Hari ini kita akan merenungkan riwayat umat Tuhan lewat sebuah peristiwa dalam hidup seorang “kafir” bernama Kornelius. Lukas menggambarkan Kornelius sebagai komandan “Batalion Italia”. Batalion Italia ini pasukan elit, Anggota batalion ini adalah orang asli Romawi, bukan rekrutan dari penduduk Yudea. Satu legion Romawi terdiri dari 6000 orang, masing-masing dibagi menjadi 10 batalion, dan masing-masing batalion terdiri dari 600 personil. Seluruh Yudea dikuasai oleh satu legion, dan Kornelius memipin satu batalion (600 orang). Jadi Kornelius ini orang penting, secara militer pangkatnya tinggi.
Namun ada yang aneh dengan Kornelius. Lukas menggambarkan Kornelius sebagai seorang yang saleh, takut akan Allah, memberi banyak sedekah kepada umat Yahudi, dan senantiasa berdoa kepada Allah. Ini bukan ciri-ciri prajurit Romawi, bukan ciri-ciri seorang jendral Romawi; ini seperti seorang Yahudi yang saleh. Kita tahu, di Yudea itu orang Romawi menjajah orang-orang Yahudi, tapi kenapa koq, sang pangllima Romawi ini seperti menganut agama Yahudi?? Bahkan bukan hanya dia, tetapi juga seisi rumahnya, artinya istrinya, anak-anaknya, para hambanya. Bayangkan seorang letnan jendral Amerika, tinggal di station di Irak, tapi sembahyangnya mengikuti agamanya orang Irak; koq bisa begitu?? Jadi Kornelius ini dari luar penampakannya Romawi, tapi di dalam hatinya ia seorang penganut Agama Yahudi.
Walau demikian Kornelius tetap tidak dianggap sebagai “orang dalam” oleh orang-orang Yahudi. Dia berdiri di pinggiran komunitas Yahudi, dia rindu untuk menjadi umat TUHAN, tetapi ia tetap “orang luar” oleh karena wajahnya, kulitnya, dan juga dia bukan orang bersunat, maka dia tidak diterima oleh orang-orang Yahudi. Profesor Peter Carey (seorang sejarawan Indonesia) ketika menulis tentang orang Cina Jawa, dia bilang orang-orang ini adalah “Cina wurung, Londo durung”, maksudnya ‘Cina sudah tidak lagi (sebab sudah tidak bisa bahasa Cina), tapi jadi Belanda pun tidak’; itulah Chindo Jawa, kata Peter Carey. Dalam hal Kornelius, kalau pakai istilahnya Peter Carey, dia itu “Roma wurung, Yahudi durung”; dalam Bahasa Jawa wurung artinya sudah tidak jadi, durung artinya belum. Jadi Kornelius ini orang apa, ya??
Suatu kali ketika ia berdoa terjadi sesuatu; “orang kafir” ini mengalami pengalaman rohani: berjumpa dengan malaikat dari Yahweh (ada satu lukisan dari Gerbrand van den Eeckhout yang menggambarkan hal ini, ketika Kornelius, Roman centurion itu, menerima penglihatan tersebut). Dalam suatu penglihatan, kira-kira jam tiga petang, jelas tampak kepadanya seorang malaikat Allah masuk ke rumahnya dan menyapanya: “Kornelius!”
Memang di dalam Alkitab, TUHAN berbicara dan bekerja TIDAK secara eksklusif hanya di dalam dan melalui umat Yahudi atau umat Kristen. Tuhan-nya orang Yahudi dan Tuhan-nya orang Kristen itu berbicara juga secara langsung kepada Firaun, Nebukadnezar, raja-raja Asyur, orang Romawi, dll. Kornelius menatap malaikat itu dan dengan takut, lalu bertanya: “Ada apa, Tuhan?” Malaikat itu menjawab: “Semua doamu dan sedekahmu sudah naik ke hadirat Tuhan, Allah mengingat engkau … suruhlah beberapa orang ke Yope menjemput seorang yang bernama Simon dan yang disebut Petrus … ia menumpang di rumah seorang penyamak kulit yang bernama Simon, yang tinggal di tepi laut.” Malaikat itu bilang bahwa doa dari Kornelius sudah didengar dan diingat Tuhan. Bagi Anda sendiri, seberapa berharga “didengar dan diingat Tuhan” ini? Anda menghargai didengar dan diingat oleh siapa? Mungkin kita ingin di dengar, di-notice, diingat, oleh orang-orang hebat. “Saya di-mention oleh Taylor Swift” –tau mungkin Jordan Peterson, atau Elon Musk– kayaknya keren banget. Tapi adakah yang lebih berharga daripada didengar dan diingat Tuhan??
Sementara itu, Petrus menginap di rumah seorang penyamak kulit. Penyamak kulit ini profesi yang najis bagi orang Yahudi yang saleh, karena berurusan dengan kulit berarti dia mengolah bangkai binatang; dan bagi orang Yahudi bangkai itu haram. Jadi Petrus ini menginap di rumah seorang Yahudi yang sepertinya agak dicibir oleh orang-orang Yahudi yang saleh. Ini mirip seperti Yesus duduk makan di rumah Simon si kusta –kusta juga dicibir orang– atau Lewi si pemungut cukai –pemungut cukai juga tidak disukai orang Yahudi.
Lalu Kornelius mengirim utusan kepada Petrus sesuai perintah Malaikat itu. Nantinya kita akan melihat bahwa bukan hanya Kornelius yang mendapat penglihatan, tapi juga Petrus. Jadi di sini ada konfirmasi “penglihatan dobel”. Lukas memang suka menggambarkan adanya hal-hal seperti ini yang Tuhan lakukan, misalnya dalam peristiwa Ananias-Paulus, Ananias dapat penglihatan, Paulus juga; demikian pula waktu Maria dapat penglihatan, Elizabet juga. Kalau hanya Kornelius yang dapat penglihatan, bisa jadi itu cuma halusinasi. Kalau hanya Petrus yang dapat penglihatan, bisa saja itu cuma halusinasi. Tapi kalau Petrus dan Kornelius sama-sama dapat penglihatan, padahal mereka berada di dua kota yang berbeda, maka kecil kemungkinan bahwa itu halusinasi. Tuhan memberikan konfirmasi dari orang lain untuk membedakan penglihatan dari TUHAN yang beneran dengan halusinasi, perasaan-perasaan kita. Jadi, kalau orang bilang, “Ah, Kristen itu cuma halusinasi saja”, jangan percaya; kalau Anda punya teori bahwa Kristen itu halusinasi, itu kecil sekali kemungkinannya, karena bagaimana mungkin halusinasi 500 orang koq bisa sama, jadi justru lebih ajaib lagi.
Sekarang adegan beralih ke Yope Kis. 10:9-17). Sebuah peristiwa rohani lain terjadi di Yope saat Petrus lapar dan ingin makan. Pernahkah Saudara sedang khusyuk berdoa lalu tiba-tiba perutnya bunyi, lapar? Tidak perlu merasa bersalah atau malu, Petrus pun pernah mengalaminya. Tapi ini lebih dari sekadar urusan perut. Petrus mendapatkan suatu penglihatan, ada bentangan kain yang lebar turun dari langit, dan isinya hewan-hewan (Kis. 10:11-13).
Petrus sedang lapar, dan melihat hewan-hewan itu mungkin laparnya jadi bartambah-tambah, jadi ingin makan. Lalu terdengar suara, “Sembelihlah!” Istilah “sembelihlah” yang didengar Petrus bukan sekadar berarti ‘sembelihlah lalu kamu makan’, tapi ini istilah yang dipakai untuk mengatakan ‘sembelihlah dan kamu persembahkan kepada Tuhan’. Masalahnya, kita melihat dalam catatan Lukas, hewan-hewan itu hewan-hewan haram; bagaimana mungkin hewan-hewan haram, seperti babi, disembelih dan dipersembahkan kepada Tuhan?? Ini terdengar seperti penistaan agama! Dan, ini membuka luka lama, religious trauma yang mendalam dari kalangan orang Yahudi.
Saudara mungkin pernah mendengar lagu “Mulia dan Menang” (syairnya: “mulia, dan menang, pada Tuhanku …”), lagu waktu merayakan Yudas Makabeus mulia dan menang. Lagu itu bicara mengenai arak-arakan kemenangan ketika Yerusalem direbut oleh para pejuang Yahudi. Yudas Makabeus adalah anak dari Matatias; dan Matatias ini melawan/memberontak terhadap penguasa Yunani yang menguasai Yudea pada waktu itu, namanya Antiokus Epipanes. Antiokus ini ingin memaksakan modernisasi, sekulerisasi di Yudea. Cara yang dipakai oleh Antiokus, dengan mengurbankan babi bagi Yupiter tapi di altar Yahweh, dan menyuruh imam di sana melakukannya. Jadi Antiokus ini seperti melecehkan, meringankan kefanatikan orang-orang Yahudi ini. Lalu apa yang Matatias, seorang imam dan ayah dari Yudas Makabeus itu lakukan? Dia mengambil parang, dan mencincang imam tersebut. Matatias dan keluarga Makabeus kemudian melarikan diri ke gunung, dan mereka menjadi gerilyawan, menyerukan perang jihad sampai mati, membela kehormatan Tuhan. Mereka ingin menunjukkan kepada penguasa kafir bahwa kalau Tuhan beserta mereka, walaupun mereka sedikit, mereka akan menang. Dalam hal ini, Saudara mungkin bisa memikirkan mengenai cita-cita dari para pejuang Taliban, atau mungkin murid-murid dari Khomeini di Iran.
Tapi itu tidak berlangsung lama, sebab pemberontakan dari keluarga Makabeus ini kemudian bisa dipadamkan. Penguasa kafir itu terus berlanjut, turun-temurun, silih berganti menjajah Yudea; dan orang-orang Yahudi sepertinya tidak terlalu bisa apa-apa. Itu sebabnya urusan sunat jadi penting buat mereka, urusan makan makanan haram jadi penting buat mereka. Mungkin ini seperti misalnya kalau Natalan dilarang, atau merayakan Paskah dilarang, maka orang-orang Kristen di Indonesia bisa-bisa makin Kristen. Memang agama bekerjanya begitu, kalau ditekan, dia justru makin menjadi menarik.
Namun bayangkan, betapa kaget Petrus ketika ada suara menyuruh dia menyembelih hewan-hewan haram itu –dan itu dari Tuhan! Bayangkan, sejak kecil Petrus di pangkuan ibunya diceritakan mengenai kepahlawanan keluarga Makabe, dan bagaimana orang-orang kafir itu akan dihabisi oleh Tuhan, eh, sekarang malah Tuhan sendiri menyuruh Petrus menyembelih hewan-hewan haram itu, dipersembahkan bagi Tuhan; koq bisa?? Tidak heran walaupun perutnya keroncongan, dan Tuhan menyuruhnya menyembelih hewan-hewan itu, Petrus mengatakan “tidak!”
“Tidak, Tuhan, tidak, sebab aku belum pernah makan sesuatu yang haram dan yang tidak tahir,” kata Petrus. Sampai-sampai Tuhan menegaskan untuk kedua kalinya: “Apa yang dinyatakan halal oleh Allah, tidak boleh engkau nyatakan haram.” Jadi Petrus di sini eyel-eyelan dengan Tuhan. Apakah Tuhan bisa menekuk lutut Petrus dan membuat dia menurut? Tidak. Apakah respons Tuhan ketika Petrus terus saja bilang, “Tidak, Tuhan, ‘gak bisa!”; apakah Tuhan memaksa? Apakah kemudian kali berikutnya Petrus tidak bisa lagi bilang tidak, dan keluar suara dari mulutnya, “Krook, krok, krook, krok … “, disihir Tuhan jadi kodok karena dia membangkang terus? Tidak. Hal ini terjadi sampai tiga kali, lalu benda itu terangkat ke langit (ay. 16). Tuhan sepertinya give up. Tuhan bohwat sepertinya. Tuhan habis akal sepertinya. Kebiasaan agama kita yang telah mengakar, memang sulit diubah, bahkan Tuhan sendiri sepertinya sulit mengubah.
Sementara itu adegan beralih (ayat 18-23); Lukas menceritakan para utusan Kornelius sudah tiba di Yope, dan mencari-cari rumah Simon.
Tuhan memakai cara-cara lain untuk menggenapkan maksud-Nya. Ketika manusia ngeyel, Tuhan tidak pakai kekuatan dari surga, palu godam yang gepengin manusia; tidak. Perubahan Petrus tidak dimulai dari kepala; Tuhan ajak Petrus berdebat, berapologetika, Petrus tidak berubah, maka perubahan Tuhan kerjakan dari kaki Petrus. Malaikat menyuruh Petrus yang masih bimbang itu, yang otaknya masih terus mikir, untuk bergerak saja, menggerakkan kakinya, menuruni tangga, membuka pintu, menjumpai para utusan Kornelius –orang-orang “kafir” itu. Perubahan itu diawali dari tindakan jasmani, tindakan badani, sosial, yang sederhana, tidak muluk-muluk, tidak ideal.
Petrus turun tangga itu, membuka pintu bagi orang-orang kafir itu, berbicara dengan mereka, mendengarkan mereka, lalu ia melakukan sesuatu yang kita pikir remeh tetapi sebenarnya radikal: Petrus mengundang mereka masuk! Ingat, ini adalah masa di mana orang-orang Yahudi yang saleh tidak mau makan semeja dengan “orang kafir”, tidak mau hadir seatap dengan “orang kafir”, seberapa pun kaya atau berkuasanya mereka. Tapi, Petrus yang enggan menyembelih hewan-hewan haram itu, membuka pintunya, membiarkan mereka masuk, mengundang mereka masuk. Ada hal yang luar biasa sedang terjadi di sini.
Ini juga tercermin dalam kata-kata para utusan Kornelius ketika memperkenalkan tuan mereka. Para utusan kornelius bukan memperkenalkan tuan mereka dengan cara begini: “Namamu Petrus ‘kan? Kami utusan Kornelius. Kenal ‘gak Kornelius, dia itu komandan batalion elit Italia. Ikut sekarang juga!” Tidak seperti itu. Mereka datang kepada Petrus, mereka memperkenalkan tuan mereka sebagai perwira yang tulus hati, takut akan Allah, terkenal baik di antara bangsa Yahudi. Kita musti ingat, ini konteksnya Romawi menjajah Yudea, jadi kalau orang Romawi bicara kasar kepada orang Yahudi, itu biasa banget, orang Yahudi tidak bisa apa-apa; apalagi ini yang bicara adalah utusan komandan batalion, jadi sebenarnya kalau seperti itu, Petrus tidak bisa apa-apa, siapa sih Petrus itu. Tapi, utusan ini memperkenalkan tuan mereka kepada Petrus dengan ucapan, “Tuan kami itu perwira yang tulus, takut akan Allah, terkenal baik lho, di antara bangsa Yahudi”; ngapain seperti itu?? Ini tanda bahwa mereka itu merendahkan dirinya, membuka dirinya, untuk menjangkau orang-orang seperti Petrus yang terluka karena penjajahan dari orang Romawi. Padahal kalau kita pikir-pikir, dalam cerita ini sebenarnya “yang butuh” justru Petrus dan orang-orang Kristen Yahudi. Kornelius sebenarnya tidak terlalu butuh Petrus, tapi Tuhan ingin mengajar sesuatu kepada Petrus dan komunitas Yahudi Kristen.
Kita lanjutkan ceritanya. Petrus lalu mempersilakan mereka untuk bermalam di situ; dan besoknya dia bangun dan berjalan bersama mereka. Istilah “berangkat bersama mereka” di bagian ini, Lukas katakan sebagai sesuatu yang signifikan. Mungkin kalian masih ingat Mazmur 1 mengatakan, orang yang saleh, orang yang benar menurut orang Yahudi, dia tidak duduk di kumpulan pencemooh, mereka tidak berjalan di jalan orang berdosa. Dari Mazmur 1 itulah muncul sikap orang Yahudi yang anti banget duduk makan bersama orang kafir dan berjalan dalam sebuah perjalanan bersama orang kafir. Namun kita tahu ada sesuatu yang luar biasa terjadi di sini, sebab kita lihat Petrus mengundang orang-orang kafir ini tidur di rumah tempat dia menginap, dan besoknya dia berjalan bersama dengan mereka. Mengapa Petrus melanggar semua hal itu? Petrus, walaupun ia mengatakan “tidak” dalam hal menyembelih dan makan hewan-hewan itu, tapi rupanya dia mendengar pesan Tuhan untuk membuka hatinya dan hidupnya. Nantinya kita melihat Petrus juga membuka Gerejanya bagi orang-orang “luar”, seperti Kornelius ini. Petrus tidak lagi melihat Kornelius sebagai orang-orang yang kafir yang akan dimusnahkan TUHAN ketika Ia datang kembali. Mereka lalu berjalan dan berjalan, akhirnya sampai di Kaisarea.
Kita melanjutkan ceritanya, ayat 24-29. Tentang bagian ini, ada satu lukisan dari Francesco Tresivani, memperlihatkan bagaimana Petrus membaptis Kornelius; dalam hal ini, meragukan juga apakah betul Petrus yang membaptis Kornelius, dan sepertinya tidak harus begitu, namun lukisan tersebut memperlihatkan posisi Kornelius, sang komandan batalion, yang tersungkur di kaki Petrus ketika berjumpa dengan Petrus di rumahnya.
Ini bukan Kornelius tiba di rumah Petrus, melainkan Petruslah yang tiba di rumah Kornelius, dan Kornelius menyambut dengan tersungkur seperti itu. Bayangkan, di rumah Kornelius tentunya ada banyak orang, para anak buahnya Kornelius, tapi koq Kornelius menyambut Petrus dengan posisi begitu rendah! Bayangkan kalau misalnya ada seorang haji datang ke GRII lalu Pak Tong dengan sangat antusias memegangi kakinya dan tersungkur di depan dia, betapa mengagetkan pemandangan itu! Komandan batalion elit Romawi, perwakilan dari wibawa Romawi di Yudea, sekarang tersungkur di kaki seorang nelayan Palestina, murid dari Pemberontak yang sudah dihukum mati yang namanya Yesus; apa-apaan ini?? Ini hal yang aneh, yang diceritakan oleh Lukas.
Lanjutan ceritanya, ayat 30-33; ayat 33 Kornelius mengatakan: “Sekarang kami semua sudah hadir di sini di hadapan Allah untuk mendengarkan apa yang ditugaskan Allah kepadamu.” Siap mendengarkan ini frase para bawahan Kornelius tiap-tiap kali mereka apel pagi; mereka mengatakan frasa ini dalam upacara militer tersebut. Siap mendengarkan siapa? Siap mendengarkan perintah dan titah Kornelius! Tapi kali ini komandan batalion itulah yang mengatakan, sambil tersungkur di depan Petrus sebelumnya, lalu ketika Petrus sudah datang di rumah, dia mengatakan itu sekali lagi, “Kami sudah siap mendengar.”
Namun perhatikan di sini, Kornelius tidak mengatakan mulai sekarang Petrus adalah bosnya, atau sebaliknya Petrus yang mengatakan, “Kamulah yang bos, kamu atasan saya”. Tidak seperti itu. Kornelius mengatakan, apa yang ditugaskan Allah kepadamu, itu yang kami ingin dengar. Kornelius mengerti bahwa bukan dirinya, bukan Petrus juga, yang paling penting; TUHAN semesta alam yang akan bicara melalui Petrus, itulah yang paling penting —kami sudah siap mendengar apa yang Tuhan ingin katakan, lewat Petrus. Dan anehnya, nanti kita akan lihat bahwa titah Tuhan itu akan mengubah bukan hanya Kornelius, tapi juga masa depan dari Petrus, yang mengatakannya. Ini akan mengubah masa depan relasi kedua bangsa yang bermusuhan itu, yaitu Yahudi dan Romawi. Jadi, apa yang kemudian Petrus katakan?
Kita membacanya dari ayat 34-43. Berbeda dengan Khotbah Pentakosta dan Khotbah di Serambi Salomo, di sini Petrus tidak menimpakan kematian Yesus sebagai salahnya pendengar. Kita ingat dalam catatan Lukas tentang khotbah Petrus di hari Pentakosta dan khotbah Petrus di Serambi Salomo, di situ Petrus mengakhiri dengan: “Kamu dan nenek moyangmu membunuh Yesus, seperti kalian membunuh nabi-nabi.” Tapi di rumah Kornelius ini, Petrus tidak mengatakan, “Kalian, orang-orang Roma, membunuh Yesus”, melainkan: “Mereka membunuh Yesus.”
Yang kedua, Petrus menegaskan identitasnya sebagai saksi datangnya Kerajaan Allah dan saksi kebangkitan Yesus. Penting kita ingat, Yesus yang bangkit tidak menampakkan diri secara langsung kepada orang Roma, misalnya Pilatus, atau kepada para penganiaya Dia, misalnya para imam. Bayangkan kalau Yesus yang bangkit itu langsung menampakkan diri kepada Pilatus, Kayafas, Gamaliel, bakal semuanya langsung bertobat. Tapi Tuhan sengaja tidak pakai cara itu, karena Tuhan memanggil kita menjadi saksi. Para rasul ini dipanggil untuk mempersaksikan kebangkitan Yesus di hadapan segala bangsa. Dan, kesaksian mereka disertai sesuatu yang lain; apakah itu?
Yang menyertainya adalah sebagaimana kita baca dalam ayat 44-48. Mereka tercengang, mereka kaget, ketika mereka melihat karya Roh. Kesaksian orang percaya, disertai sesuatu yang lain yaitu Roh Kudus. Karya Roh Kudus ini tidak bisa diprogramkan sebelumnya, Petrus tidak menyangka hal itu akan terjadi, Kornelius juga tidak menyangka hal itu akan terjadi. Ini menandakan bahwa Tuhan-lah yang menggerakkan zaman, Dia berada di garda paling depan dari zaman. Timing dari genapnya Kerajaan Allah, digerakkan oleh Tuhan, bukan oleh manusia. Kita di bagian ini tidak jelas apa yang terjadi yang Lukas katakan sebagai bicara bahasa lidah. Bagian ini jadi perdebatan sengit di kalangan para teolog, dan kita tidak pernah bisa pinpoint apa yang sesungguhnya terjadi, dan tidak perlu juga diulangi pada zaman kita. Namun yang pasti, orang-orang di rumah Kornelius itu, baik Petrus maupun Kornelius, tahu betul bahwa ini pekerjaan Roh.
Itu sebabnya Petrus mengatakan: “… bolehkan mencegah orang-orang ini untuk dibaptis”? Ini frasa yang mirip dengan frasa yang diutarakan Filipus ketika bertemu sida-sida Etiopia: “Adakah halangan untuk aku dibaptis?” Jawabannya tentu tidak ada. Tetapi ada yang tidak suka kalau orang-orang semacam Kornelius ini dibaptis. Kenapa ya? Karena baptisan bagi orang Yahudi adalah suatu tanda mereka ditahirkan lewat “ritual cleansing” untuk diterima sebagai umat Tuhan. Dalam kepercayaan mereka, umat Tuhan ini sudah tercemar, bercampur dengan bangsa-bangsa, maka perlu dibersihkan lewat baptisan. Itu sebabnya Yohanes Pembaptis membaptiskan orang-orang Yahudi; itu adalah membersihkan umat Tuhan dan menyiapkan mereka untuk akhir zaman. Mereka memberi diri dibaptis, mereka diterima sebagai milik Allah di akhir zaman. Namun orang-orang Yahudi tidak suka kalau orang-orang Romawi dibaptiskan. Siapa elu?? Ini Mesias kami, justru bagian kamu adalah nanti kalau Ia datang, kamu dibantai!! Bukan dibersihkan lalu jadi umat, apa-apan ini, ceritanya salah! Selama ini kami sudah menganiaya bangsa kami, kami menunggu-nunggu kapan Mesias datang menghancurkan kalian, lho koq sekarang dibaptis dan menjadi saudara kami, ini apa-apaan?? Cerita apa ini!! Jadi, apa artinya kalau orang-orang non-Yahudi, seperti Kornelius, yang beribadah kepada YHWH kemudian dibaptiskan, apalagi setelah sebelumnya menerima kepenuhan Roh? Artinya, Lukas sedang menceritakan sebuah cerita yang menggambarkan Tuhan sendiri menerima kaum kafir ini sebagai miliknya –yang diwakili Kornelius– sementara umat-Nya ogah. Initanda Yunus; bahwa umat Tuhan ‘gak kam guan untuk menerima orang-orang seperti Kornelius ini, yang koq, sekarang jadi saudara?? Mereka tidak bisa terima.
Peristiwa ini adalah peristiwa yang amat revolusioner, walaupun bungkusnya kayak biasa-biasa saja bagi kita, karena kita kurang mengerti konteks zaman itu. Bagi orang-orang Yahudi di Yudea tindakan Petrus itu tidak pantas dan meresahkan; dan tindakan Tuhan itu out of place dari ekspektasi eskatologi mereka. Kita bisa melihatnya dalam pasal setelahnya, pasal 11:1-3. Bahwa Petrus duduk makan semeja di rumahnya Kornelius, lalu Tuhan melakukan ini dan itu, merupakan sesuatu yang mirip seperti kalau hari ini kalian melihat foto Den Xiaoping duduk bersama dengan Jimmy Carter di Amerika (1979), yang bikin Uni Sovyet meradang, “Apa-apaan ini, saudara sekutu koq, sekarang jadi penjilat kapitalis!” Bahkan di Amerika sendiri, seorang American Maoist bernama Bob Avakian, bersama kelompoknya yaitu Revolutionary Communist Party, USA, memprotes Deng di Gedung Putih; dan dalam kesempatan lain ketika di Houston Den Xiaoping berpidato di Houston, seorang anggota Ku Klux Klan (kelompok rasis yang suka membunuhi orang-orang kulit hitam) berlari membawa pisau ke arah dia.
Tidak semua orang senang kalau ada perdamaian di dunia ini, maka tidak usah heran kalau tidak semua orang senang Kornelius dibaptis. Kita melihat juga foto Yasser Arafat berjabat tangan dengan Yitzak Rabin (Yasser Arafat adalah pentolan dari PLO, Organisasi Pembebasan Palestina, dan Yitzak Rabin adalah Menteri Pertahanan Israel), yang pada tahun 1993 mereka bikin Perjanjian Oslo, mereka mencapai kesepakatan.
Semua orang senangkah? Tidak. Buktinya tidak lama kemudian Yitzak Rabin mati dibunuh; yang membunuh orang Israel, seorang mahasiswa berusia 25 tahun, namanya Yigal Amir.
Sampai di sini mungkin kita berkata dalam hati, untuk apa sih mereka begitu bangga akan keyahudian mereka?? Namun perlu kita pikirkan, mengapa hal-hal itu sedemikian penting bagi mereka? Mereka punya martir-martir yang mempertahankan iman dengan heroik pada masa perang-perang Yahudi itu, mempertahankan kesetiaan pada janji kepada Tuhan. Mereka dianiaya karena bersikeras menjaga kesucian Bait Suci, menyunatkan anak-anaknya, menjaga diri dari hal-hal yang tidak kudus –satu hal yang membuat mereka begitu sensi terhadap poin-poin tadi. Itu juga sebabnya dalam kehadiran orang-orang Kristen di tengah-tengah mereka, urusan sunat, urusan makanan, urusan ketahiran jadi begitu dipersoalkan. Paulus pernah mau dilempari batu sampai mati gara-gara membawa Titus, yang bukan orang Yahudi, masuk ke Bait Suci. Hal seperti itu sampai jadi masalah begitu besar. Juga ada pertikaian soal sunat di kalangan orang Kristen berlatar belakang Yahudi dengan Kristen berlatar belakang non-Yahudi dalam Surat Galatia. Mengenai makanan haram, Paulus menulis panjang lebar dalam Surat 1 Korintus; mereka berdebat soal itu.
Kita mungkin dengan enteng akan bilang, “Ah, itu aturan buatan manusia, tidak usahlah terlalu fanatik.” Walaupun itu memang benar, namun kita tidak perlu merasa lebih tinggi daripada mereka, karena walaupun di dalam Kristus urusan sunat, kesukuan, makanan halal dan haram, tidak penting lagi berhubung segala bangsa sudah beroleh jalan masuk di dalam Kristus untuk jadi umat Tuhan –tidak harus jadi Yahudi– tapi kita mungkin punya hal-hal lain yang seperti mereka juga. Kita memang tidak membanggakan soal sunat, tidak membanggakan soal makan makanan haram, tidak membanggakan soal ritual-ritual, tapi mungkin kita membanggakan ini: kelas sosial kita, kiblat politik kita, ideologi kita, kebudayaan kita, musik kita, bahasa kita, teologi kita. Kita punya hal-hal lain yang mungkin lebih remeh sebetulnya, dan kita tidak punya hak juga untuk menghakimi mereka. Kita mungkin memutlakkan hal-hal yang lebih remeh dibandingkan hal-hal yang kita anggap remeh yang mereka mutlakkan. Coba pikirkan dengan jujur, ada tidak hal-hal lain selain salib Yesus dan kemurahan Yesus atas pendosa seperti kamu dan saya, yang membuat kamu merasa lebih baik daripada orang-orang lain. Pernah tidak merasa begitu? Merasa ‘minimal saya ‘gak kayak dia’; saya ‘gak munafik kayak dia, saya ‘gak malas kayak dia; saya ‘gak suka maki-maki dengan mulut saya kayak dia, saya ‘gak suka marah-marah atau menyombong kayak dia, saya tidak rasis seperti dia, saya tidak silau dengan kekayaan seperti orang-orang itu. Mungkin hal-hal ini mirip seperti ketika orang-orang Yahudi membanggakan soal sunat, soal ritual, soal Taurat. Semua itu sebenarnya tidak membuat kita sungguh-sungguh lebih baik daripada siapapun di dunia.
Hanya ada satu hal yang membuat keadaan kita lebih baik daripada pendosa-pendosa lain, hal yang merupakan keunikan orang Kristen, hal yang sungguh-sungguh kita bisa banggakan; apakah itu? Yaitu ini: Roh Kudus menyadarkan kita akan dosa, Roh Kudus mengarahkan pengharapan kita kepada kemurahan Tuhan dalam Yesus, Roh Kudus meyakinkan kita akan penghakiman dan pengampunan yang dikerjakan Tuhan dalam Yesus. Cuma itu yang kita bisa banggakan –dan itu bukan cuma, itu adalah segala-galanya, tidak ada yang lebih berharga dari itu bagi kita para pendosa ini. Kita bisa membanggakan itu, kita bisa memegahkan itu, tapi tidak bisa membanggakan/memegahkannya sebagai milik kita, sebab itu adalah milik Tuhan. Jadi bagian kita cuma ini: bersyukur.
Sebagai orang Kristen, kebanggaan apa yang kita punya? Tidak ada. Cuma ini: kita bersyukur sebab kita orang berdosa, dan Tuhan bermurah hati kepada kita.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading