Kita melanjutkan pembahasan kitab Ester. Ini adalah salah satu kitab yang paling accesible bagi banyak orang Kristen hari ini, karena setting dan situasi yang dialami Ester, adalah juga yang hari ini kita hadapi bersama-sama. Kita menghadapi hidup sebagai umat Allah di tengah-tengah kerajaan dunia yang tidak menyembah Allah tersebut. Tuhan-nya Ester tidak kelihatan, sementara budaya kerajaan dunia ini terfokus pada hal-hal yang kelihatan, yang tampil; dan karena itu dalam hidup ini kita seringkali ada godaan untuk menyembunyikan iman kita –seperti Ester– untuk berkompromi. Dalam khotbah terakhir, kita telah menyorot isu mengenai kompromi dalam kehidupan Kristen, dan hari ini kita akan menyoroti satu isu kontemporer lagi yang muncul dalam kitab ini, yaitu mengenai dunia yang menyembah/terobsesi akan kecantikan dan penampilan luar (external beuty) –sebagaimana juga dunia kita hari ini. Ini adalah satu hal yang sebelum zaman internet pun sudah cukup jelas; hanya dengan membuka majalah, TV, nonton film, kita melihat itu semua.
Orang-orang pada hari ini, sering komplain karena di TV atau film selalu ada karakter LGBT-nya; kita masih peka akan hal ini, karena ini sesuatu yang masih baru. Namun seringkali kita tidak peka akan bahaya yang mungkin lebih besar, bahwa di semua TV, film, internet, majalah, kita tidak mungkin tidak menonton tanpa disuguhi images-images yang kultur kita menganggapnya sebagai body yang ideal, penampilan yang indah. Lebih lagi dengan adanya budaya instagram, tik-tok, streamers YouTube, dsb., di mana efek dari penampilan bukan lagi cuma kelihatan, tapi juga bisa dihitung, tangible, contifyable, lewat berapa banyak “likes” dan “views”. Saudara mungkin mengatakan “saya akan sangat berusaha untuk tetap tidak terpengaruh”, tapi itu justru bukti betapa hal seperti ini mempengaruhi kita. Inilah dunia kita.
Sebagaimana kita sudah pernah bahas dalam seri “Liturgi”, hal ini bukan muncul sekali dua kali dalam dunia kita, tetapi berulang-ulang dan berulang-ulang, dan akhirnya menjadi liturgi dunia. Dan pengulangan itu powerful, karena apa yang dunia hadirkan sebagai gambaran ‘body yang ideal’ ketika diulang dan diulang, akhirnya menjadi gambaran ‘body yang normal’, dengan demikian khususnya para wanita, merasa harus bisa memenuhi standar “normal” itu. Media hari ini memproyeksikan berkali-kali standar kecantikan wanita, meskipun pada saat yang sama mereka tahu 95% wanita tidak akan mencapainya. Inilah realita hari ini. Sulit sekali seorang wanita hari ini untuk bisa satu hari saja tidak melihat suatu gambar yang pada dasarnya bicara pada dirinya “kamu tidak cukup bagus, tidak cukup cantik”. Akhirnya wanita zaman sekarang sangat mudah menyatakan penampilan mereka sebagai biang kerok dari berbagai masalah –“saya tidak bahagia, karena saya tidak cukup cantik”. Sedikit atau jarang sekali yang mengatakan “saya tidak bahagia karena saya tidak cukup bijaksana”. Bukan hanya wanita, pria juga tidak kebal akan hal ini –khususnya urusan rambut di kepala.
Itu sebabnya kita perlu melihat ke dalam kitab Ester dan coba melihat bagaimana problem tersebut digambarkan dalam kitab ini, apa yang diberitakan di sini. Setelah itu kita akan mendiskusikan beberapa hal mengenai external beauty; apa bahaya atau power dari external beauty, apa akar dan kuasa dari external beauty, dan apa jawaban Kristen mengenai hal ini. Dari pembacaan Ester 2: 13-17 ini, kita menemukan bahwa dunia yang digambarkan di bagian ini sangat mirip dengan dunia kita hari ini. Tidak banyak yang berubah sejak zaman itu sampai sekarang.
Dalam kitab ini kita melihat tokoh Ahasyweros yang sangat terobsesi dengan penampilan dan beauty. Itu sebabnya di pasal 1 dia bikin “panggung” untuk memamerkan segala hartanya yang kelihatan; mulai dari kursi-kursi emas, perak, tiang-tiang marmer, gelas-gelas bersalut emas, lantai yang bertabur permata dan batu-batu berharga lainnya. Obsesi ini mencapai puncaknya ketika dia ingin memamerkan ratunya –kecantikan ratunya. Tapi sang ratu menolak –kalau dalam bahasa hari ini, dia menolak untuk jadi objek karena dia seorang person. Akibatnya, sang ratu dicopot. Lalu perhatikan kalimat para penasehat raja di pasal 1:19, “biarlah raja mengaruniakan kedudukannya sebagai ratu kepada orang lain yang lebih baik dari padanya”, atau dalam bahasa Inggrisnya: “someone better”. Better dalam hal apa? Tanda tanya.
Selanjutnya di pasal 2 dikatakan bahwa sang raja surut kemarahannya, dan dia teringat ratunya. Bisa jadi kita pikir ini tanda-tanda positif, mungkinkah ada sedikit penyesalan dalam hati Ahasyweros karena dia telah memperlakukan ratunya sebagai objek dan bukan sebagai person? Ternyata tidak. Buktinya dikatakan di pasal 2:1 ini, ‘terkenanglah baginda kepada Wasti dan yang dilakukannya’, berarti dalam perspektif raja, ‘ini semua gara-gara Wasti, dialah yang melakukan semua itu’. Dan raja sedih. Tapi apa solusinya? Rekonsiliasi-kah? Tidak. Raja bukan cari rekonsiliasi melainkan cari replacement (pengganti). Sedih? Tinggal diganti. Ketika dia mau mengganti ratunya, maka sama seperti banyak orang hari ini punya daftar kriteria ketika mau cari pasangan, demikian juga sang raja. Apa isi daftarnya? Apa yang raja Ahasyweros cari dalam diri seorang istri? Apa yang rakyat Persia ingin cari dalam diri seorang ratu negeri itu, yang diharapkan adalah “better queen”; better dalam hal apa? Kita melihat jawabannya di ayat 2, yaitu 3 hal: cantik, muda, perawan.
Di sini kita bisa catat beberapa hal mengenai apa yang terjadi, ketika sebuah budaya menilai orang berdasarkan penampilan. Yang pertama: orang jadi replaceable, disposable —orang jadi gampang diganti. Sangat mudah untuk membuang seorang istri lalu ambil yang baru. Lompat ke zaman kita hari ini, tidak heran kalau perceraian makin lama makin tinggi angkanya. Inilah juga sebabnya dalam pernikahan, isu yang utama bukan lagi soal keuangan, bukan lagi soal fertilitas, melainkan soal insecurity dari masing-masing pasangan —“celaka nih, kalau kayak begini, dia ninggalin gua, gak ya??” Yang kedua: Saudara tidak akan bisa yakin sebelum coba semuanya. Tidak bisa cuma dapat ‘one’ beautiful young virgin, tapi harus dapat ‘the most’beautiful young virgin. Itulah yang Ahasyweros inginkan. Bagaimana caranya? Kumpulin semuanya, lalu dicoba satu per satu. Ini satu hal yang cukup mengerikan dalam pandangan kita di zaman modern ini, tapi lihatlah kecenderungan budaya kita yang hari demi hari, makin lama para pemuda dan pemudi makin takut bikin komitmen, takut memastikan untuk menikahi seseorang. Mengapa begitu? Karena selalu ragu, jangan-jangan di luar sana masih ada yang better, yang lebih baik, lebih cocok, dsb. Yang ketiga –poin paling penting dalam kisah ini– ada satu ironi, yaitu kecantikan pada akhirnya juga tidak pernah cukup. Ini digambarkan dengan sangat jelas di kitab ini. Pertama, setiap wanita yang diikutsertakan dalam ajang pencarian ratu ini, yang pastinya sudah cantik, masih juga diharuskan ikut beauty treatment selama setahun penuh; artinya, cantik natural saja, itu tidak cukup.
Hal kedua, ketika para gadis itu masuk menghadap raja untuk mendapatkan one night with the king, dikatakan di ayat 14, mereka masuk sore hari lalu keluar lagi pagi harinya, tapi tidak pernah kembali ke tempat sebelumnya, melainkan ke balai yang lain, kelompok yang lain, harem yang lain, di bawah pengawasan sida-sida yang lain, dan mereka tidak akan masuk lagi menghadap raja kecuali raja mengingat namanya. Ini berarti mereka tidak boleh pulang ke keluarganya, tidak boleh menikah dengan orang lain. Saudara bisa bayangkan kehidupan seperti ini??
Menurut estimasi beberapa ahli, jumlah perawan yang dikumpulkan dalam ajang ini sekitar seribuan. Ini berarti, dari 1000 gadis, ada 999 gadis yang hanya akan mendapatkan 1 malam bersama raja lalu sisa hidupnya mereka duduk dalam kemewahan dan kelimpahan istana, tapi juga kehampaan. Mereka tidak akan punya anak, tidak akan punya suami, tidak akan punya cinta. Mereka tidak akan punya keluarga, tidak akan punya kebebasan; hanya ada asrama bersama ratusan wanita lain yang bernasib sama –wanita yang not good enough. Inilah kehidupan yang ditawarkan kerajaan Persia pada waktu itu; lakukanlah segala cara untuk membuat dirimu secantik-cantiknya, dan kalau kamu benar-benar cantik dan berhasil, maka mungkin raja akan mau mengingat namamu, dan suatu hari memanggilmu lagi. Hanya itu saja. Dan, saya cukup yakin tidak semua dari mereka yang merasa terpaksa untuk datang: bahkan hari ini pun kita tahu orang dari daerah terpencil tidak usah dipaksa untuk mengadu nasib di kota besar, mereka mau datang dengan rela hati karena iming-iming yang tidak realistis. Bisa Saudara bayangkan, di dalam kerajaan dengan 127 propinsi, apa rasanya jadi salah seorang wanita di propinsi tersebut yang didatangi pegawai istana dan dimasukkan ke harem raja, yang berarti kecantikan mereka diakui, mereka dipilih mewakili propinsinya, dijanjikan kehidupan yang berkelimpahan di istana di ibukota! Daripada saya cuma tiap hari ngupas kentang di sini, mendingan saya ikut ke sana-lah. Dan sekarang, mereka baru sadar, ternyata juara kampung tidak bisa bersaing di kota besar.
Mereka ini 1000 wanita tercantik dari India sampai Etiopia –tapi setiap hari mereka juga dikelilingi wanita-wanita cantik yang lain. Dalam kehidupan seperti itu, yang terjadi bukanlah perasaan bangga, melainkan senantiasa was-was. Kalau Saudara kumpulkan 1000 wanita cantik, Saudara jadi tidak bisa lagi melihat ‘siapa yang cantik’; Saudara hanya akan bisa lihat ‘siapa yang jelek’, yang miring sedikit, yang kurang simetris sedikit –inilah yang kelihatan. Wanita-wanita ini sepanjang hari hanya akan memikirkan soal ‘gua kalah cantik dari si A, gua kalah itu dari si B’ –persis seperti kalau masukYouTube hari ini. Hari ini, Saudara bikin video YouTube semenarik apapun, pasti ada yang lebih menarik dari video Saudara; Saudara bikin video joget Tik-tok seseksi apapun, ada yang lebih seksi lagi. Mungkin Saudara bilang, “kita bisa berusaha terus sampai jadi youtuber nomor satu, seperti Ester berhasil menang”; tapi jangan pikir Ester lebih baik nasibnya karena menang ajang ini.
Ester mungkin justru orang yang paling sadar posisinya bahaya sekali. Ester mungkin justru orang yang paling was-was karena dia tahu kalau keselip sedikit, tamatlah nasibnya. Sudah ada 999 gadis cantik dari berbagai propinsi yang antri menggantikan dirinya, dan mereka berada tidak jauh dari kamar keratuannya. Ester tahu, satu-satunya alasan dia bisa jadi ratu, adalah karena ratu yang sebelumnya keselip sedikit, dan tamatlah keratuannya. Ester bisa saja mengatakan “saya punya suami”, tapi “suami”-nya ini sudah membuktikan bahwa dia orang yang tidak perlu pikir panjang untuk mengganti Ester jika Ester gagal memenuhi standar tuntutan yang tidak masuk akal itu. Dan, Ester juga tahu, malam-malam ketika dirinya tidak dipanggil raja, itu bukanlah karena raja kecapean dan ingin tidur sendiri, melainkan karena raja sedang mengingat nama salah satu wanita lain dari balai perempuan tadi. Inilah kehidupan dalam kerajaan yang menyembah kecantikan. Ironi, kecantikan ternyata tidak pernah cukup. Itulah ceritanya.
Sekarang kita masuk ke bagian yang kedua, mengenai apa sebetulnya power dari kecantikan, mengapa kecantikan bisa berdampak sampai sebegitu rupa. Dan kita tahu, power ini bukan cuma merugikan satu-dua orang, melainkan hampir semua orang, khususnya wanita. Jadi, kalau kita mau bicara mengenai power of external beauty, dalam hal ini kita perlu mendengar yang dikatakan wanita.
Naomi Wolf, seorang wanita, menulis sebuah buku berjudul “The Beauty Myth”, yang sempat masuk New York best-seller tahun 90-an. Wolf ini seorang pemikir sekuler. Pada dasarnya Wolf menyimpulkan bahwa kecantikan (beauty) itu kuasanya ada 3: berlebihan (excessive), menipu (deceptive), dan membawa ketergantungan (addictive), karena beauty menjanjikan sesuatu yang beauty sendiri tidak sanggup penuhi.
Pertama, beauty punya kuasa yang berlebihan (excessive). Maksudnya, beauty punya kuasa untuk mem-validasi seseorang, membuat seseorang merasa signifikan. Beauty menjadi cara orang untuk menilai harga seorang manusia, baik itu dirinya sendiri, maupun orang lain. Ini bukan problem yang baru muncul di zaman sekarang, kita sudah melihatnya dalam cerita Ester. Seorang komentator cerita, dia pernah berkotbah mengenai Ester dan mengatakan betapa kasihan para wanita zaman itu yang cuma dihargai berdasarkan kecantikannya. Mendengar itu, jemaat langsung tertawa, terutama para wanitanya, karena hari ini pun kita hidup dalam dunia yang seperti itu; hal seperti itu sudah dari dulu dan sampai sekarang. Hari ini beauty punya kuasa untuk mem-validasi manusia; dan ini bukan cuma problemnya wanita. Para wanita mengatakan dalam hatinya ‘saya perlu cantik, untuk saya merasa signifikan’, tapi para pria pun mengatakan ‘saya perlu kecantikan bisa saya gandeng di tangan saya, untuk saya merasa signifikan; kalau seseorang yang beautiful bisa kugandeng, itu membuktikan saya ini ada “sesuatu” yang signifikan dan penting’. Inilah kuasa beauty, kuasa yang berlebihan.
Hal yang kedua, beauty punya kuasa yang menipu. Maksudnya, beauty membawa kita secara instinctual (naluriah) –bukan secara rasional– percaya bahwa orang baik itu beautiful dan orang jahat itu ugly, percaya bahwa yang tampak di luar itu benar-benar mewakili apa yang ada di dalam, percaya bahwa somehow berat badan seseorang atau bentuk badannya itu mewakili karakter yang ada di dalam.
Di sini bisa jadi kita mengatakan, “Ah, kita ‘gak sedangkal itu, kita tahu koq, jangan baca buku berdasarkan cover-nya.. ”, tapi coba Saudara ingat profile picture WA atau Facebook Saudara, apa yang terpampang di situ, dan mengapa Saudara pilih yang itu, apa benar kita tidak terpengaruh akan hal ini?? Atau mungkin yang lebih tua akan mengatakan, “Ah, itu anak muda-lah, kami ‘gak begitu, kami tahu koq tidak boleh menilai orang berdasarkan penampilan.. “, tetapi, fakta bahwa kita terus-menerus mengatakan “jangan menilai orang berdasarkan penampilan luarnya”, adalah bukti bahwa memang kita terpengaruh oleh penampilan, kita ingin melihat karakter orang lewat penampilannya.
Ini juga sebabnya ada TV show seperti “Detective Columbo” (serial TV tahun 90-an di Amerika; tidak populer di Indonesia). Ini serial cerita detektif yang unik; umumnya dalam cerita detektif ada suspense yang dibuat dengan cara penonton tidak diberitahu siapa penjahatnya sampai saat terakhir, sedangkan dalam “Detective Columbo”, penonton sejak awal sudah dikasih tahu siapa penjahatnya. Dan yang menarik, suspense-nya adalah bagaimana caranya si Detektif Columbo bisa sampai menangkap dan membuktikan si pelaku ini. Film ini jadi seru karena Detektif Columbo ini tidak ganteng, bahkan kelihatan ceroboh dan tidak kompeten. Dalam setiap episodenya, penjahat-penjahat itu menganggap enteng Detektif Columbo, “yah… detektif kayak begini, gua ‘gak bakal ketangkep”, lalu ironisnya, karena itu mereka melakukan kesalahan-kesalahan dan akhirnya tertangkap. Dan di akhir, selalu detektif Columbo mengatakan, “Nah, baru tahu ‘kan, gua ternyata pintar”. Saudara lihat, ini acara TV yang efektif, formant yang menarik; dan premis seperti ini bisa efektif , bisa masuk akal, karena inilah budaya kita, kita benar-benar sedangkal itu, kita menilai orang berdasarkan penampilan.
Ada satu iklan yang cukup efektif, yaitu iklan obat penumbuh rambut. Mulanya Saudara dikasih lihat 2 gambar berdampingan, yang sebenarnya wajah seorang pria yang sama. Dalam gambar yang satu, pria ini tidak punya rambut (botak), sementara dalam gambar yang lain, pria ini berambut tebal. Lalu di bagian bawah ada pertanyaan ditulis pakai huruf yang besar sekali “who would you give the job to?” (“kepada siapa Anda akan memberikan pekerjaan itu?”). Kita tentu tahu, ini omong kosong, ini ‘gak bener, tidak boleh seperti itu, namun pada saat yang sama kita juga tahu ini efektif. Kita bisa merasakannya. Ini instinctual dan bukan rasional; dan inilah kuasa beauty yang kedua, yaitu menipu. Dan ini bukan cuma menipu dalam arti kita sebenarnya tidak boleh menilai isi buku dari sampul luarnya, tapi menipu dalam arti kita tidak sudi untuk mengetahui bahwa kita sedang tertipu. Itulah kuasa penipuannya. Itulah sebabnya beauty benar-benar berkuasa untuk menipu.
Hal ketiga yang Wolf katakan, beauty itu kuasanya bersifat adiktif. Ini faktor yang penting karena menunjukkan bahwa mitos beauty bukan cuma merusak wanita-wanita muda tapi juga yang berumur di atas 40.
Salah satu cerita paling populer di Eropa abad 19, adalah cerita “Doctor Faust”. Ini cerita tentang orang yang menjual jiwanya kepada setan demi kuasa dan penampilan muda. Yang menarik, Doctor Faust bukanlah seorang remaja wanita melainkan seorang om-om tua. Ini membuktikan bahwa beauty itu adiktif; adiktif bagi semua orang, bukan cuma para wanita yang akan melakukan segala cara untuk berlomba-lomba lebih cantik, tapi juga kita yang lebih tua, kita justru merasakan kebutuhan akan beauty ini lebih besar lagi.
Sekarang beralih ke Alkitab. Di Alkitab ada satu ayat yang menarik sekali, yaitu Amsal 11: 22, “Seperti cincin emas di jungur (moncong) babi, demikianlah perempuan cantik yang tidak susila”. Membaca ayat seperti ini, kita mungkin merasa –sebagaimana banyak ayat Alkitab yang lain– ini sebuah ayat yang misoginis, ayat-ayat patriarkal yang berusaha menyerang wanita. Tapi ayat ini sama sekali bukan menyerang wanita; ini ayat yang sebenarnya sedang menyerang para pria. Kitab Amsal ini ditulis dari perspektif seorang ayah yang mengajar anak lelakinya, sehingga Amsal bertujuan membereskan sesuatu pada diri si anak lelaki –jadi ayat ini bukan ayat yang misoginis. Saudara akan lebih mengerti hal ini ketika Saudara memikirkan apa sebenarnya arti gambaran tersebut. Cincin emas adalah sesuatu yang begitu indah dan berharga, yang membuat kita ingin mendekat untuk menarik barang itu kepada diri kita. Tapi ternyata cincin tersebut terpasang pada moncong seekor babi; cincin ini tidak bisa dilepaskan dari si babi. Jadi ketika kita menarik cincin itu –dan kita begitu fokus dengan cincin tersebut– akhirnya kita jadi tarik-tarikan dengan si babi, mungkin kita jadi masuk ke lumpur, menginjak tahi si babi, dsb. Intinya, gambaran ini mengatakan, ketika Saudara mengejar kecantikan, dan saking terfokusnya dengan kecantikan itu, sesuatu yang tampil itu, akhirnya Saudara akan mendapatkan kotoran, dan hidup jadi berantakan. Itulah maknanya. Pertanyaannya, orang bodoh mana yang bisa tidak sadar cincin tersebut nempel di hidung babi? Dari sini terlihat, bahwa target utama nasehat ini bukan seorang wanita melainkan pria, karena para pria yang tertarik dengan penampilan luar yang memukau itu –yang indah dan cantik itu– akan berusaha mendekat dan menarik wanita tersebut kepada dirinya, tapi dia tidak menyadari apakah ini orang yang dangkal, atau egois, atau berantakan hidupnya, dsb., yang penting cantik.
Kita tahu, yang penting adalah yang di dalam, bukan yang di luar. Karakter seseoranglah yang menentukan hidup macam apa yang dia miliki, dan menentukan juga hidup orang-orang di sekitarnya. Bodoh sekali kalau kita terdistraksi dengan yang di luar, sampai kita lupa dan tidak peduli dengan yang di dalam. Itu seperti orang yang terpikat dengan cincin emas, dan saking terpikatnya sampai tidak sadar cincin emas itu datang sepaket dengan si babi. Itu sebabnya ayat ini merupakan kritik terhadap pria, bukan serangan terhadap wanita. Ayat ini bicara mengenai seberapa destruktif dan bahayanya kecenderungan para pria yang menilai wanita dari penampilannya. Coba saja para pria perhatikan tingkah laku pria-pria lain; pria-pria itu memperlakukan wanita yang seperti apa, secara bagaimana. Dalam hal ini para wanita sudah peka, mereka sudah belajar sejak kecil bahwa wajah yang seperti apa akan dapat perlakuan bagaimana, bentuk tubuh yang seperti apa akan dapat perlakuan bagaimana. Para wanita tahu hal ini dan mencatat secara mental hari demi hari, tahun demi tahun, dan efeknya adalah pertama-tama mengikis kepercayaan wanita terhadap pria; ini merusak hubungan antara pria dan wanita. Tapi efek yang paling parah adalah hal ini menghancurkan para wanita itu sendiri, menghancurkan cara mereka melihat dirinya, menghancurkan self-image mereka. Para wanita melihat bahwa semua manusia di dunia memperhatikan penampilan, itu sebabnya mereka akan mengatakan pada dirinya sendiri “kenapa gua harus peduli dengan karakter gua kalau seluruh dunia saja tidak peduli”. Jadi, sebelum Saudara –yang pria– mengatakan kepada wanita “Lu pakai make up begitu, emangnya lu mau nipu siapa sih??”, Saudara harus sadar jawaban dari wanita sebenarnya adalah “ya, kalian lah”.
Bahaya dan sifat destruktif dari pemberhalaan penampilan ini bukan cuma berdampak pada para wanita, tapi juga para pria. Ada yang namanya “pornografi”. Jangan pikir pornografi bukan cuma dilarang di Gereja; dalam 10-20 tahun terakhir, literatur sekuler pun akhirnya realistis terhadap bahaya pornografi. New York Magazine, yang adalah majalah sekuler, dalam edisi Oktober, 2003 –18 tahun lalu– sudah membahas efek negatif pornografi terhadap relasi pria dan wanita. Time Magazine tahun 2016 memakai seluruh edisinya untuk membahas hal yang sama. Baru sekarang ini kita mendapatkan data dari pria-pria yang sudah hidup dengan pornografi secara online sejak kecil –dan mereka tahu itu salah. Kita tahu pornografi itu salah, tapi kita tidak bisa berhenti. Ini merusak relasi antara pria dan wanita, karena relasi yang riil antara seorang pria dan wanita itu kompleks. Wanita itu kompleks, sementara pornografi itu simpel. Itu sebabnya, relasi dengan seorang wanita jadi menakutkan bagi seorang pria yang sudah terbiasa dengan pornografi –“kita ‘gak tahu harus ngapain dengan mereka”. Akhirnya pria ini kembali lagi ke pornografi karena pornografi memberikan pelarian. Pornografi menyajikan keintiman palsu –yang lebih gampang, lebih simpel– lalu ketika kembali ke dunia nyata berhubungan dengan wanita yang nyata, mereka tidak seperti itu, tidak seperti yang pria lihat di dalam pornografi. Pria tidak siap menghadapi wanita dengan segala kompleksitasnya, dan akhirnya itu membuat pria kembali lagi masuk ke dalam pornografi. Saya menceritakan ini agar para wanita menyadari, realita apa yang sedang terjadi dalam hidup mayoritas pria, untuk mengerti keadaan mereka.
Itulah bahaya dan power yang begitu destruktif dari external beauty. Dari mana power ini, mengapa beauty bisa memiliki power sedemikian kuat? Sebagian orang mengatakan karena zaman kita hari ini berbeda dari zaman dulu. Wolf membandingkan majalah-majalah wanita 30 tahun lalu dengan yang sekarang; ideal-ideal yang ditampilkan 30 tahun lalu adalah ideal-ideal ibu rumah tangga –misalnya gambar wanita dengan sepatu hak tinggi sedang mem-vacuum cleaner. Tapi sekarang, gambaran ideal dalam majalah-majalah wanita hari ini sudah bukan ibu rumah tangga lagi; sekarang wanita sudah bebas, emansipasi, progresif, sekuler, individualistis, lebih punya power, lalu yang kita temukan, ironisnya, tuntutan kecantikan yang lebih tinggi lagi, lebih gila lagi –misalnya berat tubuh seorang fashion model dibandingkan dengan wanita umumnya pada hari ini adalah 3x lebih kecil daripada 30 tahun lalu. Ketika wanita katanya sudah emansipasi, sekarang justru idealnya lebih tinggi, justru lebih menindas, justru lebih membuat perasaan bersalah. Semakin suatu masyarakat liberated dan progresif, justru kita temukan lebih banyak masalah eating disorder. Di tempat wanita paling punya kebebasan, ironisnya, adalah tempat di mana mereka lebih tertindas oleh mitos penampilan. Jadi, salah satu jawaban mengapa beauty hari ini punya kuasa yang begitu besar, menurut Wolf adalah karena kita hidup di zaman yang partikular, dalam budaya yang kelebihan, sehingga akhirnya membuat kita hancur total akibat external beauty.
Jawaban yang lain, yang juga mirip, bisa kita dengar dari Neil Postman, penulis buku “Amusing Ourselves to Death”. Menurut Postman, alasannya beauty itu begitu mencengkeram kita hari ini adalah karena kita hidup dalam masyarakat budaya zaman yang partikular; kita hidup dalam masyarakat di mana teknologi yang paling penting adalah teknologi layar, yaitu kemampuan untuk memproyeksikan image di layar. Tahun 1950-an waktu Abraham Lincoln kampanye untuk jadi presiden, kalau dia jalan-jalan di jalanan Amerika, tidak akan ada seorang pun yang mengenalinya, karena waktu itu zamannya masih telegram –dan telegram tidak ada gambarnya. Itu sebabnya zaman itu, pemilihan presiden di Amerika harus diputuskan berdasarkan ide. Orang mau memilih presiden harus membaca apa pandangan calon presiden tersebut; perdebatannya pun selalu soal ide-ide dari masing-masing kandidat, dan tidak pernah soal public image. Waktu itu, orang-orang itu “idea oriented” –kata Postman–sedangkan sekarang orang-orang itu “screen oriented”, itu sebabnya image oriented. Hari ini, feeling, image, impression, itu jauh lebih penting dibandingkan substansi dan ide; yang penting bisa buat sesuatu yang nendang, dan paling gampang adalah lewat image. Itu juga sebabnya yang laku hari ini adalah meme; orang lihat langsung ketawa, orang lihat langsung marah, langsung bereaksi –itulah meme. Tidak ada yang mau baca buku, tidak ada yang mau baca ide. Hari ini, dalam medan politik di seluruh dunia, meme jadi salah satu senjata yang paling besar. Di sinilah Postman berpendapat bahwa hari ini, persoalan bagaimana kita bisa kelihatan, menjadi sesuatu yang jauh lebih penting kalau dibandingkan dengan masa-masa sepanjang sejarah manusia.
Kedua jawaban sekuler ini –baik Wolf maupun Postman–tentu ada benarnya, bahwa hari ini kita hidup dalam zaman yang demikian partikular sehingga beauty demikian mencengkeram kita. Tapi jawaban-jawaban itu sebenarnya cuma menjawab pertanyaan ‘mengapa kuasa beauty hari ini lebih kuat’, dan bukan ‘mengapa beauty punya kuasa’. Jawaban tadi bisa menjelaskan alasannya eating disorder hari ini naik, tapi tidak menjelaskan mengapa bisa ada kuasa untuk menciptakan itu pada awalnya. Sekali lagi, Doctor Faust sudah ada sebelum internet ada; Ester juga sudah ada jauh sebelum internet, Rahel dan Lea juga sudah ada jauh sebelum internet.
Sekarang kita masuk ke dalam perspektif Kristen. Dua alasan yang menjelaskan the power of beauty atas hidup kita adalah: ketika Adam dan Hawa memutuskan untuk memegang kemudi atas hidupnya sendiri di Kejadian 3, maka ada 2 hal yang jadi akibatnya, yaitu mereka jadi malu dan mereka akan mati.
Yang pertama, mereka menjadi malu. Mereka sadar, sekarang ada something wrong dengan dirinya, jadi mereka harus cover up, mereka harus memakai makeup, merekamenutupi dirinya. Mengapa? Karena jauh di lubuk hati, kita semua tahu ada sesuatu yang rusak di dalam diri kita, ada perasaan bahwa kita tidak cukup baik, kita rusak, ada rasa malu yang harus kita hadapi. Lalu biasanya kita akan cari kambing hitam untuk menjelaskan hal ini, misalnya orangtua kita atau pun lingkungan tempat kita bertumbuh. Atau bahkan ajaran Kristen yang dijadikan kambing hitam; yang tentu saja ada benarnya, khususnya ketika gereja-gereja Kristen menekankan berita moral tok, menekankan penghakiman tok, sehingga ketika orang masuk Gereja, ujungnya cuma dikatakan “kamu rusak, kamu hancur”, tidak pernah mengatakan “kamu gambar dan rupa Allah juga”. Itu semua memang memperparah, tapi bukan penyebab utamanya.
Beberapa orang yang saya kenal pribadi, yang awalnya orang Kristen tapi akhirnya memutuskan jadi ateis, mereka merasa begitu terbebaskan. Mereka merasa bebannya terlepas –tapi bukan di Kalvari. Dengan jadi ateis, mereka merasa bebas dari penghakiman. Tapi tanyalah kepada mereka 10 tahun dari sekarang, ketika mereka mulai sadar bahwa dunia sekuler ternyata juga punya standar penghakimannya sendiri. Orang ateis bisa bilang tidak percaya Tuhan, tidak percaya dosa, tidak percaya neraka, tidak percaya penghakiman, namun tetap saja orang ateis seumur hidup bergumul dengan insecurity, dengan suara dalam hatinya yang mengatakan ‘kamu bodoh, kamu pengecut, kamu jelek, something is wrong with you’. Anak-anak remaja dan pemuda yang hari ini berpikir mungkin lebih enak jadi orang bukan Kristen karena merasa di Gereja dirundung perasaan bersalah, perlu tanya, apa betul di luar sana tidak bakal dirundung perasaan seperti itu?
Itulah sebabnya kita pakai makeup, kita pergi ke gym demi mendapatkan six-pack abs. Ini semuanya adalah yang dikatakan dalam Kejadian 3, daun pohon ara yang kita jadikan cawat. Kita memfokuskan diri dengan apa yang ada di luar, karena kita tidak suka dengan apa yang ada di dalam. Ada perasaan malu, perasaan bersalah, yang ingin kita tutupi, sehingga kita merasa kalau saya cantik, atau kalau saya menggandeng seseorang yang cantik, maka somehow itu bisa menebus perasaan malu yang jauh di dalam. Jadi menurut Alkitab –ironisnya– kuasa di balik kuasa beauty itu adalah rasa malu –kuasa dari perasaan insecurity, inadequacy.
Yang kedua, mereka akan mati; dan mereka tahu, seharusnya mereka tidak mati, mereka diciptakan untuk hidup bersama Tuhan selama-lamanya tapi sekarang mereka akan mati. Dan kita benci sekali dengan kematian, karena kita tahu bahwa kita diciptakan untuk hidup yang kekal.
Seorang sekuler yang hidupnya nyaman, mungkin akan mengatakan bahwa dia tidak takut kematian; “Yah, kalau waktunya mati, ya mati, ‘gak ada tuhan koq, ‘gak ada penghakiman”. Tapi bagaimana kalau waktunya datang lebih cepat? Bagaimana kalau waktunya datang ‘sebelum waktunya’, betulkah tidak takut?? Mungkin kita mengatakan tidak takut akan kematian, tapi jelas kita membenci kematian, karena kita tahu kita diciptakan untuk hidup kekal. Dan itulah salah satu sebabnya kita mengejar beauty, karena bagi kita beauty melambangkan kehidupan. Semakin tua, semakin jelek; semakin dekat dengan kematian, semakin jelek; jadi kecantikan melambangkan kehidupan. Inilah penjelasan Kekristenan tentang the power of beauty.
Apa respons kita hari ini? “O, terima kasih, saya mendapatkan banyak hal dari kotbah ini; saya tidak akan membiarkan beauty merongrong hidupku, saya akan berhati-hati untuk tidak pernah lagi membaca buku dari cover-nya”. Saudara tidak akan berhasil. Cengkeraman beauty terhadap hidup kita itu bukan rasional tapi instingtual, itu sebabnya Saudara tidak bisa menyelesaikannya dengan sekedar tahu, tapi perlu ada sesuatu yang lebih dari itu.
Dalam Yesaya 53: 2 dikatakan bahwa Anak Allah ditolak dan dibuang karena orang-orang merasa Dia tidak menarik penampilannya –karena orang menghakimi Dia berdasarkan penampilan. Pencipta alam semesta telah menjelma jadi daging, menjadi seorang manusia, tetapi dunia tidak mengenal Dia karena dunia telah memegang komitmen untuk membaca setiap orang lewat penampilan. Bahkan kadang-kadang waktu kita membaca bahwa Allah datang dengan tidak ada semaraknya, kita bisa menyalahkan Tuhan, ‘kenapa sih, Tuhan ‘gak muncul secara lebih … lebih kelihatan, lebih jelas, dst.’; kalau Dia mau semua orang percaya pada Dia, kenapa Dia tidak menampilkan diri-Nya dengan lebih keren?? waktu bangkit, jangan di bukit Zaitun, tapi di Roma, di istana kaisar, dong, bikin teleconference, semua media suruh liput, suruh rekam..’; yang mau kita katakan adalah: Tuhan itu bersalah karena Dia tidak mengikuti jalan dunia yang menyembah penampilan, yang menghakimi segala sesuatu berdasarkan penampilan –jadi Tuhan salah.
Saudara, lihatlah betapa cara pikir kita sudah begitu terkondisikan untuk menilai segala sesuatu berdasarkan penampilan. Seandainya Kristus datang dan Dia menampilkan diri-Nya sesuai ekspektasi dunia, maka Saudara justru perlu tanya, ‘ini Tuhan beneran atau bukan’. Seandainya Dia merasa ‘cara-Ku agar dipercaya semua orang adalah bangkit di istana kaisar, di Roma’, maka konsekuensi logisnya adalah Saudara justru pikir ‘Yesus ini bukan Tuhan tapi manusia tok, buktinya Dia berpikir pakai cara manusia’. Saudara-saudara, ketika kita senantiasa memakai cara dunia untuk melihat Tuhan, maka kita akan senantiasa melewatkan Yesus.
Apa solusinya? Solusinya adalah: Yesus sendirilah yang sebenarnya datang kepada kita bukan dengan membawa solusi, melainkan menjadi solusi. Kalau Saudara mau seekor anjing melepaskan daging di mulutnya, Saudara tidak bisa tarik-tarikan dengan dia, Saudara harus tawarkan kepada dia daging yang lebih besar. Itulah yang Yesus lakukan. Kisah Ester adalah tentang seseorang yang menjadi ratu karena dia cantik, karena dia bisa memainkan mitos penampilan dunia ini. Tapi waktu kita melihat kisah ini, kita langsung bisa lihat kisah ini sedang memantulkan pandangan kepada satu tokoh lain di Alkitab yang juga seorang raja, namun Raja ini bukan ‘main penampilan’, Raja ini justru kehilangan dan menyerahkan penampilannya, menjadi seorang yang biasa-biasa.
Kembali ke nubuatan Yesaya 53, “sebagai Sebagai taruk ia tumbuh di hadapan TUHAN dan sebagai tunas dari tanah kering. Ia tidak tampan dan semaraknya pun tidak ada sehingga kita memandang dia, dan rupa pun tidak, sehingga kita menginginkannya.” Istilah ‘tampan’ dan ‘rupa’ di ayat ini, bahasa Ibraninya adalah toar dan mareh. Ini adalah sepasang istilah untuk mengungkapkan penampilan seseorang, yang dipakai untuk menggambarkan Rahel. Dalam Kejadian 29:7, kita menemukan penggambaran tentang Rahel ini; dikatakan ‘Lea tidak berseri matanya, tetapi Rahel itu elok sikapnya (toar-nya) dan cantik parasnya (mareh-nya)’. Di sini Yesaya seperti membandingkan figur Hamba tuhan yang akan datang itu –yaitu Yesus– dengan Rahel.
Saudara tentu ingat kisah Rahel. Secara singkat, Yakub terbuang dari rumahnya, penipuannya membuat hidup dia runtuh berkeping-keping; dan di tempat Laban, dia melihat anak Laban, yaitu Rahel. Kisah berikutnya, pada dasarnya mau mengatakan “kalau aku bisa menggandeng dia, maka hidupku ada signifikansi; mungkin sekarang akan ada maknanya segala kesengsaraan yang kualami kalau aku bisa mendapatkan dia”. Jadi Yakub menginginkan Rahel, tapi tidak menginginkan Lea, saudara Rahel yang lebih tua itu. Celakanya, Laban sendiri –papanya Lea– tidak menginginkan Lea juga; Laban menipu Yakub supaya Lea bisa disingkirkan dengan dinikahkan. Begitu Yakub tahu, dia marah. Selanjutnya, Saudara bisa bayangkan sisa hidup Lea, wanita yang tidak diinginkan siapa-siapa ini. Bertahun-tahun kemudian ketika Yakub hampir mati, dia memanggil anak-anaknya untuk memberikan kalimat berkat, meski ada juga yang dikutuk. Di situ ada satu dari keduabelas anak Yakub yang mendapat berkat luar biasa, yaitu –bukan Yusuf, anak Rahel– Yehuda, anak Lea. Yakub mengatakan: “Tongkat kerajaan tidak akan beranjak dari Yehuda ataupun lambang pemerintahan dari antara kakinya, sampai dia datang yang berhak atasnya, maka kepadanya akan takluk bangsa-bangsa.” Dan kita tahu, dari Yehuda-lah suatu hari akan lahir Mesias, Yesus Kristus.
Yakub memilih Rahel, bukan Lea. Laban, papanya sendiri, tidak menginginkan Lea, tapi Allah justru memilih Lea, bukan Rahel. Allah memilih wanita yang tidak diinginkan siapa-siapa, untuk menjadi sarana Anak Allah datang ke dunia. Maka, tidak heran Yesaya mengatakan Yesus itu tidak ada toar-nya, tidak ada mareh-nya; Yesus datang ke dunia tanpa ketampanan, tanpa semarak. Yesus datang bukan sebagai anak Rahel; Yesus datang sebagai anak Lea. Ia datang sebagai orang yang tidak dipandang, sebagai orang yang tidak diinginkan. Dan apakah Dia melakukan semua ini supaya bisa seperti Detektif Columbo yang mengatakan, “Nah, lu pikir gua goblok, ‘kan? lu pikir gua ‘gak kompeten, ‘kan? Ternyata aku sebenarnya pintar, lho” ? Apakah Yesus mengatakan, “Nah, ketangkep lho. Lu pikir Gua bukan Mesias ‘kan? Lu ‘gak tahu ‘kan? Lu menolak Gua ‘kan? Sekarang busuklah di neraka” ? Tidak.
Mengapa Yesus menjadi anak Lea? Mengapa Yesus datang sebagai orang yang tidak dipandang, yang tidak diinginkan? Pertama, karena dengan demikianlah Dia menyelamatkan Saudara dan saya; itulah sebabnya Dia menyerahkan keindahan-Nya. Allah menciptakan kita dengan indah pada mulanya, dan kita kehilangan keindahan itu, sehingga kita berusaha keras menambalnya dengan keindahan tampak luar. Itulah akar dari kuasa beauty atas hidup kita. Tetapi kontrasnya, Anak Allah, sumber dari segala yang indah, dan keindahan itu sendiri, telah menyerahkan keindahan-Nya supaya Dia bisa menjadi seperti kita, dan mati di atas kayu salib sebagai manusia biasa yang lemah. Bukan hanya sebagai anak Maria, tapi sebagai anak Lea.
Tapi masih ada hal yang kedua, yaitu apa efeknya. Jika Saudara sekarang bisa melihat melampaui apa yang permukaan, melampaui apa yang tampil di luar, maka di atas salib yang begitu ugly itu, Saudara justru menemukan, sepanjang sejarah manusia tidak pernah ada yang lebih beautiful. Sumber beauty telah menjadi ugly; inilah true beauty. Keindahan yang sejati adalah ketika Sang Sumber keindahan telah menjadi buruk rupa, tanpa toar dan mareh demi Saudara dan saya. Itulah the true beauty. Itulah keindahannya, ketika kita menjadikan Dia Raja atas hati kita, dan bukan cuma otak kita. Lihatlah caranya Dia mengambil hati kita; bukan lewat penampilan luar, melainkan karena Dia rela menyerahkan penampilan luar itu, demi kita. Itu solusinya, itu jawabannya.
Dalam perjamuan Kudus, ketika kita mengangkat roti dan cawan, kita makan tubuh dan darah Yesus Kristus. Yang Saudara lihat dengan mata jasmani adalah roti polos yang tidak menarik dan anggur murahan. Dan inilah persisnya poinnya: karena bagi mereka yang memandang dalam iman, Saudara bukan melihat roti yang polos tok. Saudara akan melihat Allah pencipta gunung-gunung yang megah dan terumbu-terumbu karang nan cantik, Saudara akan melihat Allah pencipta matahari yang gagah dan bulan nan romantis, yang lalu menyuruh Saudara mengingat Dia dalam bentuk sekeping roti yang polos. Itulah yang akan Saudara lihat.
Adakalanya dunia pun bisa menyentuh sedikit dari kebenaran ini, bahwa keindahan yang tertinggi, yang paling mempengaruhi kita, yang paling menggerakkan kita, bukanlah keindahan wajah atau tubuh atau penampilan, tapi keindahan yang muncul ketika terjadi pengorbanan. Kita dipanggil untuk menjadi tubuh Kristus. Itu berarti Saudara bukan cuma dipanggil untuk terpukau akan keindahan sejati Yesus, tapi juga menghidupi keindahan model ini dalam hidupmu. Sebagaimana Yesus telah mengorbankan keindahan-Nya dan menjadi buruk rupa, supaya kita yang buruk rupa boleh menjadi indah, mari kita sekarang menghidupi keindahan ini. Bukan keindahan cincin emas di jungur babi, tapi keindahan pengorbanan, keindahan inkarnasi.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading