Dalam pembahasan pasal 3, kita membicarakan sedikit mengenai tema kesombongan (pride), yang kita lihat dalam diri Haman, dan juga dalam diri Mordekhai. Waktu itu kita belum selesai membicarakan tentang pride, karena kisah Haman memang belum selesai; dan sekarang kita akan menyelesaikannya karena di pasal 7 inilah kisah Haman berakhir. Kita mau merenungkan mengenai kesombongan Haman, dan tentu saja melakukan refleksi akan kesombongan diri kita sendiri. Jadi hari ini, lewat kitab Ester, kita akan membahas isu tentang kesombongan (pride).
Kalau kita mendengar cerita tentang orang-orang yang sombong, yang tidak bisa tutup mulut dan semua topik pembicaraan ujungnya tentang dirinya sendiri, hati kita terasa menggelegak, bahkan mungkin langsung muncul nama atau wajah seseorang di pikiran kita. Inilah orang-orang yang kita anggap arogan, orang-orang yang kerjanya memandang rendah orang lain, orang-orang yang membuat kita merasa dihakimi duluan waktu melihat tatapannya; orang-orang yang selalu harus jadi pusat perhatian, yang suka sekali memotong cerita orang lain dengan cerita mengenai dirinya atau untuk pamer pengetahuannya, dst. Intinya, dalam urusan pride ini, kita bisa sangat ahli mengenalinya pada diri orang lain; tetapi C. S. Lewis mengatakan: “There is no fault which makes a man more unpopular, and no fault which we are more unconscious of in ourselves.” Menurut Lewis, ini dosa yang paling kelihatan ketika hal ini ada pada diri orang lain, tapi di sisi lain, ini dosa yang paling kita tidak menyadarinya ada pada diri kita. Dia melanjutkan: “The more we have it ourselves, the more we dislike it in others”, semakin diri kita sendiri sombong, semakin kita benci dan tidak tahan dengan orang yang sombong –karena kita semakin punya kesombongan. Kita sangat benci orang yang sombong, karena kita sendiri orang yang sombong. Jadi di sini C. S. Lewis memberi kita suatu alat bantu untuk mengenali apakah kita ini orang yang sombong atau tidak, caranya gampang saja, kita tinggal cek perasaan kita terhadap orang lain yang sombong, kita merasa apa ketika bertemu dengan orang yang menghakimi, yang merasa dirinya di atas kita; kalau kita merasa jijik dengan kesombongan tersebut, ketahuilah bahwa kita sendiri adalah juga orang yang sombong.
Membaca tulisan C. S. Lewis seperti ini, bagi saya sangat menusuk, karena saya sebal sekali dengan orang-orang yang sombong. Kalau saya bertemu dengan orang-orang yang saya rasa sombong, sampai di rumah saya akan cerita kepada istri, lalu di akhir cerita saya tanya, “Gua ‘gak kayak gitu ‘kan?”, dan istri saya jawab, “Engga koq”. Setelah itu saya merasa lega dan bersyukur karena saya tidak seperti mereka. Saudara lihat apa yang terjadi di sini? Saya merasa ada orang yang memandang rendah saya, jadi sekarang saya memandang rendah mereka. Saya merasa ada orang yang merasa dirinya lebih baik dibandingkan saya, jadi sekarang saya merasa diri saya lebih baik dibandingkan mereka. Ini apa??
Joseph Epstein mengatakan, banyak orang benci kepada orang-orang yang sombong, tetapi kita cuma bisa membenci mereka kalau kita sendiri menganggap diri kita superior dibadingkan mereka; ini hanya sebuah bentuk hubungan yang lain. Saudara, lihat perangkap dari kesombongan, kita memandang rendah orang-orang arogan, dan kita tidak sadar bahwa dengan melakukan hal demikian, kita sesungguhnya juga sedang menyombong. Pendeta Tim Keller mengatakan, yang paling mengerikan dari kesombongan (pride) adalah pride itu menyembunyikan dirinya, dan inilah yang menjadikan pride begitu berbahaya; the more proud you are, the less proud, you think you are —semakin Saudara sombong, semakin Saudara tidak menyadari kesombongan Saudara.
Pembahasan hari ini –khususnya– sama sekali bukan untuk kita pakai bagi orang lain. Lewis mengatakan, barangsiapa hendak belajar jadi orang yang rendah hati, langkah pertamanya adalah mengakui/menyadari kesombongannya. Tidak ada yang bisa dilakukan sebelum hal ini dilakukan, karena jika kita pikir kita tidak sombong, itu berarti kita amat sangat sombong. Di dalam Alkitab, kisah Haman adalah salah satu studi kasus yang paling besar, paling panjang, dan paling jelas mengenai kesombongan. Hari kita akan memakai momen terakhir hidup Haman, si sombong itu, untuk merenungkan mengenai kesombongan kita. Ada 4 hal yang saya ajak kita melihat mengenai kesombongan: pertama, esensi kesombongan/pride; kedua, fenomena/bentuk-bentuk kesombongan/pride; ketiga, masa depan dari kesombongan/pride; keempat, solusi dari Tuhan akan hal kesombongan/pride.
Pertama, the essence of pride. Dalam kisah awal di pasal 3, Haman baru saja diangkat ke posisi kedua tertinggi kerajaan Persia, langsung di bawah raja Ahasyweros; dan Ahasyweros membuat perintah agar semua orang bersujud menghormati Haman. Mordekhai menolak; lalu di pasal 3:5-6 dikatakan: Ketika Haman melihat, bahwa Mordekhai tidak berlutut dan sujud kepadanya, maka sangat panaslah hati Haman, tetapi ia menganggap dirinya terlalu hina untuk membunuh hanya Mordekhai saja, karena orang telah memberitahukan kepadanya kebangsaan Mordekhai itu. Jadi Haman mencari ikhtiar memunahkan semua orang Yahudi, yakni bangsa Mordekhai itu, di seluruh kerajaan Ahasyweros. Dalam bagian ini, Mordekhai telah melukai hati Haman yang sombong, sehingga Haman memutuskan bahwa satu-satunya cara untuk membalut lukanya ini adalah jika semua orang Yahudi di seluruh kerajaan persia dimusnahkan. Inilah sesungguhnya apa artinya pride, inilah yang dihasilkan oleh pride, inilah esensi dari pride.
Pride membuat diri kita jadi pusat dari alam semesta; dan pride melakukannya dengan cara menggunakan orang lain jadi pijakan kaki untuk mencapai posisi pusat tersebut. Kesombongan Haman membuatnya berpikir bahwa satu-satunya tujuan keberadaan orang Yahudi adalah demi egonya, demi menopang dirinya. Dalam pikiran Haman, orang-orang Yahudi itu hanya eksis bagi dirinya, sehingga oke-oke saja membantai semua bangsa Yahudi jika itu bisa membalut lukanya. Haman menggunakan orang lain jadi tumpuan kakinya untuk mencapai pusat alam semesta; inilah pride.
Melihat hal ini, kita mungkin merasa bagaimana mungkin bisa refleksi, kita ‘gak kayak gitu lho, kita tidak pernah merasa jutaan orang lain eksis hanya untuk kita, kita tidak pernah bunuh-bunuhin orang demi ego kita. Memamg benar, mungkin kita tidak sampai seperti itu, tapi Saudara dan saya tentu pernah menggunakan keberadaan orang-orang di sekitar kita untuk membelai ego kita. Saudara dan saya seringkali menjadikan diri kita masing-masing sebagai pusat; dalam posisi tersebut, kita semua telah menggunakan orang lain demi keuntungan kita. Kita pernah menilai/menghakimi orang lain, lalu menggunakan kesalahan/kekurangan mereka untuk membuat kita merasa diri lebih bagus. Kita melihat orang-orang sombong, kita jijik dengan mereka –dengan kata lain, kita menghakimi mereka—dan satu-satunya alasan untuk itu adalah karena kita merasa diri kita tidak sejelek mereka. Di sini kita menggunakan kegagalan/kekurangan orang lain untuk membuat diri kita merasa lebih baik daripada mereka. Alasannya kita suka nge-gosip tentang kesalahan orang ini dan itu adalah karena kita jadi tahu, bahwa ‘saya cukup oke, saya tidak sejelek orang-orang itu, saya ‘gak kayak gitu’. Memang nge-gosip tidak menyerang orang lain, tidak menyakiti orang lain, tapi nge-gosip lebih parah karena esensinya adalah menggunakan keberadaan orang lain demi ego kita.
Contoh lain, kita ingin didengar orang lain, tapi kita tidak sabar untuk mendengar orang lain. Kita merasa kesal, iri, ketika orang lain mendapatkan sesuatu yang kita sudah lama inginkan. Jemaat yang lajang, melihat orang lain mendapatkan pacar lalu dalam hati bertanya, ‘kenapa bukan gua ya; saya sudah nunggu lebih lama, saya lebih dewasa daripada orang-orang itu, saya lebih cinta Tuhan dibandingkan mereka, tapi kenapa mereka dapat duluan dan saya masih jomblo?’ Para karyawan, ketika orang lain dapat promosi dan naik gaji duluan, kita merasa ‘koq mereka yang dapat itu, saya lebih lama lho di company ini, saya lebih kerja keras, cuma saja tidak ada yang lihat’. Saudara, kalau ada satu hal yang sangat Saudara inginkan, akan sulit sekali melihat orang lain mendapatkan itu sementara kita merasa diri kita lebih pantas mendapatkannya –dan itulah pride.
Inilah pride, ketika kita menempatkan diri sebagai pusat alam semesta, sehingga segala sesuatu di dunia ini, termasuk keberadaan orang-orang lain, ada demi dan bagi kita. Coba pikirkan, waktu orang-orang lain mendapatkan hal-hal yang baik itu –hal-hal yang kita inginkan itu– kita jadi tidak bisa berbahagia demi mereka, bagi mereka. Bahkan dalam momen-momen kebahagiaan orang lain, kita merasa harus menjadikan momen tersebut kembali mengenai diri kita. Pride, membuat kita tidak bisa merayakan kebahagiaan orang lain. Pride, membuat kebahagiaan orang lain jadi momen untuk kita justru iri hati –dan ini pun adalah pride, menjadikan diri kita sebagai pusat, dan semua orang lain menjadi alat untuk kita naik ke pusat tersebut. Inilah esensi pride.
Hal yang kedua, fenomena atau bentuk-bentuk dari kesombongan/pride. Di sini kita harus menyadari bahwa pride ada dua jenis besar; yang pertama, perasaan superioritas atas orang lain (superiority complex), membandingkan diri dengan orang lain dan selalu merasa kita lebih baik daripada mereka; yang kedua, perasaan inferior di bawah orang lain (inferiority complex), membandingkan diri dengan orang lain dan selalu merasa diri gagal, merasa diri sampah.
Saudara mungkin bertanya-tanya, bagaimana bisa perasaan inferior jadi pride? Kembali ke definisi esensi pride tadi —pride adalah menjadikan diri pusat dan menggunakan eksistensi orang lain demi tujuan tersebut– maka ketika kita membandingkan diri dengan orang lain dan merasa inferior, ini pun tetap pride, ini puntetap merupakan bentuk self-centeredness. Merasa diri inferior berarti orang lain ada kelebihan yang kita tidak miliki, lalu bukannya kita berbahagia bersama mereka atas kelebihan mereka, melainkan memakai mereka untuk kembali berfokus pada diri kita dengan segala kekurangannya. Ujung-ujungnya tetap kita yang jadi pusat, dan menggunakan keberadaan orang lain demi ego sendiri. Orang lain sukses, berhasil, lalu yang ada di kepala kita ‘betapa mereka lebih baik daripada saya, betapa saya lebih hancur daripada mereka’; tapi perhatikan, ujung-ujungnya siapa yang jadi tokoh utamanya dan siapa pemeran pembantu?? Kalau kita bikin rusak sesuatu, yang ada di kepala kita ‘betapa saya bodoh, tidak ada gunanya, lebih baik semua orang jauh-jauhlah dari saya’ –kembali lagi, siapa tokoh utamanya dan siapa pemeran pembantu??
Pride of superiority bergandengan tangan dengan pride of inferiority. Dengan pride of superiority, kita merasa diri paling oke, dan kita menggunakan orang lain untuk merasa oke; sedangkan pride of inferiority, kita merasa diri paling hancur, dan kita menggunakan orang lain untuk membuat diri kita semakin merasa hancur. Fenomenanya seperti terbalik, tapi esensinya sama: diri kita adalah pusat alam semesta, dan keberadaan orang lain adalah untuk mendukung diri kita, mendukung ego kita, entah itu untuk menaikkan ego kita ke atas ataupun untuk menginjak-injak ego kita ke bawah –tetap ujungnya kita yang jadi pusat.
Lewat pembahasan ini, kita bisa lebih mengerti apa yang namanya kerendahan hati yang sejati (true humility). Kerendahan hati yang sejati adalah ketika kita menyadari bahwa diri kita bukan pusat, bahwa kehidupan dan eksistensi orang lain bukanlah mengenai kita. Kerendahan hati pasti tidak berfokus pada kehebatan kita, tapi juga bukan berarti berfokus pada kekurangan-kekurangan kita. Kalau Saudara ketemu orang yang benar-benar rendah hati, Saudara tidak akan merasa mereka orang yang rendah hati, Saudara hanya merasa mereka orang yang bahagia. Mereka adalah orang-orang yang bisa menerima segala sesuatu. Mereka adalah orang-orang yang tidak pernah ada problem dengan apapun, baik itu kelebihan orang lain maupun kekurangan dirinya, karena mereka tahu satu hal: mereka bukan pusat dari segala sesuatu.
Humility adalah ketika kita tidak lagi menjadi pusat, ketika hidup itu tidak lagi mengenai diri kita. C. S. Lewis memakai satu ilustrasi, humility adalah seperti ini: katakanlah ada seseorang yang berhasil mendirikan katedral agung paling indah, dia tahu ini karya yang terindah, dia bersukacita akan keindahan karyanya, tapi kesukacitaannya ini tidak kurang dan tidak lebih dari jika katedral tersebut hasil karya orang lain. Ada lagi versi yang lebih simpel dari Tim Keller: “humility is not thinking less about yourself; humility is thinking about yourself less”. Terjemahan bebasnya: kerendahan hati bukanlah menilai diri kurang, tapi mengurangi menilai diri.
Kita sudah melihat esensi dari pride, dan juga fenomena dari pride; bagian besar yang ketiga, kita mau mebicarakan apa yang datang setelah pride, ke mana pride ini membawa kita. Jawaban singkatnya: pride berujung pada kematian; ini dikatakan Amsal 16:18 “Kecongkakan mendahului kehancuran, dan tinggi hati mendahului kejatuhan.” Dan itulah yang kita lihat dalam diri Haman.
Problem dari pride adalah ketika kita berusaha menjadikan diri kita pusat segala sesuatu, cepat atau lambat kita akan ditengking, karena di pusat alam semesta sudah ada Seseorang yang menempatinya. Pusat alam semesta adalah kavelingnya Tuhan, dan -kalau kita bisa pakai gaya bahasa ini– Tuhan tidak sudi untuk berbagi kaveling dengan siapa pun.Itulah problem dari pride. Dalam 1 Petrus 5: 5b dikatakan: ‘Dan kamu semua, rendahkanlah dirimu seorang terhadap yang lain, sebab: “Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati.”’Allah itu menentang orang yang congkak.
Haman, orang kedua terbesar di seluruh Persia, mendirikan tiang sula 23 meter untuk Mordekhai. Dalam waktu yang cukup lama, kita lihat sepertinya tidak ada yang bisa menghentikan siasat Haman. Tapi dalam satu malam, semua itu berubah; Haman yang datang kepada raja untuk minta nyawanya Mordekhai, justru berakhir dengan dirinya jadi penarik kuda yang membawa Mordekhai diarak keliling kota atas perintah raja. Lalu di pasal 7 ini kita membaca nasib Haman di ayat 9-10: Sembah Harbona, salah seorang sida-sida yang di hadapan raja: “Lagipula tiang yang dibuat Haman untuk Mordekhai, orang yang menyelamatkan raja dengan pemberitahuannya itu, telah berdiri di dekat rumah Haman, lima puluh hasta tingginya.” Lalu titah raja: “Sulakan dia pada tiang itu.” Kemudian Haman disulakan pada tiang yang didirikannya untuk Mordekhai. Maka surutlah panas hati raja. Haman disulakan pada tiang yang dia dirikan bagi Mordekhai. Saudara, Allah menentang mereka yang congkak. Pride tidaklah punya masa depan; ketika Saudara menempatkan diri di pusat, maka cepat atau lambat saudara sudah pasti akan lengser.
Kita sudah melihat esensi dari pride, fenomenanya, dan juga masa depannya; sekarang apa yang jadi pengharapan kita lewat semua ini? Apa solusi yang Tuhan berikan lewat semua ini, dan bagi semua ini, karena kita akhirnya mau tidak mau harus mengonfrontasi diri dan menyadari bahwa kita semua adalah orang-orang yang begitu prideful. Betapa kita senantiasa menempatkan diri di pusat, kita senantiasa menggunakan keberadaan orang lain demi ego kita. Kita sombong bukan saja ketika merasa diri superior di atas orang lain, tapi ternyata juga ketika kita merasa diri inferior dibandingkan orang lain, karena tetap saja ujungnya menjadikan diri kita sebagai yang di pusat. Dan ujungnya, ini membawa pada kematian serta kehancuran. Jadi apa pengharapannya? Saya akan membahas 2 pengharapan besar atas pride kita.
Yang pertama: Tuhan mengirimkan kepada kita utusan-utusan. Kita tentu tahu cerita perumpamaan Tuhan Yesus tentang kebun anggur; dalam cerita tersebut ada penggarap-penggarap kebun anggur (ekuivalen dengan ‘manajer’ pada hari ini). Mereka adalah orang-orang yang ditugaskan oleh seorang pemilik kebun anggur untuk mengelola dan mengusahakan kebun anggur tersebut, jadi mereka ini semacam bos-bos kecil. Tapi kemudian mereka ini mulai lupa diri, tidak sudi hanya jadi manajer dan mulai bertingkah laku seperti pemilik/owner. Mereka menggarap kebun tersebut sesuai kehendak hatinya, menolak memberikan keuntungan hasil kebun tersebut kepada sang pemilik. Sang pemilik kemudian mengirim kepada mereka utusan-utusannya, untuk mengingatkan kepada mereka bahwa mereka itu bukan owner tapi hanya manajer; dan utusan-utusan ini digebukin. Dalam konteks Tuhan Yesus memberikan perumpamaan tersebut, Tuhan Yesus sedang “menusuk” para pemimpin Yahudi pada zaman-Nya, karena dalam Perjanjian Lama Israel berkali-kali disebut sebagai kebun anggur Tuhan, sehingga yang disebut para manajer kebun anggut tersebut tentunya pemimpin-pemimpin bangsa Yahudi. Tapi sama seperti penggarap-penggarap tadi, pemimpin-pemimpin Yahudi telah melupakan status mereka, menggarap Israel sesuai kehendak mereka dan bukan kehendak Tuhan. Mereka menolak memberikan keuntungan kembali kepada Sang Pemilik, dalam arti membawa Israel demi kemuliaan Tuhan, sebaliknya menggunakan Israel demi keuntungan dan kemuliaan mereka sendiri. Tuhan mengirim kepada mereka utusan-utusan, yaitu para nabi yang dikirim selama beratus-ratus tahun, untuk mengingatkan para pemimpin Yahudi bahwa mereka bukan pemilik tapi hanya manajer. Nabi-nabi tersebut dipukuli, dan tidak sedikit yang dibunuh.
Melihat perumpamaan ini, kita bisa merefleksikannya pada hidup kita, yang juga pemberian dari Tuhan. Hidup kita juga adalah kebun anggur Tuhan, dan kita adalah penggarap-penggarap yang dipercayakan untuk mengelola/menggarap hidup ini bagi Tuhan. Itu berarti kita semua punya obligasi untuk menggarap hidup ini sesuai dengan kehendak Tuhan, bukan kehendak kita; dan bagi kemuliaan Tuhan, bukan kemuliaan kita. Tetapi yang terjadi, kita lupa diri; kita mulai mengira diri kita sebagai pemilik, kita mulai menempatkan diri di pusat, kita mulai memakai segala sesuatu untuk kehendak kita, bagi kemuliaan dan keuntungan kita. Ketika Saudara mendengar Alkitab mengatakan ‘hei, semua dalam hidupmu itu tidak boleh kalian pakai sekehendak kalian, lho; uangmu itu bukan untuk dipakai sekehendak hatimu, lho; barang-barangmu, baju-bajumu, HP-mu, bukan untuk dipakai sekehendak hatimu, lho; alat kelaminmu bukan untuk kamu pakai sekehendak hatimu’; apa perasaan Saudara? Bahagia? Tentu tidak. Ada sesuatu yang di dalam hati kita mau mengatakan, “Ah, engga, tidak bisa kayak begitu, saya bukan penggarap, saya pemilik, saya di pusat!”
Itu sebabnya Tuhan mengirimkan utusan-utusan ke dalam hidup kita, untuk mengingatkan bahwa kita bukan pemilik, kita cuma manajer. Apakah utusan-utusan tersebut? Seperti dalam perumpamaan tadi, utusan-utusannya bisa banyak macam, tetapi ada satu hal yang seringkali kita tidak sadar itu utusan Tuhan dalam hidup kita, yaitu: sutuasi-situasi hidup di mana kita menderita, kita celaka, kita menemui tembok, kita gagal, kita frustrasi. Situasi-situasi di mana kita mengalami tragedi, atau hampir mengalami tragedi. Situasi-situasi di mana kita frustrasi dan kecewa, Semua ini pun adalah utusan dari Tuhan, untuk mengingatkan kepada kita bahwa kita bukan pemilik, kita cuma penggarap. Mungkin Saudara berkata, ‘jadi Tuhan mengutus kekecewaan, kefrustrasian ke dalam hidup kita?? Tuhan jahat, ya; apa tujuan dari itu??’ —kita tidak melihat hal-hal itu sebagai utusan Tuhan. Kita maunya yang namanya utusan adalah memberikan berkat, air yang sejuk, daging untuk dimakan; tetapi situas-situasi tadi itu pun utusan Tuhan, karena message-nya jelas, yaitu “kamu tidak pegang kendali atas hidupmu, kamu bukan pemiliknya, kamu hanya penggarap”.
Ada banyak orang waktu bertemu dengan situas-situasi hidup seperti itu, bertemu dengan kesulitan-penderitaan-kekecewaan dalam hidupnya, mereka lalu mengatakan “inilah buktinya tidak ada Tuhan, karena hidupku dan dunia ini penuh dengan ketidakadilan, kejahatan, kerusakan, kekecewaan, penderitaan; bagaimana bisa percaya ada Tuhan yang baik jika dunia ini begitu rusak; bagaimana bisa percaya ada Tuhan yang mahakuasa jika dunia ini begitu kacau”. Kedengarannya logis. Tapi waktu kita telaah lebih dalam, ini justru logika yang amat sangat terbalik; mengapa? Karena manusia ingin percaya bahwa dirinya pusat, bahwa kitalah yang mengontrol hidup ini, bahwa kita bisa mengontrol hidup ini. Kita ingin percaya bahwa kita punya goal, kita punya agenda, dan kita bisa menentukan sendiri; bahwa kita bisa menentukan sendiri nilai hidup kita, terserah pada kita entah kita mau cisgender atau transgender atau non-binary atau apapun. Buku-buku self-help terus menerus menjual ide ini dan jadi best seller; “12 Langkah untuk Membereskan Hidupmu”, “5 Metode Orang Hidup Sukses”, semuanya sedang berteriak ‘kamu seorang pemilik, bukan manajer! ambil alih hidupmu!’ Tapi ini semua kebohongan. Dari mana kita tahu ini kebohongan? Dari situasi-situasi hidup kita, yang terus-menerus datang itu.
Apakah yang hidup ini berkali-kali lakukan kepada kita? Apa message yang dibawa oleh hidup ini, lagi, lagi, dan lagi kepada kita, lewat kekecewaan, lewat nabrak-tembok, lewat kefrustrasian? Message-nya adalah: kamu bukan pemilik, kamu tidak mengontrol hidupmu, kamu tidak pegang kendali. Kehidupan ini, cepat atau lembat tidak akan pernah membiarkan kita bertahan dalam ilusi bahwa kita ada di pusat alam semesta. Kehidupan ini tidak akan pernah membiarkan Saudara terus-menerus bertindak sebagai pemilik.
Lalu, jika hidup ini tidak pernah membiarkan kita bertindak sebagai owner, jika dalam hidup ini usaha kita untuk memegang kendali itu senantiasa menemukan halangan, jika kita senantiasa kecewa karena agenda kita tidak terpenuhi, jika kita senantiasa menderita karena goal-goal kita hancur berantakan, maka kesimpulan yang logis dan tepat, jadinya apa? Tentu saja bahwa kita bukan owner-nya ‘kan. Penjelasan yang paling jelas ketika kita melihat hidup kita ini tidak sesuai dengan keinginan kita, adalah bahwa kita bukan pemilik hidup ini. Saudara lihat di sini, betapa logika ini bertabrakan dengan logika dunia. Orang dunia melihat penderitaan, kecewa, lalu mengatakan “tidak ada Tuhan, tidak ada Sang Pemegang Kemudi Agung yang mengontrol segala sesuatu, buktinya semua kacau!” Tetapi, orang yag menderita dan kecewa, seharusnya justru mengambil kesimpulan yang terbalik; ‘lihat, dunia begitu kacau, begitu tidak bisa saya kontrol’, maka kesimpulan seharusnya adalah: ‘saya bukan pemegang kemudi hidup ini, I am not in control, tidak ada manusia yang bisa menentukan arah hidupnya sendiri, saya bukan pemilik hidup ini; saya tidak di pusat, ada Someone else yang lain yang berada di pusat itu, ada Someone else yang memiliki hidup saya’ –itulah konklusi yang logis.
Saudara, inilah maksudnya situas-situasi hidup sebagai utusan-utusan dari Tuhan, yang senantiasa meneriakkan ke telinga kita “kamu tidak in control, kamu cuma penggarap dan bukan pemilik, ini semua cuma pemberian, kamu tidak bisa mengaturnya dan menggunakannya semaumu demi keuntunganmu”. Dan, seringkali dalam bagian ini pun, yang kita lakukan adalah persis seperti penggarap-penggarap kebun anggur tadi; kita gebukin utusan-utusan ini. Kita mengatakan, “Tuhan jahat! Mengirimkan berbagai macam penderitaan hanya untuk menyatakan Dia bosnya, dan bukan saya. Jahat sekali Bos seperti ini! jahat sekali Pemilik seperti ini!”
Saudara, percaya atau tidak, itu bukan niatnya Tuhan. Yang terjadi dalam hidup kita selama ini adalah: ketika kita sedang berusaha untuk mengambil alih kemudi hidup ini, kita itu cuma seperti seorang anak kecil umur 6 tahun yang mau nyetir mobil; kaki tidak cukup panjang sampai ke pedal gas, dan kepala tidak cukup tinggi untuk melihat ke depan, sehingga satu-satunya yang bisa kita lakukan cuma melepas rem tangan. Dan Saudara tentu tahu apa yang selanjutnya akan terjadi, maka yang Tuhan lakukan dalam hidup ini adalah: Tuhan mendesain beberapa hal yang namanya “fail-safe”, untuk menjaga jangan sampai hal tersebut terjadi dalam hidup ini.
Fail-safe adalah suatu mekanisme pengaman. Kalau Saudara punya dispenser yang bisa mengeluarkan air dingin dan air panas, pada tombol air panas biasanya ada mekanisme yang namanya fail-safe; tombol air dingin begitu dipencet langsung keluar airnya, sedangkan tombol air panas harus diputar dulu baru ditekan, dsb., baru bisa keluar airnya. Itulah yang namanya fail-safe. Ini untuk mencegah supaya anak-anak kecil yang mungkin main pencet-pencet dispenser tersebut tidak bisa main air panas, karena itu berbahaya. Saudara, bagaimana jika hal seperti itulah yang sedang terjadi ketika kita menemui tembok-tembok dalam hidup ini, ketika kita menemui kefrustrasian dan kegagalan dan segala macam lainnya dalam hidup ini? Dalam momen seperti itu, kita teriak-teriak, kita “gebukin utusan Tuhan”, kita tinju-tinju tembok itu. Kita seperti seorang anak kecil yang marah-marah pada pembuat dispenser “kenapa, sih, tombol air panas ini susah sekali dipencet?! aku ini baru umur 6, aku ‘gak ngerti gimana caranya pakai ini! kenapa pembuat dispenser ini mempersulit hidupku, jahat!!” Itulah anak kecil –dan juga kita.
Saudara, inilah pengharapan kita yang pertama dalam masalah pride, Tuhan senantiasa mengirim utusan-utusan-Nya dalam hidup kita, hanya saja utusan-utusan itu tidak seperti yang kita bayangkan –namun itu tetap utusan Tuhan. Utusan-utusan ini sedang mengingatkan bahwa kita ini bukan pusatnya, bahwa kita tidak berada di tengah-tengah pusat alam semesta. Dan ini satu hal yang baik; karena ketika Saudara menempatkan diri di pusat alam semesta, itu berujung pada kematian. Itulah sebabnya Tokoh yang telah menempati kaveling di tengah ini, tidak sudi menyerahkannya kepada Saudara, karena Dia tahu itu tidak bagus buat Saudara, Dia tahu ini berbahaya. Bukan karena Dia ingin mengatakan, “Hei! Aku bosnya, ya!” melainkan karena kalau Saudara berada di pusat alam semesta, Saudara akan hancur. Inilah pengharapan kita yang pertama.
Bukan cuma itu, ada pengharapan yang kedua yang lebih penting. Kita bersyukur bahwa Tuhan tidak berhenti di sini; dalam perumpamaan penggarap kebun anggur tadi, pada akhirnya Tuhan bukan cuma mengirim utusan demi utusan yang digebukin dan digebukin, tapi Tuhan mengirim Anak-Nya sendiri.
Dalam diri Haman kita melihat suatu studi kasus mengenai pride/kesombongan yang paling eksplisit dalam Alkitab; di dalam diri Yesus Kristus kita melihat studi kasus mengenai kerendahan hati yang juga paling agung dalam Alkitab. Tuhan Yesus adalah anti-Haman, karena Dia adalah Anak Allah, Dia sungguh-sungguh pusat alam semesta dan segala sesuatu memang berpusat kepada-Nya. Dengan demikian, jikalau ada orang yang berhak menggunakan eksistensi orang lain demi kepentingan dan keuntungannya, Orang tersebut adalah Yesus, karena Dialah pencipta dari segala sesuatu yang ada. Tetapi Yesus tidak melakukan itu. Apa yang Yesus lakukan? Dalam Markus 10: 45 Yesus sendiri mengatakan: “Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.” Yang kita lihat dalam diri Tuhan Yesus, Dia bukan menggunakan eksistensi orang lain demi ego-Nya, melainkan Dia menggunakan eksistensi diri-Nya bagi kebaikan umat-Nya.
Kalau Saudara meneliti kisah pencobaan Tuhan Yesus, Saudara akan menangkap strategi setan. Pencobaan setan adalah mengajak Tuhan Yesus menjadikan diri-Nya pusat alam semesta; masalahnya, itu ‘kan memang hak-Nya. Itu sebabnya setan mengatakan “jika Engkau Anak Allah, ubahlah batu ini jadi roti”; ‘Engkau Anak Allah ‘kan, Engkau pusat alam semesta ‘kan, jadi ‘gak ada salahnya dong menjadikan diri-Mu pusat segala sesuatu, maka gunakanlah itu, ubahlah batu-batu itu semua jadi roti, Kamu ‘kan lapar, Kamu ‘kan memang pusat alam semesta’. Saudara bayangkan, betapa pencobaan ini riil bagi Yesus; kalau Saudara dan saya saja, yang bukan pusat alam semesta, begitu sulit untuk tidak menempatkan diri di pusat, bayangkan bagaimana rasanya pencobaan ini bagi Tuhan Yesus yang memang adalah pusat alam semesta tapi harus menahan diri-Nya untuk tidak bertindak demikian.
Tuhan Yesus adalah figur yang berhak menuntut setiap dari kita membungkuk kepada-Nya. Haman tidak berhak, tapi Tuhan Yesus berhak. Namun yang Yesus lakukan adalah: Dia justru datang dan membungkuk. Dia membungkuk lebih dalam dari siapa pun, karena Dia ber-inkarnasi untuk melayani kita.
Kalau pun Saudara bukan orang yang sombong, tapi ketika Saudara tahu malam ini adalah malam terakhir hidupmu, saya cukup yakin Saudara akan membuat malam ini menjadi malam mengenai dirimu. Dan ketika orang-orang membuat malam ini jadi malam mengenai dirimu, Saudara akan menerima, kerena “ini memang malam terakhir hidupku”. Tapi apa yang Saudara lihat terjadi di dalam malam terakhir hidup Yesus, malam terakhir Anak Allah, malam terakhir Pusat alam semesta? Yang Dia lakukan adalah: Dia berdiri, melepas jubah-Nya, mengikat handuk di pinggang-Nya, dan Dia melakukan sesuatu yang bahkan tidak pernah terbersit dalam kepala semua pemimpin di mana pun; Dia membungkuk dan Dia mencuci kaki murid-murid-Nya, termasuk kaki Yudas.
Saudara, inilah Tuhan Yesus. Inilah studi kasus kerendahan hati yang teragung. Manusia yang paling rendah hati yang pernah berjalan di atas bumi ini, adalah Allah. Yesus yang adalah Allah, rela menyerahkan apa yang Saudara dan saya senantiasa berusaha untuk mencapainya. Tetapi tidak selesai sampai di sini. Yang paling mengejutkan dalam kerendahan hati Tuhan Yesus bukan cuma bahwa Dia adalah Allah namun tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai sesuatu yang harus dipertahankan, sementara kita yang bukan Allah senantiasa ingin menjadi Allah. Yang paling mengejutkan bukan sebarapa jauh Dia melampaui kita dalam hal kerendahan hati, seberapa Dia begitu terbalik dibandingkan kita, seberapa Dia begitu berbeda dengan Haman. Yang paling mengejutkan adalah: Yesus, yang dalam hidup-Nya begitu berbeda dengan Haman, berakhir dengan kematian yang sama memalukannya dengan Haman.
Kematian Haman itu masuk akal. Kita sudah menunggu-nunggu kematian Haman. Kita sudah bisa mencium bau tanahnya Haman sejak pasal-pasal sebelumnya. Kita sudah tahu, orang yang begitu sombong tidak akan punya masa depan. Tapi bagaimana dengan Tuhan Yesus? Bagaimana bisa, Yesus berakhir dengan kematian yang sama memalukannya dengan kematian Haman? Ini pertanyaan retorik, karena Saudara sudah tahu jawabannya. Jawabannya ada di Alkitab, jawabannya ada di 1 Petrus 2: 24, “Ia sendiri telah memikul dosa kita di dalam tubuh-Nya di kayu salib, supaya kita, yang telah mati terhadap dosa, hidup untuk kebenaran. Oleh bilur-bilur-Nya kamu telah sembuh.” Orang yang paling rendah hati yang pernah menginjakkan kaki ke atas dunia ini, telah mendapatkan kematian orang yang paling sombong di atas dunia ini. Mengapa? Karena Anak Allah yang begitu rendah hati, telah mengambil ganjaran dari kesombongan seluruh umat Tuhan, mengambil ganjaran dari kesombongan Saudara dan saya, dan menanggungnya di atas kayu salib.
Saudara, kita perlu sekali-sekali bertanya, apa yang menggiring Yesus ke kayu salib. Jawabannya, memang Saudara dan saya; tapi boleh lebih spesifik daripada itu, yang menggiring Yesus ke kayu salib adalah kesombonganmu dan kesombonganku, keinginanmu dan keinginanku untuk senantiasa menjadi pusat, kebiasaanmu dan kebiasaanku untuk menggunakan orang lain demi diri kita sendiri. Itulah hal-hal yang menggiring Yesus seperti domba ke pembantaian.
Terakhir, tadi kita telah melihat apa yang pride datangkan bagi kita, mari sekarang kita merenungkan apa yang salib datangkan bagi kita. Salib membunuh pride. Salib membunuh superioritas apapun yang ada dalam hati kita, karena salib menunjukkan apa yang sepantasnya jadi bagian kita. Ketika kita cemburu, iri hati, kesal karena orang lain mendapatkan apa yang kita inginkan, itu karena kita merasa diri kita patut mendapatkan hal-hal yang mereka dapatkan. Tetapi salib membunuh hal ini, karena salib menunjukkan apa yang sesungguhnya Saudara dan saya patut dapatkan; bukan seorang pacar, bukan seorang anak, bukan mobil, bukan promosi, bukan apapun yang lain, melainkan: disulakan di atas kayu salib dan memasuki kekekalan di bawah murka Allah.
Di sisi lain, salib juga membunuh pride dalam arti inferiority, karena lewat salib, lewat bilur-bilur-Nya –lewat itu semua—kita telah menjadi sembuh! Sembuh. Yesus mati untuk dosa-dosa kita, dengan demikian Dia membayar lunas seluruh utang dosa kita. Ketika kita berdosa – minta ampun, berdosa – minta ampun, berdosa lagi – minta ampun lagi, lalu akhirnya kita mulai berhenti minta ampun dan mulai gebukin diri, kenapa kita melakukan itu? Karena kita baru sadar betapa kita kita hancur dan gagal dan rusak. Tetapi satu-satunya alasan Yesus datang untuk mati bagi Saudara dan saya adalah karena Dia tahu seberapa Saudara hancur dan gagal dan rusak.
Kita gebukin diri kita sendiri karena tadinya kita menyangka diri kita sanggup mengalahkan dosa; ‘kenapa saya berdosa terus, bodoh banget, sih; kenapa saya tidak bisa berubah dari ini’ –berarti di balik itu Saudara pikir saudara harusnya lebih hebat daripada dosa. Tapi Yesus tidak setuju dengan itu. Yesus tidak datang untuk menyoraki Saudara dari samping “kamu bisa! kamu bisa!”. Tidak demikian. Yesus datang dan mati di atas kayu salib; dan itu berarti Dia sudah tahu dari awal inilah satu-satunya solusinya, bahwa solusinya harus datang dari Dia, bukan dari Saudara. Dia sudah tahu kita tidak ada harapan, kecuali Dia menjadi harapan kita. Dan lihat, apa yang Yesus lakukan, apa yang Dia mau melakukannya? Saudara kadang-kadang perlu ambil waktu membaca kitab Injil dari awal sampai akhir, jangan berhenti di tengah, jangan sepotong-sepotong, lalu refleksi dengan bertanya: “benarkah semua ini Dia lakukan bagiku” —bagiku.
Oleh karena bilur-bilur-Nya, Saudara menjadi sembuh. Tidak ada ruang untuk mengasihani diri, ketika Saudara melihat salib. Salib membunuh self-pity. Tidak ada ruang untuk gebukin diri, karena itulah kekuatan dari cinta Allah. Kalau Saudara diakui semua orang di dunia, tapi waktu pulang ke rumah, istri Saudara sendiri menghina, maka pengakuan semua orang tadi ‘gak ngaruh, Saudara akan melangkah ke dalam dunia dengan kepala tertunduk. Tapi kalau Saudara punya seorang pasangan yang begitu mengasihi Saudara, begitu menerima Saudara, maka walaupun seluruh dunia menghina, Saudara akan melangkah ke dalam dunia dengan kepala tegak. Dan inilah pasanganmu: engkau adalah Gereja, engkau adalah pengantin wanita dari Yesus Kristus sendiri. Itu berarti Dia melakukan semua ini bagi engkau; dan kamu perlu pengakuan apa lagi di atas pengakuan ini.
Salib menjadi antidote (penangkal) bagi kesombongan/pride yang superiority maupun yang inferiority. Salib juga jadi antidote dari pride karena satu-satunya cara Saudara berhenti berusaha naik ke pusat alam semesta, adalah jikalau Saudara menemukan Seseorang yang Saudara rasa lebih pantas menempati tempat itu dibandingkan diri Saudara. Dengan kata lain, satu-satunya jalan untuk Saudara berhenti menjadikan hidup ini mengenai dirimu, adalah jikalau Saudara menjadikan hidup ini mengenai Dia. Lihatlah kepada Tuhan Yesus, lihatlah keindahan-Nya, lihatlah kerendahan hati-Nya, lihatlah pengorbanan-Nya, dan lihatlah kasih-Nya.
Kita takut menempatkan orang lain di pusat alam semesta, di pusat hidup kita, karena kita takut orang ini akan menggunakan kita. Jadi, daripada saya digunakan, lebih baik saya menggunakan orang lain; daripada orang lain jadi owner atas hidupku, lebih baik saya jadi owner atas hidup saya sendiri. Saudara, lihatlah kepada Yesus satu-satunya Owner, yang telah menjadikan diri-Nya sebagai servant. Apa resikonya, Saudara, menempatkan Owner seperti ini di atas hidupmu?
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading