Kita melanjutkan pembahasan kitab Ester. Kitab ini unik karena sangat familier dengan situasi kehidupan kita hari ini, bagaimana hidup sebagai umat Tuhan di tengah-tengah budaya dan kerajaan dunia –di tengah-tengah budaya dunia yang menyembah penampilan, sementara kita menyembah Allah yang tidak suka tampil. Dalam pembahasan pasal 1, kita sudah melihat bagaimana kitab ini memutar balik, bahwa ternyata di balik penampilan yang disembah dunia, yang ada hanyalah kehampaan dan kekosongan; di balik Allah yang tidak suka tampil, di situ justru ada kehadiran-Nya yang riil. Kita melanjutkan dengan pembahasan pasal 2; di bagian ini saya akan fokus dengan satu isu yang juga familier dalam kehidupan kita, yaitu mengenai: kompromi.
Dunia penafsiran kitab Ester ini terbagi 2; ada yang menganggap Ester dan Mordekhai pahlawan iman, ada yang menganggap Ester dan Mordekhai kompromi dengan dunia. Ini adalah realita yang kita hadapi sebagai umat Tuhan. Kita menyembah Tuhan di tengah-tengah dunia yang menyembah allah-allah lain, sehingga cepat atau lambat Saudara akan menemukan momen-momen ketika dunia mengharapkan Saudara melakukan hal-hal yang Saudara anggap sebagai kompromi. Saudara akan bergumul dengan masalah ‘apakah ini mengkompromikan iman saya atau tidak; bagaimana saya harus berespons’. Itu sebabnya kita akan mengeksplorasi bagian ini.
Kita tidak begitu yakin raja Ahasyweros dalam kitab Ester ini mengacu pada tokoh historis siapa dalam sejarah raja-raja Persia, tetapi beberapa pakar Alkitab menduga dia adalah Raja Xerxes I. Dugaan ini mengacu dari kolaborasi dengan sejarawan lain, misalnya Herodotus, yang dalam deskripsinya tentang Xerxes I menulis bahwa raja ini terkenal nafsunya akan anggur dan wanita. Dikatakan juga, dia memerintah dari India sampai Etiopia –sama persis dengan kalimat dari penulis kitab Ester di pasal 1. Dan dalam salah satu catatan kerajaan raja tersebut, ada tercatat tentang seorang pegawai bernama Mardukha, yang bisa jadi adalah Mordekhai. Xerxes I ini raja Persia yang terkenal lewat film “300” sebagai tokoh antagonis yang berhadapan dengan 300 spartans di bawah Leonidas, yang meskipun ketika itu dia menang, pada akhirnya invasinya ke Yunani gagal. Memang kita tidak tahu secara pasti, tapi kalaupun benar, menarik bahwa sejarawan Herodotus merekam setelah kegagalan ini, Xerxes I pulang ke Persia dan mencari penghiburan lewat haremnya; dia mencatat peristiwa ini terjadi pada bulan kesepuluh tahun ketujuh pemerintahan Xerxes I, sementara kitab Ester mencatat bahwa Ester diangkat jadi ratu juga pada bulan kesepuluh tahun ketujuh (Ester 2:16). Jadi jika hal ini benar, maka berarti momen-momen di pasal 2 kitab Ester ini adalah momen ketika Xerxes I telah kalah di Yunani. Dan ini berarti momen-momen dirinya sebagai raja yang memiliki segala sesuatu sebagaimana tercatat di Ester 1, lebih dibongkar lagi, bahwa dalam masa-masa seperti itu dia hanya bisa memikirkan apa yang dirinya telah kehilangan.
Kita membaca dalam Ester 2:1, ‘Sesudah peristiwa-peristiwa ini, setelah kepanasan murka raja Ahasyweros surut, terkenanglah baginda kepada Wasti dan yang dilakukannya, dan kepada apa yang diputuskan atasnya.’ Beberapa pegawainya yang masih muda [dalam Alkitab LAI disebut ‘biduanda’] mengusulkan solusi, bahwa dalam situasi seperti ini, raja butuh banyak perawan yang cantik-cantik, jadi diutuslah ke seluruh daerah pegawai-pegawai untuk mengumpulkan gadis-gadis ini bagi harem raja, dan raja bisa meniduri mereka satu per satu, lalu kalau ada yang raja suka, perempuan itu bisa jadi ratu menggantikan Wasti. Tidak heran raja setuju akan hal ini.
Selanjutnya “adegan” beralih dari istana raja ke seberang kota, ke sebuah rumah kecil; dan di ayat 5 kita diperkenalkan dengan seorang Yahudi, bernama Mordekhai. Ayat 5-6: ‘Pada waktu itu ada di dalam benteng Susan seorang Yahudi, yang bernama Mordekhai bin Yair bin Simei bin Kish, seorang Benyamin, yang diangkut dari Yerusalem sebagai salah seorang buangan yang turut dengan Yekhonya, raja Yehuda, ketika ia diangkut ke dalam pembuangan oleh raja Nebukadnezar, raja Babel.’
Perhatikan, di sini yang pertama-tama diperkenalkan adalah bahwa dia seorang Yahudi –sebelum kita diberitahu namanya. Ini penting kita perhatikan, karena ada “sesuatu” tentang menjadi seorang Yahudi di masa itu. Periode kitab Ester di bawah raja Ahasyweros ini sudah masuk ke periode Media-Persia; dan ini berarti Babel sudah ditaklukkan Koresy 40 tahun sebelumnya. Ini adalah masa ketika orang-orang Yahudi sudah diperbolehkan kembali pulang. Beberapa dari mereka sudah kembali ke Yerusalem, membangun Bait Allah dan tembok kota (dicatat dalam kitab Ezra dan Nehemia). Namun banyak juga dari mereka –bahkan sepertinya lebih banyak—yang sesungguhnya merasa nyaman tinggal di pembuangan, dan mereka memilih bertahan di sana; Mordekhai salah satunya. Dia sepertinya nyaman tinggal di benteng Susan, dan memilih tidak kembali ke Yerusalem. Inilah esensinya sebagai seorang Yahudi pada zaman itu yang tinggal di benteng Susan, seorang Yahudi yang memilih tidak kembali dari pembuangan. Saudara tentu bisa melihat tension di sini, bagaimana orang-orang seperti ini bisa mempertahankan keyahudian mereka? Bagaimana ikatan mereka dengan Allah Yahweh, jika mereka memilih tinggal di tengah budaya yang jelas-jelas tidak beriman kepada Allah Alkitab? Mereka ini masih bisa dibilang umat Tuhan atau tidak? Jadi di sini Saudara lihat, bahwa sejak awal pun Mordekhai tidak dihadirkan sebagai tokoh yang ‘positif-positif banget’. Memang dia bukan penjahat atau orang fasik, tapi setidaknya ada ambiguitas mengenai tokoh Mordekhai ini.
Di ayat 7, kita menemukan bahwa ‘Mordekhai itu pengasuh Hadasa, yakni Ester, anak saudara ayahnya, sebab anak itu tidak beribu bapa lagi; gadis itu elok perawakannya dan cantik parasnya. Ketika ibu bapanya mati, ia diangkat sebagai anak oleh Mordekhai.’ Di sini Ester pertama-tama diperkenalkan bukan soal dia elok dan cantik, melainkan bahwa Ester ini punya 2 nama; dan di seluruh kita ini, dialah sati-satunya tokoh yang punya 2 nama. Para komentator mengatakan, mungkin inilah cara penulis mencatat Ester sebagai seorang wanita yang hidup di dua dunia. Kembali lagi, ada ambiguitas; di satu sisi dia adalah Hadasa, seorang gadis Yahudi yang menyembah Yahweh; di sisi lain dia adalah Ester, gadis cantik yang mengarungi dunia yang hanya peduli pada kecantikan dan penampilannya.
Selanjutnya, tidak mengejutkan apa yang dicatat di ayat 8: ‘Setelah titah dan undang-undang raja tersiar dan banyak gadis dikumpulkan di dalam benteng Susan, di bawah pengawasan Hegai, maka Ester pun dibawa masuk ke dalam istana raja, di bawah pengawasan Hegai, penjaga para perempuan.’ Perhatikan penggunaan bentuk pasif dalam kalimat ini: ‘Ester dibawa masuk’ –dalam bahasa Inggrisnya, ‘was taken’ –menunjukkan betapa Ester ini tersapu oleh satu situasi yang di luar kontrolnya, dari seorang Hadasa, gadis Yahudi yang hidup di pinggiran kota, direnggut dari keluarga dan rumahnya, dan sekarang menemukan dirinya di pusat kekaisaran Media-Persia. Tidak heran, satu-satunya harapan untuk bertahan adalah menjadi seorang “Ester”, dan meninggalkan “Hadasa”.
Hal ini terjadi terus; di ayat 9 dikatakan: ‘Maka gadis itu sangat baik pada pemandangannya dan menimbulkan kasih sayangnya, sehingga Hegai segera memberikan wangi-wangian dan pelabur kepadanya, dan juga tujuh orang dayang-dayang yang terpilih dari isi istana raja, kemudian memindahkan dia dengan dayang-dayangnya ke bagian yang terbaik di dalam balai perempuan.’ Terjemahan LAI di bagian ini memberi kesan Ester juga pasif di sini, seakan-akan dia tidak perlu melakukan apa-apa lalu dengan begitu saja Hegai langsung sayang padanya; sama seperti tadi dia ‘dibawa’, sekarang dia ‘disayang’. Tapi sebenarnya terjemahan yang lebih tepat di sini justru menggunakan bentuk aktif; kontras dengan momen ketika Ester secara pasif ‘dibawa’ dalam ayat sebelumnya, di bagian ini Ester secara aktif ingin mengambil hati Hegai.
Ester mengambil hati Hegai, sida-sida yang ditugaskan menjaga para perempuan; Saudara tebak, bagaimana caranya? Apakah dengan menjadi lain sendiri, dengan memperlihatkan warna Yahudi-nya di tengah-tengah warna Persia? Tidak. Lihat di ayat 10: ‘Ester tidak memberitahukan kebangsaan dan asal usulnya, karena dilarang oleh Mordekhai.’ Seorang komentator menulis demikian: keberhasilan dan kesuksesan Ester dalam kerajaan Ahasyweros, datang dengan cara Ester menekan habis identitasnya sebagai warga dari Kerajaan Allah. Ester tidak menyangkal identitasnya sebagai orang Yahudi, tapi dia menyembunyikannya; dan ini bukan dilakukannya seorang diri, Mordekhai-lah yang menyuruhnya. Mengapa? Mungkin Mordekhai kuatir dan ingin melindungi Ester. Kita melihat ini di ayat 11, ‘Tiap-tiap hari berjalan-jalanlah Mordekhai di depan pelataran balai perempuan itu untuk mengetahui bagaimana keadaan Ester dan apa yang akan berlaku atasnya.’ Mordekhai sangat menyayangi Ester; jelas di sini Mordekhai kuatir jika Ester terbuka identitasnya, dia akan mengalami diskriminasi. Mordekhai tidak mau Ester menderita. Lalu apa hasilnya? Dengan menutupi imannya dan memeluk nilai-nilai kekaisaran Persia, Ester berhasil mengambil hati Hegai dan mendapatkan perlakuan khusus.
Tidak berhenti hanya pada Hegai, lihat ayat 15: ‘Ketika Ester … mendapat giliran untuk masuk menghadap raja, maka ia tidak menghendaki sesuatu apa pun selain dari pada yang dianjurkan oleh Hegai, sida-sida raja, penjaga para perempuan. Maka Ester dapat menimbulkan kasih sayang pada semua orang yang melihat dia.’ Perhatikan kalimat yang penting ini: ‘Ester dapat menimbulkan kasih sayang’; ada kata ‘menimbulkan’, maka Saudara jangan lihat ini sebagai bentuk pasif, bahwa Ester tidak melakukan apa-apa, dia hanya menimbulkan kasih sayang. Dalam bahasa aslinya sangat jelas di sini Ester aktif; lagipula di sini diceritakan tindakan aktif yang Ester lakukan, yaitu bukan dengan menyatakan identitas yang unik, melainkan justru dengan membiarkan kekaisaran ini membentuk dirinya sesuai nilai-nilai mereka. Bagaimana caranya Ester bisa memenangkan hati mereka? Di dalam budaya yang memberhalakan penampilan, tentu lewat penampilan. Ester tahu aturan mainnya –dan dia menggunakannya. Ketika setiap gadis mendapat giliran menghadap raja, mereka diperbolehkan mengambil satu hal yang mereka inginkan, entah itu perhiasan atau baju atau apapun dari perbendaharaan istana; dan yang Ester lakukan bukanlah dengan menyatakan “this is me”, melainkan karena dia lebih menyerupai gambaran wanita ideal dalam budaya tersebut yaitu dengan menyatakan “apa yang cocok buat saya, Hegai?” Ester sukses, karena dibanding wanita-wanita lain, dia lebih cocok dengan gambaran wanita yang dicari raja, sehingga di ayat 17 dikatakan: ‘Maka Ester dikasihi oleh baginda lebih dari pada semua perempuan lain, dan ia beroleh sayang dan kasih baginda lebih dari pada semua anak dara lain, sehingga baginda mengenakan mahkota kerajaan ke atas kepalanya dan mengangkat dia menjadi ratu ganti Wasti.’ Ester menang; dan dia menang dengan cara menutupi imannya, dengan cara memeluk nilai-nilai kekaisaran Persia. Dengan demikian, dia menang karena dia mewujudkan persis apa yang raja kafir ini cari dalam diri seorang wanita.
Di dunia penafsiran kitab Ester terbagi dua dalam hal ini, sebagian orang cukup sadis menuding Ester dan Mordekhai sebagai tokoh-tokoh kompromistis, sebagian lainnya membela. Kita akan melihat argumen-argumen mereka; pertama-tama dari sisi yang menuduh mereka kompromi.
Semua orang tahu bahwa kitab Ester tidak menyebut “Tuhan”. Namun di pasal ini kita menemukan hal yang lebih mencolok: bukan saja istilah “Tuhan” tidak disebut –atau Tuhan tidak muncul– tetapi bahwa ternyata ceritanya masuk akal saja tanpa kehadiran Tuhan. Dengan kata lain, ketidakmunculan Tuhan dalam kisah ini, tidak muncul. Absennya Tuhan dalam kisah ini, dihadirkan sebagai sesuatu yang normal. Dalam kisah ini tidak terasa ada sesuatu yang bolong yang hanya bisa diisi oleh Tuhan. Tidak ada satu pun momen dalam kisah ini yang misalnya seorang tokoh mengharapkan Tuhan muncul tapi Dia tidak muncul –absennya Tuhan yang mencolok. Tidak ada yang seperti itu dalam kisah ini. Tuhan tidak muncul, dan bagaimanapun segala sesuatu berlangsung seperti biasa. Saya jadi teringat kutipan yang terkenal dari seorang pujangga Inggris bernama Robert Browning: “God’s in his heaven – all’s right with the world!” (“Tuhan ada di surga-Nya, dan dunia baik-baik saja!”).
Coba Saudara lihat kembali, adakah satu saja tokoh di kisah ini yang mengharapkan Tuhan muncul? Ester dan Mordekhai membuat rencana demi survival dan kesuksesan mereka di dunia; dan dalam rencana itu tidak ada Tuhan sama sekali. Bahkan bisa dikatakan Ester dan Mordekhai memang tidak mengharapkan Tuhan muncul juga. Mereka membuat rencana, tapi rencana ini bukan rencana yang bergantung pada peran serta Tuhan. Ester mencari dan membuat sekutu, tapi sekutu dengan Hegai, bukan dengan Yahweh. Itu sebabnya beberapa penafsir berkesimpulan ini jelas kompromi, jelas bukan tindakan yang sesuai kehendak Tuhan.
Di sisi lain, para penafsir yang lebih simpatik mengatakan, ‘memangnya ada pilihan lain? coba pertimbangkan apa alternatifnya?’ Misalnya urusan Hegai, apa Ester harus bilang, “Pak Hegai, saya memang masih baru di sini, tapi saya harus katakan satu hal: makananmu itu najis; ini daftar makanan yang halal buat saya, jadi tolong saya diberi menu spesial setiap hari, terima kasih untuk pengertiannya”; apakah seperti itu?? Ketika saatnya tiba untuk one night with the king, yang karakternya kita tahu dari pasal 1, apakah Ester harusnya mengatakan, “Baginda yang mulia, engkau sudah memberikan segala macam baju, perhiasan, tempat tinggal, beauty treatment setahun, tapi saya hanya boleh dilihat telanjang oleh suami saya; dan dalam agama saya, saya tidak boleh berhubungan seks sebelum menikah” ?? Atau, katakanlah Hegai setuju dengan dua hal ini, lalu ketika raja sungguh-sungguh jatuh cinta pada Ester dan mau Ester menjadi ratu, apakah Ester harus mengatakan, “Raja, saya ini orang Yahudi; dalam budaya kami, kami tidak diperbolehkan menikah dengan orang kafir yang tidak bersunat, apalagi kamu menyembah ilah-ilah palsu; dan sudah banyak kitab-kitab yang membahas bagaimana Tuhan menghukum Israel karena kawin campur” ?? Jadi Saudara lihat dalam kelompok penafsir yang kedua ini, mereka mengatakan ‘realitanya memang begitu, mau bagaimana; ini tidak bisa dibilang kompromi, karena memang tidak ada pilihan’.
Lalu kembali ke kelompok penafsir yang pertama, mereka akan berespons begini: “Bandingkan dengan kisah Daniel; kisah Daniel juga mengenai umat Tuhan di pembuangan, tapi beda sekali, lho. Daniel di Babel karena terpaksa, sedangkan Mordekhai karena pilihannya sendiri. Juga bandingkan dengan Daniel 1, apa yang terjadi di sana.” Daniel 1:8-9 ‘Daniel berketetapan untuk tidak menajiskan dirinya dengan santapan raja dan dengan anggur yang biasa diminum raja; dimintanyalah kepada pemimpin pegawai istana itu, supaya ia tak usah menajiskan dirinya. Maka Allah mengaruniakan kepada Daniel kasih dan sayang dari pemimpin pegawai istana itu.’ Daniel ini juga mendapat kasih sayang dan perkenanan dari orang-orang istana, tapi dia tidak mengambil itu dengan tangannya sendiri; sangat jelas dalam teks-nya bahwa hal ini adalah hasil anugerah Allah bagi dirinya. Daniel ini hidup di ambang batas; dia hidup dalam keadaan sedemikian rupa sehingga jika Allah tidak muncul, dia akan hancur. Daniel dan 3 kawannya ini menaruh Allah di tempat utama, dan rela menerima segala akibatnya; kalimat yang terkenal dari Sadrakh, Mesakh, dan Abednego: “Jika Allah kami yang kami puja sanggup melepaskan kami, maka Ia akan melepaskan kami … tetapi seandainya tidak, … kami tidak akan memuja dewa tuanku, dan tidak akan menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu.” (Daniel 3: 17-18).
Jadi bagaimana? Perpsektif mana yang benar? Apakah kita harus jadi seperti Daniel? Ataukah ok juga jadi seperti Mordekhai dan Ester? Di sinilah kita perlu mengenal Alkitab, dan tidak bisa mengandalkan teologi sistematika (systematic theology) –kita tidak bisa mengandalkan doktrin. Gereja Reformed kembali ke Alkitab, bukan kembali ke teologi sistematika; dan teologi sistematika bukan Alkitab. Tentu saja teologi sistematika ada tempatnya dalam kerohanian kita, tapi pendekatan teologi sistematika secara umum senantiasa berusaha mencari satu kesimpulan dari berbagai topik. Dan kalau Saudara mengenal Alkitab, Alkitab itu seperti sengaja menghindari uniformitas seperti itu. Contoh yang paling terkenal, di dalam Alkitab ada kitab Amsal yang bicara mengenai realita secara umum, “kalau kamu hidup baik-baik, maka hidupmu akan baik”; di sisi lain ada suara dari kitab Ayub yang sepertinya berlawanan, bahwa ternyata tidak semua penderitaan merupakan hasil dari dosa, kita tidak selalu bisa tahu penyebab dari penderitaan kita. Pertimbangkan juga hal yang lain lagi; kita punya 4 Injil, bukan cuma satu. Dalam tiga Injil sinoptik (Matius, Markus, Lukas), Yesus yang mengajar dengan perumpamaan, kalimatnya singkat padat, dan memakai kalimat yang gampang diingat, seperti “berbahagialah mereka yang miskin di hadapan Tuhan”; sedangkan dalam Injil Yohanes, Tuhan Yesus tidak pernah memakai perumpamaan. Lalu kalau di sini Saudara tanya ‘yang mana yang betul-betul Yesus’ itu artinya pendekatan teologi sistematika –atau setidaknya, itu pendekatan teologi sistematika yang kebablasan. Pada kenyataannya, realita tidaklah sederhana, hidup ini kompleks. Bagaimana bos Saudara mengenal diri Saudara, tentu berbeda dengan bagaimana istri mengenal Saudara; lalu apakah kita bisa bertanya ‘yang mana yang benar-benar kamu’? Tentu saja dua-duanya, karena manusia itu kompleks, hidup itu kompleks, realita itu kompleks.
Saya melihat keberagaman suara di dalam Akitab bukan sebagai kontradiksi, tapi justru sebagai kelimpahan, sebagai bukti bahwa Firman Tuhan peka dengan kompleksitas dunia. Itulah sebabnya ada suara-suara yang berbeda di dalam Alkitab. Justru saya akan curiga apakah Alkitab betul Firman Tuhan seandainya Alkitab hanya satu suara dari depan sampai belakang, “pokoknya gini!” –tapi banyak orang Kristen maunya Alkitab yang seperti itu. Keindahan dari Alkitab adalah justru ketika di dalamnya Saudara menemukan bukan cuma penyanyi solo, tapi juga suara sopran, bass, tenor, alto. Adakalanya mereka bergerak ke arah yang berlawanan, tapi di dalam musik itu tidak berarti bertabrakan. Contohnya lagu “Suci, suci, suci”, melodinya bisa naik sementara iringannya bisa turun; jadi suaranya berlawanan tapi juga tidak bertabrakan, bahkan justru harmonis dan limpah. Hal yang sama juga bisa terjadi di sini; dalam Alkitab ada kisah Daniel, tapi juga ada kisah Ester. Keduanya sama-sama menceritakan kehidupan umat Tuhan dalam pembuangan di negeri asing, tapi lewat pendekatan yang sangat berbeda, dan juga yang satu pria dan satunya lagi wanita; meski demikian, keduanya sama-sama suara dari Alkitab. Kita sebagai orang-orang yang kembali ke Alkitab, tidak perlu membuat kedua hal ini jadi kompetisi. Kita tidak harus membaca Ester dari perspektifnya Daniel, menghakimi Ester dari kacamata Daniel; ataupun sebaliknya, menghakimi Daniel dari perspektifnya Ester, ‘Daniel itu orang sok suci’, dsb.
Sampai di sini, mungkin Saudara bertanya, ‘jadi Ester itu kompromi atau tidak?’ atau Saudara mengatakan, ‘OK, Ester dan Daniel itu suara-suara yang berbeda, satunya sopran, satunya bass, tapi bagi kami terdengar tabrakan, tidak terdengar harmonis, yang kami dengar antara Ester yang fals atau Daniel yang fals’. Saudara, kalau kita mau lebih mengerti hal ini, caranya dengan kembali ke Alkitab, ke bagian yang lain. Di dalam paduan suara, kalau Saudara latihan sendiri-sendiri, itu tidak masuk akal; tapi kalau semuanya latihan bersama, baru kedengaran harmoninya. Kita akan melihat ini dari kisah Naaman dan Gehazi.
Naaman adalah seorang panglima Asyur, yang menyembah dewa Asyur, yaitu Rimon. Satu ketika Naaman ini kena kusta; dan lewat hal ini dia menemukan satu realita baru, bahwa Dewa Rimon memang terpajang patungnya dengan megah di kuil Rimon, tapi untuk urusan kusta, dewa ini tidak berguna. Celakanya, Naaman menemukan bahwa musuh Asyur, yaitu Israel, menyembah “dewa” yang berkuasa meskipun tidak ada patungnya. Lewat pertemuannya dengan Elisa, Naaman menemukan bahwa Allah yang inilah, yang telah menyentuhnya. Itu sebabnya Naaman kembali ke Elisa dan mendeklarasikan, “Sekarang aku tahu, di seluruh bumi tidak ada allah kecuali di Israel” (2 Raja-raja 5:15). Ia kemudian menawarkan hadiah kepada Elisa, yang kemudian ditolak. Di bagian ini, dia mengatakan kepada Elisa, dua hal yang sangat relevan dengan pembahasan kita hari ini, yaitu mengenai apa yang akan dia lakukan ketika ia kembali ke Asyur setelah dia bertemu dengan Allah Yahweh ini.
Yang pertama, Naaman, yang masih terbawa dengan konsep dewa teritorial (setiap daerah ada dewanya masing-masing), menemukan bahwa Allah daerah Israel ternyata berkuasa sekali, sehingga ia kemudian minta tanah dari situ sebanyak yang bisa dibawa 2 keledai, supaya di negaranya nanti dia tetap bisa menyembah Allah ini di atas tanahnya “dewa” itu sendiri. Ini menunjukkan bahwa Naaman, meskipun sudah mengeluarkan kalimat yang mengakui di seluruh bumi tidak ada allah kecuali di Israel, dia masih belum sadar apa sebenarnya implikasinya; dia belum sadar itu berarti Allah ini sama eksisnya di Asyur sebagaimana di Israel. Bagaimanapun juga, Saudara melihat ini secara positif; Naaman ini bayi rohani yang sedang mengambil langkah pertamanya. Kalau Saudara melihat bayi Saudara itu langkah pertamanya seok, Saudara tentu tidak akan mengatakan, “Bego amat, sih, bayi”; Saudara justru bahagia sekali melihat langkah pertamanya –yang seok itu. Saudara melihatnya dengan amat sangat positif; istilah populernya: gelas Naaman ini setengah terisi, bukan setengah kosong.
Yang kedua, yang lebih penting dan lebih mengena dalam pembahasan kita hari ini, adalah ketika Naaman mengatakan kepada Elisa demikian: ‘Elisa, nanti setelah aku pulang, tentu rajaku mengharapkan aku seperti biasanya masuk ke kuil Rimon bersama dia; karena rajaku itu sudah tua, dia bersandar di tanganku, sehingga kalau dia sujud menyembah, aku juga harus ikut sujud menyembah. Aku tahu ini salah, tapi tidak ada pilihan lain’. Inilah realita kehidupan Naaman: tertangkap di tengah-tengah realita baru mengenai Allah yang berkuasa, yang peduli dengan dirinya, yang menyentuh hidupnya, versus realita lama yang dipenuhi berhala-berhala tidak berguna. Apa solusinya?
Saudara, inilah realita yang dihadapi setiap orang Kristen yang mau diperbaharui dalam iman. Tidak ada orang Kristen yang lahir baru lalu tiba-tiba segala sesuatunya sudah oke. Ketika hati kita diperbaharui, hidup kita yang lama akan kita lihat ulang dalam perspektif yang baru. Dan ini membuat kita melihat, dulu kita hidup bagi uang, bagi kuasa, bagi pengakuan orang lain, tapi ternyata Yesus tidak bisa dibandingkan dengan semua itu, realita Yesus masuk ke dalam hidup kita. Sekarang kita melihat lewat kacamata Yesus, bahwa semua yang lain itu –uang, kuasa, pengakuan—jadi redup. Tapi apa kelanjutannya? Apakah hidup Saudara lalu entah bagaimana bisa terlepas dari uang, dari kuasa, dari pengakuan orang lain? Tentu tidak. Realita yang baru ini tidak menendang keluar realita yang lama. Semua orang yang telah sungguh-sungguh bertemu Yesus yang sejati dan mau mengikut Dia, pasti akan bergumul dalam hal ini. Ini tidak terhindari. Jadi pertanyaannya, apakah Naaman ini orang yang kompromi, karena bukankah orang Kristen yang sungguh-sungguh bertobat harusnya siap mengatakan ‘peduli setan dengan Rimon, peduli setan dengan raja Asyur, aku mau menyembah Allah Israel saja, dan yang mau protes silakan antri’ ?? Apakah harusnya Naaman siap jadi seperti Daniel, yang di tengah-tengah ancaman untuk tidak berdoa kepada TUHAN, malah tetap membuka jendelanya setiap hari ke arah Yerusalem untuk berdoa, yang tidak takut akan ancaman gua singa?? Jawabannya, mungkin memang benar idealnya seperti itu. Tetapi perlu waktu untuk belajar menjadi seperti Daniel. Kita perlu memulai di satu titik, dan mungkin langkah pertama kita itu seok. Mungkin langkah pertamanya justru adalah mengenali dan menyadari situasi kita yang kompleks ini, minta pengampunan dalam tempat-tempat kita berkompromi, dan maju selangkah demi selangkah dari situ. Dan, ini adalah gelas yang setengah penuh, bukan setengah kosong.
Di sini saya justru argue, bahwa langkah pertama yang krusial adalah mengenali dan mengakui bahwa kita memang terlibat berbagai kompromi dalam hidup ini, koq. Ini memang sulit. Di satu sisi kita melihat ada orang-orang Kristen yang nyantai di dalam dunia ini, seakan-akan tidak ada yang mereka perlu buang; dan kita merasa ini orang Kristen yang hatinya bengkok. Tapi jangan Saudara jatuh ke ekstrim lainnya, berpikir bahwa menjadi orang Kristen berarti sempurna, berpikir bahwa adalah sesuatu yang mungkin, untuk hari ini dan sekarang kita bisa langsung menghidupi hidup yang murni tanpa terlibat sama sekali dengan realita-realita yang lama. Kalau kita berpikir demikian, itu bukanlah berhati lurus, melainkan justru mungkin kebengkokan hati yang lain.
Tanda orang yang berhati lurus, setidaknya langkah pertamanya adalah justru mengenali bahwa kita memang secara rutin “berlutut menyembah di kuil Rimon” dalam hidup kita sehari-hari. Sebagai langkah pertama, ini langkah yang sangat positif. Tentu saja jangan cuma bertahan di situ, tentu saja kita perlu maju, tapi bagaimanapun inilah langkah pertamanya. Mungkin kita tidak pernah maju justru karena langkah pertama ini kita tidak pernah ambil. Jelas bahwa langkah pertamanya sudah pasti bukan nyaman dalam kompromi; tapi langkah pertamanya juga bukan bermimpi bahwa menjadi orang Kristen berarti kita somehow bisa langsung, hari ini juga, hidup tanpa kompromi sama sekali. Langkah pertamanya mungkin seperti Naaman, mengatakan, “Kiranya Tuhan mengampuni hambamu dalam hal ini”. Saudara lihat apa kabar baiknya? Allah benar-benar mengampuni. Elisa bukan mengatakan kepada Naaman, “kamu sapi bermuka dua, lidah bercabang”; Elisa mengatakan, “pergilah dengan selamat –go in peace”. Ini Firman Tuhan. Inilah firman Tuhan bagi mereka yang memulai langkah mereka mengikut Yesus dan ingin maju. Inilah firman Tuhan bagi mereka yang gelasnya setengah penuh. Inilah sebabnya kita senantiasa berdoa “ampunilah kesalahan kami seperti kami mengampuni kesalahan orang lain”. Yesus memasukkan klausa ini dalam mengajar murid-murid-Nya berdoa, apakah karena Dia tidak menyangka kita akan berdosa lagi, karena Dia menyangka kita akan tidak pernah kompromi lagi dalam hidup kita? Tentu saja tidak.
Meski demikian, dalam kisah Naaman ini kita melihat orang kedua yang dihadirkan sebagai kontras, yaitu Gehazi. Inilah orang yang menyertai Elisa ke mana-mana, melihat berkali-kali Elisa memanggil Allah Alkitab dan melihat Allah menjawab. Seandainya Gehazi ada di zaman ini, kita tidak menemukan dia di tengah-tengah orang kafir, kita akan menemukan dia sedang melayani di gereja. Tetapi kedekatannya dengan Elisa tidak membuat dia berhati lurus; dia berhati bengkok. Dia mendustai Naaman, dan juga mendustai Elisa. Gehazi berkompromi; tapi komprominya beda sekali dari komprominya Naaman –“gelasnya Gehazi setengah kosong”. Hukumannya, penyakit Naaman dialihkan kepadanya.
Cerita mengenai Gehazi ini menunjukkan kepada kita, bahwa cerita Naaman bukan berarti Allah tidak peduli sama sekali dengan kompromi. Yang paling Allah pedulikan bukanlah langkah Saudara hari ini di mana, yang paling Allah pedulikan adalah langkah berikutnya ke mana, Saudara sedang melangkah ke atas atau sedang melangkah ke bawah. Elisa mengatakan kepada Naaman “pergilah dalam damai” karena Elisa mengenali Naaman sedang dengan begitu ingin berjalan menuju terang. Sementara terhadap Gehazi, Elisa mengutuk karena dia melihat Gehazi sedang sangat ingin berjalan menuju kegelapan.
Kembali ke cerita Ester. Mungkin poin dari kisah Ester bukanlah untuk kita menghakimi Ester ini kompromi atau tidak; mungkin poinnya adalah supaya kita yang hari ini membaca kitab Ester, bisa mengambil langkah pertama tadi, mengambil langkah yang seok itu, tetapi juga langkah yang positif, yaitu mengenali seberapa hidup kita penuh dengan kompromi. Membaca kisah ini, apa yang Saudara pikirkan? Jangan cuma berpikir mengenai Ester, kita perlu melihat diri kita sendiri. Seberapa banyak kita berkompromi meski hidup kita tidak pernah terancam? Seberapa penderitaan kecil yang kita alami tapi kita memilih hidup seperti Ester? Seberapa dalam hidup ini kita membuat rencana-rencana yang tidak pernah melibatkan Tuhan? Rencana-rencana yang kita tahu pasti akan berhasil, entah Tuhan muncul atau tidak. Mungkin itulah poinnya belajar kitab Ester. Lalu kita bisa mengatakan dari hati kita sesungguh-sungguhnya, “kiranya Tuhan mengampuni hamba-Mu dalam hal ini”.
Saudara lihat, ini bukanlah ekstrim kiri atau ekstrim kanan. Ini bukan soal tidak peduli dengan kompromi, dan juga bukan berpikir kita bisa hidup tanpa berkompromi. Bukan keduanya. Ini adalah kabar baik. Kabar baiknya adalah bahwa kisah Ester ini dinamakan dengan nama “Ester”. Meskipun Ester berkompromi, Tuhan tidak menyerah. Tuhan mengejar dia dan memakai dia untuk menyelamatkan umat-Nya. Inilah cerita yang Saudara temukan lagi dan lagi dalam Alkitab. Allah menggunakan orang-orang yang berdosa, orang-orang yang gagal, orang-orang yang berkompromi. Dan, menggunakan mereka untuk kemuliaan-Nya. Inilah kisah Abraham yang berbohong untuk melindungi dirinya sendiri, kisah Musa yang membunuh orang Mesir, kisah Daud yang meniduri istri orang, kisah Petrus yang menyangkal Yesus lagi dan lagi dan lagi, kisah Paulus yang menganiaya Gereja. Tidak usah kaget bahwa Ester bukan pahlawan iman yang seperti kita pikir, karena kita juga memang tidak usah kaget bahwa kita tidak sebaik apa yang kita pikir. Itu baru namanya bergantung pada Tuhan, Tuhan yang tidak berkompromi, Tuhan yang memberikan segala-galanya di atas kayu salib.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading