Hari ini kita masuk ke pembahasan Kitab Ester yang ke-6. Sebelumnya, di pasal 4 kita mulai menemukan secercah harapan di dalam kisah yang makin lama makin gelap. Tokoh-tokoh kisah ini tidak memperhitungkan Tuhan dalam rencana-rencana mereka, tapi dalam pasal 4, untuk pertama kalinya baik Mordekhai maupun Ester ada semacam pergeseran, mereka mulai berani mempertaruhkan nyawanya, mereka mulai hidup di ambang batas, mereka mulai mencari pertolongan dari tempat lain. Dan pasal 4 diakhiri dengan kalimat Ester yang sangat terkenal, “If I perish, I perish.”
Memasuki pasal 5, kita mungkin menarik napas lega. Kita berpikir setelah ini resolusi segera datang, kisahnya sudah mencapai titik balik, mereka sudah mengharapkan kehadiran Tuhan, maka kalau Tuhan akan muncul dalam kisah ini, sekaranglah waktunya. Ester 5:1-2, Pada hari yang ketiga Ester mengenakan pakaian ratu, lalu berdirilah ia di pelataran dalam istana raja, tepat di depan istana raja. Raja bersemayam di atas takhta kerajaan di dalam istana, berhadapan dengan pintu istana itu. Ketika raja melihat Ester, sang ratu, berdiri di pelataran, berkenanlah raja kepadanya, sehingga raja mengulurkan tongkat emas yang di tangannya ke arah Ester, lalu mendekatlah Ester dan menyentuh ujung tongkat itu. Kita menarik napas lega. Berhasil! Ester tidak dihukum mati!
Yang lebih mengagetkan, kalimat Ahasyweros berikutnya; ayat 3: “Apa maksudmu, hai ratu Ester, dan apa keinginanmu? Sampai setengah kerajaan sekalipun akan diberikan kepadamu.” Wow, luar biasa! Inilah yang kita tunggu-tunggu, akhirnya Tuhan muncul, seperti di ayat-ayat Perjanjian Lama yang mengatakan Tuhan mendahului bangsa Israel, menyiapkan bagi mereka apa yang sudah ada, dan tinggal diambil. Jadi sekarang Ester tinggal bicara kepada Ahasyweros, dan urusan selesai. Inilah konklusi yang kita tunggu-tunggu.
Tapi kemudian kita membaca ayat 4: Jawab Ester: “Jikalau baik pada pemandangan raja, datanglah kiranya raja dengan Haman pada hari ini ke perjamuan yang diadakan oleh hamba bagi raja.” Apa Ester ‘gak salah?? Ahasyweros menjanjikan setengah kerajaannya, lalu Ester minta raja datang ke perjamuan bersama dengan Haman pada hari itu; apa-apan ini? Ngapain sebenarnya Ester ini?
Sebelum kita bisa berpikir lebih lanjut, dikatakan di ayat 5-6: Maka titah raja: “Suruhlah Haman datang dengan segera, supaya kami memenuhi permintaan Ester.” Lalu raja datang dengan Haman ke perjamuan yang diadakan oleh Ester. Sementara minum anggur bertanyalah raja kepada Ester: “Apakah permintaanmu? Niscaya akan dikabulkan. Dan apakah keinginanmu? Sampai setengah kerajaan sekalipun akan dipenuhi.” Dalam perjamuan ini Ahasyweros kembali bertanya kepada Ester, dan kalimat “setengah kerajaan” kembali muncul dari mulutnya. Lalu apa yang dikatakan Ester?
Ayat 7-8: Maka jawab Ester: “Permintaan dan keinginan hamba ialah: Jikalau hamba mendapat kasih raja, dan jikalau baik pada pemandangan raja mengabulkan permintaan serta memenuhi keinginan hamba, datang pulalah kiranya raja dengan Haman ke perjamuan yang akan hamba adakan bagi raja dan Haman; maka besok akan hamba lakukan yang dikehendaki raja.” Kita pikir Ester akan langsung bilang “tolong cabut aturan itu, aturan yang akan membunuh orang-orang Yahudi sebangsaku”. Tapi tidak demikian. Mau apa Ester sebenarnya? Ester malah kembali mengelak, mengulur waktu; Ester malah bikin perjamuan kedua yang akan diadakan besok; ini ngapain?? Kita sudah tunggu-tunggu resolusinya, berharap pelatuk itu ditarik, lalu mau ngapain Ester tunggu-tunggu lagi.
Di bagian ini kita merasa Ester mungkin masih takut, masih kurang beriman, mungkin Ester sedang menunggu waktu yang tepat. Atau mungkin Ester punya rencana, karena dia peka sekali dengan sifat Ahasyweros; dia tahu Ahasyweros itu hobinya minum-minum dan bikin perjamuan –seperti kita lihat sejak halaman pertama kitab ini– jadi mungkin Ester menunggu waktu yang benar-benar tepat; karena sudah sebulan tidak bertemu jadi tidak bisa langsung minta, tapi kasih minum dulu supaya raja senang. Lagipula tambah 1-2 hari tidak masalah-lah karena dekritnya masih 11 bulan dari sekarang, masih banyak waktu. Jadi kita pikir besok Ester akan buka kartunya; dan kalau begitu pasal ini selesai, lanjut pasal yang baru, yaitu tentang besok, yang dimulai dengan misalnya “pagi-pagi benar …”.
Tapi ternyata kisah selanjutnya masih tentang hari tersebut. Ayat 9: Pada hari itu keluarlah Haman dengan hati riang dan gembira; tetapi ketika Haman melihat Mordekhai ada di pintu gerbang istana raja, tidak bangkit dan tidak bergerak menghormati dia, maka sangat panaslah hati Haman kepada Mordekhai. Ternyata kisahnya tentang Haman lagi, bedebah itu. Dan celaka, Haman melihat Mordekhai lagi, dan Mordekhai tidak menghormati dia. Sebelumnya, terakhir kali hal ini terjadi, akibatnya yaitu hukum untuk memusnahkan seluruh orang Yahudi; maka sekarang, apa yang akan terjadi?? Gawat.
Ayat 10: Tetapi Haman menahan hatinya, lalu pulanglah ia ke rumahnya dan menyuruh datang sahabat-sahabatnya dan Zeresh, isterinya. Sampai di sini, terkesan bahayanya sedikit terhindar, karena Haman menahan hatinya. Kita berharap kisahnya segera lanjut kembali dengan cerita Ester; tapi penulis tetap saja dengan kisah Haman ini.
Ayat 11-12: MakaHaman menceriterakan kepada mereka itu besarnya kekayaannya, banyaknya anaknya laki-laki, dan segala kebesaran yang diberikan raja kepadanya serta kenaikan pangkatnya di atas para pembesar dan pegawai raja. Lagi kata Haman: “Tambahan pula tiada seorang pun diminta oleh Ester, sang ratu, untuk datang bersama-sama dengan raja ke perjamuan yang diadakannya, kecuali aku; dan untuk besok pun aku diundangnya bersama-sama dengan raja. Akan tetapi semuanya itu tidak berguna bagiku, selama aku masih melihat si Mordekhai, si Yahudi itu, duduk di pintu gerbang istana raja.” Sampai di sini, kita geleng-geleng kepala melihat karakter Haman; dia menyuruh teman-temannya datang lalu dia membacot, menyombongkan diri, betapa dia kaya, betapa dia jantan, betapa dia besar di atas semua pembesar lain di bawah Ahasyweros. Tapi yang paling gila, dia mengakhiri bacotan ini dengan mengatakan “akan tetapi semuanya itu tidak berguna bagiku, selama aku masih melihat si Mordekhai, si Yahudi itu, duduk di pintu gerbang istana raja.”
Di bagian ini kita bisa sedikit refleksi; kalimat ini mengingatkan kita pada perkataan C. S. Lewis mengenai pride; kesombongan (pride), bagi Lewis bukanlah ketika kita membanggakan sesuatu, melainkan ketika kita membanggakan bahwa kita punya sesuatu ini lebih daripada orang lain. Saudara lihat bedanya? Kita mungkin mengira pride itu fokusnya pada ‘apa’ yang dibanggakan, bahwa ketika seorang berbangga hati, dia memfokuskan pada karirnya yang sukses mungkin, atau kecantikannya mungkin, atau apa pun lainnya –berfokus pada hal yang dia banggakan tersebut. Tapi Lewis mengatakan, bukan itu; ketika orang yang sombong sedang membanggakan barang-barang ini, kebanggaannya itu akan sirna kalau dia dikelilingi orang-orang yang lebih tinggi karirnya, yang lebih sukses, yang lebih cantik. Jadi, fokus dari ‘pride’, menurut Lewis bukan pada barang-barang yang dibanggakan itu melainkan pada diri. Barang-barang yang dibanggakan itu hanyalah alat, yang melaluinya kita bisa merasa diri kita lebih baik, lebih tinggi, lebih oke, sehingga begitu ada orang lain yang lebih baik, lebih sukses, lebih kencang, maka kita harus ganti barang ini dengan barang yang lebih baik, kita harus upgrade. Dan, menurut Lewis, inilah sebabnya orang yang sombong itu dosanya paling kasihan, karena fokusnya bahkan bukan di barangnya itu sendiri.
Ambil contoh tentang dosa seks; dosa seks bisa dimotivasi oleh nafsu, tapi juga bisa oleh pride. Orang yang dimotivasi oleh nafsu seks, dia memang mengingini si wanita atau pria itu. Tapi orang yang melakukan dosa seks juga bisa dimotivasi oleh pride; dia ingin tidur dengan seorang wanita cantik atau seorang pria yang gagah, bukan demi si wanita atau si prianya, tapi hanya untuk membuktikan kepada orang lain, dan kepada diri sendiri, bahwa kita ini hebat karena bisa mendapatkan si wanita cantik atau si pria gagah, bahwa kita di mata orang itu adalah yang terbaik dibandingkan semua opsi yang lain. Dosa berzinah karena nafsu memang mengerikan, tapi lebih mengerikan lagi orang yang berzinah karena pride. Orang yang berdosa karena pride, dia tidak benar-benar mendapatkan kenikmatan dari barang tersebut –dari si wanita atau si pria tadi– karena semua ujungnya hanya mengenai dirinya sendiri. Inilah orang yang paling kasihan, menurut C. S. Lewis. Dan inilah yang kita lihat dengan sangat jelas terjadi dalam diri Haman.
Haman memiliki harta, anak, pangkat, tapi dia tidak bisa menikmati semua itu sama sekali, dalam arti dialah orang yang paling tidak peduli dengan semua pencapaiannya itu. Dia terkesan sangat membanggakan semua yang dipunyainya, tapi sebenarnya dialah yang paling tidak peduli dengan semua yang dia punyai itu. Yang dia kejar bukanlah semua hal itu, melainkan bagaimana dia bisa diakui dan dihormati orang. Dan, ketika sekarang dia menemukan Mordekhai yang kukuh tidak mau melakukan itu, maka semua posisinya, semua hartanya, bahkan semua anak-anaknya, itu tidak ada artinya baginya. Ini pengakuan mulutnya sendiri.
Melihat bagian ini, kita geleng-geleng kepala, koq bisa orang seperti ini mendapatkan begitu banyak kuasa. Bagaimana bisa Tuhan membiarkan orang seperti ini berkuasa, bahkan atas hidup mati umat-Nya?? Dan mengapa Haman ini terus saja mendapatkan peran sentral dalam kisah ini? Kita ingin tahu apa yang terjadi besok, bagaimana Tuhan bekerja besok. Kita menanti-nantikan Tuhan datang melalui Ester sebagai pahlawan, tapi kita terus-menerus disuguhi dengan kisah satu orang fasik ini. Betapa ini mirip dengan kehidupan riil; kita seringkali dalam hidup ini menantikan secercah harapan, lalu akhirnya secercah harapan itu muncul, dan kita tidak sabar, ayo dong Tuhan bekerja, ayo dong Tuhan bertindak, tapi setelah itu harapan tersebut koq tidak kejadian, lalu kita disuguhi lagi dengan cerita-cerita mengenai orang-orang fasik di sekitar hidup kita. Tapi ya sudahlah, toh cerita di bagian ini belum berakhir. Mungkin penulis memberikan bagian ini untuk mengingatkan kita seberapa fasiknya si Haman, supaya waktu nanti dia kena batunya, kita merasa lebih puas. Kalau begitu, mari kita segera lihat hari berikutnya.
Tapi ceritanya belum juga masuk ke hari berikutnya. Ayat 14: Lalu kata Zeresh, isterinya, dan semua sahabatnya kepadanya: “Suruhlah orang membuat tiang yang tingginya lima puluh hasta, dan persembahkanlah besok pagi kepada raja, supaya Mordekhai disulakan orang pada tiang itu; kemudian dapatlah engkau dengan bersukacita pergi bersama-sama dengan raja ke perjamuan itu.” Hal itu dipandang baik oleh Haman, lalu ia menyuruh membuat tiang itu. Di sini kita syok.
Kita habis geleng-geleng kepala melihat Haman, si sombong, si bodoh, si fasik; dan kita lupa seberapa besar kuasa yang dia pegang di tangannya. Kita menantikan apa yang terjadi esok hari; dan baru sekarang kita sadar, mungkin esok hari sudah terlambat, Mordekhai mungkin akan tamat nasibnya sebelum perjamuan Ester yang kedua. Lihat saja kata-kata Zeresh, ‘engkau sulakan Mordekhai dulu pagi-pagi, baru setelah itu engkau datang ke perjamuan dengan hati yang gembira’. Kita menyesali Ester, mengapa mengulur-ulur waktu untuk bilang kepada raja; gara-gara Ester mengulur-ulur waktu, akhirnya kesempatan itu lewat, dan sekarang ada akibat besar yang harus dibayar. Di malam itu, sementara pegawai-pegawai Ester sibuk menyiapkan perjamuan bagi Haman dan Ahasyweros besok, malam itu juga Haman menyuruh pegawai-pegawainya sibuk menyiapkan tiang sula untuk menyate Mordekhai pagi-pagi. Saudara tahu, tiang sula bukanlah tiang gantung, melainkan tiang yang tinggi dengan ujung runcing, lalu orang yang disula akan ditusukkan di tiang itu, jatuh ke bawah. Itulah yang akan terjadi pada Mordekhai pagi-pagi.
Haman sangat yakin Ahasyweros akan menyetujui permintaan ini, buktinya sebelumnya dia sudah menyetujui permintaan untuk pembunuh satu bangsa, jadi apalah artinya nyawa satu orang. Itu sebabnya Haman menyuruh pegawainya langsung kerja semalam suntuk mengerjakan tiang yang tingginya 23 meter ini. Bagaimana ini bisa terhindari?? Ester dan Mordekhai tidak tahu rencana ini, mereka sedang terlelap di kamarnya masing-masing; lalu siapa yang akan menghindarkan mereka dari hal ini??
Kita mulai pasal ini dengan mengira bahwa akhirnya terjadi turning point, Tuhan akan muncul dan membawa penyelesaian. Kita mengira keberanian Ester di pasal sebelumnya, sudah cukup untuk jadi titik balik kisahnya. Kita pikir rencana busuk Haman akan digagalkan, dan setelah ini semua orang live happily ever after. Tapi ternyata bukan itu yang terjadi. Tuhan masih tetap tidak muncul. Ester mengulur-ulur waktu padahal sudah jelas dapat tanda yang sangat menguntungkan dia; dan akibatnya, sekarang keadaan jadi tambah parah, bukan cuma ada satu hukum dari Haman untuk membunuh semua orang Yahudi, sekarang Haman bergegas membuat hukum yang kedua, untuk menyulakan Mordekhai. Kalau sudah begini, ya, sudah, hanya bisa tunggu mujizatlah; apa yang bisa menyelamatkan Mordekhai selain mujizat?? Dan di kitab ini, sudah 5 pasal kita baca, tapi kita tidak melihat mujizat sama sekali. Kita tidak melihat ada laut terbelah, kita tidak melihat tiang awan dan tiang api lewat. Di sini kita sekali lagi bisa refleksi; bukankah seperti inilah kita melihat hidup kita?
Kadang-kadang rasanya hidup kita memang seperti itu. Hal-hal jelek terjadi pada kita tanpa penjelasan yang masuk akal. Saya yang berjasa, koq orang lain yang dhormati, bahkan orang itu justru musuhnya saya. Sudah begitu, dia bikin vonis yang merugikan saya, yang mengancam saya; dan bukan cuma saya seorang diri, tapi juga seluruh keluarga saya, orang-orang yang berhubungan dengan saya. Koq bisa ini terjadi?? Kemudian kita melihat akhirnya ada secercah harapan, ada orang yang akan membela kita, ada orang yang akan memperjuangkan diri kita. Tapi harapannya ternyata harapan palsu, tidak kejadian dan keadaan makin parah. Dari 11 bulan lalu akan jadi 1 malam, nyawa kita berakhir –dan kita bahkan tidak tahu semua ini terjadi. Adakalanya keadaan hidup kita menjadi begitu kacau-balau, sehingga kita tidak tahu lagi bagaimana mungkin bisa ada penyelesaiannya. Keadaannya sudah terlalu rusak, sudah tidak ada harapannya. Dan Tuhan, di mana Engkau??
Kalau kita berada dalam keadaan seperti ini, kita akan mulai mencari apa? Kita akan mulai cari-cari orang lain, kita tanya mereka, ‘menurutmu bagaimana, kenapa semua ini terjadi?’ Kita cari pendeta, kita cari konselor. Tapi tidak ada seorang bijak mana pun di dunia ini yang bisa memberitahukan kepada Saudara apa alasannya semua itu terjadi, bukan? Tidak ada yang tahu. Tidak ada yang bisa menjelaskan. Bahkan kadang-kadang orang yang ditanya itu maksa memberikan penjelasan yang tidak menghibur. Contohnya, mengapa peristiwa 9/11 terjadi? ‘O, itu rencana Tuhan yang baik, karena terjadinya pagi-pagi, orang belum masuk kantor, maka yang mati cuma 2933 orang; bayangkan kalau terjadianya siang atau sore, bisa 18.000 yang mati. Jadi marilah kita memuji Tuhan, inilah alasannya 9/11 terjadi pagi-pagi’. Puji Tuhan dari mana?? Tiga ribu orang tetap mati! Coba kasih tahu keluarga dari 3000 orang itu, apa mereka bisa memuji Tuhan?? Contoh lain, mungkin Saudara pernah mendengar tentang seorang ibu yang anaknya mati muda, lalu dia tanya ke pendeta, “Pak Pendeta, kenapa Tuhan mengambil anak saya?”; dan dijawab, ‘mungkin anak Ibu kalau masih hidup akan jadi penjahat, jadi supaya Ibu tidak sedih belakangan, maka anak Ibu diambil Tuhan dari sekarang waktu masih baik-baik.’
Saudara, tidak ada yang bisa menjelaskan. Dalam titik seperti ini, yang kita lihat adalah Allah tidak muncul, Allah absen, dan Haman sepertinya punya kuasa atas umat Tuhan lebih daripada Tuhan. Lalu umat Tuhan yang berjuang demi kebaikan, yang menjadi pengharapan kita, yang berani mengorbankan diri mereka, ternyata mereka tertidur pulas. Dan sedikit banyak kisahnya bisa sampai di sini gara-gara mereka juga, gara-gara mereka tidak mengambil kesempatan selagi masih bisa. Dalam keadaan seperti itu, kita bingung, apa yang terjadi di sini??
Tapi memang kisahnya juga tidak berkhir di sini, kita akan masuk ke pasal 6. Dan, karena pasal 5 berakhir dengan malam yang gelap, kita berasumsi pasal 6 ini akan mulai dengan hari yang baru, pagi-pagi. Namun ternyata pasal 6 tetap masih di dalam hari tersebut; kisah pada malam itu masih belum selesai. Ayat 1: Pada malam itu juga raja tidak dapat tidur. Malam ketika pegawai-pegawai Ester sedang menyiapkan perjamuan, malam ketika pegawai-pegawai Haman sedang menyiapkan tiang sula –malam yang krusial ini– raja tidak bisa tidur. Lalu apa yang seorang raja Persia lakukan ketika dia tidak bisa tidur? Mungkin dia akan panggil wanita, atau dia akan panggil koki untuk memasakkan makanan, kita tidak tahu; banyak opsi bagi seorang raja. Tapi dari semua opsi yag dia miliki, apa yang Ahasyweros lakukan? Yaitu: Maka bertitahlah baginda membawa kitab pencatatan sejarah, lalu dibacakan di hadapan raja (ayat 1b).
Kalau Saudara meneliti arkeologi dari zaman tersebut, kitab pencatatan sejarah itu bukan kitab cerita sejarah seperti di buku-buku pelajaran SD atau SMP, yang menceritakan ulang peristiwa-peristiwa sejarah dalam bentuk narasi, misalnya peristiwa G30S/PKI, Detik-detik Kemerdekaan Indonesia, dsb. –lumayan menarik. Tapi pada zaman itu, kitab pencatatan sejarah bukan demikian; kalau kita membayangkan ekuivalennya dengan hari ini, kitab ini mirip dengan dokumen Excel, isinya cuma angka-angka, tanggal-tanggal terjadinya, data-data singkat peristiwanya, nama-nama, dsb. Dokumen-dokumen seperti ini ada dari peninggalan sejarah; dan para pakar yang menyelidiki dokumen-dokumen seperti ini, juga mengakui bahwa ini catatan yang sangat membosankan. Beberapa komentator mengatakan, mungkin itu sebabnya Ahasyweros minta catatan seperti ini dibacakan waktu dia tidak bisa tidur, sebagai jurus tokcer-nya untuk jadi ngantuk dan bisa tidur. Namun itu tidak terjadi di malam itu.
Kitab tersebut dibacakan terus sampai pagi, sampai Haman datang. Raja masih tetap terjaga, dan kitab itu masih tetap dibacakan. Mungkin yang membacakan sudah bosan, sudah ngantuk luar biasa, atau jangan-jangan sudah ganti orang, tapi raja tetap tidak bisa tidur. Dan akhirnya mereka sampai pada satu bagian dalam kitab sejarah tersebut. Pasal 6 ayat 2: Dan di situ didapati suatu catatan tentang Mordekhai, yang pernah memberitahukan bahwa Bigtan dan Teresh, dua orang sida-sida raja yang termasuk golongan penjaga pintu, telah berikhtiar membunuh raja Ahasyweros. Jadi, sementara pegawai-pegawai Haman sedang mendirikan tiang sula setinggi 23 meter untuk menyate Mordekhai, pegawa-pegawai raja sedang membacakan bagaimana Mordekhai menyelamatkan nyawa raja 4 tahun silam.
Sementara itu dibacakan, hari sudah pagi, dan Haman sudah bangun, lalu berjalan menuju istana mau menemui raja Ahasyweros untuk meminta nyawa Mordekhai. Dari semua catatan yang dibacakan kepada raja malam itu, catatan tentang Mordekhai-lah yang menarik perhatian raja; dan dia bertanya kepada pegawainya (ayat 3): “Kehormatan dan kebesaran apakah yang dianugerahkan kepada Mordekhai oleh sebab perkara itu?” Jawab para biduanda raja yang bertugas pada baginda: “Kepadanya tidak dianugerahkan suatu apa pun.” Jawaban ini mengagetkan bagi raja, karena raja-raja zaman itu terkenal sangat murah hati dan royal dalam menghadiahi kesetiaan atau jasa pegawai-pegawainya. Bukan karena mereka benar-benar murah hati, tapi karena mereka ingin dikenal sebagai raja yang murah hati –pencitraan. Dalam satu catatan sejarah yang lain dari seputar zaman tersebut, ada catatan tentang seseorang yang menyelamatkan adiknya raja Persia, lalu ia dijadikan gubernur sebuah propinsi. Sedangkan di sini, Mordekhai menyelamatkan nyawa raja sendiri, dan dia tidak mendapat apa-apa. Itu sebabnya Ahasyweros segera lompat dari tempat tidurnya dan menetapkan ini sebagai proyek pertamanya hari itu. Dia harus menghadiahi Mordekhai; tidak bisa tidak. Tapi dengan apa?
Di sini kita melihat kembali satu hal sebagaimana sejak awal kisahnya, raja ini tidaklah terlalu kreatif; dia selalu butuh orang-orang di sekitar dia untuk mengisinya dengan ide-ide. Waktu Wasti menolak dipanggil, dia tidak tahu harus ngapain, maka dia memanggil para penasehatnya. Waktu Wasti dicopot dari keratuannya, dia sedih, dia tidak tahu harus ngapain, sampai kemudian orang-orang sekitarnya mengusulkan untuk bikin beauty pageant, untuk cari ratu baru. Jadi hari ini pun dia tanya kepada pegawainya (ayat 4): “Siapakah itu yang ada di pelataran?”
Biasanya sepagi itu pelataran kosong, tapi kalau sudah siang pasti banyak orang, karena orang yang mau ketemu raja, harus mengantri. Namun pagi ini kebetulan keadaannya berbeda, Haman baru saja sampai di pelataran, dan dia begitu bernafsu menuntut nyawa Mordekhai kepada raja. Kenapa Haman datang sepagi itu? Mungkin karena dia haus darah; tapi mungkin juga karena dia tidak mau antri, dia ingin ketika pintu dibuka langsung mendapat giliran nomor satu. Ketika pegawai-pegawai raja melihat Haman, mereka memberitahu-kannya kepada raja; ayat 5: Lalu jawab para biduanda raja kepada baginda: “Itulah Haman, ia berdiri di pelataran.” Maka titah raja: “Suruhlah dia masuk.” Di sinilah cerita horor mulai berubah jadi cerita komedi.
Ahasyweros excited bertemu Haman, karena dia tidak tahu harus ngapain, dia tidak tahu bagaimana menghadiah Mordekhai. Haman excited dipanggil raja, dia tidak sangka raja sepagi itu sudah bangun dan langsung memanggil namanya. Begitu dua orang yang sama-sama excited ini bertemu, maka berhubung posisi raja lebih tinggi maka sebelum Haman membuka mulutnya, raja Ahasyweros langsung nyerocos bertanya kepada Haman: “Apakah yang harus dilakukan kepada orang yang raja berkenan menghormatinya?” (ayat 6).Saudara bayangkan perasaan Haman! Hatinya mungkin masih panas, kepalanya penuh dengan pikiran dendam, bibirnya mungkin tersenyum jahat memikirkan apa yang dia akan lakukan terhadap Mordekhai; tapi kemudian pertanyaan raja ini pertanyaan yang sangat tepat, karena inilah satu-satunya topik pembicaraan yang Haman lebih suka daripada balas dendam. Sedendam-dendamnya Haman kepada Mordekhai, ada satu hal yang dia lebih suka, yaitu ketika orang membicarakan diri Haman sendiri. Kata Haman dalam hatinya: “Kepada siapa lagi raja berkenan menganugerahkan kehormatan lebih dari kepadaku?” (ayat 6b). Perkataan Haman ini juga bukan tidak ada dasarnya, karena dia sendiri tanpa ujung pangkal telah diberi pangkat yang begitu tinggi.
Inilah satu ironi lagi di dalam kitab yang penuh dengan ironi. Haman ingin membunuh serta meghancurkan Mordekhai, sementara raja ingin menghormati Mordekhai. Tapi karena raja tidak menyebut nama Mordekhai, Haman pikir raja sedang membicarakan tentang dirinya. Dan lihatlah respons Haman (ayat 9): “Mengenai orang yang raja berkenan menghormatinya, hendaklah diambil pakaian kerajaan yang biasa dipakai oleh raja sendiri, dan lagi kuda yang biasa dikendarai oleh raja sendiri dan yang diberi mahkota kerajaan di kepalanya, dan hendaklah diserahkan pakaian dan kuda itu ke tangan seorang dari antara para pembesar raja, orang-orang bangsawan, lalu hendaklah pakaian itu dikenakan kepada orang yang raja berkenan menghormatinya, kemudian hendaklah ia diarak dengan mengendarai kuda itu melalui lapangan kota sedang orang berseru-seru di depannya: Beginilah dilakukan kepada orang yang raja berkenan menghormatinya!” Betapa Haman ini sedang mimpi! Perhatikan kalimat yang diulang sampai tiga kali: “orang yang raja berkenan menghormatinya” –inilah mimpi Haman, inilah tujuan hidup Haman.
Tapi mimpi indah ini berubah jadi mimpi buruk yang paling mengerikan, karena kalimat raja berikutnya (ayat 10): “Segera ambillah pakaian dan kuda itu, seperti yang kaukatakan itu, dan lakukanlah demikian kepada Mordekhai, orang Yahudi, yang duduk di pintu gerbang istana. Sepatah kata pun janganlah kaulalaikan dari pada segala yang kaukatakan itu.” Inilah raja Ahasyweros yang tidak kreatif, yang tidak banyak tanya, yang menelan bulat-bulat proposal Haman untuk membinasakan orang Yahudi; dan sekarang –sesuai karakternya– dia menelan bulat-bulat ide Haman untuk menghormati Mordekhai.
Dalam momen ini hanya Haman yang tahu apa yang benar-benar terjadi, hanya Haman yang melihat pembalikan luar biasa ini. Raja tidak tahu Haman sudah mendirikan tiang 23 meter bagi Mordekhai. Raja tidak tahu betapa Haman semalam-malaman sampai pagi sudah membayangkan nonton Mordekhai disate di atas tiang itu. Tetapi sekarang, bukan lagi Haman akan menonton Mordekhai disula dan dihancurkan, dia justru harus menonton Mordekhai ditinggikan dan dihormati. Lebih celakanya, Haman telah minta kepada Ahasyweros agar semua pakaian, kuda, mahkota, yang akan diberikan kepada Mordekhai itu diberikan melalui seorang pembesar raja, seorang bangsawan, jangan lewat pegawai rendahan. Dan itu berarti, Haman sendirilah yang harus meninggikan Mordekhai, dia sendirilah orang yang akan mengarak kuda Mordekhai keliling kota. Kalimat favorit yang tadi dia ulang 3 kali, “orang yang raja berkenan menghormatinya”, sekarang harus dia ulangi lagi, mungkin ratusan kali, mungkin ribuan kali, dan dia melakukannya sekarang bagi Mordekhai.
Selanjutnya, kita baca di ayat 12: Kemudian kembalilah Mordekhai ke pintu gerbang istana raja, tetapi Haman bergesa-gesa pulang ke rumahnya dengan sedih hatinya dan berselubung kepalanya. Setelah 3 hari berpuasa, orang-orang Yahudi kembali bekerja, Mordekhai kembali ke pintu gerbang istana, kembali masuk kantor. Tapi lihatlah sekali lagi pembalikan yang terjadi: Mordekhai harusnya disate di tiang sula, namun dia malah berhenti berduka dan kembali bekerja; sebaliknya Hamanlah sekarang yang berduka, Haman sedih hatinya dan menyelubungi kepalanya. Saudara ingat, inilah yang dilakukan Mordekhai sebelumnya, menyelubungi kepala tanda berduka.
Kita tidak menyangka akan terjadi sampai seperti ini. Kita kaget dengan perkembangan kisahnya. Kita tidak berharap ada pembalikan besar-besaran begini. Kita pikir turning point-nya terjadi di pasal 4 tadi, ketika Ester akhirnya mengambil keputusan menghadap raja, jadi pahlawan. Tapi ternyata setelah itu ceritanya tidak beralih, bahkan tambah parah; bukan saja dekrit pertama Haman tidak digagalkan, Haman bahkan mendapat waktu untuk mengajukan proposal dekrit kedua, menyate Mordekhai. Keadaan makin parah, titik baliknya gagal. Lalu tiba-tiba sekarang jadi seperti ini. Ini plot twist, ini melampaui harapan kita yang paling bombastis.
Kita cuma berharap Ester ketemu raja, Ester tidak mati, Ester kasih tahu kepada raja, raja setuju, selesai urusan. Itu saja harapan kita, ‘gak tinggi-tinggi banget koq. Lalu yang terjadi, ceritanya jauh lebih hancur daripada yang kita bayangkan, tapi pada saat yang sama juga jauh lebih keren daripada semua pengharapan kita yang paling tinggi. Saudara sadar apa yang terjadi di sini? Di sinilah justru turning point dari seluruh kitab Ester. Istri dan teman-teman Haman pun bisa mengenali ini sebagai turning point; lihatlahperkataan mereka di ayat 13: Dan Haman menceritakan kepada Zeresh, isterinya, dan kepada semua sahabatnya apa yang dialaminya. Maka kata para orang arif bijaksana dan Zeresh, isterinya, kepadanya: “Jikalau Mordekhai, yang di depannya engkau sudah mulai jatuh, adalah keturunan Yahudi, maka engkau tidak akan sanggup melawan dia, malahan engkau akan jatuh benar-benar di depannya.”
Siapa yang bertanggung jawab atas pembalikan yang luar biasa ini? Kita berasumsi Ester dan Mordekhai adalah pahlawan-pahlawan kisah ini, tapi mereka berdua tertidur lelap ketika semua ini terjadi. Coba Saudara perhatikan, apa yang menyebabkan semua ini bisa terjadi, bagaimana bisa sampai pada titik ini? Kebijaksanaan siapa yang bertanggung jawab sehingga semua bisa terjadi sampai pada titik ini? Rencana siapa yang sedang dijalankan di bagian ini? Siapa yang seharusnya dapat kredit atas apa yang terjadi pada bagian ini? Atau Saudara bisa bertanya, kenapa Ester mengulur-ulur waktu? Kenapa raja malam ini tidak bisa tidur? Padahal dia baru minum-minum; dan biasanya orang yang minum-minum, akan ngorok dan mabuk, lupa apa yang terjadi. Kenapa raja waktu tidak bisa tidur, dia lalu memilih untuk dibacakan catatan sejarah? Dan dari seluruh sejarah Persia, kenapa dia bisa sampai ke dalam satu bagia yang krusial itu, mengenai jasa Mordekhai? Juga, bagaimana bisa 4 tahun silam itu raja Persia lupa menghadiahi orang yang menyelamatkan nyawanya? Bagaimana bisa Haman pagi itu ada di pelataran istana raja, tepat pada momen raja mencari nasehat? Bagaimana bisa Haman pagi itu tidak buang-buang waktu seperti Ester? Kenapa juga, waktu berbicara kepada Haman, raja tidak menyebut nama Mordekhai sebagai orang yang dia memang ingin hormati? Apa yang ada dalam diri Haman sehingga Haman berasumsi bahwa raja sedang membicarakan dirinya, dan bukan Mordekhai? Kenapa Haman minta kepada raja supaya yang menghormati Mordekhai seorang pembesar dan bukan pegawai biasa?
Saya ingin ajak Saudara melihat, kalau Saudara jawab pertanyaan-pertanyaan ini satu demi satu, semuanya punya jawaban yang masuk akal. Kenapa Ester mengulur-ngulur waktu; ya mungkin dia takut, atau mungkin menunggu waktu yang tepat. Kenapa raja terjaga; ya, mungkin dia memang insomnia, mungkin dia sudah biasa minum-munim sehingga badannya sudah toleransi dengan alkohol, minum sebanyak apapun tidak mabuk. Kenapa dia minta dibacakan kitab itu; ya, karena itu kitab yang paling membosankan, mungkin dia sudah pernah lakukan berkali-kali dan hasilnya manjur, bisa tidur. Kenapa dia bisa lupa menghadiahi orang yang menyelamatkan nyawanya; ya bisa sajalah, semua orang bisa lupa. Kenapa Haman bisa ada di momen yang pas pagi-pagi itu; ya karena dia memang bernafsu banget, dia tidak bisa mengerjakan apapun sebelum dia menyelesaikan hal ini, dan memang dia tidak mau antri. Kenapa raja lupa menyebut nama Mordekhai, kenapa Haman berasumsi raja bicara tentang dirinya, dst., dst., Saudara bisa tanya semua ini dan mendapatkan jawaban naturalnya, jawaban yang seperti tidak perlu ada Tuhan-nya. Tapi kalau Saudara satukan semua hal ini dan melihat semuanya dalam satu kesatuan, bukankah semua itu sedang membentuk suatu “bolong” berbentuk Tuhan?
Kalau Saudara melihat ini sebagai sebuah rencana, maka Saudara akan menyadari, bahwa siapa pun yang membuat rencana ini, itu sudah membuatnya sejak beberapa tahun silam. Ini bukan sebuah keputusan satu malam. Ini sesuatu yang sudah diletakkan bibitnya dari bertahun-tahun sebelumnya. Koq bisa? Siapa yang mengerjakan ini? Siapa yang ada di balik ini semua? Saudara-saudara, inilah kata yang dipakai para teolog ketika mereka melihat apa yang terjadi dalam kitab Ester: PROVIDENSIA. Providensia Allah, cara Allah mengarahkan sejarah manusia untuk menjalankan apa yang menjadi rencana-Nya.
Inilah satu hal yang kita musti refleksi lagi dalam bagian ini. Kita mungkin melihat ceritanya makin lama makin parah, dan kita merasa butuh mujizat. Kita butuh mujizat. Kita butuh mujizat. Kita butuh mujizat. Tidak ada yang bisa menyelamatkan Mordekhai kecuali mujizat! Dan apakah mujizat terjadi? Tidak juga. Tidak ada laut terbelah. Tidak ada tiang awan dan tiang api lewat. Yang Saudara lihat adalah: Tuhan bekerja lewat providensia, lewat cara-cara yang natural. Ini satu hal yang seringkali kurang kita hargai pada hari ini. Kita kepinginnya lihat cara Tuhan bekerja pada bagian-bagian yang supernatural. Tapi itu cara berpikir yang sama sekali salah kalau kita melihat di dalam Alkitab.
Di dalam teknik story telling, ada istilah yang namanya Deus ex Machina. Konsep ini datang dari orang-orang Yunani zaman dulu, ketika mereka mengkritik pencerita-pencerita (story teller) yang kurang bagus. Kadang-kadang kita bikin cerita, dengan problem, konflik, lalu problem lagi, dan akhirnya bingung bagaimana menyelesaikannya. Di sini, kalau kita seorang story teller yang bodoh, kita akan pakai cara yang disebut Deus ex Machina itu (Deus ex artinya dari Tuhan, machina artinya mesin/ instrumen), maksudnya: tiba-tiba ada sesuatu yang terjadi, suatu “mujizat” di akhir cerita, yang tidak ada ujung pangkalnya, terjadi begitu saja, dan ceritanya selesai. Kalau Saudara nonton film yang kayak begitu, Saudara merasa dicurangi, Saudara tidak suka. Sedangkan cerita yang bagus, tidak perlu Deus ex Machina, tidak pakai mujizat untuk menyelesaikan ceritanya; cerita yang bagus, bisa menaruh bibit sejak awal, yang kita tidak sangka itu bibit, kita pikir itu hal-hal yang biasa, tapi ternyata saling berkaitan ada maksudnya. Model yang seperti ini paling jelas dalam cerita detektif.
Kalau Saudara nonton film Sherlock Holmes, di awal Saudara akan diperlihatkan bagaimana Sherlock Holmes menyelidiki TKP (tempat kejadian perkara), dan semua yang ada di TKP tersebut –kotak tisu, lukisan yang pecah, foto yang jatuh di bawah, dsb.– dan kita tidak mengerti apa maksudnya. Lalu di akhir cerita, Sherlock Holmes mengumpulkan semua orang yang dicurigai, dan mengatakan “kamu pelakunya”. Apa buktinya? Buktinya mulai dari kotak tisu itu, lukisan pecah itu, foto yang jatuh itu, dst. Waktu Sherlock Holmes membahas ini, kita diperlihatkan flash back adegannya, dan di situ kita baru melihat apa yang tadinya kita tidak lihat, karena Sherlock Holmes menjelaskan. Semua yang diperlihatkan di adegan akhir itu, Saudara sudah pernah lihat di awal, tidak ada satu pun yang Saudara belum lihat. Tapi Saudara kaget, koq gua ‘gak nyangka, koq gua ‘gak lihat ini seperti Holmes melihat, masuk akal banget semuanya tapi koq gua ‘gak lihat. Tentu saja karena Saudara bukan Sherlock Holmes. Inilah cerita yang tidak perlu Deus ex Machina; dan ini jauh lebih keren dibandingkan kalau tiba-tiba Sherlock Holmes mengeluarkan bukti yang tidak pernah muncul sebelumnya, Deus ex Machina, mujizat.
Kembali ke pembahasan kita, Saudara lihat apa yang terjadi dalam kuasa Tuhan di balik ini? Kita selalu ingin yang kelihatan, yang langsung muncul, yang jelas, yang tiba-tiba muncul entah dari mana, mujizat –sakit kanker tiba-tiba hilang. Tapi itu bukan cara Tuhan bekerja di bagian ini. Tuhan bukan kurang berkuasa di dalam kitab Ester; Tuhan terlalu berkuasa, sehingga untuk menyelamatkan Mordekhai, Dia tidak perlu menggunakan mujizat, Dia cukup menggunakan providensia. Providensia itu jauh lebih keren dibandingkan mujizat –tapi kita tidak mau melihatnya demikian. Itu sebabnya refleksi bagi kita adalah: waktu kita mengatakan kita ingin melihat kuasa Tuhan bekerja, betulkah demikian, atau kita ingin lihat kuasa Tuhan bekerja; mana yang jadi penekanan? Saudara ingin melihat kuasa Tuhan bekerja, atau Saudara ingin lihat –lihat dengan mata– kuasa Tuhan bekerja?
Dalam pembahasan hari ini, kita melihat kitab Ester itu tokoh utamanya adalah Tuhan, meskipun nama Tuhan tidak pernah disebut, meskipun Dia mengerjakan segala sesuatu di balik layar. Dan, tidak ada satu pun tokoh dalam kitab ini yang kehendak bebasnya dilanggar demi Tuhan bisa menjalankan rencana-Nya. Tidak ada orang yang tadinya mau ke kiri lalu tiba-tiba Tuhan bilang ‘stop! belok kanan’ –tidak pernah ada seperti itu. Semua tokoh dalam kitab ini bekerja sesuai keinginan mereka. Tapi ketika semua ini Saudara kumpulkan jadi satu, Saudara lihat, ternyata di balik itu semua ada Seorang Konduktor orkestra yang sedang merangkai semua itu untuk menjalankan kehendak-Nya.
Kalau Saudara berada di dalam kisahnya, Saudara tidak akan bisa melihat ini. Kalau Saudara berada di dalam kisahnya, hal-hal yang jelek, cuma kelihatan jelek. Hanya setelah Saudara melihat seluruh kisahnya, baru Saudara bisa melihat bagaimana hal-hal yang jelek itu digunakan oleh Tuhan untuk kebaikan umat-Nya. Di dalam kisahnya, kelihatannya Mordekhai dikhianati; bukannya dikasih hadiah karena menyelamatkan nyawa raja, malah musuhnya yang dikasih. Lagipula musuhnya itu dikasih penghargaan tanpa ada sebab ujung pangkalnya, tidak jelas alasannya, pokoknya begitu –dan sepertinya raja melupakan Mordekhai.
Dari perspektif Mordekhai, sepertinya Allah melupakan dia. Lalu setelah Mordekhai maupun Ester ada pergeseran pun di pasal 4, sepertinya tidak ada sesuatu yang langsung terjadi. Tetapi satu hal yang Mordekhai dan Ester tidak tahu sampai bagian ini –bahkan mungkin selama-lamanya tidak tahu karena mereka masih tidur– yaitu bahwa Tuhan ternyata punya rencana. Tuhan tidak melupakan Mordekhai. Tuhan hanya menunggu untuk memberikan kepada Mordekhai, hadiah atas jasanya, di waktu ketika hal tersebut paling dibutuhkan. Tuhan tahu bahwa pada suatu hari musuh Mordekhai akan meninggikan tiang setinggi 23 meter untuk menyate dia pagi-pagi sebelum dia bisa tahu apa-apa mengenai itu. Itulah sebabnya Tuhan memutuskan akan tunggu sampai saat ini, saat sang raja menghadiahi Mordekhai.
Tuhan yang pegang kartu. Dan Tuhan tahu kapan memainkan kartu yang mana. Saudara bayangkan kalau kartunya ada di tangan Mordekhai, Saudara bayangkan kalau kartunya ada di tangan kita, bukankah kita akan langsung mainkan di pasal 3; dan apa yang akan terjadi kalau seperti itu?? Kalau kita melihat balik semua kisah ini –meski kita baru sampai pasal 6, belum selesai– sampai di sini kita bisa melihat, betapa timing Tuhan itu yang paling sempurna. Jadi aplikasinya bagi kita hari ini adalah, supaya kita menyadari satu hal, berefleksi akan kartu apa dalam kisah hidupmu, yang engkau merasa Tuhan harusnya mainkan kartu ini dari dulu, ‘kenapa Engkau tidak mainkan ini, Tuhan? kenapa Engkau tidak melakukan itu? kenapa Engkau menunggu waktu sebegitu lama?’ Kartu apa? Momen-momen apa dalam hidupmu, yang engkau sulit melihat Tuhan? Situasi apa dalam hidupmu, yang engkau merasa Tuhan telah melupakan engkau?
Saudara, sebagai manusia, problem kita dalam hal ini sebenarnya di mana? Kita sebenarnya tidak masalah ‘kan untuk mempercayai Tuhan? Semua orang juga tahu ini tidak masalah, tetapi selama kita bisa melihat apa yang Dia kerjakan. Kalau saja Dia memberitahukan kepada kita ‘gini lho rencananya, Gua nanti mainin kartunya di situ, bukan di sini’, kita akan bilang ’O gitu, Tuhan, oke saya mengerti’; kalau saja Tuhan kasih tahu, maka saya akan percaya dengan Tuhan. Saudara, bukankah ini sebabnya kita selalu ingin tahu kehendak Tuhan? Kita ingin cerita hidup kita seperti Ayub, kita dibocorin dari awal apa yang terjadi di belakang layar!
Tapi kitab Ester tidak seperti itu. Kitab Ester tidak ada bocorannya. Saudara sama tidak tahunya kenapa Haman dianugerahi posisi, seperti juga Mordekhai tidak tahu. Dan ini berkali-kali. Namun Saudara lihat, kitab Ester memberitahu kepada kita ‘memang seperti itu; memang Allahmu begitu’. Kenapa engkau merasa ini aneh? Kenapa engkau merasa Allah harus memberitahu kepadamu, kenapa begini, kenapa begitu. Allah tidak memberitahu Mordekhai kenapa raja melupakan dia, kenapa Dia membiarkan raja mengeluarkan hukum untuk membunuh semua orang Yahudi. Allah tidak memberitahu kepada Mordekhai dan Ester, kenapa semua ini terjadi. Semua tokoh-tokoh dalam kisah ini, tidak ada satu pun yang punya gambaran keseluruhannya! Jadi, apa yang sedang diajak oleh kitab ini untuk kita lakukan? Yaitu untuk percaya bahwa Tuhan tahu, dan itu cukup.
Dalam Yohanes 13:7, Tuhan Yesus pernah mengatakan inikepada Petrus: “Apa yang Kuperbuat, engkau tidak tahu sekarang, tapi engkau akan mengertinya kelak.” Itulah iman, yang Allah panggil untuk kita miliki. Iman yang mengatakan ‘meskipun saya tidak mengerti mengapa Tuhan membiarkan semua ini terjadi, saya bisa percaya bahwa Tuhan tahu; bahwa Ada yang tahu, dan yang tahu itu tidak harus saya”.
Saudara, akan ada masa-masa –dan sudah pasti ada masa-masa dalam cerita hidup Saudara– yang Saudara tidak bisa melihat apa yang Tuhan sedang kerjakan, masa di mana sepertinya Tuhan tidak mengerjakan apa-apa, sepertinya janji-janji Tuhan dipatahkan. Dan ketika Saudara bertanya kepada pendeta atau kepada teman-teman yang bijak, mereka juga tidak tahu harus menjawab apa. Kitab Ester mengatakan “this is the way God design the world” –inilah memang caranya Tuhan mendesain dunia ini.
Ketika kita melihat hal ini, kita mungkin bisa mendapat penghiburan, tapi Saudara mungkin bertanya ‘bagaimana saya bisa yakin akan hal ini; karena kalau Allah melakukan ini bagi Ester, melakukan ini bagi Mordekhai, itu tidak berarti Allah melakukannya bagi saya ‘kan?’ Di sinilah sebabnya ada hal yang terakhir, seperti yang biasa kita lakukan, yaitu waktu melihat kitab Ester –dengan semua pembalikannya, dengan plot twist-nya, dengan rencana-rencana yang sudah jadi bibit bertahun-tahun silamnya– bahwa sekeren-kerennya kisah ini, hanyalah bayang-bayang dari sebuah kisah yang lebih besar, lebih rumit, bibitnya lebih banyak, lebih lama, karena Saudara sudah lihat sejak halaman pertama Alkitab tentang rencana itu. Rencana yang mebutuhkan seorang pahlawan yang sempurna, yang lahir dari keturunan seorang wanita, yang bisa punya kuasa untuk menghancurkan dosa dan maut. Tapi Saudara lihat dari halaman-halaman berikutnya, ceritanya tidak semulus itu, ceritanya naik turun –bahkan lebih banyak turunnya daripada naiknya. Ada begitu banyak kesulitan yang harus diselesaikan supaya Sang Pahlawan ini boleh terlahir. Ada beberapa orang dari garis keturunan ini yang mandul. Ada umat Tuhan yang daripadanya harusnya terlahir Pahlawan ini, yang diperbudak di suatu negara super power. Bukan cuma itu, setelah umat ini diselamatkan pun, ada satu halangan yang lebih besar lagi: umat-Nya sendiri ternyata orang-orang yang suka memberontak dan tegar tengkuk.
Kita bertanya-tanya, akankah Tuhan cukup sabar? Bukankah Tuhan mengatakan, ‘kalau lu terus-menerus kayak gini, Aku akan buang’? Dan ternyata memang terjadi —excile, pembuangan. Setelah dibuang, apa yang terjadi? Betul kembali dari pembuangan, tapi sepertinya koq tidak kembali ke kejayaan yang sebelumnya, terus dijajah –oleh orang Persia, Yunani, Romawi– tidak pernah lepas dari itu. Dan selama 400 tahun itu, tidak ada satu pun Firman Tuhan yang turun dari Allah ini. Sepertinya, harapan kita sudah pupus. Tetapi, pada saat yang tepat, Tuhan mengirim Anak-Nya yang Tunggal, lahir dari seorang perawan, Dia tanpa dosa. ‘Oh, akhirnya ada secercah harapan, inilah Orangnya!’ Namun langsung setelah itu, Herodes mengirim pasukan untuk membunuh Anak itu, Dia harus kabur ke Mesir. Kita melihat, sepertinya jalannya tidak semulus itu ternyata.
Selanjutnya, pada umur 30, Anak Allah ini mulai menampakkan diri kepada dunia. Dia mulai menggalang pengikut; ada 12 murid yang paling inti dan ribuan pengikut lainnya. Dia mulai berkeliling seluruh negeri, mengerjakan tanda-tanda ajaib, menyembuhkan orang, membangkitkan orang dari kematian. Dia mengajar kepada mereka mengenai Kerajaan Allah. Dan akhirnya, suatu hari Dia masuk ke kota Yerusalem menunggang keledai, diproklamirkan oleh semua rakyat sebagai Raja, Mesias —“akhirnya kita mendapatkan Raja, akhirnya nubuat di Kejadian 3 itu boleh terjadi, akhirnya kita mendapatkan Si Pahlawan yang akan melepaskan dari tangan Romawi, dari tangan bangsa-bangsa kafir!” Tetapi, dalam satu malam semuanya hilang. Sebagaimana dalam satu malam pegawai-pegawai Haman mendirikan tiang untuk Mordekhai, dalam satu malam juga seorang murid-Nya mengkhianati Dia, menyangkal Dia. Pemimpin agama menangkap Dia, pemimpin politik memvonis Dia; dan Pahlawan yang Saudara harapkan menghancurkan kepala setan, meremukkan kuasa dosa dan maut, Dia sendiri dikalahkan oleh kuasa maut, tergantung di atas kayu salib.
Saudara, yang kita lihat di sini adalah satu kebalikan dari kitab Ester. Di kitab Ester, dalam satu malam, pahlawan yang tadinya berada di bawah vonis kematian, sekarang berubah jadi diarak keliling seluruh kota. Sedangkan di kisah Injil Tuhan Yesus, dalam satu malam Sang Pahlawan yang diarak keliling kota, sekarang digantung di atas kayu salib. Semua orang bingung, kaget, kenapa bisa seperti ini. Para murid-Nya mengunci diri di dalam kamar, ketakutan. Pegikut-pengikut-Nya tersebar ke mana-mana; mereka bingung, kecewa, bukankah Dia ini Sang Mesias, Sang Pahlawan yang akan menyelamatkan kita dari kematian, tapi malah sekarang terbaring tanpa nyawa di dalam kuburan??
Tapi Saudara tahu ‘kan siapa yang pegang kartu, Saudara tahu kisahnya belum berakhir. Dan Saudara tidak bisa mengerti kisahnya, sampai kisahnya selesai. Ternyata, meskipun Yesus mati, kisahnya belum berakhir. Tuhan punya satu kartu: kartu KEBANGKITAN. Pada hari yang ketiga, ia membangkitkan Anak-Nya, Ia menggulingkan pintu batu besar itu dari kuburan-Nya, dan mengangkat Dia ke surga, memberikan kepada-Nya Nama di atas segala nama, menjadi Raja atas segala raja. Inilah yang dilakukan Allah bagi Anak yang kepada-Nya Ia berkenan.
Kenapa Dia melakukan semua ini? Allah melakukan semua ini bagi Ester, hanyalah demi sekumpulan orang Yahudi. Tetapi Allah melakukan ini bagi Yesus, adalah untuk Saudara dan saya, sehingga Saudara dan saya yang hari ini hidup tidak perlu takut akan kematian, sehingga kita bisa mengerti bahwa Allah kita telah benar-benar menghancurkan kuasa dosa dan kematian. Bukan hanya dengan menginjak-injaknya, tapi dengan kuasa dosa dan kematian itu masuk ke dalam hidup-Nya, masuk ke dalam diri-Nya, Dia menelannya secara utuh, sehingga kita tidak perlu lagi masuk ke dalam kebinasaan.
Saya tidak tahu apa yang sedang terjadi dalam hidup Saudara hari ini, pergumulan dan problem apa yang sedang Saudara hadapi. Saya tidak tahu hal apa dalam kitabmu yang hari ini sedang membingungkanmu, dan merupakan satu malam yang gelap. Kalau Saudara datang kepada saya, saya mungkin sekali tidak bisa memberikan penjelasan apa-apa kenapa semua itu terjadi, bahkan juga kalau Saudara datang kepada Pendeta Billy, atau Pak Tong sekalipun. Tapi ada satu hal yang saya tahu; saya tahu bahwa Tuhan tahu, dan itu cukup bagi kita. Cukupkah ini untukmu?
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading