinginkan. Alexander ketika itu begitu marah terhadap Cleitus, darahnya mendidih, lagipula Cleitus mengejek Alexander dengan nyanyian ejekan. Plutarch lalu mengisahkan, bahwa memang betul pedang-pedang Alexander sudah disembunyikan para jendral, tapi mereka lupa menyembunyikan tombaknya, maka Alexander mengambil tombak itu lalu menusuk Cleitus sampai mati; dan jendral-jendral baru sadar ternyata masih ada tombak. Mereka lalu mengerubungi dia, sementara Alexander menarik kembali tombak itu dari mayat sahabatnya dan mau menusuk diri sendiri. Jendral-jendral langsung merebut tombak itu, memegangi Alexander yang teriak-teriak karena begitu marah dan begitu sedih. Alexander telah tergoda oleh kemarahan dan kebenciannya sehingga membunuh sahabatnya. Setelah peristiwa itu, Alexander tidak mau bangun dari tempat tidur; kalau pun bangun, dia cuma bengong dan mendesah, tidak bicara apa-apa. Plutarch mengisahkan, akhirnya Alexander bisa kembali fungsional ketika dia mengatakan sendiri, “Aku ini raja, aku boleh melakukan apa saja yang aku mau, termasuk membunuh sahabatku.” Ironisnya, Plutarch mengatakan, itu adalah momennya Alexander berhenti jadi raja yang baik, yang efektif, yang agung, dan mulai jadi raja yang korup; dan tidak lama setelah itu, kekuasaannya berakhir.
Saudara lihat, ini godaan yang jelas, langsung, kita keluar dan tidak bisa balik lagi. Kita tahu harusnya tidak begitu, kita tahu harusnya bertahan di jalur, tapi sekarang sudah kadung turun dan tidak bisa balik lagi. Inilah godaan yang pertama, sins of commission. Namun ada jenis godaan yang kedua, godaan yang tidak langsung, namanya the sins of omission.Ini godaan yang lebih sering kita gagal. Dalam hal ini jalan tol di Jakarta juga bisa jadi gambarannya, karena tol di Jakarta bukan saja jalur keluar-masuknya tidak beraturan, kadang-kadang ada jalur yang lurus malah berarti keluar tol sementara jalur yang berbelok yang tetap berada di tol. Jadi kalau kita tidak tahu jalan atau tidak pakai Google Maps, kita bisa mengira jalur lurus ini yang berarti tetap di tol, lalu tiba-tiba baru sadar sudah keluar dari tol. Kita rasanya simply mengikuti jalan, tapi ternyata kita keluar tol, dan akhirnya tidak bisa balik lagi.
Inilah jenis godaan yang kedua, kita tidak melakukan apa-apa secara aktif, kita tidak berbelok, kita tidak bikin descision, kita salah karena kita tidak melakukan apa-apa. Ini godaan yang lebih halus. Ini dosa di mana manusia simply berhenti fokus, berhenti bertahan. Kita tahu jalan yang harus kita lakukan, yaitu mengikut Dia, mengejar Dia, mengasihi Dia, mengasihi manusia, memperjuangkan keadilan, namun sometimes kita simply berhenti berusaha. Kita berhenti berusaha mengikut Tuhan, kita kehilangan minat, kita menyerah, “Boro-boro memperjuangkan ketidakadilan dalam dunia, lihat saja tuh Berita setiap hari, urusan Sritex-lah, inilah, itulah, lagian saya sudah tualah ya, sudah di atas 40, sudah tidak ada hope-lah,” dst. Go with the flow, namun akhirnya turun dari tol. Inilah jenis kedua, yang kita sering kali lebih gampang tergoda.
Yesus tidak demikian. Kita melihat di ayat 1, Yesus penuh dengan Roh kudus, dipimpin Roh Kudus, dan di ayat 14 Dia masih terus penuh dengan kuasa Roh Kuddus. Dia bertahan pada jalan yang benar. Dia tidak menyimpang ke kiri atau ke kanan. Itu sebabnya dalam Kekristenan ada tempat yang sangat tinggi akan pengendalian diri, tahu memilih apa yang penting di atas apa yang mendesak. Ini salah satu tanda orang hidupnya dipenuhi Roh Kudus. Itu poin yang pertama.
Dari poin yang pertama ini, kita langsung mendapatkan poin kedua yang menyeimbangkan; sebagaimana kita lihat di bagian ini, ternyata pencobaan bukan cuma urusan pengendalian diri ditempatkan di atas, bertahan, dsb., tapi bahwa pencobaan juga tidak terhindari. Ini poin yang kedua.
Dalam hal ini ada banyak orang Kristen tergoda untuk bikin kesalahan besar, mereka pikir pencobaan adalah sesuatu yang mereka bisa hindari. Kita kadang-kadang melihat orang Kristen berpikir begini: kalau saya sampai tergoda kayak begini, berarti saya something wrong; saya harusnya otaknya tidak diisi dengan pikiran-pikiran kotor dan berdosa seperti ini, saya harusnya tidak sebegitu tergodanya untuk turun tol, kalau saya seorang Kristen yang dipenuhi Roh Kudus maka saya tidak mungkin kena pencobaan ringan atau berat, tidak sampailah bergumul kayak begini; tadi ‘kan Pak Jethro dalam poin pertama bilang bahwa orang yang hidupnya dipenuhi Roh, ada pengendalian diri.
Oke, jadi menurutmu orang yang hidupnya dipenuhi Roh, dibaptis dalam Roh, dipimpin oleh Roh sampai hatinya benar-benar murni sempurna berkenan kepada Allah, maka hidupnya akan berangsur-angsur baik, tidak ada konflik, cobaan, godaan, tidak ada hal-hal jelek yang terjadi padanya? Sekarang Saudara lihat apa yang dikatakan dalam bagian yang kita baca ini, bahwa ada lho orang yang beneran hidup penuh dengan Roh seperti itu dari depan sampai belakang, dipimpin oleh Roh, penuh dengan kuasa Roh, dan basically yang terjadi adalah Dia dipimpin oleh Roh ke dalam pencobaan. Dengan kata lain, mungkin semakin Saudara dipenuhi oleh Roh, justru semakin tertariklah kuasa-kuasa gelap datang untuk menjatuhkanmu. Bukankah itu lebih logis? Memang benar orang yang dipenuhi Roh ada pengendalian diri, tapi jangan pernah mengira bahwa orang yang ada pengendalian diri berarti dia tidak bergumul dalam pencobaan. Jangan mengira bahwa ada pengendalian diri berarti sekuat kulit baja yang semua serangan langsung mental. Bukan itu, Saudara. Pengendalian diri justru terbukti karena dia bergumul dalam pencobaan. Orang yang penuh Roh, justru orang yang dibawa ke dalam pencobaan. Ini tidak terhindari.
Kadang-kadang orang Kristen berpikir, ‘aduh, hidup di kota begini susah ya, banyak distraction, banyak kesulitan, banyak pencobaan; saya pindah ke desa sajalah, hidup sederhana, kayaknya di sana tidak terlalu banyak pencobaan’. Sekali lagi Saudara lihat bagian ini, Yesus dicobai di mana? Bukan di kota ‘kan, tapi di padang belantara, artinya di daerah, di desa, di pinggiran. Kita kadang tergoda untuk berpikir ‘pencobaan ini datang karena saya tempatnya tidak cocok, maka saya harus kabur’. Disclaimer: ini bukan berarti kita sama sekali tidak boleh mengganti situasi kondisi hidup kita; bukan itu maksud saya. Saya pernah mengatakan, kalau kaki Saudara terjepit pintu, Saudara akan tarik kakimu, meskipun itu tidak berarti Saudara tidak mungkin terjepit lagi. Kalau Saudara menarik kaki yang terjepit, tentu Saudara tahu lain kali bisa saja terjepit lagi, tapi Saudara tetap akan tarik kakimu ‘kan, Saudara tidak akan membiarkan kakimu di situ dan mengatakan, “Ya, sudahlah, lain kali juga bisa terjepit lagi, ngapain gua tarik”. Jadi, ada ruang untuk kita mengubah ruang situasi hidup kita, namun poin saya di sini adalah: Saudara jangan jatuh ke dalam kesalahan berpikir, bahwa problem sesungguhnya dari pencobaan adalah urusan tempat, atau situasi, atau lingkungan, atau hati —kalau saya ganti lingkunganku, saya tidak akan dicobai, kalau hatiku murni, saya tidak akan dicobai.Saudara lihat dengan jelas, Yesus tidak demikian.
Bahkan bagian ini sebenarnya justru mengatakan kepada kita, kalau hidup Saudara tidak ada pencobaan, kalau hidup Saudara aman damai sentosa, tidak ada peperangan rohani, tanpa konflik, tanpa pencobaan, maka mungkin itu justru karena Saudara sudah turun tol, Saudara sudah nyerah memperjuangkan keadilan, kasih, mengejar kehendak Tuhan, Saudara sedang mencari hidup yang nyaman. Orang yang hidupnya tidak ada pencobaan, mungkin dia sudah jatuh dalam pencobaan yang besar tadi, pencobaan untuk menyerah, berhenti, go with the flow, karena kalau Saudara dipenuhi Roh, dipimpin oleh Roh, maka Saudara kadang akan dipimpin Tuhan ke hadapan Iblis –pencobaan.
Wow! Pak Jethro kalau jadi salesman kayak begitu, ‘gak bakalan laku, Pak! Tepat sekali, saya memang bukan salesman. Saudara, orang dunia pun bahkan mengerti hal ini; orang dunia ada yang mengatakan, “Hidup itu memang menderita; yang ngomong lain, itu orang jualan”. Benar, yang menyangkali realitas hidup itulah yang salesman, karena dia sedang mau menjual sesuatu kepadamu. Omong-omong, kita tidak setuju “hidup itu penderitaan”; Injil mengatakan hidup itu sukacita, tapi ini sukacita yang bukan tanpa salib –tema Lent.
Hidup Kristiani adalah hidup yang benar-benar hidup, hidup yang lebih hidup; namun anehnya, ini hidup yang bukan tanpa kematian. Bahkan Saudara lihat di bagian ini, jalan Yesus untuk suatu hari nanti mengerjakan keselamatan dalam hidup kita, adalah lewat jalan Lukas 4 ini, jalan padang belantara, jalan pencobaan. Jalan salib paling tidak sudah dimulai dari sini. Keselamatan bukan datang tanpa pencobaan –itu Injil. Sukacita bukan datang tanpa penderitaan –itu Injil. Kehidupan bukan datang tanpa kematian –itu Injil. Siapapun yang menawarkanmu Kekristenan yang bicara lain, dia sedang jualan!
Kembali lagi, apa itu pencobaan? Poin pertama: keluar jalur. Poin kedua: pencobaan itu tidak terhindari, sebagai orang Kristen. Masuk ke poin yang ketiga, Saudara lihat di bagian ini, pencobaan itu memakai apa; apa yang diserang oleh pencobaan.
Kalau kita adalah orang yang masih belum yakin untuk jadi Kristen, atau misalnya seorang remaja yang lahir dalam keluarga Kristen tapi belum yakin apakah iman orangtuamu itu sungguh-sungguh bagimu juga, maka sebagai orang yang setengah di dalam dan setengah di luar ini melihat orang Kristen bicara mengenai pencobaan, kita bisa merasa agak ‘gimana gitu. Yang orang Kristen taruh sebagai pencobaan sering kali misalnya urusan narkoba, alkohol, seks bebas, pornografi, game-game sadis, judi, dsb., maka kalau kita sebagai orang yang setengah di dalam dan setengah di luar, kita bisa jadi mempertanyakan, ‘Apa benar semua hal tersebut sebegitu problematiknya?? Kalau orang hidupnya menderita, apa kita ‘gak bisa simpati kalau mereka pakai alkohol dan narkoba?? Apakah hal-hal itu sebegitu jeleknya?? Kalau kita cuma judi kecil-kecilan, kenapa sih orang Kristen kayaknya anti banget dengan semua itu?? Kalau kita tertarik melihat tubuh-tubuh yang seksi, bukankah itu natural, lalu kenapa itu jadi hal yang kotor dan jijik dalam Kekristenan?? Kenapa sih pencobaan yang musti dihindari ujung-ujungnya itu-itu terus?? Saya merasa kurang sreg dengan Kekristenan kayak begini’. Kalau Saudara punya perasaan seperti itu, saya akan mengatakan setuju denganmu bahwa semua itu bukan problem utamanya –maka Saudara juga jangan terjebak pada kesalahan yang sama.
Orang Kristen sering kali melakukan kesalahan itu, berpikir bahwa masalahnya adalah pada barang-barang yang mereka anggap kotor, jijik, dan jelek itu. Dalam hal ini Saudara benar, itu bukan problem utamanya, karena di bagian ini kita melihat waktu Yesus dibawa ke pencobaan, Iblis membawa Dia ke daerah “lampu merah”-kah? Tidak ‘kan. Setan tidak bilang, “Ayo, Yesus, bir nih, wine, narkoba, heroin, pelacur-pelacur… “. Sama sekali tidak. Yang seperti itu bukan pandangan Kristen, itu pandangan duniawi. Saudara tahu filmnya Martin Scorsese, “The Last Temptation of Christ”, apa the last temptation-nya? Seks! Ya, ampun, dodol bener, sih.
Kembali ke Alkitab, apa yang jadi alat setan untuk menggoda Yesus? Roti. Coba pikir, apa salahnya roti?? Lalu pencobaan ketiga apa? Security, rasa aman untuk kaki yang tidak terantuk batu. Tidak ada yang salah ‘kan dengan mencari rasa aman?? Balik ke yang kedua: kuasa. O, ya, ya, ini bahaya. Kalau buat kita memang bahaya, tapi Yesus itu Anak Allah, memang Dia seharusnya berkuasa; senatural kita makan roti, senatural itu juga bagi Anak Allah untuk berkuasa. Apa salahnya semua itu bagi Yesus?? Dari sini Saudara tahu satu hal, poin yang ketiga, bahwa problem dari pencobaan tidak pernah pada barang-barangnya, problem dari pencobaan tidak pernah dalam hal-hal yang jelek dan kotor dan jijik dan najis; problemnya adalah Yesus disuruh untuk membuat barang-barang yang baik ini versus apa –itu pertanyaannya. Yesus disuruh untuk membuat roti versus menunggu roti dari tangan Bapa. Yesus disuruh untuk mencari security, tapi dengan cara mencobai Bapa. Yesus disuruh untuk menguasai dunia, tapi menguasainya sekarang, sebelum salib, tanpa salib, tidak sesuai dengan rencana Bapa.Itulah problemnya.
Saudara lihat, problemnya tidak pernah pada barang-barangnya. Semua barang-barang ini –roti, rasa aman, kuasa– adalah hal-hal yang baik adanya. Jadi tidak cuma barang jelek yang jadi godaan; bahkan kita tidak akan tergoda kalau barangnya kita anggap jelek. Godaan yang sejati di sini selalu adalah: untuk menjadikan barang-barang baik menjadi yang terbaik, lebih prioritas dibandingkan Tuhan, lebih penting dibandingkan taat pada Tuhan. Itulah the real temptation. Perbudakan yang sejati bukanlah pada hal-hal yang jelek, melainkan hal-hal yang baik yang kita ubah menjadi ter-baik, hal-hal yang kita taruh di tempatnya Tuhan, melampaui Tuhan, mendahului Tuhan. Lebih penting saya makan roti sekarang dibandingkan menunggu dari Tuhan; lebih penting saya menginginkan rasa aman dibandingkan saya taat pada Tuhan dan tidak mencobai Tuhan; lebih penting saya berkuasa sekarang, tanpa penderitaan dan tanpa salib, tidak cara Tuhan –semua dari kita punya pencobaan ini.
Sekali lagi, kita mungkin bukan orang Kristen, kita mungkin setengah di luar dan setengah di dalam, kita mungkin juga di luar sama sekali, kita mungkin belum mau komit jadi orang Kristen, kita mungkin belum mau menjadikan Yesus sebagai Raja kita, kita mungkin belum mau menyembah Dia, tapi jangan pernah berpikir bahwa engkau tidak sedang menyembah sesuatu. Tidak ada dari antara kita yang tidak sedang menyembah sesuatu. Tidak ada dari antara kita yang benar-benar sedang mengendalikan hidupnya sendiri. Kita semua sedang dikontrol oleh sesuatu, sadar atau tidak sadar. Apakah itu, Saudara, dalam hidupmu yang engkau hidup baginya? Apakah itu, yang harus ada dan kalau tidak, hidupmu jadi tidak masuk akal, tidak meaningful? Engkau merasa mengantri itu buang waktu, karena harusnya waktu tersebut bisa dipakai buat apa? Apakah itu dalam hidupmu, yang buatmu bermakna? Aapa yang kau cari di atas segala sesuatu yang lain, apa yang engkau taruh melampaui segala sesuatu? Itulah Saudara, pencobaannya di situ.
Jadi ada tiga hal yang kita belajar menegenai pencobaan; pencobaan adalah keluar jalur, pencobaan tidak bisa dihindari, dan pencobaan bukan mengenai hal-hal yang jelek.
Yang kedua, sekarang kita beralih dengan bertanya: jadi bagaimana kita bisa mengalahkan pencobaan seperti ini? Tapi dalam hal ini kita tidak tertarik untuk menjawab hal tersebut; kenapa? Karena kalau Saudara fokus dalam bagian ini, melihat bahwa pencobaan ternyata kayak begitu dan kita selama ini salah, dan berarti pencobaan tidak terhindari, maka lanjutannya: ‘kalau begitu saya musti cari caranya supaya saya bisa menghadapi pencobaan’. Kalau Saudara pikir itulah tujuan bagian ini, soal kiat-kiat kita menghadapi pencobaan, maka saya katakan “tidak”; mungkin di sini Saudara bisa mendapatkan hal-hal itu tapi itu bukan tujuan utamanya, maka Saudara jangan dicobai untuk melihat hal-hal seperti itu, jangan tergoda untuk mencari itu. Saudara musti tanya, apa tujuan utama dari kisah pencobaan ini; dan kalau Saudara mau benar-benar mengertinya, Saudara harus membacanya dalam konteks.
Setiap kali Saudara mau membaca Alkitab dan mengertinya dengan tepat tujuan dari kisahnya, Saudara harus membacanya dalam konteks. Konteks yang paling simpel, bagian ini adalah pasal 4 maka mari kita baca pasal sebelumnya, apa yang terjadi dalam pasal 3, karena pasal 3 dan 4 ternyata satu unit. Sebagaimana juga khotbah sebelumnya, Lukas memperlihatkan rajutan benang merah antara cerita-cerita dalam pasal-pasal yang kita kira tidak berhubungan namun ternyata membuat kita menyadari arti yang mendalam. Dalam pasal 3, Saudara lihat cerita mengenai Yohanes Pembaptis, berikutnya mengenai Yesus dibaptis oleh Yohanes, lalu berikutnya mengenai silsilah. Seperti tidak berhubungan ya, tapi let’s see.
Pertama, cerita mengenai Yohanes Pembaptis. Dalam bagian ini kita melihat dua hal yang kita simpulkan saja begini: ada bagian yang bicara mengenai perkataan Yohanes Pembaptis, dan bagian mengenai tindakan Yohanes Pembaptis. Yohanes Pembaptis di sini bicara apa? Di ayat 7, perhatikan, dia sedang bicara kepada orang-orang yang berdatangan untuk dibaptis olehnya. Ini bukan orang-orang yang jahat, ini orang-orang yang sudah pergi dari rumahnya masing-masing ke sungai Yordan, untuk minta dibaptis oleh Yohanes, jadi ini orang-orang yang datang KKR, orang-orang yang maju ke depan; namun Yohanes mengatakan apa kepada mereka? “Hai kamu keturunan ular beludak! –kamu keturunan ular berbisa”. Kenapa dia mengatakan kayak begini; apa yang terjadi di sini? Dia sedang mengonfrontasi orang-orang ini –yang adalah orang Yahudi semua– dengan mengatakan (ayat 8): “Jangan mulai berkata dalam hatimu: Abraham adalah bapa leluhur kami!” Maksudnya apa? Kenapa dia mengatakan ‘kami bilang kamu anak leluhur Abraham tapi kamu sebenarnya keturunan ular berbisa’?
Saudara, ini karena orang-orang Yahudi pada waktu itu mengasumsikan, bahwa berhubung mereka keturunan Abraham, mereka otomatis kaum pilihan, dan dengan demikian otomatis mereka sudah setengah bereslah relasinya di hadapan Tuhan. Ini adalah rasa percaya diri palsu yang Yohanes Pembaptis runtuhkan. Orang Yahudi merasa privilege paling besar yang mereka punya dalam hidup ini adalah menjadi orang Yahudi, namun Yohanes Pembaptis mengatakan: “Tidak; pada dirinya sendiri keturunan sebagai keturunan Abraham itu tidak membuat engkau otomatis beres di hadapan Tuhan”. Itu perkataan Yohanes, dan sekarang Saudara akan lihat tindakannya, dan ini menarik karena sinkron dengan perkataannya, yaitu dengan membaptis mereka. Ini melambangkan apa?
Baptisan pada zaman sebelum Gereja adalah ritualnya orang Yahudi; dan ini ritual yang tidak dilakukan terhadap orang Yahudi sendiri, melainkan sebagai proses untuk orang non-Yahudi yang mau masuk Yudaisme. Orang-orang Yahudi sendiri, yang terlahir sebagai orang Yahudi dan sudah disunat, tidak perlu dibaptis. Jadi, dengan Yohanes membaptis orang Yahudi, apa yang Yohanes katakan lewat tindakan sangat simbolis ini? Dia sedang menempatkan orang-orang Yahudi dalam kategori yang sama dengan orang non-Yahudi –sinkron antara tindakan dan perkataannya. Perkataan Yohanes tadi mau mengatakan ‘hubungan darahmu dengan Abraham itu ‘gak ngaruh ya’, dan tindakannya adalah membaptis mereka, memperlakukan mereka sama seperti orang-orang non-Abraham. Tapi lihat, ada satu perkecualian di sini; dalam kisah berikutnya, Yesus dikatakan hadir di tengah-tengah orang banyak itu, dan Dia juga memberi Dirinya dibaptis oleh Yohanes Pembaptis. Apakah sekarang kita mulai melihat makna baptisannya Yesus?
Sekali lagi, orang Yahudi mengira mereka tidak perlu dibaptis, karena baptisan itu cuma buat orang-orang di luar Abraham; mereka merasa dengan menjadi keturunan Abraham, itu privilege, ‘saya jadi lebih naik sedikit dong dibandingkan orang-orang non-Yahudi itu’. Namun bagi Yohanes Pembaptis tidak demikian, baik Yahudi maupun non-Yahudi sami mawon, semua dibaptis, melambangkan semua terhitung dalam kategori yang sama.Lalu sekarang Yesus datang, dan Dia juga mau dibaptis; jadi berarti Yesus, lewat baptisan-Nya, sedang melakukan persis kebalikannya. Dia inilah satu-satunya Orang yang tidak perlu dibaptis; kalau ada orang yang tidak perlu dibaptis, Dialah Orangnya. Dalam hal ini memang dalam Lukas tidak dicatat, tapi di Injil-injil yang lain, misalnya Matius, dicatat bahwa waktu Yesus datang kepada Yohanes, Yohanes protes; “Gua baptis Elu?? Yang bener aja, terbalik banget; harusnya Lu yang baptis gua, bahkan gua harusnya ‘gak layak untuk membuka tali sepatu-Mu”.
Kenapa Yesus memberi Dirinya dibaptis? Karena inilah tindakan Yesus yang mengatakan persis kebalikan dari apa yang orang Yahudi klaim, Yesus mengklaim Dirinya terhitung di antara orang banyak, terhitung di antara orang-orang Yahudi dan non-Yahudi. Dalam hal ini Yesaya sudah menubuatkan, bahwa ketika Mesias datang, Dia akan dihitung bersama-sama dengan para pemberontak. Itu sebabnya ketika di sini Yesus hadir dan ikut dibaptis bersama orang banyak itu, Yesus sedang mengatakan: “Aku memperhitungkan diri-Ku dalam level yang sema bersama dengan orang-orang ini”. Lihatkah Saudara makna baptisan Yesus?
Tidak berhenti di situ, ada paradoks di sini; dengan cara inilah –karena Yesus dengan rela menghitung Dirinya di antara para pemberontak–justru membuat kita tahu betapa Dia beda dari mereka. Paradoks. Orang Yahudi pikir dan mengklaim diri mereka beda, justru membuktikan mereka sebenarnya sama saja; Yesus memperhitungkan diri-Nya sama dengan mereka, dan ini yang membuktikan Dia beda. Solidaritas yang malah menyatakan beda kualitas. Paradoks, namun tidak bisa dipisahkan. Yohanes Pembaptis bersuara kepada anak-anak Abraham: “Kamu tidak berkenan di hadapan Allah”, suara dari surga menyatakan kepada Yesus, “Inilah Anak-Ku –Anak Allah, bukan anak Abraham– dan kepada-Nya Aku berkenan”. Namun deklarasi ini bisa datang kepada Yesus justru dengan cara Yesus memperhitungkan diri-Nyadi tengah-tengah orang-orang yang tidak diperkenan itu. Aneh, ya. Paradoks. Inilah poin pertama dari kisah baptisan Yesus, ada paradoks di mana Yesus menaruh Dirinya sama dengan semua manusia, namun dengan demikian kita malah melihat Dia berbeda.
Kedua, mengenai silsilah (Luk. 3:23-38), satu bagian yang sering kali kita tidak tahu mau diapakan, namun Lukas memberikan poin yang sama di sini.
Dalam silsilah ini, pertama dikatakan Yesus sebagai anak Yusuf; ini tidak salah, memang secara legal Dia keturunan Yusuf (doktrin kelahiran dari anak dara tidak menyalahi hal ini). Lewat hal ini, Lukas mau mengatakan bahwa Yesus adalah seseorang yang terlahir dalam sebuah keluarga tukang kayu di Nazaret. Apa poinnya? Solidaritas; bahwa Yesus ada solidaritas, menempatkan Dirinya terhitung di antara orang-orang sedesa-Nya di Nazaret ini, keturunan Yusuf. Selanjutnya, ketika Saudara merunut maju silsilah ini, Saudara menemukan bahwa Yesus menurut silsilah tersebut adalah keturunan Zerubabel. Zerubabel adalah pangeran Yahudi yang membawa orang Yehuda kembali dari pembuangan; dengan demikian Yesus juga menempatkan Dirinya solider dengan kaum remnant, kaum buangan yang dibawa pulang dari Babel. Jadi sekarang lebih luas lagi, dari orang Nazaret ke seluruh kaum Yehuda yang dibawa pulang. Keturunan selanjutnya, ada nama Daud di situ, bahwa Yesus juga adalah anak Daud. Ini berarti Yesus juga ada solidaritas dengan semua orang yang berada dalam lini Daud dari suku Yehuda. Ini lebih luas lagi.Waktu Saudara runut terus, Saudara menemukan bahwa Dia juga adalah anak Abraham, dan dengan demikian solidaritasnya makin luas, kepada seluruh keturunan Abraham. Dalam hal ini Matius berhenti di sini, sedangkan Lukas melanjutkan, bahwa Yesus bukan cuma solider dengan umat Israel tok, tapi bahwa Yesus juga anak Adam. Ini skala yang terbesar, solidaritas dengan seluruh umat manusia. Yesus yang dihadirkan di sini adalah Yesus yang benar-benar terhitung di antara kita. Dari skala yang terkecil, keluarga tukang kayu di Nazaret, sampai skala yang terbesar, seluruh umat manusia keturunan Adam.
Gilanya, Lukas tidak berhenti di sini, karena ayat terakhir pasal 3 Saudara membaca: ‘anak Enos, anak Set, anak Adam, anak Allah.’ Dia solider dengan seluruh umat manusia, anak Adam, dan pada saat yang sama Saudara juga menyadari inilah alasannya Dia berbeda dari semua mereka: Dia Anak Allah, karena Dia anak Adam. Karena Yesus rela terhitung di antara umat manusia, di antara para pemberontak, inilah justru yang menyatakan betapa Dia berbeda dari mereka semua, Dia adalah Anak Allah. Ini poin yang persis sama dengan cerita baptisan tadi, meskipun kita pikir tidak berhubungan.
Ini juga sebabnya belakangan Paulus mengatakan Yesus adalah Adam yang kedua. Ini simply cara Paulus mengungkapkan paradoks yang sama yang kita sedang lihat, bahwa Yesus adalah dari Adam, solider dengan Adam dan dengan seluruh keturunannya, terhitung di tengah-tengah mereka, namun juga pada saat yang sama Dia beda dengan semua itu karena Dia rela menjadi sama. Itu sebabnya Dia Adam, namun Adam yang kedua; sama tapi beda, beda karena rela menjadi sama. Yesus sama dengan kita karena Dia telah rela turun ke dalam lubang yang sama dengan lubang yang kita terperosok di dalamnya, tapi Dia beda karena Dia turun ke lubang itu atas dasar ketaatan, sementara kita jatuh ke lubang itu karena kita tidak taat –karena Dia adalah anak Adam tapi juga Anak Allah. Exactly karena Dia rela menjadi anak Adamlah, kita menyadari Dia bukan sekadar anak Adam, Dia Anak Allah. Ini poin dari pasal 3; baik kisah baptisan maupun silsilah, menyatakan hal ini.
Sekarang, dengan berbekal semua itu, mari kita maju ke pasal 4, kisah pencobaan; dan kita akan menangkap makna yang lebih dalam di balik pencobaan Iblis di sini, karena apa kalimat tantangan Iblis kepada Yesus, yaitu: “O, jadi Kamu itu Anak Allah … buktikan dong”. Ini bukan kebetulan. “Kalau Kamu Anak Allah, kalau Kamu beneran yang telah dideklarasikan oleh suara surgawi di Sungai Yordan itu, kalau Kamu beneran Dia yang telah dirunut dalam silsilah tadi, buktikan! Saya minta tiga bukti!” kata setan. Bukti pertama: Anak Allah sudah seharusnya kebutuhan-Nya dipenuhi, dong; Kamu perlu makan, Kamu ada kuasa untuk bikin makanan, jadi bikinlah. Bukti kedua: Anak Allah sudah seharusnya menerima kuasa atas segala bangsa, dong, menjadi raja atas segala raja, dan karena sekarang dunia ada di tanganku, maka sembahlah aku, nanti aku akan berikan itu kepada Kamu. Bukti ketiga: Anak Allah sudah seharusnya dilindungi dari segala mara bahaya, dong, oleh tangan Bapa-Nya, maka sekarang jatuhkanlah Dirimu ke bawah, dan biarlah Bapa-Mu menepati janji-Nya.
Saudara, dalam menjawab ketiga hal ini, sering kali kita terfokus pada urusan Yesus mengutip Alkitab untuk melawan setan, tapi itu bukan poinnya, karena sekali lagi, poinnya bukan kiat-kiat dan rumusan. Kalau urusan rumusan, urusan kutip Alkitab untuk melawan setan, Saudara lihat waktu setan mencobai Yesus pun dia juga pakai ayat. Jadi bukan itu urusannya. Pertanyaannya bukan soal Yesus mengutip ayat atau tidak mengutip; pertanyaannya adalah: Dia mengutip semua itu dari mana dan untuk tujuan apa. Inilah yang akan kita lihat bersama-sama.
Semua ayat yang Yesus kutip sebagai jawaban-Nya, berasal dari satu kitab yang sama, yaitu kitab Ulangan. Apakah kitab Ulangan itu, ini penting; kitab Ulangan adalah kumpulan khotbah Musa yang terakhir sebelum umat Israel masuk ke tanah perjanjian. Musa dalam kitab Ulangan sedang mengulang seluruh hukum Tuhan yang diberikan bagi Israel –diberikan bagi manusia, untuk manusia jalankan, untuk manusia hidupi. Jadi ini hukum yang mengikat siapa? Manusia. Dengan demikian Saudara bisa melihat apa tujuan Yesus mengutip kitab Ulangan, yaitu yang pertama: “Setan, kamu mau bilang Aku lebih butuh roti daripada taat Allah? Allah telah memberikan firman bagi manusia, bahwa manusia tidak hidup dari roti saja tapi dari segala firman Tuhan; maka Aku sekarang berdiri dengan mereka, Aku juga tidak hidup dari roti saja, Aku hidup dari segala firman yang diucapkan Tuhan”. Jawaban kedua: “Setan, kamu menawari-Ku kuasa atas segala bangsa dan dunia dengan cara sujud menyembahmu, tapi Allah telah memberikan hukum kepada manusia, yaitu mereka tidak boleh menyembah siapapun kecuali Allah; maka Aku sekarang berdiri dengan mereka, Aku juga tidak akan menyembahmu”. Jawaban ketiga: “Setan, kamu menyuruh-ku mencobai Bapa-Ku, tapi Allah telah memberikan firman ini bagi manusia, ‘jangan mencobai Tuhan Allahmu’, maka Aku sekarang berdiri dengan mereka, Aku juga tidak akan mencobai Bapa-Ku”. Saudara bisa melihat poinnya? Yaitu bahwa Yesus, dalam menjawab pencobaan Iblis, tantangan mengenai status-Nya sebagai Anak Allah, Dia menjawab/membuktikan ke-Anak Allahan-Nya, dengan cara menempatkan diri-Nya sebagai anak Adam, sebagai manusia, dengan memperhitungkan diri-Nya di tengah-tengah para pemberontak, dengan menaati hukum yang ditulis bagi para pemberontak itu. Tidak heran Filipi 2 mengatakan: “Ia mengosongkan diri-Nya sendiri, mengambil rupa seorang hamba, menjadi sama dengan manusia”; dan inilah sebabnya Yesus menang.
Kenapa Yesus menang atas pencobaan? Kenapa Yesus ada pengendalian diri? Saudara lihat, Yesus bukan menang karena Dia mengakses ke-ilahian-Nya ‘kan. Yesus menang atas Iblis bukan karena Dia merapal jurus kamehameha ilahi yang bisa menghabisi setan selamanya seperti Dragon Ball, melainkan karena Yesus mengosongkan diri-Nya dan menjadi manusia, membatasi diri-Nya menjadi manusia, manusia yang taat sepenuhnya. Saudara lihat apa yang terjadi di sini? Kemenangan akan pencobaan bukanlah terjadi ketika engkau berusaha menjadi kuat, ketika engkau berusaha melampaui kemanusiaanmu, karena Yesus pun ternyata tidak melakukannya dengan cara seperti itu, Yesus tidak menang atas pencobaan dengan cara menjadi lebih dari manusia.
Setan kemudian mundur, dan dikatakan dia menunggu waktu yang tepat. Saudara tahu kapan waktu yang tepat itu? Momen kayu salib. Momen kayu salib adalah momen Yesus sendiri mengatakan, “Lu pikir Gua ‘gak sanggup panggil Bapa-Ku, suruh utus ribuan legion malaikat untuk menyelamatkan-Ku?? Lu pikir Gua ‘gak sanggup melakukan itu?” Dia punya akses terhadap keilahian seperti itu, tapi di kayu salib itu, sama seperti di sini di padang belantara, Dia menang bukan dengan mengakses keilahian itu, Dia menang justru dengan cara menempatkan diri-Nya terhitung di antara para pemberontak, Dia menang karena Dia menempatkan diri-Nya menjadi sama dengan manusia. Sama seperti di padang belantara, di kayu salib itu Dia menang dengan cara yang sangat manusiawi, dengan cara mati. Dan lihat, justru pada momen di kayu salib itulah seorang prajurit Romawi berdiri dan mengatakan: ”Inilah sungguh Anak Allah” –karena Dia mau menjadi anak Adam.
Saudara lihat, Yesus tidak menang atas pencobaan karena Dia Anak Allah yang lebih berkuasa daripada kita. Yesus menang atas pencobaan justru karena Dia rela menaruh diri-Nya di posisi kita yang lemah. Itulah tandanya Dia Anak Allah yang sejati. Apa yang bisa kita pelajari dari ini? Itu berarti: kita kalah dalam pencobaan bukan karena kita lemah, tapi karena kita mengira diri kita kuat, karena kita memperhitungkan diri kita lebih daripada orang lain. Saya bisa koq naik tol lagi, saya bisa koq balik ke jalan ini lagi, ‘gak masalah —kita pikir kita kuat, maka kita kalah.
Lent, tujuannya membongkar hal ini, membuat kita menyadari realitas kita sesungguhnya, siapa engkau manusia, engkau lemah, engkau tidak ada apa-apanya. Lent mengajak kita untuk benar-benar menghadapi kegelapan dalam diri kita, and yet anehnya inilah justru jalan dari Kerajaan Tuhan. Ketika kita mengakui/mengasumsikan kemanusiaan kita, kelemahan kita, dan dengan demikian berarti ketergantungan kita akan firman Tuhan, inilah justru momennya kita menjadi anak-anak Allah, inilah momennya kita menang atas pencobaan, karena Yesus sendiri menjalani jalan yang demikian.
Bukan cuma itu, kekuatan yang terakhir bukan cuma dengan menyadari paradoks tersebut, tapi dengan melihat Dia yang menjalani paradoks itu terlebih dulu. Jika Yesus, yang adalah Anak Allah, memang tidak perlu dibaptis, lalu kenapa Dia dibaptis? Jika Dia adalah Anak Allah dan tidak perlu menaruh diri-Nya di tengah-tengah manusia, kenapa Dia menaruh diri-Nya seperti itu? Jika Dia adalah Anak Allah, Dia tidak perlu manaati firman Tuhan karena firman Tuhan diberikan bagi para pemberontak, lalau kenapa Dia musti ikut-ikutan?? Saudara, apa jawaban dari pertanyaan ini? Apalagi jawabannya kalau bukan: Dia melakukannya bagi kita. That’s it, that’s the whole point. Semua ini Dia lakukan bukan karena Dia perlu, bukan karena Dia harus; semua ini Dia lakukan untuk engkau dan saya. Tuhan Yesus bisa pakai 1001 cara untuk menang atas pencobaan, tapi Dia pilih yang satu ini, kenapa, karena Dia menghitung diri-Nya di tengah-tengah para pemberontak, di tengah-tengah kita.
Apa sebenarnya keunikan Kristen di hadapan dunia? Kita sering kali ingin mencari hal itu. Saya kepingin jadi orang Kristen itu ada something-nya, kalau tidak, bedanya apa saya dengan dunia? Itu pertanyaan yang fair. Kita perlu tahu dong, apa bedanya saya dengan orang-orang dunia; saya perlu ada satu penanda identitas yang saya bisa pegang, yang saya bisa katakan ‘kalau saya seperti ini, maka saya orang Kristen’, dan orang dunia tidak ada yang seperti ini, apakah itu? Kita mencari-carinya. Kemudian ada orang-orang Kristen mengira mereka menemukan jawabannya: “O, saya punya doktrin yang benar, maka saya orang Kristen; yang tidak punya doktrin seperti saya, semuanya bidat!” akhirnya orang kayak begini tidak benar-benar menjadi orang Kristen, tidak benar-benar menjadi orang yang membawa damai, dia malah sering kali membawa perang. Ada orang-orang Kristen yang merasa, “O, tidak begitu, yang paling penting saya bisa bekerja sosial, mewujudkan keadilan bagi masyarakat”, namun ternyata kalah dari Tzu Chi, Budha, dan segala macam, karena ada banyak orang lain bisa melakukan hal itu; dan bukan itu juga yang paling besar yang bisa kita kerjakan. Kalau begitu, jadinya apa, dong? Apa bedanya orang Kristen dengan orang dunia? Kalau kita mengatakan tidak ada bedanya, jadinya ya sudah, sama saja kita dengan dunia. Saudara, bedanya sebagaimana Saudara lihat di sini, yaitu: Saudara menyadari diri tidak berbeda. Itu bedanya, beda yang sejati.
Problem di atas dunia ini terjadi karena orang-orang menganggap diri berbeda. Kenapa kita tidak suka dengan orang yang paslon-nya beda, adalah karena kita merasa diri kita beda, bukan cuma dalam arti ‘berbeda’ tapi dalam arti ‘kita beda dong’, dalam arti kita lebih tinggi, lebih tahu kebenarannya dibandingkan orang-orang itu. Itu sama seperti tadi, ‘kita beda, karena kita punya doktrin yang benar; kita beda, karena kita punya gereja dengan jumlah sekian banyak, dsb.’ –kita beda karena hal-hal ini dan itu. Waktu Saudara mengatakan seperti itu, lalu apa bedanya dengan dunia? Semua orang dalam dunia juga mengatakan seperti itu, ”Kami sayap kiri, kami beda dengan sayap kanan, sayap kanan itu kurang ajar, tidak toleran, mau mengembalikan dunia ke 500 tahun lalu, ketinggalan zaman! Kami beda, kami kiri!” Lalu yang kanan mengatakan, “Kami beda, kami tidak seperti kiri; yang kiri itu mau buka semuanya sesukanya, mau bikin kita bingung antara cewek dan cowok, bikin semuanya blur, bikin orang ‘gak mengerti perbedaan, ‘gak mengerti struktur/order dalam masyarakat, mau bikin manusia jadi hancur sama dengan binatang, dsb.! Kita beda, kita tahu yang benar!”
Saudara, apa bedanya kita jadi orang Kristen kalau ujungnya mencari identitas kita dalam perbedaan? Hal itulah justru yang bikin dunia hancur, terbelah-belah –karena orang-orang pikir mereka berbeda, karena orang-orang Yahudi pikir mereka ada privilege sebagai orang Yahudi berhubung keturunan Abraham yang somehow membuat mereka lain levelnya. Namun Saudara lihat apa bedanya Kekristenan, yaitu bahwa Kekristenan adalah jalan di mana Saudara menerima keselamatan lewat anugerah, bukan karena dirimu, bukan karena kamu beda. Kamu sama saja, tidak ada yang membedakanmu; yang membedakan adalah kasih Allah bagimu, anugerah Allah bagimu. Inilah yang harusnya membuat kita benar-benar berubah, membuat kita ketika maju keluar sekarang tahu inilah bedanya saya: saya tahu saya bukan apa-apa, saya tahu saya tidak ada apa-apanya, saya tahu saya lemah, saya cuma bergantung pada anugerah Tuhan, saya tahu saya diselamatkan hanya oleh karena anugerah tok, saya tahu Allahku itu beda tapi Dia rela menjadi sama –itu yang justru membuat Dia beda.
Saudara, itu sebabnya orang Kristen harusnya tidak merasa beda dengan orang miskin; dan ketika Saudara menemukan orang Kristen yang sperti itu, Saudara akan merasa ini orang Kristen beda. Itu sebabnya orang Kristen tidak merasa beda dengan orang-orang yang berdosa, bahkan dengan orang-orang LGBT (orang LGBT dosanya adalah ingin berhubungan seks dengan sesama jenis; orang Kristen tahu dirinya juga punya problem yang sama, ingin berhubungan seks dengan orang yang bukan istrinya/suaminya). Ketika itu terjadi, ketika Saudara melihat tingkah laku mereka, bagaimana mereka berelasi dengan orang lain, Saduara menyadari ‘beda, ya; ada something yang beda’. Inilah Kekristenan, karena Allahnya seperti itu.
Inilah panggilan yang kita lihat di bagian ini, mari kita melihat kepada Kristus, mari kita menyadari siapa Allah kita sesungguhnya. Allah kita adalah Allah yang beda, tapi bukan karena Dia menaruh kaki-Nya di bawahmu dan mengatakan, “Ini bedanya Saya! Saya lebih kuat daripada engkau, Saya lebih hebat daripada engkau!” Dia justru beda karena Dia mau menjadi sama; dan berarti kita juga dipanggil dalam hal yang sama juga.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading