Kita melanjutkan pembahaan seri LITURGI, hari ini tentang “Pembacaan Alkitab”, dalam bahasa Latin ”Lectio Biblica”, atau yang lebih populer “Lectio Sacra”.
Kita membaca beberapa ayat Alkitab:
- Mazmur 1: 1-2, Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik, yang tidak berdiri di jalan orang berdosa, dan yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh, tetapi yang kesukaannya ialah Taurat TUHAN, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam.
- Kolose 3: 16-17, Hendaklah perkataan Kristus diam dengan segala kekayaannya di antara kamu, sehingga kamu dengan segala hikmat mengajar dan menegur seorang akan yang lain dan sambil menyanyikan mazmur, dan puji-pujian dan nyanyian rohani, kamu mengucap syukur kepada Allah di dalam hatimu. Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa kita.
Pembacaan Alkitab di Gereja kita, secara tradisi mengikuti tradisi Lectio Continua, maksudnya pembacaan –serta perenungan tentunya—yang berurutan, atau yang disebut khotbah eskposisi. Pasti banyak kelebihan dalam pembacaan Alkitab secara lectio continua ini, jadi tidak memilih-milih ayat-ayat tertentu yang dianggap favorit atau ayat emas yang sering dikhotbahkan, melainkan kita juga ayat-ayat yang dianggap sulit dan seakan tidak terlalu ada yang bisa direnungkan dari ayat tersebut, karena kita percaya seluruh Kitab Suci adalah Firman Allah.
Ada juga pembacaan model lain, yang disebut Lectio Selecta. Tradisi ini sebetulnya sudah sejak Yudaisme. Dalam cerita kehidupan Yesus, kita melihat pembacaan model Lectio Selecta ini, misalnya dalam Lukas 4. Ini adalah model lectio selecta yang biasa dijalankan pada hari Sabat, ketika orang Yahudi masuk ke rumah ibadat kemudian ada pembacaan dari kitab Yesaya. Dalam Lukas 4 ini Yesus juga membaca dari kitab Yesaya: “Roh Tuhan ada pada-Ku,oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin;dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan,dan penglihatan bagi orang-orang buta,untuk membebaskan orang-orang yang tertindas,untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang” (ayat 18-19). Selanjutnya, perhatikan ayat 20: Kemudian Ia menutup kitab itu, memberikannya kembali kepada pejabat, lalu duduk; dan mata semua orang dalam rumah ibadat itu tertuju kepada-Nya (kepada Kristus). Lalu Ia memulai mengajar mereka, kata-Nya: “Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya”. Ayat ini boleh menjadi suatu pondasi pengertian apa artinya Pembacaan Alkitab “Lectio Selecta”, yaitu bukan sekedar suatu giliran membaca perikop-perikop tertentu (yang katakanlah sesuai Kalender Gereja), karena yang dikatakan Kristus di sini: “pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya”.
Mungkin Saudara berpikir, ‘Ini ‘kan Yesus yang baca, tentu saja Yesus bisa mengatakan kalimat itu; tapi saya bukan Kristus, saya tidak bisa dong mengatakan “pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya” ‘. Tetapi, sebetulnya kita justru harusnya menghayati pengertian yang sama, bahwa waktu Saudara mengikuti Pembacaan Alkitab hari ini –hari ini pembacaan Injil dari Lukas 9—maka mata kita melihat kepada Kristus, sebagaimana di ayat 20 tadi dikatakan ‘mata semua orang dalam rumah ibadat itu tertuju kepada-Nya –kepada Kristus’. Waktu membaca Kitab Suci, apakah mata kita tertuju kepada Kristus, atau cuma telinga kita terbuka menangkap semacam gelombang suara yang kebetulan ayat Alkitab? Bisakah kita juga mengatakan, pada hari ini waktu saya membaca nas Alkitab ini, nas tersebut juga genap di dalam Kristus?
Pembacaan Kitab Suci bukanlah sekedar pembacaan kata-kata; ini adalah suatu pembacaan yang membawa kita untuk melihat Kristus. Kalau ini tidak terjadi, akhirnya jadi Ibadah kosong dan pembacaan yang kosong. Pembacaan Kitab Suci yang tidak membawa kita kepada Kristus dan tidak mengobarkan cinta kasih kita kepada Kristus, itu pembacaan yang tidak terlalu ada artinya. Ada yang salah di situ. Dan, sebelum kita menghayatinya di dalam kehidupan sehari-hari, Ibadah menjadi satu latihan spiritual yang sangat baik, bahkan lebih dari sekedar latihan spiritual karena kita percaya Kristus sungguh-sungguh hadir di dalam Ibadah. Jadi, waktu kita membaca Kitab Suci, kita bukan hanya mendengar dengan telinga jasmani, tapi juga mendengar dengan telinga rohani; demikian juga bukan hanya melihat Kitab Suci kita dengan mata jasmani, tapi juga melihat dengan mata rohani, bahwa Kristus adalah penggenapan dari ayat-ayat Alkitab yang kita baca tersebut. Inilah artinya mata yang tertuju kepada Kristus. Jika tidak, Ibadah kita menjadi suatu ibadah yang agaknya tanpa Kristus, tidak peduli berapa banyak dan berapa panjang ayat Alkitab yang kita baca. Kalau kita tidak melihat kemuliaan Kristus di dalamnya, kalau mata kita tidak tertuju kepada Kristus, maka itu jadi bukan Pembacaan Kitab Suci, bukan seperti yang dikatakan dalam lectio selecta Lukas pasal 4.
Saya pikir, kita tidak perlu mengontraskan, apalagi bikin ranking mana yang lebih baik —Lectio Continua atau Lectio Selecta, atau Lectio Sacra, atau Lectio Divina— dan memperdebatkan yang mana sebetulnya metode yang terbaik untuk Liturgi. Poinnya bukan di sana, karena itu bukan hal yang mutlak. Hal yang mutlak adalah melihat Kristus waktu kita membaca Kitab Suci. Kedengarannya mungkin klise, tapi kita tahu, ini tidak selalu terjadi dalam kehidupan kita. Kita bisa saja membaca Kitab Suci tapi yang kita dengar adalah orangnya, yang berkhotbah itu –jadi sebetulnya siapa yang sedang dibahas di sini??
Ada satu perkataan, kalau tidak salah dari John Piper: “Kalau kita hanya mengkhotbahkan apa yang pengkhotbah tersebut bisa lakukan, itu artinya we preach too low”. Ada orang waktu mengkhotbahkan Kitab Suci sebetulnya mengkhotbahkan virtue-nya sendiri, tidak mengkhotbahkan Kristus. Yang dikhotbahkan adalah kelebihan-kelebihan dirinya, sehingga orang tidak mendengar tentang Kristus melainkan tentang pengkhotbah itu, tentang Gereja itu; bukan mendengar tentang Kitab Suci. Tetapi kalau kita mengkhotbahkan Kitab Suci, maka tidak peduli Saudara lulus atau tidak lulus, Saudara mampu atau belum mampu melakukan ayat tersebut, bahkan katakanlah dua hari lalu kita gagal menaati ayat itu, kita tetap harus khotbah bagian tersebut, karena ini adalah Firman Tuhan. Ini adalah Kristus yang diberitakan; dan Kristus tidak boleh direduksi dalam kemampuan Saudara menaati Firman Tuhan. Ini penting sekali.
Schweitzer, pada satu periode pernah sementara waktu membubarkan penyelidikan “Historical Jesus”, karena dia menelanjangi bahwa orang bicara tentang historical Jesus, tapi sebetulnya bukan Yesus yang dibicarakan, yang dibicarakan adalah proyeksi mereka sendiri tentang Yesus; kalau yang membaca orang California maka mendadak Yesus jadi Californian Jesus, kalau yang membaca orang Berlin maka mendadak Yesus jadi jadi Berlinian Jesus, kalau yang membaca orang Perancis maka mendadak Yesus jadi jadi French Jesus –ini apa-apaan?? Orang tidak betul-betul belajar tentang Kristus, orang memproyeksi dirinya sendiri dan dipantulkan ke sana, lalu diajarkan sebagai Kristus, padahal bukan Kritus sebetulnya yang dibicarakan, melainkan dirinya sendiri. Pada waktu itu, untuk sementara waktu tidak ada lagi orang berani menulis tentang historical Jesus, baru belakangan ini mulai ada suatu kebangunan lagi, mulai menyelidiki lagi –tentu saja harus dengan pendekatan yang berbeda, dengan memperhatikan kritik Albert Schweitzer, supaya kita tidak menggambarkan Kristus menurut diri kita sendiri. Di situlah baru waktu membaca Kitab Suci, kita menjumpai Kristus.
Kita menjumpai Kristus bukan hanya di dalam kelebihan-kelebihan kita, atau katakanlah secara komunitas di dalam kelebihan-kelebihan Gereja kita; kita menjumpai Kristus –atau lebih tepatnya, Kristus menjumpai kita– juga di dalam kelemahan-kelemahan kita. Barulah di situ kita bisa mengatakan sedang membaca Alkitab, bukan membaca diri kita sendiri yang terproyeksi di dalam Alkitab.
Di gereja kita khotbahnya sebagian besar mengikuti cara Lectio Continua, tetapi Pembacaan Alkitab kita memakai Lectio Selecta. Di sini Saudara diajak untuk punya kepekaan, hari Minggu ini Minggu apa. Minggu ini adalah Minggu Oculi (Oculi Sunday), Minggu ke-3 dalam masa Lent. Istilah ‘oculi’ (mataku) diambil dari Mazmur 25:15, “Mataku tetap terarah kepada TUHAN, sebab Ia mengeluarkan kakiku dari jaring.” Ini cocok dengan renungan kita hari ini; terarah kepada siapa waktu kita membaca Kitab Suci? Terarah kepada Tuhan; yang kita lihat adalah Kristus, sebagaimana Lukas 4 tadi mengatakan ‘semua mata tertuju kepada Kristus’. Dan kita memakai Gospel Reading, karena ingin di dalam kehidupan Gereja, kita mengenal kehidupan Yesus Kristus, dan bukan evangelicalism yang reduktif.
Evangelical tidak seharusnya reduktif, tapi bahaya reduksi Injili sangat riil. Orang cuma bicara “terimalah Yesus di dalam hatimu; kalau kamu sudah pernah angkat tangan waktu KKR, maka kamu Kristen, congratulation!” Tapi mereka tidak tertarik dengan perumpamaan-perumpamaan yang diajarkan Kristus, tidak tertarik dengan motif pembalikan (reversal motif) dalam Kerajaan Allah, tidak tertarik dengan narasi-narasi Kerajaan Allah, lalu di dalam dunia membangun worldview mereka sendiri yang lama itu. Tidak ada ciptaan baru di sini. Tetap seperti gaya hidup lama –tapi bagaimanapun sudah pernah angkat tangan di KKR, dan yakin sekali bahwa dirinya orang Kristen yang sejati. Saya tidak tertarik untuk menggoncang-goncang kehidupan Saudara, apalagi menggoncang iman Saudara, tapi ini adalah pemberitaan kebenaran. Itu sebabnya Gospel Reading penting, karena membawa kita kepada apa yang sebenarnya disebut Injil, bahwa Injil adalah keseluruhan kehidupan Yesus, inkarnasi-Nya. Tentu tidak salah kalau mengatakan klimaksnya ada pada salib dan kebangkitan-Nya, tetapi cerita kehidupan Kristus adalah keseluruhannya. Seluruh perjalanan kehidupan Kristus, menjadi narasi Gereja, narasi kehidupan komunitas Kristen.
Pembacaan Alkitab di gereja kita tidak selalu bentuknya Gospel Reading, tahun demi tahun ada pergantian antara Gospel Reading, Psalm Reading, dan Epistle Reading. Pembacaan Injil (Gospel Reading) membawa kita kepada kehidupan Kristus. Dalam Pembacaan Surat-surat (Epistle Reading), ituadalah perkataan para rasul yang disampaikan kepada jemaat; dan kita sendiri adalah jemaat Tuhan, sehingga kita juga perlu mendengar surat-surat ini. Dalam Pembacaan Mazmur (Psalm Reading), kita mendapati pergumulan kita juga dinyatakan di situ.
Salah satu –atau bahkan memang mazmur yang paling gelap– adalah Mazmur 39, mazmur orang depresi yang tidak ada kalimat imannya. Atau ada sedikit kalimat iman tapi balik lagi depresi; seperti ada pengharapan kemudian balik tidak ada pengarapan, sangat pesimis. Dan yang menarik, di dalam pimpinan Roh Kudus teks seperti ini bisa masuk kanonisasi. Ini bukan kecolongan, melainkan Roh Kudus menghendakinya supaya ini juga menjadi pergumulan kita, bahwa ada orang yang boleh dikatakan hampir tidak bisa percaya lagi kepada Tuhan, tapi juga masih percaya, meski pikirannya tentang Tuhan begitu negatif dalam Mazmur 39 ini. Jadi apa artinya membaca Mazmur? Yaitu bahwa Tuhan mau mengakomodasi pergumulan kita. Waktu kita membaca Mazmur, apalagi kalau menyanyikannya, kita melihat bahwa pergumulan ini bukan sesuatu yang baru melainkan sudah dicatat di dalam Kitab Suci. Kita bisa bergumul bersama pemazmur akan kesulitan-kesulitan kita. Ini tidak bicara tentang “yes man” Christianity yang tidak ada pertanyaan, tidak ada kesulitan, tidak ada keragu-raguan, tidak ada kekecewaan, dsb., melainkan bicara tentang Kekristenan yang sangat realistik.
Minggu ini disebut Oculi Sunday, Minggu ke-3 dalam masa Lent; dan message utama dalam Oculi Sunday adalah tentang “pengikutan”, maka ayat yang kita baca dari Lukas 9: 57-62 ini bicara tentang pengikutan. Ide utamanya yaitu bahwa pengikutan yang sejati berarti membebaskan diri dari segala ikatan yang ada di dunia ini, termasuk ikatan manusia.
Saudara perhatikan, mengapa dengan manusia koq perlu melepaskan diri, bukankah kita harus mengasihinya? Kita tahu, manusia –dalam hal ini yang paling potensial adalah anggota keluarga kita—bisa menjadi berhala juga dalam kehidupan kita. Itu sebabnya kita perlu melepaskan diri dari ikatan ini. Inilah pengikutan. Yesus mengatakan “barangsiapa tidak membenci ayah ibunya dan saudaranya, dia tidak dapat mengikut Aku, dia tidak layak untuk Kerajaan Allah”. Berarti, berhala pemberhalaan keluarga sangatlah nyata, dan di dalam Kitab Suci ini sudah disampaikan; Abraham diminta untuk mempersembahkan Ishak. Memang betul tidak semua tokoh Alkitab diminta mempersembahkan anaknya, tapi Abraham mempersembahkan Ishak. Kita mendapat cerita ini dari mana? Yaitu Bapa sendiri mepersembahkan Anak-Nya. Lalu bagaimana dengan Saudara dan saya? Kita sudah pasti ada attachment dengan anggota keluarga kita –itu wajar– tapi pengikutan, termasuk juga bicara soal keterlepasan ini.
Selain manusia, ada lagi harta milik. Paulus mengatakan, “Yang beristri seolah-olah tidak beristri [tidak terikat dengan keluarga, sebagaimana dijelaskan di atas], yang membeli barang seolah-olah tidak membelinya”. Jelas maksudnya bukan tidak boleh punya harta milik, melainkan supaya hati kita tidak diletakkan di sana. Harta milik bisa menjadi sesuatu yang mengikat hati kita, dan kita sangat tidak bisa melepaskan diri dari hal itu, sampai akhirnya kita tidak bisa mengikut Kristus dengan benar.
Satu lagi, terikat dengan masa lalu. Tidak bisa mengampuni, tidak bisa move on. Tidak bisa lepas-lepas dari pengalaman masa kecil yang rusak yang terus menghantui, sampai-sampai Kristus juga sepertinya tidak mampu melepaskan kita dari sana; padahal Kristus sungguh-sungguh sangat mampu, tapi kita lebih memilih terikat dengan itu daripada terikat dengan Kristus. Itu sebabnya pengikutan kita kepada Kristus jadi rusak, karena kita membiarkan masa lampau kita menguasai diri kita. Lukas 9:62 mengatakan: “Setiap orang yang siap untuk membajak, tetapi menoleh ke belakang, tidak layak untuk Kerajaan Allah”. Paulus melihat kegelapan itu di belakang; dalam Surat Efesus dia mengatakan: “Kamu dahulu hidup dalam kegelapan, tetapi sekarang kamu anak-anak terang”. Kegelapan itu miliknya masa lalu, masa lalu adalah masa yang lalu, jangan terus hidup di dalam masa lampau dengan segala kegelapannya. Bukan berarti kita pura-pura tidak tahu dulu terjadi apa dalam hidup kita. Agustinus, yang menulis Confession, bisa melihat masa lalunya begitu detail, tapi di dalam perspektif anugerah Tuhan. Inilah orang yang beres. Tapi ada orang waktu melihat masa lalunya, tidak bisa membacanya melalui perspektif anugerah Tuhan, terus-menerus di dalam luka hatinya, penolakan masa kecilnya, dendamnya, traumanya, dsb., tidak bisa lepas, terus-menerus diikat oleh masa lampau itu, seakan-akan mau terus dia rangkul dan tidak mau dilepaskan, padahal Kristus datang untuk melepaskan kita dari. Apakah ini satu fakta dalam kehidupan kita, ataukah Injil yang berkuasa di dalam kehidupan kita? Itu sebabnya waktu kita bicara “pengikutan” (discipleship), ini sesuatu yang sangat konkret, yang membebaskan kita dari ikatan-ikatan yang mereduksi kehidupan kita. Bacaan Injil Minggu ke-3 masa Lent ini mengajak kita untuk merenungkan apa artinya pengikutan akan Kristus
Mengenai tradisi Lectio Divina, di dalam Kekristenan seringkali diatributkan pada orang Katholik; sementara orang Reformed: ‘O, kita lebih cenderung kepada studi Alkitab, pengetahuan yang seluas ensiklopedia, kita membuka tafsiran-tafsiran, menyelidiki bahasa aslinya, membuka konkordansi, dsb.‘ Saudara, kita tidak tertarik membuat ranking-ranking seperti ini lalu melabelkan Lectio Divina sebagai sesuatu yang bukan dari tradisi kita, karena ada banyak hal baik yang bisa kita pelajari. Yohanes Calvin termasuk salah satu suporternya; sementara dalam masa Puritan, yang terkenal adalah Richard Baxter, yang sangat mempromosikan Lectio Divina ini.
Lectio Divina dibagi dalam 4 langkah. Yang pertama, lectio (pembacaan Alkitab itu sendiri). Yang kedua, meditatio (meditation). Yang ketiga, oratio (doa/praying). Yang keempat, contemplatio (contemplation); ini sedikit dibedakan dari meditatio. Kadang-kadang di dalam literatur lain, yang kedua (meditatio) dan keempat (contemplatio) bisa dipakai bergantian, tapi di dalam 4 langkah Lectio Divina dibedakan antara meditatio dan contemplatio. Di dalam tulisan Baxter, dia tetap pakai istilah ‘meditation’ , tapi di bagian tertentu sebetulnya yang dimaksudkan contemplation.
Waktu membaca Kitab Suci, langkah pertamanya tentu saja Saudara menbuka dan membacanya (lectio). Setelah itu, kita merenungkan (meditatio), kita membiarkan Firman Tuhan betul-betul mengendap dalam kehidupan kita –sehingga kadang-kadang bagian ini sedikit dikontraskan, bahwa meditatio berbeda dari Bible study. Dalam Bible study, kita misalnya belajar apa akar katanya, dsb., –yang bukan tidak penting– tetapi menurut definisi yang ketat, yang disebut meditation adalah Saudara mencari communion with Christ. Waktu Saudara membaca Kitab suci, Saudara sedang menjalin hubungan/relasi dengan Kristus, melihat Alkitab sebagai Firman Kristus, Firman yang hidup, dan Saudara sedang berjumpa dengan Kristus.
Saya mengutip Richard Baxter, bagian yang sangat dekat dengan konsep meditatio: ‘as some labours not only stir a hand, or a foot, but exercise the whole body; so doth meditation the whole soul. As the affections of sinners are set on the world, are turned to idols, and fallen from God, as well as their understanding; so must their affections be reduced to God, as well as the understanding; and as their whole soul was filled with sin before, so the whole must be filled with God now’. Lalu dia mengutip Mazmur 1: ‘See David’s description of the blessed man, “His delight is in the law of the Lord, and in his law doth he meditate day and night.”’ Ada beberapa kata yang diulang di sini, misalnya ‘whole’, berarti ini bicara keseluruhan.
Tes sederhana saja: setelah selesai Kebaktian, setelah Postlude dan kita merenung, lalu apa? Ada orang yang begitu selesai Kebaktian –termasuk saya—langsung cek WA. Cepat sekali ya, channel di kepala kita ganti. Ini artinya sulit sekali bicara soal ‘whole’; Ibadah cuma jadi salah satu laci dalam kehidupan kita di antara 10.000 laci yang lain, dan kita begitu gampang ganti channel, kita langsung terbahak-bahak cerita-cerita lucu, dsb. Bukan kita tidak boleh humor, tapi seperti tidak ada pengendapannya Ibadah ini, cuma sekedar salah satu di antara yang lain-lain saja –seperti kita makan lalu selesai, ya, sudah, saya pergi ke parkiran, selesai. Yang tadi itu seperti sudah lewat, sudah ada di belakang, tidak ada resonans, tidak ada gema (echo) yang terus Saudara dengar, Saudara langsung masuk ke rutinitas Saudara, padahal kita bilang ini hari Sabat, hari yang kudus.
Orang Puritan, mereka betul-betul menjaga hari Sabat itu dengan perenungan Firman Tuhan. Kita sudah pernah merencanakan di GRII Kelapa Gading, tapi tidak jalan gara-gara Covid, yaitu memperpanjang waktu untuk jemaat bisa tetap tinggal di Gereja, membicarakan Firman Tuhan, membicarakan tentang Tuhan, saling menguatkan, dsb. Dalam cerita Revival, itulah yang terjadi; dan itulah true meditation. Kehidupan kita yang ganti channel begitu cepat inilah anti-Liturginya, gampang sekali kita pindah channel, seolah-olah yang tadi sudah tidak ada lagi, sudah lewat, tidak ada bekasnya. Ada orang setelah Perjamuan Kudus, di hari Minggu itu berantem di tempat parkir gereja. Kalau begitu, Perjamuan Kudus tadi apa sebetulnya?? Tidak ada bekasnya. Perjamuan Kudus kita satu bulan sekali, tapi belum lagi 1 hari lewat, kita sudah berantem dengan orang lain di tempat parkir! Seperti tidak ada efek sama sekali datang ke Kebaktian. Semuanya superficial, semuanya serba permukaan. Pembacaan Kitab Suci kita cuma permukaan, dengar Firman Tuhan juga permukaan, menyanyi permukaan, doanya permukaan –semuanya permukaan. Lalu kita heran mengapa Kekristenan tidak berakar?? Kalau Liturgi kita permukaan, praktek hidup kita permukaan, maka yang dihasilkan tentu saja Kekristenan permukaan, superficial and artificial Christianity! Apa yang kita harapkan kalau seperti ini?
Richard Baxter bahkan menggunakan ilustrasi seorang pekerja, yang waktu kerja, dia bukan cuma menggerakkan tangannya atau kakinya, melainkan seluruh badannya. Demikian pula kalau orang meditasi/merenung, itu adalah seluruh jiwanya. Ini bukan cuma “bagus ya khotbahnya, what a nice insight, saya baru pertama kali dengar seperti ini”, sangat excited, tapi setelah itu tidak ada apa-apa lagi, semuanya menguap dengan gampangnya, tidak ada akar, tidak ada pengendapan. Tidak ada meditatio. Yang ada adalah metode scanning; di dalam segala sesuatu cuma scanning. Di dalam pekerjaan juga begitu, di dalam pertemanan juga begitu, di dalam keagamaan juga begitu. Semuanya metode scanning, karena ‘ya, kita musti sebanyak-banyaknya scanning’. Memang betul Saudara bisa scanning banyak dan seperti luas sekali, tapi semuanya tidak ada akarnya, tidak ada satu pun yang beres, semuanya level permukaan.
Itu sebabnya, di dalam Lectio Divina, langkah yang ketiga adalah mendoakan yang kita baca dalam Kitab Suci (praying Scripture/oratio). Kita sudah berkali-kali membahas bahwa waktu berdoa, berdoalah tentang kehendak Allah yang dinyatakan di dalam Kitab Suci. Kita bisa mendoakan seluruh Khotbah di Bukit ayat per ayatnya. Kita bisa mendoakan buah Roh satu per satu. Tapi orang lebih suka berdoa tentang kehendak Allah yang berdaulat yang kita tidak tahu; ada orang menulis, yang seperti ini mirip Pagan religion, seperti kafir, yang perlu ramalan (oracle) akan terjadi apa nanti. Dalam Kekristenan, kita ini tahu kehendak Tuhan yang sudah dinyatakan, mari kita berdoa tentang kehendak yang dinyatakan itu. Perkara Saudara nanti menikah dengan siapa, tinggal di mana, kerja di mana, itu urusan tidak terlalu penting. Urusan yang penting adalah taat pada kehendak Tuhan yang dinyatakan, dan kita mendoakannya.
Setelah itu, langkah yang ke-4, contemplatio. Istilah ini bisa dipakai bergantian dengan meditatio. Memang kemiripannya banyak, tapi ada bedanya antara contemplatio dan meditatio. Meditatio adalah dalam pengertian sebelum berdoa, kita merenungkan Firman Tuhan itu, ini pengendapan dalam seluruh jiwa kita. Sedangkan contemplatio maksudnya adalah yang disebut dengan “the mystical ecstasy”, union with God in the love of Christ.
Dalam tulisannya Bernard de Clairvaux, “Four Degrees of Love”, dia ada membahas bagian ini. Kita jadi terbakar oleh cinta kasih Kristus, ada kemanisan yang tidak bisa dibeli, yang tidak bisa ditawarkan oleh dunia. Dan ini sangat banyak menyentuh wilayah estetik; bukan cuma wilayah kognitif/rasional, tapi afeksi kita juga terbakar. Inilah artinya kontemplasi. Dalam istilah Baxter, dia mengatakan: “If in holy meditation thou get near to Christ, and warm thy heart with the fire of love, and then come but seldom [tapi jarang-jarang saja], thy former coldness will soon return; … It is true, the intermixing of other duties, especially secret prayer [karena sebelum contemplatio, ada oratio/berdoa], may do much to the keeping thy heart above; but meditation is the life of most other duties, and the view of heaven is the life of meditation”. Inilah yang disebut dengan kontemplasi. Tapi kalau Saudara membaca surat kepada jemaat Efesus di dalam kitab Wahyu, inilah persisnya yang hilang –kehilangan kasih yang mula-mula. Jadi dingin. Itu sebabnya bahaya dari pembacaan Alkitab yang tidak ada contemplatio-nya, yaitu cuma mengisi otak belaka, dan lebih jelek lagi cuma metode scanning yang cepat tadi.
Saudara pasti pernah mengalami –dan saya sendiri pun pernah—kita bilang “Wah, khotbah tadi bagus sekali, saya sampai keluar air mata”; lalu waktu ditanya “khotbahnya apa?”, kita tidak ingat sama sekali, apa ya, tadi?? Kita tidak bisa mengartikulasikan lagi, semuanya menguap begitu saja. Hilang begitu saja, tapi bilang ‘bagus’, yang diingat cuma humornya, ilustrasinya, dsb., sedangkan message-nya menguap begitu saja –lalu kita berdoa “biarlah nanti Roh Kudus mengingatkan waktu saya dalam pencobaan”. Jadi, sebetulnya mengendap atau tidak waktu kita baca Firman Tuhan itu? Firman Tuhan itu di-erami sampai matang atau tidak di dalam kehidupan kita?
Tanpa meditation dan contemplation, Baxter mengatakan: ‘kalau kita jarang melakukannya, maka ke-dingin-an (coldness) akan segera ambil alih dengan sendirinya, tidak usah diundang.’ Coba saja Saudara matikan lampu di malam hari, Saudara tidak usah mengundang kegelapan, kegelapan akan langsung manguasai. Kalau tidak ada kehangatan kasih Kristus, yang otomatis menguasai adalah ‘dingin’ itu, kita tidak peduli dengan orang lain, hidup egois, dan tidak sadar kita hidup untuk diri sendiri. Itulah coldness yang menguasai kehidupan kita –karena kita tidak terbakar oleh cinta kasih Kristus, tidak merenungkannya, akhirnya cerita-cerita lain yang bikin kita panas hati. Tapi ini panas dalam arti marah secara kedagingan, kita tersinggung, kita sedih –sedih yang self-centered— air mata karena tersinggung, bukan karena menangisi orang-orang yang terhilang. Memang betul Saudara tidak dingin total, betul emosinya tidak hilang, tapi ini emosi untuk diri sendiri, bukan emosi yang digerakkan oleh cinta kasih Kristus.
Bagian yang kedua, saya akan membahas mengenai “anti-Liturgi”-nya; salah satunya yaitu cara hidup scanning, yang semuanya serba permukaan. Anti-Liturgi yang lain, kalau dalam hidup kita sekarang sederhana saja, yaitu HP kita. Kita menyediakan waktu untuk membaca medsos berjam-jam, tidak habis-habis, dengan segala ketekunan, dengan segala kesetiaan, bahkan mungkin dengan semacam covenantal relationship dengan medsos-mu dan medsos-ku itu. Lalu kita juga gampang sekali meneruskannya kepada orang lain tanpa mengecek beritanya benar atau tidak benar, tidak peduli, pokoknya asal tangan saya bisa share lalu langsung share; kalau ternyata salah pun, dengan gampang kita bilang “Eh, maaf, ternyata itu hoax”, padahal sudah meracuni pikirannya orang lain. Mustinya Saudara merenungkan Firman Tuhan, lalu mengendap, dan setelah mengendap lalu Saudara bisa membicarakannya, Saudara bisa mengajar yang lain, sebagaimana yang dikatakan Kolose 3; tapi dunia menciptakan anti-Liturginya, ada sharing juga di sini, sharing yang tidak perlu cek apakah ini berita benar atau hoax, pokoknya sharing. Alasannya ‘saya ‘kan orang Kristen, orang Kristen harus berbagi’, tidak peduli entah itu berbagi hoax, berbagi perkatan yang meracuni, pokoknya sudah berbagi. Inilah anti-Liturginya –baca medsos dan sharing tanpa mengecek.
Yang kedua, kita ini hidup di dalam masyarakat yang very much image driven, maksudnya no reading. Lalu kita masih membenarkan diri, “Ya, tapi ‘kan gambar berbicara thousand of language, berbicara thousand of words, jadi kalau saya lihat satu lukisan maka saya sudah baca seribu kalimat, lebih cepat daripada baca buku”. Budaya membaca jadi semacam luxury, menjadi orang aneh kalau kita masih membaca di zaman yang semuanya image driven ini; kita musti lebih banyak berurusan dengan gambar, gambar, dan gambar.
Saya membaca satu artikel sederhana dari Dan Galenkamp, yang terinspirasi dari seorang pakar bernama Matthew Milliner. Dia mengatakan seperti ini: ‘Di Babilonia, Daniel dan teman-temannya adalah true iconoclast; di dalam konteks itu Daniel dan teman-temannya adalah ikonoklas karena mereka menolak menyembah berhala, mereka menolak untuk menyembah ikonnya Nebukadnezar’. (Ikonoklas adalah orang yang tidak suka adanya ikon, alasannya ikon bisa membawa kepada berhala, jadi semua gambar-gambar musti disingkirkan). Kemudian dia melanjutkan: ‘Early Christianity had to be iconoclastic to separate itself from the images of the Pagan world’; bahwa orang Kristen mula-mula menyatakan “tidak”, untuk membuat counter culture, “kita bukan komunitas yang menyembah image, karena kita percaya Allah yang sejati, dan kita diciptakan, kita adalah penyandang gambar dan rupa Allah (image bearer of God), kita diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (created after the image of God), jadi tidak perlu menyembah ikon-ikon yang lain lagi”.
Tradisi Reformed yang klasik memang ikonoklas. Kalau Saudara baca Katekismus Heidelberg, dan juga tafsirannya Calvin, Reformed yang ortodoks itu ikonoklas. Dan hal ini diangkat oleh Milliner, bahwa sebetulnya bisa ada virtue kalau kita menghayati ini dengan benar, maksudnya kita seharusnya ikonoklas berkenaan dengan ikon-ikon duniawi (wordly icons). Tapi kenapa ya, kita orang Protestan, Reformed, bilang: “O, kita ini tidak memuja ikon”, tapi kemudian kita malah memuja ikon-ikon dunia? Masyarakat kita ini very much driven by icon! Lagipula, itu ikonnya dunia; mending kalau ikonnya Kristus “Kristus Pantokrator”, tapi bukan itu yang menggerakkan melainkan image-nya dunia! Saudara tergerak dengan gambar, gambar, dan gambar. Marilah jadi ikonoklas di sini.
Tapi tidak berhenti di sini; setelah kita ikonoklas, lalu apa? Setelah itu, kita mengembangkan hal ini, yaitu Liturgi Pembacaan Kitab Suci; karena iconodules tadi –bukan ikonnya Krstus tapi ikonnya dunia—merusak pembacaan Kitab Suci. Kita tidak suka membaca –apalagi membaca Kitab Suci. Kita lebih suka lihat gambar; tapi Calvin, Zwingli, dan kawan-kawan, menghancurkan gambar-gambar. Mereka tujuannya sama: membawa jemaat kepada pembacaan Kitab Suci. Ini intinya. Bukan kebencian terhadap artworks, bukan pikiran sempit yang tidak bisa menghargai dunia seni; mereka mau membawa kepada pembacaan Kitab Suci. Itu sebabnya di gereja-gereja Reformed yang tua tidak ada ikon; yang ada misalnya Dekalog (10 Perintah Allah), yang menggantikan posisinya ikon. Maksudnya apa? Teolog-teolog Reformed mau supaya jemaat membaca Kitab Suci.
Jadi, masih sangat relevan ikonoklasisme ini, tentu saja dalam cara yang benar. Kalau pun mau memakai ikon, pakailah ikon yang religius. Lihat lukisan-lukisan religius itu, renungkanlah ceritanya apa. Saudara lebih suka gambar salib, kayu yang rusak rusak itu, atau gambar pegunungan di Swiss? “Aduhhh, pandemi sih, ya, saya sudah lama sekali ‘gak travel”. Mana yang lebih menggerakkan? Mana yang Saudara lebih tertarik? Gambar rumah yang mewahkah? “Aduhhh, kapan ya, bisa punya rumah kayak gitu, so nice”, atau untuk saya yang suka buku, “wuihh… ada library-nya lagi, bagus sekali desain library-nya”. Mana yang lebih menarik Saudara?
Budaya kita yang digerakkan oleh gambar-gambar ini (image driven culture) menjauhkan kita dari pembacaan Kitab Suci; dan ini adalah anti-Liturgi, ini adalah tandingannya. Saudara dibawa untuk terus-menerus encounter dengan gambar-gambar; lagipula, itu bukan gambar Kristus. Dalam hal iniMatthew Milliner mengatakan tentang Daniel dan kawan-kawannya, bahwa orang Kristen harusnya menolak bersembah sujud kepada gambar-gambar itu –dan begitulah caranya mereka menciptakan counter culture— karena bersembah sujud kepada worldly images itu bukan Liturgi Kristen, bukan Kristen. Yang Kristen adalah: membaca Kitab Suci. Inilah yang tidak menjadikan kita korban worldly images; dalam hal ini kita boleh tetap ikonoklas.
Yang ketiga, anti-Liturgi-nya adalah: kita ini hectic, busy, productive –via activa.Orang seperti Thomas Aquinas dan Agustinus mungkin tidak sepenuhnya benar waktu mengatakan via contemplativa lebih tinggi daripada via activa; bagi kitamasing-masing ada tempatnya, tidak bisa cuma via contemplativa. Tapi mungkin mereka tidak pernah terpikir di dalam dunia yang mereka pernah berada, bisa ada zaman yang menjunjung tinggi via activa jauh di atas via contemplativa; dan via contemplativa seperti tidak ada tempatnya, seperti orang-orang pengangguran yang tidak bisa kerja, tidak produktif, tidak ada angka yang bisa dihitung.
Saya sedikit hati-hati untuk tidak menjadi tercobai dengan “berapa hari ini yang datang ke Kebaktian”, dst.; memang ini bukan tidak penting, kita perlu tahu juga, apalagi kalau jumlahnya menurun terus, jangan-jangan ada yang musti dikoreksi. Tapi kehidupan ini tidak semuanya bisa direduksi jadi angka-angka (jumlah). Mengapa kita tidak tanya “berapa dalam, orang mendengar tentang Kristus hari ini; berapa dalam, kita menjelaskan Kristus di dalam khotbah?” –terlepas dari berapa jumlahnya. Mengapa tidak tanya “di dalam Liturgi kita, ada kehadiran Tuhan atau tidak sebetulnya?” Dan lebih celaka lagi, kalau tanyanya “kolektenya tadi berapa?” –bagian yang sangat tidak penting. Ini bukan tentang kolekte, bukan tentang jumlah yang hadir, tapi tentang anti-Liturgi dunia kita, yang harus selalu produktif, harus ada hasil yang segera (instant result), tidak menghargai proses, instant gratification, instant effect, dan semuanya. Inilah anti-Liturginya Pembacaan Kitab Suci, karena pembacaan Kitab Suci itu tidak bisa langsung ada efek. Setelah selesai membaca Akitab, apakah bisa langsung ditanya hasilnya, “jadi lu sekarang apa? setelah lu membaca, lu langsung tulis bukukah? berapa buku? berapa artikel?” –balik yang itu lagi, itu lagi. Waktu orang merenungkan, itu seperti tidak ada hasilnya. Ini against liturgi dunia kita yang menyembah liturgi produktifitas dengan cara apapun.
Saudara menghidupi liturgi yang mana? Liturgi Kristen kita, cuma di dalam satu jam Kebaktian inikah? Atau dalam kehidupan ini kita juga menghidupi Liturgi yang sama, yaitu Pembacaan Alkitab, yang tidak terbawa kepada tekanan produktifitas, instant gratification, instant result, numbers, dan segala macam berhala yang tidak perlu disembah itu? Apakah Saudara dan saya bisa lepas dari ini semua?
Selanjutnya, apa akibatnya orang yang mengikuti anti-Liturgi? Kalau kita boleh kaitkan dengan Kalender Gereja hari ini, akibatnya adalah pengikutan yang tidak sepenuhnya terpisah dari dunia. Kita bilang mengikut Kristus, tapi tidak bisa meninggalkan ibu, bapak, anak. Kita tidak bisa meninggalkan masa lampau, tidak bisa meninggalkan mitos tentang produktifitas (myths of productivity), kalau bisa kakinya jalan di dua perahu terus seperti kata nyanyian “dapat Tuhan Yesus, dapat semuanya” –termasuk juga dapat dunia. Apa betul itu maksudnya lagu tersebut? Tentu tidak. Jadi, hati-hati dengan kehidupan yang tidak dipenuhi Liturgi Kristen, karena ketika terang tidak hadir, kegelapan sudah pasti akan menguasainya, tanpa diundang. Liturgi dunia akan masuk begitu gampangnya dalam kehidupan kita, kecuali Saudara dan saya bertekun dalam pembacaan Kitab Suci, kecuali kita ada meditatio, oratio, dan contemplatio tadi.; itulah yang terus-menerus memanaskan kehidupan kita.
Coba lihat makanan di dapur, kalau tidak dipanaskan, lama-lama akan dingin, tidak perlu dimasukkan kulkas tetap akan jadi dingin. Tentu tidak sedingin kalau dimasukkan kulkas, tapi tidak bakal tetap hangat, apalagi panas. Lalu kita berharap kehidupan kita selalu panas tapi kita menghangatkannya cuma seminggu sekali?? Itu mimpi. Sedangkan dalam kehidupan sehari-hari saja kita tahu, yang seperti itu tidak jalan, sebentar saja makanan itu akan dingin. Jadi bagaimana? Inilah sebabnya Mazmur 1 mengatakan: “kesukaannya ialah Taurat TUHAN, dia merenungkannya siang dan malam “ –kalau pinjam bahasanya dapur, berarti makanan itu selalu dipanasi. Karena begitu tidak dipanasi, yang terjadi adalah: dinginnya dunia ini akan mengambil alih kehidupan kita, dan kita tidak sadar. Lalu waktu hari Minggu, kembali lagi ke Liturgi, bermunafik ria lagi dengan lagu-lagu, doa, pembacaan Kitab Suci, mendengar Firman Tuhan, dsb., untuk kemudian menjadi dingin lagi. Tidak perlu tunggu sampai Senin, di tempat parkir pun sudah jadi dingin seperti cerita tadi. Mengapa? Karena memang tidak ada pengendapan, tidak ada contemplatio, tidak ada meditatio, tidak ada oratio –jadi superficial Christianity. Lalu, waktu ditanya, berapa orang Kristen di dunia? “O, ada sepertiga penduduk dunia, we are still the greatest, the largest number!” Sepertiga memang jumlah yang sama sekali tidak sedikit, tapi Saudara lihat, berapa dangkalnya Kekristenan, betapa cuma permukaan dan superfisial. Memang sepertiga, memang global religion, tapi betapa dangkalnya dan betapa tidak berakarnya. Apa yang salah? Tidak ada Liturgi pembacaan Kitab Suci. Pembacaan Kitab Suci yang bukan sebagai Liturgi,mungkin memang ada, tapi tidak ada Liturgi pembacaan Kitab Suci.
Terakhir, tentang Perjamuan Kudus; di sini kita membaca Firman (reading the Word) dan melihat Firman (seeing the Word), yang juga adalah meditation atau contemplation. Saudara tidak bisa baca Firman buru-buru. Ada orang tulis “bersaat teduh 5 menit bersama dengan Tuhan”, bagaimana bisa? Kalau Saudara mati, di penguburan itu pun Saudara tersinggung kalau orang cuma datang 5 menit; tapi kita bisa membaca Kitab Suci 5 menit bersama dengan Tuhan??
Waktu kita membaca Firman, kita perlu meluangkan waktu, demikian juga waktu kita melihat Firman (seeing the Word). Bagi orang Reformed, Perjamuan Kudus adalah verbum visibilis (visible Word, Firman yang kelihatan), dan di situ Saudara meluangkan waktu mengagumi. Kalau Saudara melihat pemandangan yang indah, Saudara bisa kehilangan kata-kata, waktu seakan berhenti, Saudara melongo mengaguminya betul-betul meditation and contemplation. Seharusnya itulah yang terjadi waktu Perjamuan Kudus. Tidak masuk akal kita menjalankan Perjamuan Kudus seperti diburu-buru, memangnya diuber apa? Maksudnya Perjamuan Kudus pun harus produktif?? Kita tidak bisa berdiam dan menikmati saat itu, saat di mana kita diangkat bersama dengan Kristus yang di surga. Kita tidak ada waktu, kita maunya secepat mungkin, ringkas, lalu pulang. Bagaimana kita bicara tentang Kekristenan kalau Perjamuan Kudus yang seharusnya meditation dan contemplation pun kita tidak sabar. Waktu Kebaktian pun, kita kayaknya juga tidak terangkat ke surga, itu sebabnya bolak-balik kita lihat jam, main HP, dsb, kapan Kebaktian ini selesainya??
Anti-Liturgi terus memborbardir kita, bahkan waktu kita Kebaktian! Tidak usah bicara yang Senin sampai Sabtu, bahkan hari Minggu waktu jam Kebaktian pun, anti-Liturgi tetap khotbah di sana, dan mau membawa kita keluar dari sana, ‘ayo cepat, cepat, produktif, produktif, instant gratification, instant result, cepat, jangan ada hening-hening seperti ini, buang-buang waktu, tidak efisien’, dsb. Inilah the anti-Liturgy dari Pembacaan Alkitab. Tidak usah heran kalau Kekristenan seperti ini, karena memang tidak ada liturgi Scripture Reading; yang ada adalah Kekristenan yang sangat dangkal dan superfisial.
Tapi kita tidak dipanggil ke sana. Hari ini Perjamuan Kudus, Saudara jangan buru-buru, lihatlah Kristus. Ambillah waktumu, invest your time, untuk melihat kemuliaan Kristus. Ini perlu waktu. Pengendapan perlu waktu, perlu proses. Ini bukan sesuatu yang kita bisa cepet-cepetin. Tenang. Biarkan Kristus membakar hatimu, sehingga engkau betul-betul terbakar karena cinta kasih Kristus yang kita sangat kurang mengaguminya. Tidak usah diburu-buru dengan yang lain. Dunia kita terlalu banyak liturgi buru-buru sampai kita ini stres, sangat gelisah (restless). Jangan bikin Kebaktian kita juga ikut-ikutan gelisah seperti the restlessness of the world. Yang harusnya terjadi justru bagaimana ketika kita bekerja, bisa tetap ada ketenangan (restfulness) di sana, the true rest. Memang ini semua anugerah yang cuma-cuma, pemberian Tuhan yang kita tidak bisa beli, tetapi Tuhan menghendakinya bukan tanpa latihan rohani, bukan tanpa our Scripture reading.
Kiranya Kristus memberkati kita semua.
Ringkasan khotbah ini belum Diperiksa oleh pengkhotbah(MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading