Hari ini kita masuk ke bagian ke-4 seri pembahasan kitab Ester.
Kita pasti pernah nonton film yang masalahnya tidak selesai-selesai, baru ketemu satu masalah lalu masalah lain muncul, lalu belum selesai masalah ini, masalah lain lagi muncul. Bagian kitab Ester yang kita baca tadi, kira-kira seperti itu. Di bagian-bagian sebelumnya, ceritanya memberitahu kepada kita karakter raja Ahasyweros dan Ester; bagian berikutnya ini membawa kita untuk mengenal 2 karakter lainnya, yaitu Mordekhai dan Haman.
Dalam cerita ini, setelah pesta perjamuan Ahasyweros merayakan ratunya yang baru, dikatakan bahwa Mordekhai sedang duduk di gerbang istana. Frasa ‘duduk di gerbang istana’ ini, dalam konteks zaman itu menunjukkan kepada kita siapa sebenarnya Mordekhai –tentunya bukan seorang gembel yang minta-minta di depan pintu. Di dalam Ulangan 21:19 dikatakan, kalau seorang Israel punya anak yang kurang ajar, maka orangtua Israel ini harus membawa anaknya ke pintu gerbang kota, karena di situlah tempat para tua-tua Israel. Pada waktu itu pusat keramaian bukanlah di tengah kota melainkan di pintu gerbang, karena di pintu gerbanglah tempat orang berdagang, tempat kegiatan ekspor impor, pusat ekonomi; dan dengan demikian secara natural juga menjadi tempat para otoritas pemerintahan “ngantor”. Inilah artinya “duduk di gerbang kota”. Pengadilan juga dilakukan di gerbang kota. Orang mencari berita, juga di gerbang kota.
Hal ini juga terlihat dalam kitab Amsal; dikatakan: “hikmat berseru-seru di depan pintu gerbang kota”. Juga dalam kitab Rut, ketika Boas hendak menyelesaikan urusan legal pernikahannya dengan Rut, dia melakukannya di pintu gerbang kota. Di kitab Samuel, ketika tentara Filistin mengalahkan tentara Isrel dan merampas tabut perjanjian, seorang yang selamat dari pertempuran melapor kepada Imam Eli, yang secara defacto adalah pemimpin Israel; di situ dikatakan bahwa Imam Eli sedang duduk di gerbang kota. Kita juga melihat salah satu janji Tuhan kepada Abraham, adalah bahwa keturunannya akan possessed the gates of his enemies; dan LAI menerjemahkan dengan sangat baik, bahwa keturunan Abraham akan menduduki kota-kota musuhnya –bukan cuma menduduki gerbang-gerbang musuh-nya–karena menduduki gerbang kota berarti menduduki pusat kota. Maju ke Perjanjian Baru, Tuhan Yesus juga mengatakan, “the gates of hell will not overcome the church”; dan LAI dengan sangat tepat menerjemahkan “alam maut tidak bisa mengalahkan Gereja” –karena pintu gerbang mewakili keseluruhan kotanya, bukan cuma pintunya saja.
Waktu dikatakan Mordekhai sedang duduk di pintu gerbang istana raja, itu mengindikasikan bahwa dia adalah seorang pejabat di benteng Susan. Dan di situ Mordekhai mendengar 2 orang pegawai raja yang berkomplot untuk membunuh raja. Mordekhai memberitahukannya kepada Ester, yang juga langsung memberitahukan kepada raja. Saudara perhatikan, di situ dikatakan bahwa Ester memberitahukan kepada raja, atas nama Mordekhai; jadi raja tahu siapa yang berjasa dalam perkara ini. Singkat cerita, perkara itu terbukti benar, kedua pegawai tadi digantung, dan seluruh hal ini, bahwa Mordekhai menyelamatkan nyawa raja Persia, ditulis dalam kitab sejarah.
Pada umumnya raja-raja zaman itu sangat reliable dalam urusan menghadiahi (reward); kalau ada seseorang yang berjasa, atau membuktikan kesetiaan kepada raja, apalagi menyelamatkan nyawa raja, maka biasanya dengan sangat cepat dan royal dihadiahi berbagai macam penghargaan. Bisa Saudara bayangkan, di sini para pembaca pertama, yaitu orang-orang Yahudi, tentunya menunggu-nunggu apa yang akan diberikan raja kepada Mordekhai. Di sinilah mulai pasal 3. Tidak seperti terjemahan bahasa Indonesia yang langsung mengatakan, “maka Haman bin Hamedata, orang Agag, dikaruniailah kebesaran oleh raja Ahasyweros … “, bahasa aslinya mengatakan: “sesudah peristiwa-peristiwa ini maka raja Ahasyweros menganugerahkan kebesaran, pangkat, dan kedudukan di atas semua pembesar yang lain kepada … “, sehingga tentu saja para pembaca pertama, berharap yang muncul adalah nama Mordekhai, tetapi tanpa penjelasan apa pun, malah yang muncul nama seorang karanter baru entah dari mana, yaitu Haman, orang Agag. Dan, kita sampai pada tokoh besar kedua dalam bagian ini, Haman.
Di sini para pembaca Yahudi akan menangkap suatu level makna, bahkan ironi, yang lebih dalam dari apa yang kita tangkap. Ironinya bukan cuma Mordekhai dilewatkan jasanya, lalu yang mendapat promosi malah orang lain, tapi bahwa yang mendapatkan promosi justru seorang dari suku Agag. Ini signifikan, bagi orang Yahudi nama Agag itu nama bau busuk, karena dalam Perjanjian Lama, Agag adalah nama seorang raja bangsa Amalek; dan bangsa Amalek adalah musuh bebuyutan mereka. Ada satu hal yang menarik, dalam monumen orang Yahudi yang dibangun untuk mengingat holocaust (kejahatan Nazi di pertengahan abad 20), salah satu memorialnya memakai ayat Alkitab, yaitu dari Ulangan 25:17, “Ingatlah apa yang dilakukan orang Amalek kepadamu”. Dalam tradisi Yahudi, memang bangsa Amalek dipakai untuk simbolisasi segala sesuatu yang bermusuhan terhadap orang Yahudi, karena kalau Saudara perhatikan Alkitab, bangsa Amalek ini benar-benar musuh bebuyutan mereka. Bahkan di Ester 3:10 hal ini diperjelas oleh penulis: “Haman bin Hamedata, orang Agag, seteru orang Yahudi itu”. Jadi, ini ironi yang luar biasa; bukan cuma Mordekhai dilewatkan lalu Haman yang dipromosi, tapi Haman ini musuh besarnya orang Yahudi.
Berikutnya, raja memberikan satu hukum yang mengharuskan orang untuk sujud kepada Haman setiap kali dia lewat; ini memberitahukan kepada kita, kira-kira siapa Haman ini. Dalam budaya hierarkis atau budaya Timur, sujud atau membungkuk memberi hormat adalah sesuatu yang cukup naluriah; misalnya dalam budaya Jepang, orang membungkuk itu sesuatu yang biasa, normal, tidak perlu disuruh. Waktu orang dengan budaya seperti ini bertemu dengan orang lain yang lebih di atas, biasanya dia akan langsung membungkuk, memberi hormat, secara naluriah dan tidak perlu disuruh. Jadi, kalau seorang Haman harus dibuatkan hukum supaya semua orang sujud kepada dia, ini bisa jadi satu cara penulis untuk secara halus mengatakan bahwa Haman memang tidak ada keagungannya sama sekali.
Sampai di sini, bagi Mordekhai semua sudah terlalu berlebihan, sudah melewati batas, dan Mordekhai tidak ada ruang lagi untuk mematuhi hukum tersebut. Meskipun semua pejabat sujud kepada Haman, Mordekhai bersikukuh menolak. Saudara perhatikan, di sini ketegangan ceritanya mulai naik.
Beberapa pejabat lalu menegur Mordekhai, berhari-hari berbicara kepadanya, tapi Mordekhai tetap tidak mau. Kita membaca di ayat 4, sepertinya Mordekhai memberitahukan kepada mereka, alasannya dia kukuh tidak mau sujud, yaitu karena dirinya seorang Yahudi. Di bagian ini, banyak pembaca menganggap inilah sebabnya Mordekhai tidak mau sujud menyembah Haman, yaitu karena dia tidak mau melanggar imannya sebagai orang Yahudi, karena mereka tidak boleh sujud menyembah selain kepada Yahweh. Tapi pembacaan dengan konsep seperti ini sebenarnya sulit dipertahankan; bahkan orang-orang Yahudi sendiri waktu menafsir bagian ini, meragukan apakah benar Mordekhai tidak mau menyembah gara-gara hanya mau menyembah Yahweh. Mengapa begitu?
Kalau Saudara membaca lingkaran penafsiran orang Yahudi sendiri, kita akan melihat bahwa dalam Perjanjian Lama ada contoh-contoh mengenai tokoh-tokoh Israel yang sangat positif, yang digambarkan sujud menyembah kepada manusia sampai ke tanah; dan orang-orang yang kepadanya mereka bersujud ini, banyak yang digambarkan karakternya negatif. Tapi kejadian ini tidak pernah dipermasalahkan oleh Alkitab sebagai semacam penyembahan berhala, karena pada zaman itu, dalam budaya itu, membungkuk menyembah adalah satu hal yang cukup lumrah. Contohnya: Daud sujud menyembah kepada Saul, dikatakan: ‘berlutut dengan mukanya ke tanah dan sujud menyembah’ (1 Samuel 24); dan dalam bagian ini Saul justru digambarkan sangat negatif. Di kitab Kejadian, Abraham pernah sujud kepada orang Het, yang adalah penduduk Kanaan, yang belakangan akan ditumpas itu. Saudara juga membaca bahwa Yakub sujud kepada Esau, bahkan dikatakan ‘tujuh kali dengan mukanya sampai ke tanah’. Dan semua kejadian ini tidak pernah dipermasalahkan sebagai pemberhalaan. Jadi, apa yang mau dikomunikasikan sang penulis di sini, ketika kita membaca bahwa Mordekhai tidak sudi sujud kepada Haman? Saya harap Saudara dapat menangkap satu ironi lagi yang mungkin mau diperlihatkan sang penulis, hanya saja, ironinya sekarang ada pada Mordekhai sendiri. Apakah itu?
Dalam bagian-bagian sebelumnya, kita melihat Mordekhai ini bukan tipe orang yang lurus-lurus banget, yang berani menghadapi masalah demi menunjukkan imannya. Dari pembahasan sebelumnya, ada indikasi bahwa tokoh Mordekhai dan Ester ini tipe yang cari aman. Kalau pun Mordekhai mau menunjukkan keyahudian-nya, ada banyak kesempatan lain, dan tidak harus di dalam hal menolak sujud kepada Haman ini. Kalau dia mau mengatakan “saya orang Yahudi!”, harusnya dia pulang ke Yerusalem waktu Koresy mengizinkan orang-orang Yahudi pulang dari pembuangan, tapi dia tidak melakukannya. Atau, katakanlah ada situasi kondisi yang tidak memungkinkan dia pulang ke Yerusalem, paling tidak, dia ziarah ke Yerusalem pada waktu-waktu tertentu, atau setidaknya sekali setahun pada saat Paskah. Tapi di bagian ini penulis memberitahukan dengan sangat halus, ketika dikatakan bahwa ketegangan Mordekhai dengan Haman ini terjadi pada bulan Nisan, bulan pertama –dan semua orang Yahudi tahu, Paskah jatuh pada tanggal 15 bulan Nisan– artinya kejadian ini hanya beberapa hari sebelum Paskah, dan Mordekhai masih berada di benteng Susan [untuk pergi ke Yerusalem waktu itu butuh waktu berminggu-minggu]. Hal lain lagi, kita tahu bahwa Mordekhai-lah yang menyuruh Ester menyembunyikan keyahudiannya; bahkan hal ini diulang lagi di pasal 2: 20.
Selain itu semua, ada satu hal lagi, yaitu mengenai nama Ester dan Mordekhai. Para ahli mengatakan, kemungkinan besar nama ‘Ester’ diambil dari ‘Isthar’, nama ‘Mordekhai’ diambil dari ‘Marduk’; Isthar dan Marduk adalah nama dewa-dewi kafir. Orang Yahudi biasanya memberikan nama dengan awalan ‘el’, yang menunjukkan nama Tuhan; tetapi baik Ester maupun Mordekhai sepertinya mengambil nama dewa-dewi orang kafir. Lalu sekarang, tiba-tiba Mordekhai mau menyatakan dirinya sebagai orang Yahudi, yaitu waktu dia disuruh sujud memberi hormat kepada Haman. Saudara bisa melihat ironinya.
Satu lagi, poin kontras antara kitab Ester dan kitab Daniel. Dalam kitab Daniel itu, Sadrakh, Mesakh, dan Abednego menolak menyembah patung yang didirikan Nebukadnezar; dan dengan demikian mereka menyatakan integritasnya. Namun dalam kitab Ester, Mordekhai menolak sujud kepada Haman dengan alasan dirinya orang Yahudi, padahal dia ke Yerusalem pun tidak, merayakan Paskah pun tidak, dan yang pasti belum lama berselang dia menyuruh Ester main aman dengan menyembunyikan keyahudiannya.
Sekali lagi, tokoh Mordekhai, tokoh Ester, dan tokoh-tokoh lain dalam Alkitab, tidaklah digambarkan sebagai pahlawan-pahlwan iman yang putih bersih. Alkitab itu bukan film kartun yang karikatural. Alkitab memberitahukan kepada kita, bahwa umat Tuhan pun punya karakter yang seperti ini; dan tidak ada problem dengan ini, karena kita tahu tokoh utama dalam Alkitab memang bukanlah orang-orang tersebut.
Di ayat 4, setelah menegur Mordekhai berkali-kali, akhirnya pegawai-pegawai raja itu memberitahukan kepada Haman. Sepertinya mereka bukan bermaksud mengadu, melainkan untuk melihat apakah Mordekhai boleh mendapatkan perkecualian oleh karena kebangsaannya. Lalu di ayat 5, Haman melihat sendiri hal ini, setelah diberitahu; artinya, di sini ada indikasi bahwa sebelum laporan tadi, Haman sendiri bahkan tidak sadar bahwa Mordekhai tidak sujud kepadanya. Setelah itu, dikatakan ‘sangat panaslah hati Haman’. Haman tidak langsung mencekik Mordekhai; tapi tidak berhenti di situ, di ayat berikutnya kita menemukan alasan yang menyebabkan Haman tidak langsung membunuh Mordekhai, yaitu: ‘ia menganggap dirinya terlalu hina untuk membunuh hanya Mordekhai saja, karena orang telah memberitahukan kepadanya kebangsaan Mordekhai itu. Jadi Haman mencari ikhtiar memunahkan semua orang Yahudi, yakni bangsa Mordekhai itu, di seluruh kerajaan Ahasyweros.’ Ini adalah satu penulisan yang sangat jenius, yang membuat kita mengenal karakter Haman, yaitu seorang yang hanya karena satu orang menghina dirinya, maka semua orang kebangsaan itu di seluruh dunia harus kena batunya. Alasan Haman tidak langsung membunuh Mordekhai bukanlah karena hal itu terlalu kotor untuk tangannya, melainkan karena itu terlalu kecil, remeh, hina, untuk tangannya. Ego Haman terlalu besar, sampai-sampai baginya kematian satu orang tidak cukup untuk membayar penghinaan tersebut.
Bagian ini ditulis untuk membuat kita mengenal karakter kedua tokoh ini, Mordekhai dan Haman; dan ternyata bukan cuma Haman yang problematik, tapi Mordekhai juga. Lalu di bagian akhir, penulis memakai kesempatan untuk memperlihatkan satu lagi karakter busuk dalam kisah ini, yaitu raja Ahasyweros.
Di ayat 7 dikatakan Haman pulang ke rumahnya, mengambil kalender, lalu pegawai-pegawainya membawakan sebuah dadu/undi, dan mereka membuang undi untuk menentukan suatu tanggal. Entah apa tujuannya, dalam ayat ini masih belum jelas. Akhirnya undi ini memberikan kepada Haman sebuah tanggal, yaitu 11 bulan dari sekarang. Waktu itu adalah bulan Nisan, bulan pertama; dan tanggal yang ditunjuk dari undi adalah bulan Adar, bulan yang terakhir. Setelah itu Haman pergi menghadap raja.
Haman mengatakan kepada raja (ayat 8-9): “Ada suatu bangsa yang hidup tercerai-berai dan terasing di antara bangsa-bangsa di dalam seluruh daerah kerajaan tuanku, dan hukum mereka berlainan dengan hukum segala bangsa, dan hukum raja tidak dilakukan mereka, sehingga tidak patut bagi raja membiarkan mereka leluasa. Jikalau baik pada pemandangan raja, hendaklah dikeluarkan surat titah untuk membinasakan mereka; maka hamba akan menimbang perak sepuluh ribu talenta dan menyerahkannya kepada tangan para pejabat yang bersangkutan, supaya mereka memasukkannya ke dalam perbendaharaan raja.” Jadi, Haman mau menggunakan otoritas raja untuk mengeluarkan suatu hukum Media-Persia, yang tidak bisa dicabut menurut aturan Media-Persia untuk memusnahkan semua orang Yahudi. Yang menarik, Haman bahkan tidak memberitahukan kepada raja, nama bangsa yang dia ingin punahkan, dia hanya mengatakan bahwa mereka tidak menaati hukum raja –impersonal.
Haman mengatakan kepada raja: “tidak patut bagi raja membiarkan mereka leluasa”, ini terjemahan yang sedikit kehilangan makna aslinya; dalam bahasa aslinya atau bahasa Inggrisnya, kalimatnya cukup spesifik: “it is not profitable for you King, to let this people live” (“adalah tidak menguntungkan bagimu, Raja, membiarkan mereka leluasa”). Istilah ‘menguntungkan’ (profitable) ini penting, karena setelah itu Haman mengajukan alternatifnya, yaitu jika raja mengabulkan permintaannya, maka dia akan memberikan ke perbendaharaan raja 10.000 talenta perak –inilah yang menguntungkan. Memang di sini tidak disebutkan, tapi kalau kita membaca kitab Ester ini dan mengira-ngira latar belakang historisnya, kita bisa tahu ini adalah masa ketika raja Ahasyweros (Xerxes) baru saja gagal dalam invasinya ke negara-negara Yunani, tentaranya hancur, rugi besar, maka dia perlu uang. Inilah mungkin juga sebabnya raja tidak banyak tanya lagi kepada Haman, sebelum memutuskan nasib sebuah ras bangsa. Dia tidak merasa perlu tahu bangsa apa yang dimaksud, tidak merasa perlu tahu hukum apa persisnya yang mereka langgar, bahkan tidak merasa perlu memastikan apakah Haman benar-benar punya 10.000 talenta!
Sepuluh ribu talenta adalah jumlah yang excessive. Angka ini pernah muncul dalam perumpamaan Tuhan Yesus di Perjanjian Baru. Waktu Tuhan Yesus menggunakan angka 10.000 talenta tersebut (tentang orang yang berutang 10.000 talenta), Dia bukan menggunakannya untuk menunjukkan suatu jumlah yang besar; Dia menggunakan angka 10.000 talenta ini untuk menunjukkan jumlah yang mustahil! Seorang komentator mengatakan, dalam seluruh sejarah pemerintahan Romawi pada masa kejayaannya, kas mereka tidak pernah mencapai 10.000 talenta! Betapa ini jumah yang terlalu besar. Tapi lewat cerita inilah kita tahu karakter raja Ahasyweros yang menguasai hajat hidup orang 127 propinsi dari India sampai Etiopia, yaitu dia cuma memikirkan apa yang menguntungkan bagi dirinya, dia tidak banyak tanya, dia cepat percaya, dia gampang disetir.
Raja lalu memberikan cincin meterainya kepada Haman, dan Haman segera menulis hukum atas nama raja, memeteraikan dengan cincin raja. Hukum itu menginstrusikan supaya ‘dipunahkan, dibunuh dan dibinasakan semua orang Yahudi dari pada yang muda sampai kepada yang tua, bahkan anak-anak dan perempuan-perempuan, pada satu hari juga, pada tanggal tiga belas bulan yang kedua belas —yakni bulan Adar—, dan supaya dirampas harta milik mereka.’ Hukum ini diterjemahkan dalam semua bahasanya dan disampaikan oleh pesuruh-pesuruh sampai ke ujung propinsi daerah kekuasaan Ahasyweros. Ini semua berakhir dengan: Haman dan raja minum-minum, sementara ibu kota menjadi gempar. Sekarang kita mengerti, itulah fungsi dadu/undi tadi, yaitu menentukan kapan genosida tersebut dilangsungkan, 11 bulan dari sekarang.
Dari dua bagian kisah ini, kita bertemu dengan dua tokoh; dua orang dengan harga diri super tinggi, bertemu, dan mereka konflik. Yang satu, Haman, seorang psikopat gila hormat, yang menentukan nasib sebuah bangsa lewat lemparan dadu. Satunya lagi, Mordekhai, yang seumur hidup santai saja dengan dua kakinya berdiri di dua perahu, tidak merasa harus pulang ke Yerusalem, tidak merasa perlu merayakan Paskah di sana, bahkan menyuruh Ester menyembunyikan keyahudiannya, bahkan mengambil nama dewa-dewi kafir bagi dirinya dan anak asuhnya, tapi sekarang memilih untuk berdiri tegak menyatakan keyahudiannya. Sayangnya, ini adalah momen yang paling jelek untuk melakukan hal itu. Seorang rabi Yahudi pernah mengomentari bagian ini demikian: adalah lebih baik jika Haman dan Mordekhai tidak pernah dilahirkan.
Dalam kitab Ester ini, kita terbiasa melihat penjahatnya adalah Haman –dan hanya Haman. Tapi kalau Saudara perhatikan dengan seksama, sulit sekali menaruh tanggung jawab hanya di pundak Haman. Haman mungkin orang yang menaruh pistol di kepala, tapi trigger-nya adalah Mordekhai dengan kesombongannya; dan jangan lupa, di belakang mereka berdua, biang kerok sesungguhnya, adalah Ahasyweros. Pertama, dia melupakan jasa Mordekhai yang menyelamatkan nyawanya; kedua, dia mengabulkan permintaan Haman tanpa pikir panjang. Saudara jadi bisa mengerti, mengapa di awal tadi saya mengatakan ini seperti sebuah film yang masalah demi masalah muncul; yang satu belum selesai, sudah muncul yang baru lagi, dan yang baru lagi. Di dalamnya ada satu tokoh yang sombong, lalu tokoh berikutnya bukan mengimbangi tapi justru lebih parah –psikopat– dan tokoh berikutnya lagi yang kita harap bisa jadi penengah, justru yang paling parah, dia berkuasa besar tapi pelupa, mata duitan, gampang disetir.
Sampai di sini, apa yang bisa kita tarik dari bagian ini? Ketika Alkitab memberikan kepada kita tokoh-tokoh yang negatif, entah karena mereka itu kompromi ataupun sombong, tujuannya bukan supaya kita menghakimi seperti sosmed zaman sekarang yang haus darah itu. Ironi zaman post modern, orang-orang terus meneriakkan untuk open minded, untuk toleransi dengan orang-orang yang berbeda, untuk bebas ber-opini; tapi realitanya, dunia zaman sekarang –apalagi di sosmed– penuh dengan orang-orang yang judgmental, dari superiority complex sampai cancel culture.
Baru-baru ini, Ralph Fiennes, seorang aktor yang memerankan Voldemort dalam film Harry Potter, angkat bicara membela penulisnya Harry Potter, J. K. Rowling, yang dikecam habis di sosmed karena dianggap menolak transgender. Sebetulnya Rowling hanya mengangkat isu bahwa transgender ini ada bahayanya bagi wanita-wanita biologis, karena pria-pria biologis jadi bisa masuk WC umum wanita dengan mengaku transgender, dan ini tidak boleh dilarang. Rowling langsung dikecam habis-habisan oleh medsos, dituding ‘be God’, sempit, diskriminatif. Ralph Fiennes angkat bicara membela Rowling; dia bilang, dia tidak mengerti mengapa hari ini kita hidup dalam masyarakat yang tidak bisa beradab waktu menemukan orang lain mengambil posisi yang berbeda; bahwa masyarakat hari ini seperti ada keperluan, dorongan, hasrat untuk menghakimi orang lain habis-habisan. Selanjutnya dia bilang, bukankah ini yang kita mau tinggalkan waktu kita meninggalkan agama, meninggalkan Kekristenan; bukankah kita mau open minded, tapi mengapa hari ini semua orang saling condemn satu sama lain di internet, bahkan lebih gila kalau dibandingkan zaman dulu.
Waktu kita datang kepada Alkitab dan melihat tokoh-tokoh seperti Haman, Mordekhai –yang ternyata busuk juga– dan Ahasyweros, kita seringkali dengan sangat cepat mengikuti pola duniawi tadi, karena kita sudah terlatih lewat sosmed, lewat hidup kita di sunia. Waktu melihat tokoh-tokoh seperti ini, kita juga melampiaskan our need to condemn, kita memandang rendah mereka, kita menghakimi mereka. Tetapi, pola Alkitab dalam memberikan kepada kita karakter-karakter seperti ini, bukanlah untuk itu. Membaca dengan cara seperti itu, adalah membaca dengan habit komunal dunia, liturgi dunia, yang setiap kali melihat orang-orang seperti itu, lalu menghakimi, condemn.
Liturgi Alkitab adalah sebaliknya. Liturgi Alkitab membawa kita bertemu dengan tokoh-tokoh yang negatif dan jelek ini, lalu memakai mereka untuk bercermin, mencari dalam hidup kita apa yang mirip dengan mereka. Jadi justru terbalik. Saudara bisa bayangkan kalau Gereja punya liturgi setiap Minggu melakukan ini terus-menerus, di tengah-tengah dunia yang melakukan sebaliknya. Kita tentu tahu, bahwa kita diselamatkan oleh anugerah (saved by grace), bukan diselamatkan oleh perbuatan. Semua orang Kristen yang menyadari anugerah Tuhan dalam hidupnya, waktu membaca ayat-ayat ini, akan mengatakan satu hal: “saya tidak beda dengan Mordekhai, saya tidak beda dengan Haman, saya tidak beda dengan Ahasyweros”. Inilah fungsinya bagian-bagian seperti ini di dalam Alkitab. Kisah-kisah di Alkitab berulang kali mengajak kita untuk menjalani liturgi ini, habit ini.
Dalam pembahasan kitab Yunus, pola hidup Yunus dihadirkan sangat mirip dengan pola hidup bangsa Israel. Yunus dipanggil Tuhan untuk menjadi saluran berkat bagi bangsa-bangsa lain, tapi dia menolak, melarikan diri dari Tuhan, maka dia mengalami badai besar, dan akhirnya Allah mengirim ikan besar untuk menelan Yunus. Allah dalam anugerah-Nya menyelamatkan Yunus, dan membawa dia pulang ke daratan. Israel juga dipanggil Tuhan untuk jadi saluran berkat bagi bangsa-bangsa lain, tapi Israel menolak dan melarikan diri dari Tuhan, menyembah ilah-ilah palsu, maka Israel mengalami badai besar berulang kali, dan akhirnya Allah mengirim bangsa-bangsa besar –kekaisaran Asyur, Babilonia–untuk menelan mereka. Tapi Allah dalam anugerah-Nya menyelamatkan mereka dan membawa mereka pulang ke tanah perjanjian. Penulisan seperti ini membuat pembaca Yahudi pada waktu itu bisa mengenali, bahwa selagi mereka menertawakan Yunus dengan kebodohannya, mereka menyadari ‘ini ceritanya mirip banget dengan hidup saya; ya, ampun, itu saya!’
Adanya catatan mengenai dosa Daud dengan Batsyeba, tentu saja untuk kita belajar sesuatu mengenai Daud, bahwa Daud ternyata tidak sempurna, dsb.; untuk kita belajar sesuatu mengenai Tuhan, bahwa Tuhan bukan cuma memakai orang-orang yang sempurna, tapi juga orang seperti Daud. Tapi selain dua hal ini, kita juga belajar sesuatu mengenai diri kita, yang seringkali tidak mau kita akui. Dalam situasi normal, berapa banyak dari kita yang mengakui kita ada potensi berzinah seperti Daud, tetapi waktu membaca kisah Daud, kita menyadari satu hal, bahwa jika orang seperti Daud saja bisa berzinah, siapa kita yang bisa mengatakan kita lebih besar daripada Daud?? Jadi inilah liturgi Alkitab. Inilah salah satu fungsi kisah-kisah kegagalan demi kegagalan di dalam Alkitab, yaitu untuk membuat kita bercermin di situ dan dengan demikian menyadarinya. Kalau tidak pakai cara ini, kita tidak sudi mengakui kelemahan kita. Waktu kita melihat kisah hidup orang lain, gampang sekali kita bilang “O, mereka kesalahannya di situ”, tapi kita tidak gampang menyadari bahwa cerita hidup kita juga begitu. Barulah ketika kisah hidup kita dihadirkan sebagai kisah hidup orang lain, kita sadar. Itulah fungsinya.
Hari ini kita fokus pada tokoh Ahasyweros. Coba kita bercermin pada Ahasyweros, karena ini adalah tokoh yang kita akan dengan sangat cepat memandangnya rendah. Inilah raja yang di pasal 1-2 berpikir bukan dengan otaknya; dan di pasal 3 dia ternyata juga pelupa, dalam arti lupa kebaikan orang lain —ungratefulness ini dosa terbesar. Dia juga begitu mudah dipermainkan Haman, menukar cincin meterainya demi uang –seperti Esau menukar hak kesulungannya dengan semangkuk sup. Membaca bagian ini, kita dengan mudah mengatakan “kalau saya rajanya, saya akan memerintah dengan adil, saya akan menaruh orang-orang yang bisa dipercaya, bukan yang seperti Haman; saya tidak akan memberi kuasa kepada orang yang akan menyalahgunakan kuasa”. Bukankah ini yang seringkali jadi kecenderungan hati kita ketika membaca di koran tentang pemerintah melakukan ini dan itu; kita bilang, “’gak bener ini, harusnya …” . Kita pikir kita lebih baik. Kita pikir, problem pemerintah hari ini adalah karena mereka yang pegang kuasa, “coba kalau saya yang pegang kuasa … “. Kita mungkin tidak mengakui terang-terangan, tapi itulah kecenderungan hati kita. Oleh sebab itu mari kita coba menempatkan diri pada posisi Ahasyweros.
Alkitab memberitahu, bahwa kita punya musuh yang jauh lebih besar, jauh lebih cerdik daripada Haman, dan dia sedang mengejar cincin meterai di jari Saudara, dengan cara yang persis seperti Haman lakukan terhadap Ahasyweros, yaitu dengan menarik perhatian kita pada keegoisan diri kita, menggunakan logika dangkal dan janji-janji kosong. Dan, bukankah kita menelan bulat-bulat hal itu, seperti Ahasyweros? Si musuh datang dan mengatakan pada kita: ‘Tuhan tidak benar-benar peduli padamu, lho; mengikut Tuhan itu terlalu sulit, lho, tidak worth it, standar terlalu tinggi, impossible, lupakanlah; tapi kalau kamu menyerahkan cincin meteraimu kepadaku, aku akan memuaskan hasrat hatimu yang terdalam dan mengisi perbendaharaanmu dengan 10.000 talenta kenikmatan!’ Saudara mendengar logika ini terus-menerus dalam hidup kita; kalau saja saya lebih kaya, kalau saja saya lebih cantik, saya akan lebih bahagia, lebih dapat pengakuan, lebih diterima, … kalau saja saya bisa main game lebih sering, kalau saja saya bisa liburan lebih banyak, kalau saja saya jago main crypto-currency, bitcoin, saham, dst., dst., maka … –Saudara isi sendiri apa yang paling sering terbersit dalam hati kita. Atau ambillah apa yang paling umum ada di hati kita, yaitu ketika kita dijahati orang, kita akan mengatakan: ‘kalau saya tetap menyimpan kekesalan ini dalam hati saya, saya akan lebih senang, lebih puas; kalau saya tidak mengampuni dia, saya akan merasa lebih nikmat.’ Atau pemberhalaan modern, seperti Pendeta Billy pernah mengatakan dalam kotbah, ‘kalau saya harus baca Alkitab, harus baca buku, itu ‘gak nikmat; yang enak itu main image, screenshot, langsung selesai’ –kita sudah tidak peduli dengan teks, yang penting image.
Inilah satu hal yang kita perlu bercermin, bahwa ketika hati kita dipenuhi semua ini, maka seperti Ahasyweros tidak bertanya “apa benar, Haman?”, kita tidak bertanya, “apa benar lebih baik ini, apa benar lebih baik saya memendam dendam dibandingkan mengampuni, apa benar saya akan mendapatkan kenikmatan lewat semua ini”. Di sini Saudara mungkin jadi lebih bisa bercermin pada Ahasyweros, lebih bisa simpati pada Ahasyweros. Kita jadi mengerti mengapa Ahasyweros tidak bertanya, yaitu karena dia ingin percaya kepada Haman, seperti kita ingin percaya kepada semua janji-janji kosong itu. Kita ingin percaya bahwa kita bisa menukar cincin meterai di tangan kita lalu mendapatkan 10.000 talenta tanpa konsekuensi. Inilah yang Ahasyweros ingin percayai, tapi konsekuensinya jelas –bagi kita, para pembaca.
Haman mengatakan, “tidak menguntungkan raja, membiarkan bangsa Yahudi ini tetap hidup”; tapi kita tahu realita kisah hidup raja ini, bahwa sudah ada 2 orang Yahudi yang sangat berdampak dalam kehidupannya. Yang satu, Ester, ratunya sendiri, dan satunya lagi, Mordekhai, orang yang menyelamatkan nyawanya, yang tanpa dia, harusnya raja terbunuh oleh pegawainya sendiri. Jika rencana Haman terjadi, maka: pertama, Ahasyweros akan kehilangan ratunya; kedua, orang yang menyelamatkan nyawanya, akan mati digantung. Haman tidak menyebutkan konsekuensi ini, entah karena sengaja atau karena memang tidak tahu juga. Tapi tidak tahu konsekuensi, bukan berarti tidak ada konsekuensi. Alkitab memberitahu kita di 1 Petrus 5:8, bahwa musuh kita berkeliling seperti singa yang mengaum mencari mangsa yang dapat ditelannya. Petrus membahas seperti ini, karena kita tidak pernah tahu sosok singa, bahkan kita tidak melihat sosok apapun. Kita hanya merasa hal ini atau hal itu akan membuat kita lebih bahagia, membuat kita lebih kaya, memberikan kepuasan yang instan –dan kita tidak pernah lihat sosok apapun, boro-boro singa.
Inilah hal pertama yang pertama yang bisa Saudara pelajari, untuk tidak jatuh pada kecenderungan duniawi yang mengangkat diri lebih di atas tokoh-tokoh ini, melainkan justru melihat diri mereka sebagai cerminan diri kita, dan dengan demikian kita lebih tahu siapa kita sesungguhnya. Ini liturgi yang sangat dibutuhkan, yang kita lakukan minggu demi minggu. Saudara bayangkan komunitas yang dibentuk oleh liturgi seperti ini, dan bukan liturgi sosmed; seperti itulah Kerajaan Allah turun ke atas dunia ini.
Ada hal yang kedua. Kalau Alkitab mengangkat cerita-cerita ini hanya sebagai refleksi bagi kita, maka Alkitab tidak unik-unik amat, karena yang seperti itu juga bisa kita temukan dalam tulisan orang-orang bijaksana sepanjang sejarah. Kalau solusinya cuma ‘kenallah dirimu, bercerminah, bertobatlah’, Alkitab sama sekali tidak unik di antara keyakinan-keyakinan lain. Itu sebabnya kita perlu melihat selanjutnya.
Di dalam bagian ini kita menemukan Alkitab bicara lebih dalam dari itu, cerita-cerita ini adalah bagian dari cerita yang lebih besar mengenai seorang Raja yang juga lebih besar. Ternyata, kisah raja Ahasyweros bukan cuma membuat kita bisa melihat diri, tapi juga melihat seorang Raja yang lebih tinggi daripada dia. Saudara perhatikan kalimat Haman kepada Ahasyweros; Saudara bisa membaca kalimat ini dengan makna yang lebih dalam: “Ada suatu bangsa yang hidup tercerai-berai dan terasing di antara bangsa-bangsa di dalam seluruh daerah kerajaan tuanku, dan hukum mereka berlainan dengan hukum segala bangsa, dan hukum raja tidak dilakukan mereka, sehingga tidak menguntungkan bagi raja membiarkan mereka leluasa.” Saudara teringat akan siapa di sini? Yaitu figur seorang Raja, yang lebih besar daripada raja Ahasyweros, dan kita semua sedang hidup di dalam kerajaan Raja ini, tapi kita hidup tercerai-berai, terasing, dan kita tidak melakukan hukum Raja tersebut, oleh karena itu tidak menguntungkan bagi Raja tersebut membiarkan kita leluasa. Ahasyweros tidak benar-benar punya alasan untuk bertindak terhadap orang Yahudi, tapi Raja yang lebih besar ini sungguh-sungguh punya alasan untuk bertindak terhadap kita. Kita telah memberontak kepada Dia. Kita telah melakukan segala sesuatu yang kita bisa untuk melengserkan Raja ini supaya kita bisa hidup menurut aturan kita sendiri. Bukan kebetulan, tokoh Haman ini semacam bayang-bayang Iblis, karena salah satu sebutan untuk Iblis adalah “sang penuntut” –dan inilah yang Haman lakukan. Inilah seorang musuh yang membawa tuntutan ke hadapan Tuhan dan menyajikan di hadapan-Nya segala sesuatu yang menunjukkan Saudara dan saya patut dihancurkan. Dan, jika Raja ini seperti raja Ahasyweros, Dia akan dengan sangat cepat mengeluarkan dekrit untuk menghancurkan kita sambil minum-minum. Atau, jika Raja ini seperti kita, Dia akan dengan cepat memberikan cincin meterainya kepasa sang penuntut, karena memang tidak menguntungkan apa-apa bagi-Nya membiarkan kita hidup.
Lewat kitab Ester, kita melihat lebih jelas karakter terakhir yang diperkenalkan; bukan Haman, bukan Mordekhai, bukan Ester, bukan Ahasyweros, melainkan karakter yang namanya tidak tertulis dalam kitab ini yaitu Raja Yesus. Allah telah menyerahkan bukan cincin meterai-Nya, tapi Anak-Nya yang tunggal; bukan untuk menghukum kita, tapi untuk menggantikan kita terhukum, yaitu kita, umat yang telah terasing dan hidup melawan hukum-hukum-Nya, dan yang tidak membawa keuntungan apa-apa bagi-Nya. Perhatikan, bagi Haman, satu orang tidak cukup untuk membayar harga dirinya yang terluka ketika Mordekhai gagal menyembah dia. Tapi Yesus telah menyerahkan nyawa-Nya, untuk membayar pemberontakan seluruh umat Allah yang gagal menyembah Allah. Itu sebabnya umat Allah tidak binasa, karena Anak Allah telah menyerahkan diri-Nya untuk digantung –disula– di atas kayu salib, sementara milik kepunyaan-Nya yang tersisa dibagi-bagi di antara tentara Romawi dengan membuang undi.
Tadi dikatakan, dalam menentukan waktu untuk memusnahkan bangsa Yahudi, Haman dan pegawai-pegawainya menggunakan undi/dadu. Dan ada catatan kecil di ayat 7 pasal 3: ‘Dalam bulan pertama, yakni bulan Nisan, dalam tahun yang kedua belas zaman raja Ahasyweros, orang membuang pur —yakni undi— di depan Haman, hari demi hari dan bulan demi bulan sampai jatuh pada bulan yang kedua belas, yakni bulan Adar.’ Istilah ‘pur’ ini mengingatkan pada sesuatu yang berhubungan dengan kitab Ester; Mordekhai pada akhirnya dikenal sebagai tokoh yang memulai tradisi hari raya baru yaitu Hari Raya Purim; istilah ‘purim’ adalah bentuk plural dari ‘pur/dadu’.
Mengapa Mordekhai belakangan menggunakan istilah itu untuk menandakan hari raya kemenangan mereka di akhir kitab ini? Jawabannya bisa kita temukan dalam sebuah lagu Yahudi untuk merayakan Purim: “ Haman’s pur has become our purim” (dadu Haman telah menjadi dadu kita). Mengapa Hari Raya Purim mengambil nama ‘pur’ milik Haman? Ini sebuah pembalikan, reversal motif. Dadu yang menggambarkan kegilaan Haman, justru diambil untuk merayakan kekalahan Haman. Dadu yang melambangkan hitung mundur menuju kebinasaan bangsa Israel, telah diambil, justru untuk merayakan kemenangan mereka atas musuh-musuh mereka. Ini mengingatkan pada apa?
Seringkali kita mendengar orang bertanya, mengapa orang Kristen mengambil sebagai lambang mereka, salib, alat penyiksaan yang paling sadis sepanjang sejarah, mengambil simbol kematian/ penyiksaan menjadi simbol Kekristenan? Jawabannya adalah: karena Allah kita adalah Allah yang bekerja melalui pemutarbalikan, Allah kita adalah the God of great reversal. Karena Yesus dibangkitkan, maka salib tidak lagi menjadi bayang-bayang maut, tapi justru bayang-bayang kebangkitan. Sama seperti pur Haman tidak lagi jadi simbol jam yang menghitung mundur, tapi justru jadi jam yang menghitung maju tahun demi tahun Hari Raya Purim. Yesus berkali-kali mengatakan bahwa seluruh Alkitab berbicara mengenai diri-Nya. Dadu Haman, rupanya adalah bayang-bayang salib Kristus. Dadu Haman mengingatkan kepada kita bahwa Allah kita bukan hanya sanggup bekerja saat siang, tapi Allah yang sanggup bekerja dalam malam yang paling gelap dan mencekam.
Ada yang bertanya, “Saya bergumul dengan Allah yang sukanya bekerjanya lewat kesulitan, lewat malam yang gelap, lewat salib. Saya jadi parno, apakah ini Tuhan yang senang membawa masalah ke dalam hidup saya, ingin menyiksa saya, mendatangkan kegelapan malam dalam hidup saya, dengan alasan Dia bisa mengubah semua itu menjadi terang?” Dalam hal ini saya simpati; tapi kalau Saudara katakan bahwa Saudara jadi paranoid, menurut saya paranoid-nya kurang jauh; Saudara harusnya paranoid dengan allah yang tidak bekerja dalam malam gelap, Saudara harusnya paranoid ketika allah hanya bekerja dalam kesempurnaan, Saudara harusnya curiga dengan allah yang cuma mau bekerja dalam kebaikan, dalam situasi yang oke. Kalau Saudara mau paranoid, paranoid-lah dengan allah yang seperti ini, karena itu sepertinya manusia, bukan Allah. Itu allah dalam gambar dan rupa manusia, yang ingin situasi beres dulu, baru dia bisa bekerja dengan beres. Itu bukan Allah! Saudara mau allah yang ngomel-ngomel ‘kamu sih pasang AC terlalu panas, jadi saya kerjanya ‘gak beres, ini salah kamu!’?
Memang benar kita yang salah, kita yang memberontak, maka dunia ini kacau balau. Tapi Allah kita tidak seperti itu. Kita harusnya bersyukur ketika diperlihatkan lagi dan lagi, bahwa Allah kita bekerja dalam malam yang paling gelap dan mencekam, dan dari situ Dia mengubahnya, membaliknya, menggunakannya untuk mendatangkan pagi yang terang-benderang. Allah yang bukan bekerja untuk kabur dari kesulitan dan penderitaan, melainkan Allah yang bekerja melalui kesulitan dan penderitaan. Allah yang tidak menunggu semuanya sempurna, Allah yang tidak menunggu kita naik ke atas, melainkan Allah yang turun ke bawah. Allah yang tidak menunggu Haman bertobat dulu, yang tidak menunggu Mordekhai bertobat dulu, melainkan mengambil dadu Haman, mengambil salib, mengambil kematian, dan menghasilkan daripadanya kehidupan. Itulah Allahmu.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading