Sebagaimana sudah dijelaskan, dalam bahasa aslinya, istilah “masygul” di ayat 37 lebih cocok diterjemahkan ke arah “marah” daripada “sedih”. Waktu kita bertumbuh dewasa, salah satu ciri khas orang yang matang adalah dia bisa mananggapi kemarahan secara positif; sementara anak kecil selalu tersinggung kalau dikritik, tidak bisa dimarahi, karena dia cuma berpikir tentang dirinya sendiri, belum sanggup berpikir soal orangtuanya dengan pergumulannya, dsb. Demikian juga di bagian ini, kita bisa dikatakan matang ketika Tuhan marah kepada kita dan kita bersikap introspektif, bukannya ngambek, jengkel, atau balik marah.
Di bagian ini, seolah Yesus kurang sensitif konteks –orang sedang berduka, Dia marah. Tetapi karena Yesus yang marah, kita perlu memikirkan mengapa Yesus marah –sebab Yesus tidak pernah bersalah, termasuk waktu Dia marah.
Ayat 37 yang kita sudah bahas, gambaran orang-orang itu memosisikan diri mereka adalah menyudutkan dan mempersalahkan Tuhan sebagai yang seharusnya bertindak, yang entah di mana keberadaan-Nya sampai terjadi kematian akibat sakit-penyakitnya Lazarus ini. Seolah-olah adalah tanggung jawabnya Tuhan bahwa Lazarus ini akhirnya mati –satu gambaran ketidakpercayaan mereka. Dalam hal ini Yesus marah karena mereka sebetulnya tidak percaya; terlebih lagi –kalau ditafsir secara kosmis (tafsiran Yohanes Calvin)– Yesus marah atau masygul karena Dia melihat kuasa dosa bersama dengan kuasa kematian menghancurkan kehidupan manusia; maka kemudian Dia pergi ke kubur (ayat 38a).
Kubur itu adalah sebuah gua yang ditutup dengan batu (ayat 38a). Ini satu tempat yang gelap, yang terpisah, di sana dunia orang mati, di sini dunia orang hidup, dan yang membatasi adalah batu. Batu memastikan tidak ada urusannya antara dunia orang mati dengan dunia orang hidup; itu dua realm yang sama sekali terpisah dan tidak berhubungan, sehingga harus disekat, dipagari, ditutup dengan batu.
Tapi kemudian Yesus berkata, “Angkat batu itu!" (ayat 39a). Lagi-lagi ini satu perintah yang tidak cocok dengan hal-hal yang dihayati masyarakat pada waktu itu –juga di zaman kita sekarang. Mengangkat batu, berarti membuka dan menghubungkan kembali dengan dunia orang mati, yang seharusnya tidak ada hubungannya, jadi ada koneksi antara orang hidup dan orang mati. Itu bukan cara pikir Marta, bukan juga orang-orang yang ada di sekeliling Yesus saat itu. Dalam pikiran Marta, meskipun dirinya saudara Lazarus yang begitu dekat, kalau sekarang Lazarus sudah mati, ya, tidak ada urusan lagi, biarlah batu itu memisahkan antara orang hidup dan orang mati. Maka Marta menjawab, "Tuhan, ia sudah berbau, sebab sudah empat hari ia mati" (ayat 39b).
Kita sudah membahas bahwa “empat hari” di sini berarti sudah lewat dari 3 hari. Yesus bangkit pada hari yang ketiga; dan dalam Mazmur dikatakan, Allah tidak membiarkan orang kudus-Nya melihat kebinasaan (corruption/pembusukan). Di bagian ini Lazarus sudah 4 hari, berarti betul-betul sudah mati, sudah tidak bisa ditolong lagi, badannya sudah hancur, mukanya sudah tidak bisa dikenal lagi. Bukan cuma itu, juga sudah benar-benar terjadi pembusukan –memang sudah berbau. Di sini kita bisa menafsir bahwa Marta berusaha menjaga 2 bagian ini. Di satu sisi Marta seakan memproteksi mayat Lazarus, sudahlah, dia sudah rest in peace, jangan diutak-atik lagi nanti dia jadi tidak damai, sudah mati, ya, sudah, biarkan dia terbaring di situ, di tempatnya. Sudahlah, sudah bau, kita juga tidak enak karena ingatan kita akan Lazarus tadinya bukan bau busuk kayak begini; kita tidak mau mengenang Lazarus model begini, kita mau mengenang Lazarus dalam keadaannya yang utuh waktu dia masih sehat, masih hidup, bukan sudah rusak seperti ini. Kita tidak mau tahu lagi dengan mayat yang seperti ini, kita sudah dalam keterpisahan. Di sisi lain, kita juga bisa menafsir bahwa Marta berusaha memproteksi Yesus juga; untuk apa Tuhan berurusan dengan dunia yang sudah busuk ini?? Sudah bau; kalau masuk ke situ nanti kita semua bau. Sudahlah, kita ini dunia orang tidak bau, dunia orang harum; di situ dunia orang bau, dunia orang busuk, gelap, pengap, kita tidak berurusan dengan itu. Tetapi Tuhan yang kita percaya, Dia condescending, Dia turun untuk ada bersama dengan orang-orang yang di bawah; justru Tuhan turun untuk masuk ke dunia yang bau itu.
Tuhan ada di satu tempat yang mulia, Dia datang ke tempat yang hina. Tuhan ada dalam kemuliaan, Dia memasuki dunia yang najis, kotor, bau, busuk, yang dikuasai oleh kematian itu –justru itulah Tuhan mau datang ke sana. Gereja ini diberkati Tuhan kalau kita masuk ke dalam dunia itu. Gereja ini gereja yang tidak mirip Kristus kalau sekedar perkumpulan orang-orang yang bergaul dengan orang-orang yang harum semerbak; bukan dalam pengertian harumnya parfum dan semacamnya, tapi ini bicara soal dunia rohani. Bagi Tuhan, kehidupan manusia yang sudah jatuh dalam dosa dan dikuasai oleh dosa, itu corrupted, bau luar biasa yang menusuk hidungnya Tuhan. Dalam Alkitab Perjanjian Lama, Saudara mendapati waktu orang percaya mempersembahkan korban,asap lemak-lemaknya jadi bau-bauan yang harum di hadapan Tuhan. True worship adalah bau-bauan yang harum; kehidupan manusia yang bergumul dalam dosa, yang tidak bisa keluar dari dosa, yang dikuasai kegelapan, adalah bau busuk. Dan Tuhan masuk ke tempat seperti itu.
Saya pikir, kalau kita tetap mau melakukan kritik motif (motif “bau”), bukan kebetulan juga –meski tidak dikatakan secara eksplisit– Yesus itu lahir di kandang binatang, yang juga bau, bukan tempatnya eau de toilette. Kandang binatang itu tempat yang bau; dan Yesus masuk pertama kali ke tempat seperti itu, menunjukkan komitmen-Nya seumur hidup berurusan dengan orang-orang yang bau busuk seperti Saudara dan saya. Kita sebagai Gereja juga diundang untuk hidup seperti Kristus, masuk ke tempat yang kotor itu, ke tempat orang-orang yang bermasalah, orang-orang yang menjengkelkan dan bikin kesal, marah, dst. Berurusan dengan orang-orang seperti itu, baru artinya kita bicara tentang persekutuan Kristen, komunitas Kristen. Sedangkan komunitas orang-orang yang mirip, yang serupa, yang harum dan semerbak, bukanlah komunitas Kristen; itu komunitas dunia. Komunitas Kristen adalah komunitas yang diciptakan Tuhan sebagai recreation yang sama sekali berbeda dari komunitas dalam dunia ini, salah satunya yaitu gerakan condescending seperti Tuhan ini.
Tetapi Marta di sini mengafirmasi, sudahlah, kita ini bukan orang bau, kita ini bukan di dalam kegelapan yang pengap kayak begitu, ngapain masuk ke tempat yang bau seperti itu; dia sudah 4 hari mati, sudah bukan bagian dari kita lagi, juga sudah bukan manusia lagi, sudah jadi sesuatu yang lain, lebih mirip barang –sudah jadi mayat. Sebenarnya, yang dikatakan Marta ini mewakili banyak dari kita dalam menyatakan kehidupan ini secara apa adanya; ini suatu realistic picture bukan pessimistic picture, gambaran yang apa adanya dalam kehidupan manusia. Tetapi, waktu kita percaya kepada Tuhan, memiliki iman, maka melalui iman itu bisa ada perspektif kemuliaan Allah. Ini bukan menipu diri, bukan gambaran over optimistic, bukan gambaran utopia, bukan gambaran escaping from reality, melainkan satu perspektif kemuliaan Allah. Maka selanjutnya Yesus sekali lagi mengingatkan, "Bukankah sudah Kukatakan kepadamu: Jikalau engkau percaya engkau akan melihat kemuliaan Allah?” (ayat 40).
Saya tidak merasa perlu menghakimi Marta dalam hal ini. Maksudnya begini: di ayat 27, waktu Tuhan tanya “percayakah engkau akan hal ini?", dia menjawab, "Ya, Tuhan, aku percaya, bahwa Engkaulah Mesias, Anak Allah, Dia yang akan datang ke dalam dunia”; kemudian di ayat 40 Yesus menananggapi, "Bukankah sudah Kukatakan kepadamu: Jikalau engkau percaya engkau akan melihat kemuliaan Allah?" –lalu Saudara jadi berpikir, yang Marta katakan di ayat 27 itu ternyata palsu, iman omong kosong. Kalau kita cuma melihat hitam-putih, putih-hitam, sudah-belum, belum-sudah –cuma dengan 2 kategori ini—akhirnya kita bisa jadi orang Kristen yang luar biasa judgmental. Operating with dual construction seperti ini, hitam-putih, putih-hitam, lalu juga percaya atau tidak percaya; kalau percaya berarti percaya sepenuhnya! tanpa keraguan sedikit pun, pokoknya percaya! apapun yang terjadi tidak goncang sedikit pun, tetap percaya! –seakan-akan seperti Yesus yang sudah sempurna– atau sebaliknya sama sekali tidak percaya! totally atheistic! Tentu saja tidak bisa begitu gambarannya di dalam dunia ini. Tidak bisa kita mengkategorikan orang dalam 2 kategori, gambaran kesempurnaan kepercayaan/iman dan gambaran yang tidak percaya sama sekali alias orang-orang ateis, lalu di antara keduanya itu tidak ada gradasi apa-apa.
Saya pikir, cerita ini sudah menyatakan bahwa Marta juga tidak dilihat seperti itu oleh Yesus. Bahkan waktu Yesus mengatakan “jikalau engkau percaya”, Dia tidak sedang menyatakan ini pertama kalinya Marta ditantang percaya sedangkan tadinya dia tidak pernah percaya. Prinsip ini penting dalam eksegese; setelah Marta di ayat 27 mengatakan "Ya, Tuhan, aku percaya, bahwa Engkaulah Mesias, Anak Allah, Dia yang akan datang ke dalam dunia", di bagian ini Yohanes tidak menambahkan keterangan redaksional apa-apa, seperti misalnya ‘tetapi kalimat itu dikatakan Marta dari kebohongan hatinya’, atau ‘tetapi Marta sebetulnya tidak mengatakan dengan jujur’. Kalimat-kalimat seperti itu tidak ada, maka waktu membaca ayat 27, kita musti terima bahwa iman kepercayaan Marta adalah iman yang sudah benar; dan iman yang sudah benar itu bukan berarti iman yang tidak bertumbuh lagi.
Kepercayaan yang sudah benar, itu bukan sesuatu yang statis yang tidak bisa lagi semakin percaya. Kepercayaan yang sudah benar, bukan berarti sudah mengerti segala sesuatu; ada limitasi pengenalan dan pemahaman. Kalau Saudara dan saya ditanya “apakah sudah percaya Yesus”, mungkin sebagian besar akan mengatakan “saya sudah percaya, saya orang percaya, saya bukan orang tidak percaya”, tapi pertanyaannya, apakah kita bertumbuh dalam kepercayaan kita? Ada orang yang ditanya kapan dia percaya, dia bisa menjawab “saya percaya sejak tahun 1973” atau “saya percaya sejak tahun 1957” –yang kalau dihitung sudah puluhan tahun– tapi kehidupannya tidak ada pertumbuhan apa-apa.
Kalau orang bertumbuh, menurut ayat 40 ini dia semakin percaya; dan salah satu karakteristiknya adalah dia semakin melihat kemuliaan Allah. Orang yang percaya, dan makin percaya, dan makin teguh kepercayaannya, dia makin lama makin tertarik dengan penglihatan akan kemuliaan Allah. Kalau hal itu tidak terjadi, berarti percayanya macet, mandek, bahkan mungkin decline. Yesus mengaitkan 2 hal ini: “jika engkau percaya” –artinya iman—“engkau akan melihat kemuliaan Allah”. Motif “seeing the glory of God” ini diambil dari kitab Keluaran. Kita membaca di kitab Keluaran, bangsa Israel didemonstrasikan di hadapannya bagaimana Tuhan membelah Laut Merah, mereka sudah dipimpin keluar dari penjajahan Mesir, tapi masih ada kesulitan untuk percaya kepada Tuhan. Mereka banyak sekali ragu-ragu, sungut-sungut mempersalahkan bukan hanya Musa tapi juga Tuhan, dalam perjalanan padang gurun itu; tetapi tetap ada ajakan untuk percaya dan melihat kemuliaan Allah. Kalau kita semakin percaya kepada Tuhan, kita akan semakin melihat kemuliaan Allah.
Memang di bagian ini, hal itu belum dinyatakan –Yesus belum membangkitkan Lazarus—tetapi, dalam hal ini iman mendahului/mengantisipasi orang melihat kemuliaan Allah; ini masalah perspektif. Kemuliaan Allah itu tidak ada perubahan –dari sisi Allah; Allah selalu mulia dan Dia memancarkan kemuliaan-Nya, bahkan juga di dalam dunia ini. Pertanyaannya bukanlah ‘apakah kemuliaan Allah terpancar atau tidak’, melainkan ‘apakah kita melihat kemuliaan Allah atau tidak’. Dalam peristiwa ini, bahkan setelah Lazarus dibangkitkan, banyak orang Yahudi yang percaya tapi juga ada yang kemudian pergi kepada orang-orang Farisi [ini mengantisipasi perikop berikutnya]. Ada orang-orang yang nyinyir, yang selalu berhasil mengkritik; dalam penyataan kemuliaan pekerjaan Tuhan seperti apa pun, tetap saja mereka bisa ada ketajaman untuk melihat kekurangannya. Ini orang-orang yang hatinya sempit dan tidak bisa dipakai oleh Tuhan. Ada yang pergi kepada orang-orang Farisi dan menceritakan kepada mereka apa yang telah dibuat Yesus, padahal kemuliaan Tuhan sudah dinyatakan; jadi persoalannya di mana, apa kemuliaan Tuhan kurang jelas?? Tentu bukan. Ini masalah perspektif; dan hal ini subjektif, personal. Bukan “personal” dalam arti tergantung orang itu sendiri, melainkan tergantung anugerah Tuhan kepada siapa Tuhan mau menyatakan, tapi juga tergantung tanggung jawab orang itu. Dari sisi Tuhan, pendemonstrasian kemuliaan Allah itu jelas, dan itu bukan tanpa iman; melihat kemuliaan Allah, bukan tanpa iman.
Bagi Marta, yang dilihat adalah realita dunia tanpa pancaran kemuliaan Allah, keterpisahan absolut antara dunia orang mati dan dunia orang hidup yang musti ditutup dengan batu, bahwa yang bau dengan yang semerbak tidak usah dihubung-hubungkan, karena yang bau itu busuk sedangkan kita bukan orang-orang busuk, kita orang-orang baik. Dan ini musti dibatasi dengan batu. Yesus mengatakan, "Angkat batu itu!" dan juga, "Bukankah sudah Kukatakan kepadamu: Jikalau engkau percaya engkau akan melihat kemuliaan Allah?" Inilah kemungkinan koneksi antara yang hidup dengan yang mati; yang mati bisa ditarik keluar untuk masuk kepada yang hidup. Ayat seperti ini, harap mendorong kita melakukan penginjilan; jika tidak, berarti kita yang sengaja taruh batu di situ dan tidak mau angkat, karena kita tidak percaya bahwa orang mati rohani bisa keluar kepada kehidupan. Menurut kita, yang benar-benar nyata adalah batu, yang membatasi antara orang yang tidak percaya dengan orang percaya; yang lebih kacau lagi, kita malah bersyukur ada batu yang bikin saya aman tidak diganggu orang-orang fasik itu –inilah Gereja yang paling gagal di atas semua kegagalan yang lain.
Setelah Yesus mengatakan kalimat ini, Marta berhenti berargumentasi, dia membiarkan mereka mengangkat batu itu –pemisah itu—supaya yang di dalam dunia orang mati bisa keluar, masuk kepada kehidupan. Namun hal itu pun belum sampai dalam pemikiran Marta; dia belum berpikir ke situ, dia masih tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Dia pikir, angkat batu, ya, sudah, siap-siap saja kita mencium bau yang busuk itu; sudah bagus-bagus ditutup supaya baunya tidak keluar, sudah bagus-bagus jaga image-Nya Lazarus, sekarang malah dibuka, bau busuknya akan keluar. Inilah kehidupan manusia, jadi transparan. Dan begitulah cara Tuhan menyembuhkan kita. Bukan secara kita tutup-tutupi dengan batu –termasuk batu-batu religius– hiasan-hiasan itu supaya tidak tercium baunya sama sekali; cara Tuhan membangkitkan adalah dengan membuka, setelah dibuka, ya, sudah, baunya keluar semua, memang realitanya seperti ini. Yesus datang untuk itu. Yesus datang untuk menyelesaikan persoalan itu dalam kehidupan Saudara dan saya. Yesus datang bukan untuk menikmati bau-bauan harum; kalau Dia mau menikmati bau-bauan harum, Dia di surga saja, tidak usah datang ke dunia. Saudara dan saya juga dipanggil untuk berjalan di jalan yang sama.
Lalu Yesus menengadah ke atas dan berkata: "Bapa, Aku mengucap syukur kepada-Mu, karena Engkau telah mendengarkan Aku” (ayat 41). Perhatikan di sini, Yesus berdoa kepada Bapa; bahkan dalam ayat 42 dikatakan secara eksplisit bahwa Yesus melakukan itu supaya disaksikan oleh orang banyak yang mengelilingi Dia. Ini bukan berarti Yesus berdoa dengan munafik; Yesus tetap berdoa dengan tulus, di hadapan Bapa, tapi di sini juga dikatakan ‘supaya diketahui/dilihat banyak orang’. Maksudnya begini: tentu Saudara pernah mendengar ketika rasul-rasul atau nabi-nabi menyembuhkan, apalagi membangkitkan orang mati, mereka musti memohon kuasa dari atas karena kuasa itu tidak ada pada diri mereka sendiri; sedangkan Yesus tidak perlu itu. Kemahakuasaan yang sama of the same Omnipotent, of the same Substance, dimiliki secara sempurna oleh Bapa, oleh Anak, dan oleh Roh Kudus. Satu Allah bukan 3 Allah, berarti 1kemahakuasaan bukan 3 kemahakuasaan; berarti kemahakuasaan Yesus adalah kemahakuasaan yang persis sama dengan kemahakuasaan Bapa. Yesus sendiri juga mengatakan “Akulah kebangkitan dan hidup”, Dia sendiri adalah kebangkitan dan hidup, Dia ada kuasa di dalam diri-Nya, sehingga tidak perlu berdoa sebetulnya.
Menurut natur Ilahi-Nya, Yesus bisa langsung panggil Lazarus keluar tanpa harus menengadah ke atas, tapi alangkah indahnya waktu Alkitab mencatat bahwa Yesus menengadah ke atas demi Saudara dan saya. Kalau Yesus tidak berdoa, bagi kita tidak ada yang bisa dipelajari, pelajarannya selesai, yang ada tinggal penyembahan karena Yesus adalah Tuhan, sepenuhnya Ilahi, dan kita sujud menyembah kepada Allah yang punya kuasa seperti ini. Tetapi yang dicatat dalam peristiwa ini oleh Yohanes, terutama adalah aspek/natur manusia-Nya, yaitu “Yesus menengadah ke atas dan berkata kepada Bapa”, supaya Saudara dan saya juga bisa menengadah ke atas dan berkata kepada Bapa; ada pola doa yang kita bisa pelajari di sini. Bersyukur atas perspektif human nature dari Kristus ini.
Dalam keadaan seperti ini, yang paling urgent menurut natur manusia, yaitu supaya Bapa memberikan otoritas kuasa sehingga ada kuasa kebangkitan di situ; atau secara sederhananya permintaan/permohonan. Tetapi di sini Yesus mulai dengan doksologi, Dia mulai dengan ucapan syukur karena Bapa telah mendengarkan Dia. Dalam doa kita, seringkali kita menaruh doksologi di bagian akhir; dan benar-benar terakhir dalam pengertian saya berdoa, ada permohonan, lalu saya menunggu, kemudian Tuhan menjawab doa saya –katakanlah secara afirmatif dengan “ya”—setelah itu saya memperoleh yang saya minta dari Tuhan, setelah itu saya bersyukur/doksologi, lalu kalau dalam Perjanjian Lama ada persembahan korban bakaran, dsb. –doxology at the end. Tetapi di bagian ini kita melihat doa Yesus; sebelum meminta, Dia mengucap syukur, Dia mengakui berkat dari Bapa, Dia juga berbicara hal yang sudah lampau –“karena Engkau telah mendengarkan Aku”.
Ada kekuatan tersendiri, ketika sebelum meminta, kita menghitung, sadar, tahu, bahwa Tuhan bukan pertama kalinya menolong kita, ataupun akan menolong kita untuk pertama kalinya, melainkan Dia sudah sering menolong kita, dan kita memulai doa dengan itu. Yang memerlukan ini sebenarnya adalah kita, yang berdoa, bukan Tuhan. Tuhan sendiri tidak perlu itu, tidak mungkin Tuhan lupa Dia pernah menolong kita; kita sendiri yang perlu mengingat itu kembali. "Bapa, Aku mengucap syukur kepada-Mu, karena Engkau telah mendengarkan Aku”, recalling God’s goodness in the past.
Dalam kehidupan sehari-hari, kalau orang minta tolong kepada kita sedemikian caranya, seolah-olah dia tidak pernah ditolong kita sama sekali padahal kita sudah bolak-balik tolong dia, itu menjengkelkan. Sudah pernah ditolong 17 kali dan sekarang datang ke-18 kalinya, tapi dia seperti merasa kita tidak pernah menolong dia sehingga kita wajib menolong dia, itu luar biasa menjengkelkan. Lalu kalau kita begitu kepada Tuhan, apa Tuhan tidak boleh jengkel?? Tuhan harus maha sabar, maha pengampun, sedangkan kita boleh jengkel karena kita manusia?? Pola doa Yesus mengajarkan supaya waktu kita berdoa, jangan menjengkelkan Tuhan karena kita seolah-olah mendatangi Tuhan tanpa ada pengalaman ditolong atau didengarkan doanya oleh Tuhan; seolah-olah Tuhan pelit luar biasa, tidak pernah menolong, lalu sekarang kita datang karena begitu urgent dan oleh sebab itu perlu segera dijawab. Kalau kita melihat doa Yesus, Dia mengajarkan kepada Saudara dan saya –ini menurut natur manusia-Nya—mengatakan "Bapa, Aku mengucap syukur kepada-Mu, karena Engkau telah mendengarkan Aku”.
Bukan cuma itu, di ayat 42 –masih menurut natur manusia-Nya—Dia mengatakan, “Aku tahu, bahwa Engkau selalu mendengarkan Aku.” Di sini Saudara harusnya berhenti, memikirkan, mengapa Yesus selalu didengarkan doanya? Mengapa Saudara dan saya tidak selalu didengarkan? Kalau Saudara jawab “ya, jelaslah, ‘kan Dia Tuhan”, jadi balik ke situ lagi dan ke situ lagi, langsung end of discussion dan tidak ada yang bisa dipelajari. Atau juga bilang “itu ‘kan karena Dia Anak tunggal Allah, sedangkan kita cuma anak adopsi”. Itu cara pemikiran yang aneh sekali, karena itu berarti cara berpikirnya ‘kalau saya mengadopsi anak, jadi punya anak tiri, saya tidak akan memperlakukan sama seperti anak darah daging saya sendiri’ –memang itulah dunianya kita, orang berdosa– lalu karena tidak bisa terlalu mengasihi anak tiri, kita lempar natur dan atribut kita itu kepada Allah, dan berpikir Tuhan pasti seperti itu juga, Tuhan pasti cuma mengasihi exclusively Anak-Nya sendiri yang tunggal, “darah daging”-Nya, sedangkan kita ini cuma anak adopsi, ibarat anak tiri. Di dalam Alkitab tidak pernah diajarkan penghayatan yang seperti ini, seakan-akan supaya kita ada rasa iri terhadap Yesus –hati-hati, malaikat yang jatuh itu karena iri terhadap Anak Allah.
Kita, yang harusnya tidak diadopsi jadi anak Allah tetapi sekarang diadopsi jadi anak Allah, mustinya bersyukur, terharu, kagum, bukan malah membedakan “tetap saja, namanya juga anak adopsi, anak tiri”. Pemahaman yang seperti itu luar biasa aneh. Yang seharusnya kita hayati adalah: sebagaimana Kristus itu Anak Allah yang tunggal, Saudara dan saya juga diundang untuk berbagian dalam cerita menjadi anak Allah. Identitas kita adalah anak Allah; dan anak Allah itu –sebagaimana kita baca—“selalu didengarkan oleh Bapa”. Pertanyaannya, koq, saya tidak begitu? Jadi apa yang salah di sini?
Waktu Yesus mulai pelayanan-Nya, kalimat yang keluar dari Bapa dalam inaugurasi itu adalah: “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi (My Beloved Son), kepada-Nyalah Aku berkenan.” Perhatikan, saya akan sedikit ubah-ubah kalimatnya; Bapa tidak bilang “This is My Eternally Only Begotten Son” melainkan “This is My Beloved Son”. Bapa tidak bilang “Inilah Anak Tunggal-Ku yang satu-satunya, selain Dia, tidak ada yang seperti Dia”, tapi kalimat yang keluar dari Bapa adalah “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan.” Berarti, Saudara dan saya bisa menghidupi cerita itu, cerita menjadi anak Allah yang dikasihi –kalimat berikut ini yang penting—yang selalu memperkenan Bapa. Yesus selalu didengarkan oleh Bapa, karena sebagai Anak, Dia selalu memperkenan Bapa. Orang yang hidupnya selalu memperkenan Bapa, dia selalu didengarkan oleh Bapa. Di bagian lain Yesus mengatakan, “Makanan-Ku adalah melakukan kehendak Bapa”. Anak Allah, yang menjadikan kehendak Bapa makanan-Nya sehari-hari, Dia selalu didengarkan oleh Bapa. Atau dalam konteks ini, mereka yang terus mengejar kemuliaan Allah, itulah orang-orang yang selalu didengarkan oleh Bapa.
Fakta bahwa doa saya dan doa Saudara tidak selalu didengarkan oleh Bapa, adalah karena kita tidak punya agenda seperti agenda Yesus; hati kita terpikat oleh terlalu banyak hal, sampai-sampai yang jadi isi doa kita urusan garam dapur habis, anak sekolah, percekcokan rumah tangga, dsb. Saya bukan mengatakan bahwa Tuhan tidak mendengar doa-doa seperti itu –itu juga bagian dari Kerajaan Allah—tapi kalau doa kita isinya urusan garam dapur habis, panci gosong, pipa ledeng rusak, atap bocor, dan semacamnya, lalu apa bedanya dengan orang yang tidak mengenal Allah? Tidak ada bedanya! Dan yang kita hidupi cuma urusan-urusan kayak begini SAJA! Kata kuncinya adalah “saja”. Alkitab mengatakan, jangan cuma pikir kepentinganmu saja, tapi kepentingan orang lain juga. Kita tidak mungkin tidak ada kepentingan diri –termasuk mandi, makan, tidur secukupnya, dsb. –itu sebabnya dalam Doa Bapa Kami ada “berilah makanan kami yang secukupnya pada hari ini”. Tetapi, berapa banyak doa kita dikuasai oleh kehendak Allah yang memang sudah jelas dinyatakan dalam Alkitab dan Tuhan benar-benar menghendaki hal itu terjadi?
Kalau Saudara berdoa, “Tuhan tolong, supaya saya hidup hari demi hari semakin memperkenan Tuhan”, kemungkinan doa tersebut ditolak adalah 0%, tidak ada sama sekali kemungkinan ditolaknya. Kalau Saudara berdoa, “Tuhan tolong, supaya saya lebih mengasihi Engkau dengan segenap hati, dengan segenap kekuatan, segenap jiwa, dan segenap akal budi, dan bisa mengasihi sesama seperti diri sendiri”, doa itu 100% pasti dijawab oleh Tuhan. Tapi mengapa kita tidak tertarik dengan doa yang pasti dijawab oleh Tuhan? Kita lebih tertarik berdoa, “Tuhan, saya mau menikah dengan si A, boleh tidak?”, “Tuhan, saya kerja di sini atau di situ?”, yang akhirnya jawabannya bisa “ya”, bisa “tidak”, bisa “tunggu”, bisa “nanti” –kita lebih senang bergumul dengan doa-doa seperti itu. Berapa banyak doa kita dikuasai hal-hal seperti doanya Yesus? Berapa banyak peduli pada kemuliaan Bapa, memperkenan hati Bapa, yang tidak mungkin ditolak itu? Kalau hal-hal ini menguasai kehidupan kita, berarti kita orang yang bertumbuh.
Saudara jangan bilang bahwa doa supaya Allah dimuliakan itu tidak konkret, mengawang-awang, sedangkan yang konkret itu urusan anak perlu sekolah. Ini bukan urusan konkret dan tidak konkret, melainkan masalah hati kita ada di situ atau tidak ada di situ. Saudara jangan bilang bahwa kehendak Allah yang dinyatakan itu sesuatu yang kurang konkret, sedangkan yang konkret itu hal-hal yang kelihatan. Ini bukan urusan konkret dan tidak konkret, dua-duanya konkret, hanya saja yang satu kita tertarik sedangkan yang lain kita kurang tertarik, yang satu kita sangat bersemangat dan bergumul mendoakannya sedangkan yang lain kita kurang. “Aku membasahi ranjangku melihat orang-orang itu tidak hidup sesuai dengan Taurat-Mu”, itulah air matanya pemazmur. Apa air matanya Saudara dan saya? Apakah Saudara menangis melihat orang hidup tidak sesuai dengan Firman Tuhan? Kalau itu terjadi, kita adalah orang Kristen yang bertumbuh.
Waktu Yesus mengatakan “Engkau mendengarkan Aku … Engkau selalu mendengarkan Aku”, berarti jalan ini dibuka untuk Saudara dan saya, kita juga bisa selalu didengarkan Bapa, kalau kita hidup menurut kehendak Bapa, kalau yang kita inginkan betul-betul adalah Kristus. Yesus mengucapkan doa ini supaya disaksikan, didengar, dipelajari, dimengerti oleh orang-orang yang mengelilingi Dia pada saat itu; dan supaya Saudara dan saya –pembaca Injil Yohanes—juga mengerti hal ini, supaya kita percaya bahwa Yesus itulah yang telah diutus oleh Bapa.
“Aku mengatakannya, supaya mereka percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku” (ayat 42b). Yesus, sebagai yang diutus oleh Bapa, Nabi yang sejati, selalu didengarkan oleh Yang Mengutus. Nabi palsu tidak pernah didengarkan oleh Allah –dan memang tidak ada yang mengutus juga, dia mengutus dirinya sendiri—Allah tidak pernah mengutus mereka. Yesus diutus oleh Bapa, Dia selalu didengarkan oleh Bapa, karena Dia cuma mengatakan yang berasal dari Bapa dan mengerjakan hanya yang adalah pekerjaan Bapa. Yang bukan pekerjaan Bapa, Dia tidak kerjakan. Dia hanya mengatakan hal-hal yang jadi isi hati Bapa –dalam hal ini, Yesus adalah The True Prophet. Saudara dan saya juga diundang untuk berbagian dalam cerita ini, menjadi orang yang mempunyai fungsi nabi, seperti yang ada dalam Alkitab.
Ayat 43, Dan sesudah berkata demikian, berserulah Ia dengan suara keras: "Lazarus, marilah ke luar!" Sebenarnya, bisa atau tidak sih, Lazarus keluar dengan Yesus berpikir di dalam hati saja? Secara teologi sistematika, itu bisa saja, karena Yesus memang punya kuasa; Yesus bisa saja berpikir dalam hati lalu Lazarus keluar –tapi itu lebih mirip cenayang daripada Mesias. Bisakah Yesus membangkitkan Lazarus tanpa Dia berbicara? Ini pertanyaan yang sulit. Kalau secara kemampuan Ilahi, jawabannya sederhana, tentu bisa. Tapi kalau secara pattern pekerjaan Ilahi, jangan lupa, Allah menciptakan dengan berfirman; Allah berfirman, maka segala sesuatu jadi sesuai dengan firman-Nya. Waktu Allah bilang “jadilah terang”, maka jadilah terang; Allah berfirman, dan Firman itu create reality. Di bagian pembahasan kita ini, bicara tentang recreation. Orang yang sudah mati ini di-recreate oleh Tuhan, orang yang sudah berada dalam dunia kematian dikeluarkan untuk masuk ke dalam kehidupan. Dengan demikian memang betul bahwa memakai kata-kata ini sesuai dengan teologi penciptaan –sebagaimana Saudara baca dalam Kitab Kejadian, bukan tanpa perkataan. Ini penting.
Saya tidak tahu, apakah diri kita termasuk orang yang banyak bicara tapi tidak ada kelakuannya, atau sebaliknya yang penting kelakuan tapi tidak pernah bersaksi tentang Kristus secara perkataan –kalau Saudara baca dalam Kitab Kejadian, itu tidak terlalu ada dukungan, karena Tuhan menciptakan dengan kata-kata (Firman). Firman berarti sesuatu yang dikatakan. Kalau sekedar kata-kata lalu tidak dihidupi, itu persoalan yang lain. Tapi kalau hidup kita dikuasai Firman, apakah mungkin itu tidak meluap keluar? Menurut Yesus tidak mungkin. Maka di sini Yesus kemudian berseru, Dia berkata-kata dengan suara keras.
Matthew Henry mengomentari bagian ini, alasannya Yesus berseru dengan suara keras. Kutipannya sbb.: He cried aloud, to signify the greatness of the work, and of the power employed in it, and to excite himself as it were to this attack upon the gates of death, as soldiers engage with a shout. Yesus yang sama, Yesus yang menjanjikan kelegaan, ketenangan, damai, di sini sedang bicara tentang peperangan rohani. Yesus berseru dengan suara keras karena ini satu hardikan, serangan, terhadap pintu gerbang kematian. Di sini kalau pakai suara lembut tidak cocok, karena ini bukan bicara kepada Maria atau Marta, atau kepada pelacur yang perlu mendapat belas kasihan, melainkan bicara kepada the gates of hell. “Lazarus, marilah ke luar!” ini bukan bentakan kepada Lazarus, ini bentakan kepada kuasa kematian. Ada satu rabbinic literature yang menjelaskan mengenai peperangan ini, disebut dengan “the great one”, yang dimengerti sebagai the angel of death (malaikat maut dalam kepercayaan Yahudi), yang kalau kita mengerti dalam konteks ini, menjadi sesuatu yang indah mengapa Yesus di sini berseru dengan suara keras.
Yang kedua, Matthew Henry mengatakan: The soul of Lazarus, which was to be called back, was at a distance, not hovering about the grave, as the Jews fancied, but removed to Hades, the world of spirits; now it is natural to speak loud when we call to those at a distance. Jiwanya Lazarus ini sedang berada di underworld, jauh, bukan mengawang-awang di atas kuburan seperti yang diimajinasikan orang-orang Yahudi. Film-film yang dimodifikasi dari mitos-mitos Yunani banyak yang menggambarkan soal turun ke underworld ini; bukan sekedar seperti buka pintu basement lalu panggil, “hei, ayo keluar”, tapi benar-benar under world, world under, yang mengejarnya sampai rumit sekali, musti turun, menyeberang sungai, lalu nanti ada pisau malaikat maut, lalu ketemu apa lagi, dst. –intinya, pergi ke underworld itu rumit sekali. Gambaran ini, bagi dunia modern sepertinya hilang; kita lebih dikuasai oleh teologi batu, tidak ada urusannya dengan dunia underworld, itu dunia yang betul-betul terpisah.
Saya baru saja pergi ke Eropa, dan mengunjungi beberapa gereja. Di sana ada kuburan yang berada di dalam gereja. Saya post foto-foto itu di Facebook, dan banyak orang tanya “mengapa bisa ada kuburan di dalam gereja, mengapa tidak taruh di luar saja”, dsb. Gereja-gereja tadi sebenarnya termasuk dunia modern juga (sekitar 1600-1700), tetapi kita, orang abad 21 ini merasa tidak seharusnya dunia orang mati bercampur aduk dengan dunia orang hidup; berarti kita lebih dikuasai oleh teologi batu ala Marta tadi. Tapi kalau kita melihat worldview–nya orang-orang zaman dulu, ada perbedaan; waktu Yesus menyuruh batu itu dibuka dan Dia berseru dengan suara keras “Lazarus, marilah keluar!”, yang mau dihadirkan oleh Yesus terutama bahwa itu berarti keluar dari underworld. [Dalam hal ini tidak tepat kalau Saudara memasukkan perspektif teologi sistematika, jadi rumit pembahasannya; bagian ini cukup dipahami dalam pembahasan sederhana, eskatologinya orang-orang Yahudi, bahwa kalau orang mati, dia pergi ke Hades, dan Yesus memanggil dia keluar dari Hades, oleh sebab itu Dia berseru dengan suara keras]. Keterpisahan antara dunia orang hidup dengan dunia orang mati, memang betul-betul jauh, hal ini mungkin juga dikonfirmasikan dalam spiritualitas Saudara dan saya yang tidak berurusan lagi dengan dunia orang mati, malah menganggap sebagai sesuatu yang tabu sehingga pergi nyekar ke kuburan pun tidak. Maka waktu Yesus memanggil dengan suara keras, “Lazarus, marilah keluar!”, itu karena dunia orang mati memang jauh di bawah sana. Dan, Lazarus pun keluar.
Ayat 44b, Yesus mengatakan kepada orang-orang di situ, "Bukalah kain-kain itu dan biarkan ia pergi." Dalam bagian ini, Calvin mengkritik tafsiran Roma Katolik pada masanya, yang seperti memberikan otoritas terlalu besar kepada Gereja, seolah-olah kuasa kebangkitan Kristus tidak cukup dan harus ditambah Gereja yang menyatakan bahwa seseorang betul-betul bisa diterima sebagai orang percaya yang dibenarkan, menerima pengampunan dosa, dsb. Tetapi saya justru tertarik waktu bagian ini dikaitkan dengan fungsi Gereja, dalam pengertian begini: bagian yang paling penting, yang tidak bisa dikerjakan manusia, sudah dikerjakan oleh Tuhan –tidak ada yang bisa mengatakan “Lazarus, marilah keluar!” kalau bukan Tuhan– namun demikian, membuka kain-kain dan membiarkan Lazarus pergi, itu tugasnya Saudara dan saya, tugas Gereja.
Orang yang dibangkitkan Tuhan, dia betul-betul bangkit dan bisa bergerak, tapi mungkin jalannya masih tertatih-tatih seperti bayi, masih tersandung sana-sini. Saudara dan saya diundang dalam cerita pertumbuhan orang-orang seperti itu –membuka kain-kain itu. Tuhan bukannya tidak bisa melakukan bagian ini; tapi kalau Tuhan sudah membangkitkan Lazarus, lalu Dia sendiri juga membuka kain-kainnya, itu ibaratnya Tuhan yang kotbah, sekaligus juga main piano, tugas kolektan, bahkan bangun gedung dan mengatur kursi juga. Kalau seperti itu, Saudara dan saya kehilangan kesempatan melayani; kita datang hanya menonton saja, karena semua sudah Tuhan kerjakan. Sebaliknya, ada keindahan ketika Tuhan mengerjakan yang permulaan saja, yang tidak mungkin bisa dikerjakan manusia, kemudian Dia menyerahkan tanggung jawab kepada kita. Bukan karena Tuhan tidak bisa mengerjakan, bukan juga karena pekerjaan itu nantinya tidak bisa diklaim sebagai pekerjaan Tuhan juga –membuka kain itu tetap pekerjaan Tuhan—tapi karena Saudara dan saya diundang berbagian dalam cerita kebangkitan ini, yaitu membuka kain-kain. Membuat orang yang baru percaya, yang baru lahir baru, baru dibangkitkan, bisa bergerak lebih leluasa, ini tugasnya orang-orang Kristen yang imannya lebih dewasa untuk memperhatikan orang-orang yang imannya masih baru, yang kita perlu pelihara dengan sabar, cinta kasih, kelemahlembutan, tapi juga dengan teguran ketika diperlukan.
Gereja yang menjalankan fungsi seperti ini, adalah Gereja yang diberkati oleh Tuhan. Kiranya Tuhan berbelas kasihan kepada kita semua.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading