Ini adalah bagian terakhir dalam Seri Kotbah Ester. Di bagian ini Ester kembali muncul; dan ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan.
Satu hal kecil yang bisa kita perhatikan di sini, Ester diperkenalkan sebagai “Sang Ratu, anak Abihail”; Ester adalah sang ratu Persia, tapi juga anak Abihail, orang Yahudi, nama paman dari Mordekhai. Kita ingat di awal, waktu Ester diperkenalkan pertama kali, dia diperkenalkan dengan dua nama, seperti seorang gadis yang ditarik-tarik oleh dua dunia yang saling bersitegang; tapi di bagian akhir ini, kedua dunia tersebut seperti terintegrasi secara damai di dalam diri Ester, Sang Ratu, anak Abihail.
Hal kedua yang bisa kita perhatikan, yaitu apa yang dilakukan oleh Sang Ratu ini. Dikatakan, dia bersama dengan Mordekhai menulis sebuah surat yang meneguhkan perayaan Hari Raya Purim. Bahkan dikatakan, dengan segala ketegasan dia menuliskan surat tersebut; yang sebenarnya lebih baik diterjemahkan “with full authority”, dengan segala kuasa dan wewenang/otoritas –bukan sekedar ketegasan. Dari pernyataan ini, ada beberapa yang bisa kita jabarkan.
Yang pertama, kita melihat dalam kitab ini ada penekanan dalam hal tulisan; ada beberapa catatan dalam kitab ini, yang menyatakan bobot dari suatu pernyataan ketika hal tersebut bukan sekedar diucapkan tapi ditulis. Untuk sesuatu jadi berdampak dan kekal, hal tersebut perlu dituliskan. UU Persia, sekali dituliskan, maka tidak bisa dicabut lagi. Kitab ini juga secara umum mengingat janji Tuhan kepada Musa mengenai Amalek, yang disuruh untuk dituliskan/dicatat, dengan demikian ada sifat kekekalannya, beratus-ratus tahun kemudian pun janji tersebut tetap bertahan, lalu akhirnya digenapi. Di bagian ini, kita melihat Ester menuliskan dengan kuasa dan wewenang; inilah yang menjadi dasar Hari Raya Purim terus-menerus dirayakan, sampai hari ini. Jadi, ada koneksi antara apa yang dituliskan dengan sifat kekekalannya, yang terus-menerus berlangsung; meskipun UU Media-Persia hari ini sudah berlalu, Purim masih terus dirayakan. Adolf Hitler dan Nazi sudah berusaha menghentikan ini, tapi Holocaust pun ternyata tidak sanggup untuk menghentikan Purim, yang masih terus dirayakan sampai hari ini.
Ada signifikansi menarik yang kita lihat di sini; di bagian sebelumnya, Mordekhai menulis surat-surat untuk merayakan Purim, lalu di bagian ini Ester juga melakukan hal yang sama. Ester, seorang wanita, juga menuliskan surat yang lain, surat kedua, yang kemudian bersama-sama dengan suratnya Mordekhai menjadi dasar perayaan Purim sepanjang masa; dan Ester menuliskannya dengan segala wewenang dan kuasa. Di ayat 29 ini, kata “dituliskannya” dalam bahasa Ibrani memakai bentuk feminin, jadi ini merujuk pada Ester, yang menulis surat, mengkonfirmasi dan mem-final-kan Purim.
Ayat 32 juga menekankan kembali hal ini; “Demikianlah perintah Ester, menetapkan perihal Purim itu, kemudian dituliskan dalam kitab.” Ada perintah Ester di sini. Istilah ‘perintah’, dalam bahasa Ibraninya adalah istilah yang sudah digunakan berkali-kali dalam kitab ini; misalnya di pasal 1, ketika Raja Ahasyweros bertitah, di situ dipakai istilah yang sama. Ini berarti di mata sang penulis, waktu Ester memerintahkan, itu adalah satu perintah dengan kategori dan wewenang/otoritas yang sama dengan titah Raja Ahasyweros; dan ini perintah dari seorang wanita, di dalam Alkitab. Dengan demikian, signifikansi Ester dalam kitab ini bukan cuma dia berperan sebagai alat Tuhan untuk menyelamatkan bangsa Israel, mengintervensi UU Haman, masuk ke hadirat Raja, siap mati, dsb., tapi juga sebagaimana kita lihat di bagian terakhir kitab ini, yang khusus mencatat sebagai sesuatu yang signifikan, yaitu wewenang yang Ester miliki; wewenang Ester, yang adalah seorang wanita, dalam dia menulis, menetapkan sesuatu, yang terus-menerus dirayakan sampai hari ini.
Jangan lupa, di bagian awal pasal 8, yang mengangkat Mordekhai sebagai kuasa atas harta benda Haman, adalah Ester. Di pasal 9 pertengahan, Mordekhai menulis surat untuk menetapkan Purim, tapi tulisan tangan yang mengkonfirmasi tulisan Mordekhai tadi, juga adalah Ester. Ini sesuatu yang signifikan, karena ketika kita melihat kisah-kisah di Alkitab, kita sering menangkap bahwa kalau ada suatu peran wanita yang agung, yang diangkat oleh Alkitab, signifikansi mereka terletak pada aspek keibuan, dalam peran mereka sebagai seorang ibu, seperti misalnya Sara, Hana; tetapi dalam kitab ini, signifikansi Ester bagi umat Allah sama sekali bukan urusan motherhood-nya, melainkan sebagai seorang ratu, seorang yang mempunyai wewenang. Bukan maksudnya kita mau meng-adu antara Mordekhai dan Ester, tapi di sini jelas ada intensi dari penulis Kitab Ester yang mau memperlihatkan atau membuka mata kita mengenai suatu relasi antara pria dan wanita di Alkitab, yang lain dari biasanya, yang tidak selalu harus dikunci dalam ordo pernikahan.
Kalau Saudara mau menentukan siapa sebenarnya tokoh utama dalam kitab Ester ini, apakah Ester atau Mordekhai, mungkin terasa sulit. Sulit untuk melihat bahwa yang satu lebih di atas dari yang lain; yang Saudara lihat di sini bukan gambaran kompetisi antara Ester dan Mordekhai, melainkan bahwa Ester dan Mordekhai, Mordekhai dan Ester, pria dan wanita, sama-sama bahu membahu. Kita tahu, Mordekhai mendapat peran yang sangat menentukan, karena dialah yang mengetahui rencana pembunuhan atas Raja Ahasyweros, yang belakangan menjadi turning point, Haman yang ingin dihormati malah akhirnya disuruh menghormati Mordekhai, dst. Di sisi lain, penulis juga mengatakan bahwa Mordekhai memberitahukan rencana ini kepada Ester, sehingga Ester kemudian menyampaikannya kepada Raja Ahasyweros; seandainya bukan Ester ratunya, mungkin Mordekhai bukan cuma telat dikasih hadiah, tapi bahkan namanya pun tidak dicatat. Mordekhai menggagalkan rencana Raja Ahasyweros demi menyelamatkan nyawa bangsanya, tapi Ester juga bukan sekedar menurut begitu saja. Ester membuat rencana, membuat strategi yang jitu, yang pada akhirnya memaksa sebuah konfrontasi antara Raja Ahasyweros dengan Haman, yang sebelumnya berteman baik. Di pasal 9 kita juga ada urusan bahu-membahu ini; dirayakannya Purim juga melalui wewenang dari keduanya, bukan cuma salah satu; ada peran Mordekhai sebagai penulis surat yang pertama, lalu ada wewenang Ester sebagai Sang Ratu, untuk mengkonfirmasi Purim lewat surat yang kedua.
Di sini kita melihat, sementara dalam kitab-kitab Taurat, Tuhan berfirman kepada Musa supaya Musa mencatat, supaya janji Tuhan diingat terus-menerus dan ditetapkan sepanjang zaman, maka di dalam Kitab Ester seakan-akan otoritas Musa atau yang meneruskan peran Musa adalah tulisan tangan dua orang ini, Ester dan Mordekhai, pria dan wanita, bersama-sama. Tulisan tangan mereka berdualah yang menetapkan Purim menjadi sesuatu yang diingat terus sepanjang zaman. Peran Musa sebagai pemimpin umat Allah, dalam Kitab Ester seakan-akan diambil/diteruskan bukan oleh seorang pria saja, atau seorang wanita saja, tapi oleh Ester dan Mordekhai bahu-membahu. Ini suatu gambaran relasi pria-wanita yang berbeda dari relasi yang kita temukan dalam pernikahan. Di sini bukan gambaran seperti seorang wanita mengikut suami, tapi gambaran yang menunjukkan pria dan wanita bahu-membahu, ada power sharing di antara mereka. Di pasal 4, Mordekhai menyuruh Ester menghadap Raja Ahasyweros, Mordekhai seperti ada semacam otoritas, lagipula Mordekhai memang lebih tua. Tapi perhatikan, waktu Ester akhirnya setuju, Ester memberi instruksi balik kepada Mordekhai untuk mengumpulkan semua orang Yahudi dan berpuasa bagi dirinya, dst.
Kita juga melihat peran pria dan wanita yang disandingkan bersama-sama, ketika kita menghitung jumlah penyebutan nama mereka dalam teks Ibraninya. Ester disebutkan 55 kali, Mordekhai 52 kali –hampir sama. Jadi, ada satu hal yang kita bisa tarik di sini, suatu gambaran bahwa Ester dan Mordekhai –bukan cuma salah satu, bukan yang satu lebih dari yang lain– yang dua-duanya sama pentingnya, sama bobotnya, sama signifikansinya, yaitu sebagai alat di tangan Tuhan yang dipakai untuk memenuhi janji Tuhan bagi umat Tuhan, di Persia.
Ester bukan pemimpin agama bagi orang Yahudi, karena memang wanita tidak bisa jadi pemimpin agama Yahudi; tapi Mordekhai pun tidak menyandang sataus pemimpin agama. Mordekhai juga bukan nabi, bukan imam, dan bukan raja. Ester dan Mordekhai ini punya posisi yang agak lucu: Ester seorang Yahudi, dan seorang ratu, jadi secara praktis bisa dibilang Ester ini ratu bagi orang Yahudi; Mordekhai mengenakan cincin wewenang raja Persia, ini secara praktis menjadikan Mordekhai juga sebagai raja atas orang Yahudi. Dengan demikian, baik Mordekhai maupun Ester, sama-sama berfungsi seperti keluarga kerajaan bagi orang Yahudi di Persia, di pembuangan. Mereka sama-sama mengerjakan fungsi monarki Israel yang dulu itu. Mereka sama-sama memimpin perang suci. Mereka sama-sama menjaga keberlangsungan umat Allah. Mereka juga sama-sama memegang wewenang atas acara-acara religius umat Allah tersebut. Poinnya, bukan hanya salah satu dari mereka, yang berperan seperti ini; hanya ketika mereka bertindak secara bersama-sama, bahu-membahu, maka akhirnya mereka berhasil memimpin umat Allah melalui hari kematian. Mereka berdua juga sebenarnya sama-sama tidak mengejar posisi ini, bahkan bisa dikatakan mereka juga sama-sama tidak ada kualifikasi untuk menjalankan peran ini. Mereka berdua sama-sama menjalankan peran ini karena situasi-situasi hidup –yang di luar kontrol mereka– yang memaksa mereka untuk maju; dan partnership mereka berdua inilah yang menjadi alat Tuhan untuk menggenapi janji-Nya. Lewat mereka berdualah, garis keturunan Yahudi dipertahankan, yang di kemudian hari dipakai Tuhan masuk di dalam sejarah sebagai Mesias. Inilah yang kita bisa gali dari teks kitab Ester hari ini.
Sekarang kita masuk ke implikasinya bagi kita. Ada 2 hal besar yang saya ingin bicarakan. Yang pertama, kita akan menyoroti secara lebih spesifik mengenai implikasi semua ini terhadap peran wanita di gereja. Yang kedua, implikasi yang lebih umum, yaitu implikasi semua ini terhadap peran kaum awam di gereja, baik pria maupun wanita.
Yang pertama, peran wanita di gereja. Dalam kitab ini, Saudara menemukan bahwa di Alkitab ternyata ada gambaran relasi pria-wanita yang tidak terkunci dalam urusan ordo suami-istri, melainkan suatu gambaran relasi partnership, yang bahu-membahu mengerjakan kehendak Tuhan. Ini penting untuk kita tekankan, karena hari ini sebagai Gereja, mungkin sudah terlalu menekankan urusan pernikahan dan ordo dalam keluarga. Ini memang satu ordo yang penting, eksis, riil, dan krusial bagi Gereja maupun masyarakat. Saya tidak menyangkal adanya ordo seperti itu dalam pernikahan, tapi kita perlu melihat bahwa ternyata di dalam Alkitab, model relasi pernikahan itu bukan satu-satunya model relasi pria-wanita di dalam umat Allah. Pernikahan bukan satu-satunya struktur, tempat pria dan wanita bisa memuliakan Allah.
Sama seperti laki-laki Kristen tidak cuma berperan sebagai suami tok, atau ayah tok; demikian pula wanita Kristen bukan cuma peran sebagai istri tok atau ibu tok, di dalam lingkaran Kerajaan Allah. Keduanya bisa punya panggilan dan talenta, yang bisa lebih besar dari ruang lingkup keluarga. Dalam kalimat Tuhan Yesus dalam Lukas 18, setidaknya ada petunjuk akan hal ini; ‘Kata Yesus kepada mereka: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya setiap orang yang karena Kerajaan Allah meninggalkan rumahnya, isterinya atau saudaranya, orangtuanya atau anak-anaknya, akan menerima kembali lipat ganda pada masa ini juga, dan pada zaman yang akan datang ia akan menerima hidup yang kekal”’ (ayat 29-30). Pembacaan sederhana akan kalimat Tuhan Yesus ini, menunjukkan bahwa di dalam Kerajaan Allah, seseorang tidak cuma berfungsi di dalam lingkaran keluarga. Panggilan dalam Kerajaan Allah bisa melampaui lingkaran keluarga; jika tidak, Tuhan Yesus akan mengatakan seperti ini: ‘Gak ada pembicaraan Kerajaan Allah di luar keluarga, ‘gak ada pembicaraan Kerajaan Allah yang lalu meninggalkan anak, istri, dan keluarga; pokoknya Kerajaan Allah hanya di dalam lingkaran keluarga, pokoknya lihat keluarga sebagai yang terutama’ –Tuhan Yesus tidak bicara seperti itu.
Tuhan Yesus mengatakan, barangsiapa yang karena Kerajaan Allah, meninggalkan rumahnya, istrinya atau saudaranya, orangtuanya atau anak-anaknya, akan menerima kembali lipat ganda pada masa ini juga. Kita bukan sedang mau membahas ayat ini, tapi intinya, bagian ini mengusulkan bahwa panggilan seseorang di dalam Kerajaan Allah, tidak cuma dikunci dalam hal tanggung jawab kita kepada keluarga kita, atau relasi kita dalam keluarga kita. Hidup dalam Kerajaan Allah bisa lebih daripada itu. Problemnya, hari ini kita melihat cowok-cowok yang oke saja bekerja dalam Kerajaan Allah, bahwa perannya tidak harus cuma sebagai suami atau ayah, tapi yang sangat disayangkan, waktu melihat wanita-wanita yang mengerjakan perannya sebagai warga Kerajaan Allah, seringkali kita melihatnya terkunci dalam urusan keluarga tok. Kitab Ester menyatakan tidak harus demikian.
Kita bersyukur, dalam masyarakat kita hari ini –meski tetap masih dalam perjalanan–status para wanita jauh lebih baik dibandingkan zaman dulu. Pria dan wanita dalam masyarakat kita bisa mendapatkan akses edukasi yang sama, dan bisa menempati posisi yang sama juga di dalam masyarakat; kita pernah memiliki presiden seorang wanita. Dan, memang Alkitab menyatakan bahwa yang diciptakan dalam gambar dan rupa Allah (image of God), memang pria dan wanita –kedua-duanya.
Mendengar seperti ini, biasanya kita langsung komentar, ‘iya benar, kalau di masyarakat dan edukasi memang begitu, sekarang pria dan wanita bisa dapat edukasi yang sama, wanita bisa jadi CEO juga seperti pria, tapi Gereja koq ketinggalan zaman? Gereja yang mengakui pria dan wanita sebagai gambar dan rupa Allah, yang sama, koq tidak mengizinkan wanita ditahbiskan jadi pendeta?’ Pertanyaannya yang diajukan selalu ke sana arahnya; dan memang lumrah juga orang berpikir soal pentahbisan tadi. Tapi kalau respons kita soal pentahbisan seperti demikian, itu justru negatif kalau dilihat dalam kacamata kitab Ester. Hari ini, kalau kita bicara soal peran wanita di gereja, urusannya selalu cuma soal jadi ibu atau jadi hamba Tuhan –cuma dua itu; tapi Ester tidak dua-duanya. Tidak ada gunanya kalau ketika membicarakan peran wanita di gereja, kita selalu cuma memfokuskan soal pentahbisan; memangnya dari seluruh umat Tuhan ada berapa persen orang yang ditahbis, baik pria maupun wanita?? Sedikit sekali. Kalau kita selalu cuma memfokuskan soal pentahbisan dalam hal peran wanita di gereja, maka kita missing the point, karena toh sedikit sekali yang ditahbis, kebanyakan orang di gereja tidak ditahbis, sehingga pembicaraan itu tidak relevan. Bahkan sayang sekali kalau urusan pentahbisan wanita sebagai pendeta, dijadikan semacam litmus test bagi ortodoksi iman seseorang –‘lu lewat garis ini, lu bukan salah satu lagi dari kita, lu sudah nyebrang’; padahal, benarkah hal itu harus jadi litmus test ortodoksi kita??
Ini bukan cuma problem bagi orang-orang yang ngotot harus tahbiskan wanita, tapi huga problem bagi orang-orang yang ngotot bahwa wanita tidak boleh ditahbis. Dua-duanya seperti bersebrangan, tapi kalau Saudara lihat diskusi mereka, Saudara akan mendapat kesan yang bertabrakan dengan Kitab Ester, karena ujungnya berarti peran wanita cuma keibuan atau ditahbis jadi pendeta, titik. Memangnya tidak ada panggilan lain bagi wanita di gereja?? Kitab Ester menjadi semacam dasar untuk kita tidak membicarakan peran yang itu-itu lagi bagi para wanita di gereja, yang bahkan seringkali pembicaraannya secara negatif, yaitu mengenai apa yang wanita tidak boleh lakukan, dst. Kitab Ester harusnya menjadi semacam dasar untuk Gereja membicarakan peran wanita secara positif, atau lebih tepatnya secara konstruktif, mengenai apa yang seorang wanita bisa lakukan dalam Kerajaan Allah, yang bukan melulu cuma urusan panggilan sebagai ibu atau hamba Tuhan.
Mungkin juga, secara tidak sadar para wanita sendiri membatasi diri, bahwa urusan wanita Kristen cuma mengenai jadi ibu yang baik atau jadi hamba Tuhan. Terkadang musuh dari para wanita, bukan cuma kaum patriakhal tapi bahkan para wanita itu sendiri. Saya pernah diskusi dengan Pendeta Jadi mengenai wanita-wanita yang sekolah tinggi, yang menghasilkan pemikiran-pemikiran bagus sekali, buku-buku yang luar biasa; dan betapa kami, para pria, sangat senang membaca tulisan-tulisan mereka ini, karena cara berpikirnya lain dari pria. Wanita bukan tidak bisa berpikir, wanita bukan tidak rasional, tapi waktu mereka berpikir, mereka berpikir secara berbeda, punya perspektif yang beda dari pria; dan itulah sebabnya waktu kami, para pria, membacanya, kami dapat banyak insight. Kami mendapat banyak jalur yang baru yang kami tidak terpikir, karena kami adalah para pria yang memang tidak kepikiran ke arah sana; dan ini bukan tulisan dalam arti ngalor-ngidul curhat sebagaimana biasa kita asosiasikan dengan wanita, melainkan tulisan para profesor wanita. Tapi yang menyedihkan, ketika kami share panggilan seperti ini kepada wanita-wanita di gereja, seringkali reaksinya, “Aduh, Pak, jangan tinggi-tinggilah, kami ini cuma ibu-ibu rumah tangga, ‘gak sanggup”. Saya bukan sedang menghina para ibu rumah tangga, tapi terkadang para wanita sendiri yang tidak mau melihat peran yang bisa melampaui peran mereka selama ini, dan mengunci diri di situ. Padahal, mungkin Tuhan menciptakan Saudari dengan kapasitas yang lebih dari itu, untuk berkontribusi dalam hal-hal yang melampaui apa yang selama ini Saudari lihat. Sayang sekali.
Untuk menjawab apa peran seorang wanita di luar ranah keibuan (motherhood) dan urusan pentahbisan, kita masuk ke implikasi yang kedua, yaitu tugas warga Gereja secara umum atau panggilan kaum awam, baik pria maupun wanita. Kisah Kitab Ester sangat meninggikan peran dan kepemimpinan kaum awam. Sama seperti kitab ini mengajak kita melihat peran wanita tidak terkunci cuma dalam laci-laci keluarga atau laci-laci pelayanan hamba Tuhan yang sempit itu, kitab ini juga mengajak kita melihat peran kepemimpinan kaum awam dalam gambaran yang jauh lebih luas, di dalam hidup umat Tuhan.
Baik Ester maupun Mordekhai tidak ditahbiskan. Mereka tidak memegang posisi keagamaan di tengah umat Allah, namun lewat merekalah –dan bukan lewat orang-orang yang disebut hamba Tuhan dalam zaman tersebut– Tuhan mengerjakan rencana-Nya bagi umat-Nya. Lewat wewenang merekalah, Purim dijalankan, dan masih bertahan sampai hari ini. Jabatan yang mereka pegang adalah jabatan sekuler; jabatan Ester adalah Ratu Persia, Mordekhai pejabat istana. Tapi, lewat jabatan sekuler ini Tuhan bekerja. Dengan kata lain, kisah Ester dan Mordekhai adalah sebuah model, yang bukan cuma tentang peran wanita di luar lingkaran motherhood atau tugas hamba Tuhan, tapi juga model tentang bagaimana kaum awam di gereja punya peran yang bahkan sangat esensial, dalam rencana keselamatan dari Tuhan.
Sekali lagi, ini sebabnya menurut saya tidak terlalu ada poinnya memfokuskan pembicaraan peran wanita dalam urusan pentahbisan. Kalaupun kita membatasi pentahbisan hanya kepada pria, memangnya kenapa, karena sebenarnya ada peran anggota awam yang jauh lebih luas, yang juga sangat berharga. Misalnya, Saudara meresponi kebijakan ‘tidak mentahbiskan wanita’ dengan tidak setuju, karena wanita harusnya bukan cuma di bawah tapi juga bisa di atas; ini berarti Saudara melihat posisi orang yang ditahbiskan sebagai posisi yang lebih tinggi, lebih suci, dibandingkan posisi kaum awam. Kitab Ester tidak seperti itu; justru tokoh utamanya, dua-duanya adalah orang-orang di dalam dunia sekuler. Kisah Ester dan Mordekhai menyajikan peran sekuler umat Allah dengan suatu nilai kekekalan, dengan suatu nilai kerohanian. Jadi, kalaupun pentahbisan dikhususkan hanya bagi para pria, tetap ada panggilan tubuh Kristus yang lebih besar bagi pria dan wanita, dan inilah yang sebenarnya lebih penting, lebih luas.
Kita harus memerangi kecenderungan yang tidak Alkitabiah, yang menekankan bahwa orang yang Kristennya lebih rohani atau lebih dewasa adalah orang yang memberi diri melayani full time di gereja. Itu bukan konsep Alkitab, dan jelas bukan konsep Reformasi. Saudara lihat Ester dan Mordekhai, justru lewat peran seorang ratu dan seorang pejabat istana inilah, nyawa orang Yahudi dipertahankan; dan dari sanalah lahir Mesias. Ada nilai kekal. Tetapi telinga kita hari ini masih terngiang-ngiang satu pemahaman palsu yang mengatakan “O, setiap orang Kristen harusnya mencapai semacam titik kedewasaan rohani, yang kemudian akan membawa mereka ke dalam pelayanan full time, entah jadi pendeta, gembala, misionaris, penginjil, pengajar, dsb.” Kalau Saudara melihat bagaimana Tuhan bekerja di Alkitab, ternyata lebih banyak orang-orang di Alkitab yang bekerja di area sekuler. Ester, Mordekhai, Daniel, Yusuf, semuanya bukan pengkhotbah, bukan misionaris, bahkan bukan pemimpin KTB. Dalam kisah kembalinya orang Yahudi dari pembuangan, mereka dipimpin oleh 3 tokoh; hanya satu di antaranya yang adalah imam, yaitu Ezra, sementara yang dua lagi adalah Zerubabel, seorang pionir, dan Nehemia, seorang administrator, pembangun kota.
Penekanan kedewasaan rohani sebagai sesuatu yang identik dengan panggilan full time, adalah pemikiran yang tidak Alkitabiah; lagipula secara praktika amat sangat seksis. Secara umum, kalau seorang pria mau jadi hamba Tuhan (golongan clergy), reaksi jemaat adalah menyemangati dan meng-afirmasi. Tapi kalau seorang wanita menyatakan ingin jadi hamba Tuhan, ingin berespons secara serius dengan panggilan full time, maka secara umum reaksi jemaat biasanya curiga, atau paling tidak kalimat “coba pikir lagi, nanti susah nikah, lho”.
Kembali ke pembahasan kita, mengapa Gereja seringkali tidak bisa melihat panggilan wanita di luar pentahbisan dan motherhood? Mengapa Gereja seringkali tidak bisa melihat peran wanita sebagai orang Kristen, warga Kerajaan Allah, melakukan pekerjaan-pekerjaan yang memuliakan Allah, di luar urusan keibuan dan di luar urusan pentahbisan jadi hamba Tuhan? Karena Gereja gagal menangkap bahwa panggilan-panggilan sekuler di dalam dunia ini pun, ada signifikansi rohaninya. Gereja seringkali gagal menyadari, bahwa ketika Tuhan memanggil pria –dan wanita– menjadi administrator, karyawan, artisan, dokter, pilot, penyapu jalan, koki, pemotong rambut, dan apapun lainnya, panggilan-panggilan ini memuliakan Tuhan sama seperti orang-orang yang dipanggil menjadi pelayan Tuhan full time.
Dalam hal ini, salah satu problemnya memang karena kita sangat terpengaruh istilah. Itu sebabnya saya ingin sekali menolak istilah “hamba Tuhan” bagi kaum clergy, karena kalau Saudara pakai istilah ini terus-menerus, tidak bisa terhindarkan Saudara akan berpikir bahwa di luar panggilan “hamba Tuhan” ini, seseorang bukanlah hamba Tuhan. Tidak bisa tidak, kita terpengaruh dengan bahasa. Istilah “full time” juga masalah, karena kita jadi berpikir di luar panggilan full time ini, seseorang hanya akan jadi orang Kristen “part time”. Istilah “awam” pun sedikit bermasalah, karena kesannya ada kaum yang profesional, yang bukan kaum awam. Paling cocok memang cukup menyebut “para pendeta dan vikaris”, karena ini “cuma” jabatan pekerjaan mereka; dan kadang-kadang mengatakan ‘it’s just a job’, juga positif dalam hal ini, karena memang sama-sama hamba Tuhan, sama-sama full time, dan bisa dibilang sama-sama awam, hanya saja peran pekerjaannya beda-beda. Ada yang dipanggil untuk mempelajari Alkitab dan membagikannya kepada orang lain; tapi bukan berarti yang di bawah itu, jadi kurang.
Terlebih lagi, waktu kita merenungkan keseluruhan kitab Ester, ada satu lagi warna, yang harusnya membuat runtuh tembok pemisah antara yang sakral dengan yang sekuler. Kitab Ester ini adalah kitab yang bersifat apokaliptik (apokaliptik bukan berarti bicara tentang akhir zaman tok, tapi berarti membuka atau menyibak tirai, memperlihatkan apa yang ada di belakang layar), dan yang kita lihat dalam kitab ini bukan satu atau dua mujizat besar yang di depan layar, yang semua orang bisa lihat. Di sini kita tidak melihat suatu tindakan tangan Tuhan yang menghantam bumi, atau sepuluh tulah yang jelas kelihatan di depan layar; yang kita lihat dalam kitab ini adalah perjalanan kumulatif dari rentetan kejadian-kejadian kecil, yang boleh dibilang semuanya alamiah, natural, sekuler.
Ester masuk ke harem raja karena dia cantik, itu wajar. Ester identitasnya disembunyikan karena Mordekhai cemas, itu juga wajar. Ester menang kontes kecantikan karena dia cukup bijak mendengarkan perkataan sida-sida raja, masuk akal juga. Demikian juga halnya dengan Mordekhai; Mordekhai tidak mau sujud kepada Haman, itu jelas saja karena Haman itu orang Agag, jadi di sini keturunan Saul versus keturunan Agag, musuh natural, bagaimana mungkin bisa akur dan mau sujud. Sangat bisa dimengerti. Ester mengulur-ulur waktu ketika bertemu Raja, itu karena Ester ada strategi. Raja tidak bisa tidur meski habis minum-minum, itu karena memang dari awal raja ini kerjanya minum-minum melulu, jadi kemungkinan besar alcohol tolerance-nya luar biasa tinggi. Lalu Raja cari buku sejarah ketika dia tidak bisa tidur, itu karena buku sejarah memang membosankan, jadi supaya bikin ngantuk.
Kita sudah membicarakan ini semua, bagaimana semua kejadian tersebut ada penjelasannya yang natural, yang alamiah, yang sekuler. Tetapi ketika Saudara mengumpulkan secara kumulatif semua hal-hal yang sekuler ini, koq, seperti pas banget, ya, semuanya. Itu sebabnya, Kitab Ester ini adalah kitab yang di dalamnya kita tidak menemukan suatu keajaiban luar biasa, kita menemukan bahwa yang biasa-biasa ini adalah sesuatu yang ajaib. Itulah kitab Ester.
Dalam kitab ini, Allah berinteraksi dengan sejarah secara begitu halus, di balik layar, sehingga apa yang ajaib di dalam kitab ini, adalah apa yang biasa, sekuler. Dengan demikian, Kitab Ester mengajak kita untuk bertanya, apakah ini sesuatu yang hanya terjadi pada zaman Ester saja? Atau kitab Ester ini sedang membuka mata kita terhadap apa yang sebenarnya terjadi di balik layar sepanjang sejarah, sepanjang masa, bahwa memang sebenarnya Allah bekerja seperti ini dari dulu sampai sekarang, dan sampai selama-lamanya, hanya saja kita yang senantiasa gagal melihat keajaiban di dalam hal yang biasa, melihat yang sakral di dalam hal yang sekuler?
Mungkin, kitalah yang cenderung memisahkan apa yang ajaib dengan apa yang biasa. Itu pemisahannya kita, kacamata yang kita pakai, tapi realita yang sesungguhnya, yang disibak oleh kitab Ester adalah: tidak ada pemisahan itu. Satu contoh sederhana, kalau ada orang besar yang dipakai Tuhan mendobrak zaman, kita mengatakan “ini ajaib, ini tangan Tuhan”; tapi Saudara perhatikan, orang besar itu terlahir dari peristiwa yang biasa. Waktu kedua orangtuanya bertemu pertama kali, itu peristiwa biasa; namun lihatlah, peristiwa yang biasa ini ternyata cikal bakal lahirnya seorang yang besar. Pertanyaannya, memangnya Tuhan tidak bertakhta dalam peristiwa pertemuan pertama kedua orangtuanya ini? Mungkin Saudara tidak terlalu ingat juga pertemuan yang pertama kali dengan pasangan Saudara, karena bisa jadi Saudara juga tertarik pada dia bukan sejak awal tapi belakangan. Relasi saya dengan istri saya, yang begitu spesial, bermula dari peristiwa-peristiwa yang super biasa, tapi apakah kita mengatakan Tuhan hanya bertakhta dalam acara pernikahan kami? Tentu saja tidak.
Dalam teologi, seringkali ada kecenderungan untuk menamakan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam Alkitab sebagai “redemptive history”, sejarah keselamatan, untuk membedakannya dari sejarah biasa. Cerita orang Israel sampai kedatangan Yesus Kristus, dan kisah bermulanya Gereja, dilihat sebagai suatu sejarah yang sakral, sejarah yang lain, yang sepertinya ada standar-standar dan aturan-aturan main yang berbeda dibandingkan dengan sejarah biasa. Dalam jalan cerita sejarah keselamatan, hal-hal seperti terbelahnya Laut Merah, sepuluh tulah, turunnya api dari langit, tiang awan dan tiang api, segala keajaiban itu mungkin, tidak seperti sejarah biasa; juga dibedakan antara anugerah umum dan anugerah khusus, antara wahyu umum dan wahyu khusus. Kita bukan sedang menolak konsep-konsep ini, tapi kalau kita baca Kitab Ester, kitab ini seperti mengajak kita mempertanyakan, jangan-jangan kita sudah terlalu jauh menarik pemisahan antara apa yang umum dan yang khusus, antara yang sakral dan yang sekuler, antara sejarah keselamatan dan sejarah biasa. Tidak heran, unjungnya kita bukan cuma membedakan, tapi bahkan memisahkan antara golongan pendeta/vikaris dengan golongan awam. Tapi yang kita lihat dalam Kitab Ester, kitab ini menguak bahwa pekerjaan Allah dalam sejarah, cuma ada satu sejarah.
Allah kita tidak cuma bertakhta di atas sejarah keselamatan. Saudara melihat dalam Kitab Ester ini, antara pekerjaan Allah menggenapi janji kepada umat-Nya, mempertahankan nyawa bangsa Yahudi supaya lewatnya boleh terlahir Mesias –yang adalah sejarah keselamatan– tidak pernah terpisah dari kuasa Tuhan atas sejarah biasa, sejarah sekuler. Saudara melihat itu terus-menerus dalam kitab ini. Peristiwa-peristiwa yang krusial, yang menentukan arah terakhirnya, tidaklah datang dari satu dua mujizat tangan Tuhan, tidaklah datang dari nabi Tuhan, imam Tuhan, raja Tuhan –tidak ada itu semua; yang ada, peristiwa yang krusial dalam Kitab Ester, adalah: Raja tidak bisa tidur, Ester mengulur-ulur waktu, Haman salah mengerti maksud Raja, Raja kurang jelas bicaranya kepada Haman –hal-hal seperti ini, hal-hal biasa, sejarah sekuler. Dan ternyata, Allah Israel mau diperlihatkan bahwa Dia tidak bertakhta hanya sejauh sejarah keselamatan, tetapi kuasa-Nya adalah atas segala printilan-printilan, detail-detail sejarah biasa; semua itu sedang melayani agenda-Nya. Kitab ini menyatakan, memang Saudara boleh membedakan sedikit antara ‘sejarah keselamatan’ dengan ‘sejarah’, tapi ini bukan 2 alam semesta yang paralel (parallel universe) melainkan satu alam semesta (universe) yang sama; sejarah keselamatan dan sejarah sekuler itu satu kesatuan dan utuh adanya. Jika demikian, kita tidak perlu memisahkan antara tangan Tuhan di dalam sejarah keselamatan dengan tangan Tuhan di dalam sejarah biasa.
Jika kita tidak perlu memisahkan tangan Tuhan, antara apa yang sakral dan apa yang sekuler, maka kita perlu lebih sinergis juga melihat relasi antara golongan pendeta/vikaris dan golongan jemaat, golongan sakral dan golongan sekuler. Jangan lupa, salah satu konsep terobosan teologi Reformasi persisnya adalah ini: doktrin “priesthood of all believers”, bahwa semua orang percaya adalah imam. Dan, konsep ini adalah sesuatu yang mendobrak konsep pada waktu itu, karena konsep Roma Katolik pada waktu itu memisahkan golongan pendeta/vikaris dari jemaat awam, baik dalam kehidupannya, maupun dalam liturgi gerejanya. Melawan suatu mode Gereja, yang memisahkan sama sekali sakral dan sekuler, itulah teologi Reformasi. Ketika itu, orang awam hanya bisa berpartisipasi dalam liturgi sejauh sakramen, yang diberikan oleh orang-orang yang ditahbis, dan hanya melalui mereka. Kaum clergy atau kaum keimaman, seperti pendeta/vikaris, seakan berdiri di antara jemaat dengan Kristus; dan yang para reformator lakukan adalah mendobrak pemisahan itu, mereka menerjemahkan Alkitab langsung ke dalam bahasa sekuler, dan menaruh Alkitab di tangan orang-orang awam.
Kita bukan menolak segala pembedaan tanpa terkecuali, dalam gereja kita hari ini pun masih ada pembedaan –tapi bukan pemisahan. Pembedaan dalam arti pemberian sakramen sebaiknya oleh orang-orang yang ditahbis, supaya ada keteraturan dalam ibadah. Itu saja. Kalau Saudara memilih seorang pemimpin upacara, Saudara tahu koq, dia tidak lebih tinggi derajatnya daripada Saudara. Saudara memilih seorang pemimpin upacara hanya karena dia ada talenta dalam hal itu, sehingga kalau dia yang memimpin upacara maka jalannya upacara lebih teratur. Itu saja. Pekerjaan Allah dalam dunia ini tidak dibatasi, atau bahkan diutamakan, dalam diri orang-orang yang ditahbis.
Efesus 4:11-12 mengingatkan kita, “Dan Ialah yang memberikan baik rasul-rasul maupun nabi-nabi, baik pemberita-pemberita Injil maupun gembala-gembala dan pengajar-pengajar –panggilan-panggilan sakral itu— untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus”. Para rasul, nabi, dan pengajar itu, diberikan bukan untuk menggantikan orang-orang kudus, tetapi untuk memperlengkapi orang-orang kudus, pria dan wanita. Pekerjaan para awam di sepanjang Alkitab –Yusuf, Daniel, Ester, Mordekhai, Nehemia, Zerubabel, dan semua orang lain– terlihat betapa esensial dalam rencana Tuhan mendatangkan kerajaan-Nya.
Sekarang mungkin Saudara berkata, “Okelah, kita sudah terlalu jauh memisahkan antara yang sakral dan sekuler, antara yang full time dan awam; tapi pertanyaannya: kelihatannya kayak apa sih kehidupan orang Kristen yang memuliakan Tuhan dalam dunia yang sekuler, yang kata Bapak tidak kalah memuliakan Tuhan dibandingkan orang yang bekerja dalam gereja? Karena, kalau mau jujur, kita melihat dalam dunia sekuler semuanya rusak.” Jawabannya: pertama, Gereja juga rusak; hanya saja karena Saudara bukan “full time”, maka Saudara juga tidak melihat kerusakan yang full time, tapikalau Saudara masuk jadi seperti kami, Saudara akan sadar, semua tempat kerja sama saja, termasuk di gereja –juga rusak. Yang kedua, Saudara musti melihat gambaran orang Kristen yang bisa melayani Tuhan, memuliakan Tuhan, menunjukkan diri Tuhan, yang tidak kalah dari seorang pendeta yang sedang berkhotbah.
Hari ini saya cuma bisa memberi satu contoh gambaran yang saya temukan, tulisan dari Mark Labberton. Mark ini suatu hari ada problem dalam urusan pajak; dan yang namanya urusan pajak, untuk dapat kejelasan apa persisnya masalahnya, itu berlarut-larut dan panjang prosesnya. Setelah beberapa bulan korespondensi dengan kantor urusan pajak, akhirnya tiba harinya, dia dipanggil ke kantor pajak, tatap muka dengan petugas pajak –dan dari pengalaman teman-temannya, pertemuan pertama ini biasanya cuma awal dari sebuah proses yang juga berlarut-larut dan bisa berlangsung berbulan-bulan lagi. Hari itu Mark datang ke kantor pajak yang telah ditentukan, lalu setelah menunggu lama, namanya dipanggil, dia masuk ke sebuah ruangan besar dengan banyak bilik-bilik (cubicles) putih, dan disuruh menunggu sang agen pajak di salah satu bilik tersebut. Mark bilang, rasanya seperti masuk di tengah-tengah lautan orang, dengan hati tidak menentu karena tidak mengerti sebenarnya apa masalahnya, lagipula sudah berbulan-bulan; hopeless dan powerless. Akhirnya sang agen datang, mendengarkan cerita versi Mark, lalu mengambil semua berkas-berkas, dan hanya mengatakan akan konsultasi ke atas dulu, lalu meninggalkan dia. Sepuluh menit. Lima belas menit. Dua puluh menit. Tiga puluh menit. Empat puluh lima menit sudah, dia menunggu. Tidak ada informasi, tidak ada kejelasan, tidak ada tanda-tanda kehidupan. Mark pikir, dia sudah dilupakan; tapi tidak bisa pulang juga. Hampir saja dia menyerah, tiba-tiba sang agen muncul. Sang agen memberikan selembar dokumen untuk ditandatangani, sembari mengatakan semuanya beres. Mark bingung, beres bagaimana maksudnya, apakah beres langkah pertamanya?? Tapi sang agen bilang, beres semuanya; dan dia membalik dokumen tersebut, memperlihatkan 9 tanda tangan yang berbeda, yang sejak tadi dia kumpulkan selama 45 menit itu, dari lantai yang berbeda-beda, dari berbagai posisi yang berbeda, sehingga waktu dia mengatakan “semuanya beres” artinya kasus ini memang beres –dan beres dengan sangat positif bagi Mark.
Saudara, waktu Mark berefleksi atas momen ini, dia menulis, di tengah-tengah hiruk pikuk kantor pajak, di tengah-tengah situasi yang begitu hopeless dan powerless, dirinya bertemu dengan seseorang yang menjadi seorang penolong, seorang pembela, seorang advokat. Seorang yang mendengarkan permintaan tolongnya, lalu mengambil inisiatif untuk mewakili Mark, melakukan apa yang Mark tidak akan bisa lakukan sendiri. Agen ini menjumpai Mark di dalam levelnya Mark –di bawah– dalam momennya yang sangat tersendiri, rentan, ketakutan, tapi pada akhirnya sang agen ini mengubah momen terbawah itu menjadi momen yang tidak disangka-sangka. Mark mengatakan, cerita ini adalah kisah yang menjadi semacam gambaran mengenai apa yang tubuh Kristus bisa lakukan di atas dunia ini.
Saudara, kita ini tidak cuma mengerjakan pekerjaan Allah ketika pergi KKR atau jadi misionaris atau bikin aksi bantuan sosial, dsb., tapi Saudara bisa melakukannya lewat pekerjaan Saudara sehari-hari, dalam panggilan-panggilan Saudara hari ini, yang mungkin hanya jadi agen pajak –dan dalam cerita tadi bukan agen yang diatas, buktinya dia bersentuhan langsung dengan para wajib pajak dan harus mengumpulkan 9 tanda tangan orang-orang di atas. Pekerjaan-pekerjaan ini pun, tetap bisa jadi panggilan untuk kita memperlihatkan Kristus, karena seperti itulah Kristus. Di tengah-tengah ketidakberdayaan manusia, Kristus itu muncul menjadi pembela, seorang advokat yang mewakili Allah dan mewakili manusia, Allah yang berinkarnasi; dan dengan demikian jadi harapan bagi manusia yang helpless, yang hopeless, yang powerless. Orang-orang seperti ini, memuliakan Allah; dan mereka tidak kalah memuliakan Allah dibandingkan orang yang berdiri di mimbar, berkhotbah. Bahkan mungkin, kalau Saudara jadi Mark, justru orang-orang seperti agen pajak itulah yang bisa lebih berpengaruh untuk mendatangkan Kerajaan Tuhan.
Saudara, si agen pajak tadi bisa saja memilih untuk jadi seorang birokrat; yang penting setiap hari muncul di kantor, kelihatan sibuk urus-urus kertas, tidak perlu ambil inisiatif, dan tidak usah berharap tinggi-tinggi juga terhadap pekerjaannya. Buang jauh-jauh idealisme, namanya juga kerja di kantor pajak; bisa apa?? Pokoknya tiap hari masuk, absen, cek gaji sudah masuk atau belum di akhir bulan –dan dalam pekerjaan kita sehari-hari memang sistemnya demikian. Di kantor pajak tadi pun bukan tidak ada sistem, tapi lihat, di situ ada juga seserang yang memilih, dan siap, untuk jadi seorang pembela, seorang advokat; entah kenapa, tapi yang pasti orang itu melakukannya.
Saudara, saya rasa inilah pelajaran yang ingin Kitab Ester berikan. Kitab Ester ingin menyibak tirai, dan memperlihatkan ada apa di balik yang biasa, yang sehari-hari, yang remeh, yang sekuler. Gambaran ini mengajak kita untuk kembali melihat hidup sekuler kita; dan melihat bahwa ternyata yang membuat sesuatu jadi sakral atau sekuler, bukanlah tempatnya, bukan situasinya, atau jenis pekerjaannya. Yang membuat sesuatu jadi sungguh-sungguh sakral adalah bagaimana Saudara menjalankannya, dalam terang Kristus, atau dalam kegelapan dunia. Inilah panggilan kita.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading