Dalam pembahasan terakhir, kita mencatat bahwa momen konflik antara orang-orang Yahudi dengan orang-orang yang membenci mereka telah tiba, yaitu tanggal 13 bulan Adar; dan dalam hal ini sang penulis kitab Ester mengubah cara menulisnya, tadinya menulis dengan gaya dramatis, penuh suspense, cliffhanger, lalu sekarang jadi gaya laporan dengan konklusi di depan yang cuma satu kalimat, baru detailnya menyusul. Ini ternyata ada makna teologisnya, yaitu: walaupun perjalanan kisahnya selama ini tidak menentu, seakan kacau, seakan Tuhan tidak hadir, namun tetap ending-nya tidak pernah diragukan, bahwa bangsa Israel (umat Tuhan) akan diselamatkan.
Hari ini kita akan bergerak masuk ke dalam laporan tersebut, dan akan melihat makna teologis apa yang mau dibicarakan di sini. Perhatikan, kalimat di ayat 1 pasal ini tetap penting, bahwa yang terjadi dalam momen konflik ini bukan sekedar urusan Israel menang, tapi bagaimana pada hari musuh-musuh orang Yahudi berharap mengalahkan mereka, terjadilah yang sebaliknya. Ini bukan cuma soal kemenangan, tapi adanya pembalikan (reversal).Dalam khotbah ini, saya akan coba mengkonklusikan seluruh kitab ini dengan melihat pembalikan tersebut. Di sini, yang pertama, saya ingin mengajak Saudara menyadari bahwa seluruh kitab Ester ternyata disusun dengan suatu struktur, untuk memperlihatkan pembalikan ini. Yang kedua, ternyata pembalikan yang terjadi dalam kitab Ester ini bahkan melampaui kitab Ester. Yang ketiga, apa arti semua itu bagi kita hari ini.
Pertama, kita akan melihat bagaimana kitab ini disusun:
- Pasal 1-2: tentang kebesaran Raja Persia, ditutup dengan cerita Mordekhai dan Ester menyelamatkan nyawa raja.
- Pasal 3: Haman, orang Agag, diangkat menjadi orang kedua, lalu dia mengeluarkan undang-undang.
- Pasal 4: Ester dan Mordekhai menyusun rencana untuk memutarbalikkan rencana Haman; kalimat Ester yang terkenal muncul, “If I perish, I perish”.
- Pasal 5: Perjamuan pertama Ester; setelah perjamuan, Haman pulang ke rumah dengan begitu bahagia, dan dia mendirikan tiang sula.
- Pasal 6: TURNING POINT. Raja tidak bisa tidur, dan di pagi harinya Haman diperintahkan untuk menghormati Mordekhai, padahal dia datang justru untuk membunuh Mordekhai.
- Pasal 7: perjamuan kedua Ester; di akhir ceritanya, Haman disulakan pada tiangnya sendiri.
- Pasal 8: Ester dan Mordekhai menyusun rencana untuk memutar balik rencananya Haman, dan diakhiri dengan Mordekhai mengeluarkan undang-undang untuk menyelamatkan orang Yahudi; Mordekhai bin Kish diangkat menggantikan posisi Haman.
- Pasal 9-10: akhirnya Mordekhai dan Ester menyelamatkan orang Yahudi; dan kebesaran mereka dikabarkan pada akhir pasal ini.
Dari sini Saudara dapat melihat polanya:
- Dimulai dari kebesaran Raja Persia (ps. 1-2); diakhiri dengan catatan kebesaran Ester dan Mordekhai (ps. 9). Dimulai dengan cerita Mordekhai dan Ester menyelamatkan nyawa Raja (ps. 1-2); ditutup dengan cerita Mordekhai dan Ester menyelamatkan nyawa orang Yahudi (ps. 9).
- Haman, orang Agag diangkat menjadi orang kedua Raja (ps. 3); lalu pembalikannya, Mordekhai diangkat menjadi orang kedua (ps. 8). Haman mengeluarkan undang-undang untuk memusnahkan orang Yahudi (ps. 3); Mordekhai mengeluarkan undang-undang balasan untuk menyelamatkan orang Yahudi (ps. 8). Pasal 3 itu ditutup dengan Haman bersama Raja mengadakan perjamuan minum-minum, sementara orang-orang di benteng Susan gempar; di pasal 8, ada perjamuan juga, tapi sekarang yang merayakan adalah orang-orang Yahudi di benteng Susan.
- Ester dan Mordekhai menyusun rencana untuk memutar balik rencana Haman (ps. 4); Ester dan Mordekhai kembali menyusun rencana untuk memutar balik rencana Haman, tapi kali ini Haman sudah meninggal (ps. 8).
- Perjamuan pertama Ester, lalu Haman mendirikan tiang sula (ps. 5); perjamuan kedua Ester, berakhir dengan Haman disulakan pada tiangnya sendiri (ps. 7).
- TURNING POINT, ketika segala sesuatunya berubah, ceritanya berputar, yaitu momen ketika Raja tidak bisa tidur lalu minta dibacakan kitab sejarah. Ini berakibat Mordekhai pun terbalik kisah hidupnya, dari orang yang terlupakan, menjadi orang yang dihormati; Haman terbalik juga, dari orang yang ingin membunuh Mordekhai, jadi orang yang disuruh menghormati Mordekhai.
Jadi, ternyata bukan main-main kalau dikatakan di dalam kitab ini ada sebuah pembalikan yang terjadi. Kalimat di pasal 9:1 tadi, bukan cuma bicara pembalikan yang terjadi pada tanggal 13 bulan Adar saja, tapi merupakan suatu ajakan untuk kita melihat ke belakang, dan menyadari pembalikan yang terjadi di sepanjang kitab Ester. Pada dasarnya kitab Ester sejak awal di desain untuk memperlihatkan pembalikan yang Tuhan lakukan di balik layar. Ini cukup mencengangkan.
Berikutnya, saya ingin mengajak Saudara untuk memperhatikan, bahwa yang namanya pembalikan di dalam kitab Ester bahkan tidak berhenti di kitab Ester saja, tapi melampaui kitab Ester. Petunjuk akan hal ini di mulai dari satu motif yang kita baca di pasal 9, yaitu sebuah kalimat yang sampai 3 kali diulang; untuk Alkitab yang penulisannya sangat to the point, ketika ada kalimat yang diulang sampai 3 kali di pasal yang sama, ini menandakan ada sesuatu yang penting sekali. Kalimat apa yang diulang? Kita melihat di ayat 10, 15, dan 16. Ayat 10: ‘kesepuluh anak laki-laki Haman bin Hamedata, seteru orang Yahudi, dibunuh oleh mereka, tetapi kepada barang rampasan tidaklah mereka mengulurkan tangan.’ Ayat 15: ‘Jadi berkumpullah orang Yahudi yang di Susan pada hari yang keempat belas bulan Adar juga dan dibunuhnyalah di Susan tiga ratus orang, tetapi kepada barang rampasan tidaklah mereka mengulurkan tangan.’ Ayat 16: ‘Orang Yahudi yang lain, yang ada di dalam daerah kerajaan, berkumpul dan mempertahankan nyawanya serta mendapat keamanan terhadap musuhnya; mereka membunuh tujuh puluh lima ribu orang di antara pembenci-pembenci mereka, tetapi kepada barang rampasan tidaklah mereka mengulurkan tangan.’
Di dalam ketiga ayat tersebut, yang diulang adalah bahwa orang Israel, waktu membunuh orang-orang yang membencinya, mereka tidak merampas harta musuh-musuhnya. Ini menarik, karena di dalam UU balasan yang dibuat Mordekhai, hal ini sebenarnya diizinkan (UU Mordekhai tersebut mengizinkan perampasan harta, karena UU ini didesain dengan kalimat persis seperti yang ada di UU Haman tapi diputar balik). Di sini sang penulis dengan sangat cermat mencatat, bahwa orang Israel tidak melakukan itu, mereka tidak merampas harta musuh-musuhnya meskipun berhasil mengalahkan mereka. Apa artinya? Kita mungkin menarik kesimpulan bahwa orang-orang Israel ini orang-orang baik; tapi sebetulnya bukan cuma itu. Kalau Saudara membaca kitab ini dengan mata seorang Yahudi yang mengenal Perjanjian Lama dengan baik, Saudara akan sadar bahwa ini suatu pola yang muncul berkali-kali di Perjanjian Lama, khususnya dalam momen-momen peperangan di Alkitab. Orang Yahudi di zaman Ester, dengan tidak merampas harta musuh-musuhnya, berarti mereka mengerti bahwa konflik yang terjadi di zamannya itu harus dibaca dalam kacamata ‘perang suci’ di Alkitab.
Dalam peperangan-peperangan bangsa Israel di Perjanjian Lama, prinsip ‘perang suci’ salah satunya adalah: harta musuh tidak diperuntukkan jadi rampasan bagi orang Israel. Cikal bakalnya sudah mulai sejak zaman Abraham; ketika Abraham berperang untuk menyelamatkan Lot, Raja Sodom menawarkan harta sebagai hadiah, dan Abraham menolak dengan alasan dia tidak mau harta dari tempat bejat itu jadi bagian dari kekayaannya. Ini menjadi semacam tradisi bagi umat Israel. Ketika Tuhan memerintahkan Musa, Yosua, dan Israel menaklukkan Kanaan, mereka juga berperang dengan prinsip ini; ketika berperang, mereka membunuh semua penduduknya sampai dengan ternak-ternaknya. Kita, sebagai orang modern mungkin menganggap yang seperti ini problematik, tapi jangan menilai Alkitab dengan kacamata modern, karena pada masa itu kekayaan suatu bangsa terutama bukan urusan emas peraknya, tapi terutama orang-orangnya, dan juga ternak-ternaknya. Kalau kita melihat dengan kacamata modern, sepertinya adalah baik membiarkan rakyat bangsa tersebut, ataupun ternak-ternaknya, tetap hidup –humanis– tapi pada waktu itu, kalau membiarkan mereka hidup, berarti Saudara menjarah bangsa tersebut. Ini satu hal yang tidak diperbolehkan dalam konteks perang suci di Alkitab. Sinkron dengan hal ini, dalam catatan-catatan perang penaklukan Kanaan, kalau mereka menemukan emas perak, maka itu semuadimasukkan ke perbendaharaan rumah Tuhan; sedangkan semua manusia dan ternak, bisa dikatakan dikembalikan kepada Tuhan. Tidak ada yang boleh dijarah oleh orang Israel, baik itu emas perak, harta, maupun orang-orangnya, dan ternak-ternaknya.
Istilah yang Alkitab pakai untuk perang suci adalah “perang kherem”; istilah ‘kherem’ ini mirip dengan ‘haram’ dalam istilah Arab. Hari ini kita mengerti istilah ‘haram’ sebatas benda-benda yang terlarang, tetapi ‘haram’ atau ‘kherem’ punya makna lebih dari itu, yaitu bahwa benda-benda tersebut terlarang karena dikhususkan bagi Tuhan. Dalam suatu perang suci –perang kherem— orang Israel tidak boleh mengambil untung melalui konflik tersebut. Mereka tidak diperbolehkan melakukan “war profiteering” karena mereka memang bukan sedang menjalankan agenda perang manusia, melainkan menjalankan agenda perang Tuhan. Perang suci Israel ini mirip seperti misalnya Tuhan mengirim air bah untuk menghakimi dunia, atau mengirim api dari langit untuk menghakimi Sodom; dalam hal ini orang Israel memerankan peran ‘air bah’, atau ‘api dari langit’. Mereka menjadi alat Tuhan untuk menghakimi bangsa-bangsa; dan itu sebabnya mereka tidak diperbolehkan mengambil harta/keuntungan.
Dalam menjalankan prinsip ini, orang Israel adakalanya tergoda untuk mengambil untung. Misalnya, dalam cerita perang Kanaan yang pertama, ketika Israel melawan Yerikho, ada seorang Israel bernama Akhan yang diam-diam mengambil untung dengan merampas beberapa harta orang Yerikho bagi dirinya. Saudara dapat membaca di Yosua 7: 11-12 bagaimana respons Tuhan, dan perhatikan betapa seriusnya Tuhan dengan larangan ini; ‘Orang Israel telah berbuat dosa, mereka melanggar perjanjian-Ku yang Kuperintahkan kepada mereka, mereka mengambil sesuatu dari barang-barang yang dikhususkan itu, mereka mencurinya, mereka menyembunyikannya, dan mereka menaruhnya di antara barang-barangnya. Sebab itu orang Israel tidak dapat bertahan menghadapi musuhnya. Mereka membelakangi musuhnya, sebab mereka itu pun dikhususkan untuk ditumpas. Aku tidak akan menyertai kamu lagi jika barang-barang yang dikhususkan itu tidak kamu punahkan dari tengah-tengahmu.’ Dan selanjutnya, hukuman bagi Akhan adalah: dia beserta keluarganya, dan seluruh hartanya, seluruh ternaknya, juga harus dipunahkan –di-kherem-kan bagi Tuhan.
Tidak berhenti di sini, dalam Alkitab kita melihat betapa jalur pola cerita ini di Perjanjian Lama begitu panjang. Dalam sejarah peperangan dengan bangsa-bangsa Kanaan, Israel beberapa kali melakukan seperti itu; yang paling jelas, di dalam masa Raja Saul. Saul mengikuti jejak Akhan, melanggar prinsip perang kherem ini. Dia diperintahkan Tuhan untuk menghabisi –meng-kherem-kan– orang Amalek, tapi di dalam 1 Samuel 15 Saul tidak membunuh semua yang bernafas, Saul merampas harta-harta yang terbaik dari orang Amalek.
Sekali lagi, Saudara perlu membaca ini dari kacamata Perjanjian Lama. Alasannya Allah menyuruh Saul membinasakan semua yang bernafas, karena Allah tidak mau Saul menggunakan pertempurannya dengan bangsa-bangsa lain, seperti bangsa Amalek atau bangsa-bangsa lain berperang, yaitu menggunakan perang untuk profit, untuk menjarah, untuk mendapatkan budak-budak, untuk meraup keuntungan. Waktu Tuhan memerintahkan bangsa Israel untuk membunuh habis bangsa-bangsa tersebut, berarti Tuhan sedang mengatakan ‘Aku tidak akan mengizinkan engkau menista tindakan penghakiman-Ku, tindakan keadilan-Ku, dengan kamu memperkaya diri satu sen pun dari semua hal ini; itu adalah caranya Amalek berperang, itu adalah caranya Filistin berperang’. Di sini Saudara tentu mengerti mengapa Allah begitu marah terhadap Saul, karena Saul menjadi seperti raja bangsa-bangsa lain. Perhatikan keseriusan kalimat yang diucapkan Nabi Samuel ketika dia disuruh Tuhan menegur Saul; 1 Samuel 15: 18-19, ‘TUHAN telah menyuruh engkau pergi, dengan pesan: Pergilah, tumpaslah orang-orang berdosa itu, yakni orang Amalek, berperanglah melawan mereka sampai engkau membinasakan mereka. Mengapa engkau tidak mendengarkan suara TUHAN? Mengapa engkau mengambil jarahan dan melakukan apa yang jahat di mata TUHAN?” Kata ‘mengambil’ di sini sebenarnya lebih tepat diterjemahkan dengan ‘menerkam’; ‘mengapa engkau menerkam jarahan’. Saul lalu berdalih bahwa dia mau mempersembahkan itu semua untuk Tuhan, tapi Samuel menampik dengan mengatakan kalimat yang terkenal itu: “to obey is better than sacrifice”, ketaatan itu lebih penting daripada urusan memberi persembahan.
Saudara, karena Akhan melanggar prinsip ini, Israel terpukul kalah dalam peperangan berikutnya; karena Saul melanggar prinsip ini, Tuhan mengatakan bahwa Dia menolak Saul sebagai raja, Saul kena diskualifikasi sebagai agen Tuhan di dunia ini. Mengapa? Karena Saul tidak mau taat kepada Tuhan sebagaimana air bah atau api dari langit taat menjadi agen Tuhan, melayani agenda penghakiman Tuhan –tidak lebih dari itu. Dengan demikian, ketika sekarang Saudara sampai pada kitab Ester, dan dikatakan bahwa orang Israel tidak merampas harta musuh-musuh mereka, Saudara jadi mengerti alasannya sang penulis sampai mengulang kalimat ini 3 kali. Pertama, bahwa konflik antara orang-orang Yahudi dengan orang-orang yang membenci mereka, ternyata dibaca dalam bingkai tradisi ‘perang suci’ ini; ini bukan perang untuk mengambil untung, ini adalah perang atas kehendak Allah. Yang kedua, ini berarti bahwa orang Yahudi pada zaman Ester telah berhasil memutar balik kegagalan-kegagalan Saul di masa lampau; mereka telah berhasil menaati Tuhan –sementara Saul telah gagal.
Dalam bagian ini, kesepuluh anak Haman juga digantung pada hari itu atas permintaan Ester. Di sini, kita sebagai orang modern seringkali sok sensitif, merasa terganggu sekali dengan hal ini, bagaimana mungkin Ester yang begitu manis itu, bisa menuntut 10 anak Haman dibunuh dan disulakan. Tapi ini memang bagian dari praktika peperangan pada zaman itu; ketika seorang pemimpin besar dibunuh dalam peperangan, keluarganya juga harus dipunahkan supaya tidak ada seorang pun yang akan memulai siklus pembalasan dendam. Selain itu, adanya nama kesepuluh anak-anak Haman yang sampai dicatat satu per satu di sini, kemungkinan supaya kita mengerti konteks konflik ini, bahwa ini bukan urusan dendam pribadi kepada keluarga Haman, tapi perang suci (perang penghakiman) dari Tuhan. Nama anak-anak Haman yang ditulis itu, kemungkinan adalah nama-nama daiva; dan nama-nama daiva dari Persia kuno diasosiasikan dengan kuasa-kuasa gelap dalam kepercayaan budaya-budaya Persia, Mesopotamia, Timur Dekat Kuno. Nama-nama ini tidak dijelaskan artinya apa, maka ada kemungkinan pembaca-pembaca Yahudi pada waktu itu bisa langsung menangkap makna di balik nama-nama tersebut. Mungkin sekali ini menunjukkan bahwa Haman dan keluarganya memang ada hubungan dengan kuasa-kuasa gelap, sehingga dengan demikian mereka adalah target sasaran yang sangat sah dalam sebuah perang suci, penghakiman dari Tuhan.
Dalam manuskrip-manuskrip Ibrani, nama anak-anak Haman dalam kitab Ester, di ayat 7-9 tadi, ditulis terpisah dari teks utamanya (seperti misalnya kalau kita hari ini menulis dengan Word, lalu ada kutipan, dan kita memisahkan dengan spasi, atau memakai italic, dsb.). Kita tidak tahu secara pasti apa tujuan pemisahan tersebut, tapi cara penulisan seperti ini ternyata juga adalah cara yang juga dipakai penulis Alkitab untuk mendaftarkan nama raja-raja Kanaan yang ditaklukan Yosua, misalnya dalam Yosua 12. Mungkin ini cara penulis untuk secara visual pembacanya bisa langsung melihat nama-nama yang memang dipisahkan, dikhususkan, di-kherem-kan, terlarang bagi kita, karena ini adalah bagiannya Tuhan, untuk dihancurkan bagi Tuhan.
Detail terakhir yang penting, kita ingat bahwa kegagalan Saul bukan cuma tidak membinasakan ternak-ternak dan merampas harta orang Amalek, tapi satu hal yang ditekankan adalah karena Saul membiarkan hidup Agag, raja orang Amalek. Mengapa dia melakukan ini? Ada beberapa teori. Salah satunya, kalau Saudara punya tawanan seorang raja, itu berarti Saudara adalah raja di atas raja-raja yang lain, raja dari segala raja. Dan, Tuhan marah sekali dengan hal ini. Perintah untuk membasmi orang Amalek sebenarnya sudah ada sejak kitab Ulangan, dengan demikian, yang terjadi di kitab Ester ternyata bukan cuma ada di kitab Ester, tapi sudah ada rajutan benangnya dari sebelum-sebelumnya. Di kitab Ulangan sudah ada perintah untuk membinasakan orang Amalek, bahkan jauh sebelum zaman Saul. Ulangan 25: 17-19, “Ingatlah apa yang dilakukan orang Amalek kepadamu pada waktu perjalananmu keluar dari Mesir; bahwa engkau didatangi mereka di jalan dan semua orang lemah pada barisan belakangmu dihantam mereka, sedang engkau lelah dan lesu. Mereka tidak takut akan Allah. Maka apabila TUHAN, Allahmu, sudah mengaruniakan keamanan kepadamu dari pada segala musuhmu di sekeliling, di negeri yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu untuk dimiliki sebagai milik pusaka, maka haruslah engkau menghapuskan ingatan kepada Amalek dari kolong langit. Janganlah lupa!” Saudara lihat, Tuhan begitu marah ketika Saul menyisakan Agag, raja orang Amalek, dengan tidak membunuhnya, adalah karena Saul gagal menjalani perintah Tuhan di zamannya Saul, yang juga adalah perintah Tuhan sejak zamannya Musa.
Belakangan dalam kisah Daud, raja yang berikutnya, dia memerangi bangsa Amalek dan menang; bisa dikatakan ada semacam pembalikan dari Saul yang gagal, kemudian Daud yang sukses. Tapi bahkan Daud pun tidak sempat menghabisi mereka semua, ada 400 orang yang lolos. Kitab 1 Samuel 30: 17, ‘Dan pada keesokan harinya Daud menghancurkan mereka [orang Amalek] dari pagi-pagi buta sampai matahari terbenam; tidak ada seorang pun dari mereka yang lolos, kecuali empat ratus orang muda yang melarikan diri dengan menunggang unta’ —orang Amalek masih saja tersisa. Dan sampai di kitab Ester, yang terjadi di sini adalah sebuah klimaks, bukan sesuatu yang dimulai di kitab ini, tetapi penyelesaian dari ketegangan yang sudah berkitab-kitab panjangnya.
Saudara ingat, siapakah Haman itu? Di pasal 3, ketika Haman diperkenalkan kepada kita, mungkin kita bertanya-tanya mengapa Haman ini bisa naik pangkat, mengapa bukan Mordekhai? Alasannya tidak jelas dan tidak diberitahukan kepada kita. Tetapi kita perlu memperhatikan apa yang Alkitab beritahukan kepada kita, dan bukan terus bertanya-tanya hal-hal yang tidak diberitahukan; di dalam Ester 3:1 dikatakan: ‘Sesudah peristiwa-peristiwa ini maka Haman bin Hamedata, orang Agag, dikaruniailah kebesaran oleh raja Ahasyweros, dan pangkatnya dinaikkan serta kedudukannya ditetapkan di atas semua pembesar yang ada di hadapan baginda’ –Alkitab memberitahukan kepada kita bahwa Haman adalah orang Agag, keturunan Agag, raja Amalek yang dibiarkan hidup oleh Saul.
Kita akan lebih kaget lagi ketika melihat siapa Mordekhai; kita mundur ke Ester 2, melihat bagaimana Mordekhai diperkenalkan kepada kita. Ester 2: 5, ‘Pada waktu itu ada di dalam benteng Susan seorang Yahudi, yang bernama Mordekhai bin Yair bin Simei bin Kish, seorang Benyamin’. Kita tahu, Saul berasal dari suku Benyamin, dan dia diperkenalkan sebagai Saul bin Kish; sementara Mordekhai diperkenalkan sebagai Mordekhai bin Yair bin Simei bin Kish (ini bukan berarti Mordekhai hanya 2 keturunan sesudah Saul, karena setiap dicatat ‘bin anu’ itu bisa berarti lompat beberapa generasi). Di sini penulis dengan sengaja menarik koneksi tersebut, bahwa Haman adalah keturunan Agag, Mordekhai keturunan Saul. Ini berarti ada pembalikan di sini. Kegagalan raja Saul yang mengakibatkan dirinya ditolak oleh Tuhan, adalah membiarkan hidup Agag, raja orang Amalek; dengan demikian, yang terjadi di bagian ini bukan sekedar suatu kemenangan belaka melainkan suatu pembalikan. Saul gagal mengeksekusi Agag, tapi Mordekhai –keturunan Saul—berhasil menang atas Haman, keturunan Agag. Selanjutnya, orang-orang Yahudi menghabisi kesepuluh anak Haman; itu berarti orang Amelek berakhir, sesuai perintah Tuhan sejak zaman Musa.
Saudara lihat pembalikan yang terjadi dalam kitab Ester ini bukan cuma pembalikan yang terjadi pada 13 bulan Adar; juga bukan cuma pembalikan yang terjadi dalam seluruh kitab Ester, yang telah kita lihat terstruktur rapi di awal tadi; tetapi yang terjadi di sini adalah sebuah pembalikan dari kegagalan-kegagalan dan dosa-dosa masa lalu yang sudah begitu panjang di Perjanjian Lama. Pembalikan dari kegagalan bangsa Israel menjalani perang kherem. Pembalikan dari dosa Saul yang gagal taat kepada Tuhan. Pembalikan dari nasib Amalek yang masih terus bertahan, lalu akhirnya mereka dihapuskan sesuai dengan perintah Tuhan.
Kita sekarang sudah melihat pembalikan-pembalian itu, pembalikan yang terjadi pada 13 bulan Adar, pembalikan di dalam kitab Ester, bahkan pembalikan yang melampaui kitab Ester dan menyentuh sampai ke kitab-kitab Taurat. Apa yang bisa kita pelajari?
Dalam PA Remaja, saya sedang menggali perumpamaan-perumpamaan Tuhan Yesus; dan amazing, ketika beberapa kali khotbah Ester lalu khotbah perumpamaan, ternyata ada banyak hal yang nyambung. Terakhir kali kami membahas perumpamaan tentang penabur, salah satu perumpamaan yang paling terkenal. Di situ ada 4 jenis tanah, dan sang penabur menabur di setiap jenis tanah itu. Ada tanah yang pinggir jalan, ada tanah yang berbatu, ada tanah yang penuh semak belukar, dan ada tanah yang baik. Di sini biasanya kita langsung lompat membahas 4 jenis tanah tersebut, bahwa keempat jenis tanah itu melambangkan orang-orang jenis seperti apa. Ini memang wajar, karena belakangan Tuhan Yesus pun membahas tafsirannya, dan menyatakan bahwa 4 jenis tanah tersebut mewakili orang-orang tertentu. Tetapi yang seringkali terlewat dalam pembahasan tersebut adalah gambaran besarnya, seperti kalau kita melihat dengan teropong fokus ke sebuah pohon, akan sulit melihat keseluruhan hutannya. Kalau Saudara perhatikan, dalam perumpamaan itu sebenarnya ada hal-hal yang lebih penting/utama dibandingkan tentang 4 jenis tanah itu melambangkan orang seperti apa. Apakah itu?
Dalam perumpamaan tersebut ada hal yang terus-menerus diulang, yaitu urusan ‘mendengar’. Dalam perumpamaan itu Tuhan Yesus mengatakan, “barangsiapa bertelinga, hendaklah dia mendengar”. Ketika membahas perumpamaan itu, Tuhan Yesus mengatakan, ‘jenis tanah pertama adalah orang yang mendengar namun tidak mengerti; yang kedua adalah orang yang mendengar namun tidak berakar, yang ketiga adalah orang yang mendengar namun tidak berbuah.’ Dalam versi Lukas, Tuhan Yesus bahkan menutup perumpamaan ini dengan mengatakan, “karena itu, perhatikanlah cara kamu mendengar”. Setiap kali memulai perumpamaan-Nya, Tuhan Yesus mengatakan bahwa Kerajaan Surga itu seumpama ini dan itu; ini berarti Tuhan Yesus sedang mengajarkan kepada kita mengenai prinsip Kerajaan Allah. Prinsip Kerajaan Allah, skill utama yang kita butuhkan dalam Kerajaan Allah adalah skill untuk mendengar –dan bukan skill untuk berkhotbah, misalnya.
Saudara, yang paling penting dalam Kerajaan Allah, Tuhan Yesus menyatakan kepada kita bahwa Kerajaan Allah tidak bisa masuk ke dalam kehidupan kita, kalau kita bukan orang yang bisa mendengar dengan baik. Saudara tidak bisa masuk ke dalam Kerajaan Allah juga, kalau Saudara tidak bisa mendengar Firman Tuhan. Dan kalau Saudara tidak bisa mendengar, maka kuasa Kerajaan Allah juga tidak bisa tersalurkan kepada orang lain.
Kemampuan untuk mendengar, untuk bisa duduk diam dan menyerap apa yang orang lain katakan, ternyata adalah kemampuan yang terpenting dalam Kerajaan Allah. Ini lebih radikal daripada yang kita pikir. Coba kita bandingkan Kerajaan Allah yang seperti ini dengan kerajaan-kerajaan yang ada di dunia. Ketika Saudara melihat pemimpin-pemimpin dalam kerajaan dunia, langsung jelas bahwa skill yang terpenting untuk bisa jadi seorang pemimpin di kerajaan dunia bukanlah skill mendengar, melainkan apakah Saudara bisa membuat orang lain mendengar Saudara. Kemampuan terpenting dalam kerajaan-kerajaan dunia bukanlah mendengar, tapi apakah Saudara bisa didengar.
Pemimpin-pemimpin dunia yang “baik”, tahu caranya membuat orang lain mendengar mereka. Mereka jago menggerakkan orang lain, jago bikin sound bites, jago menyebar message-message mereka. Ketika seorang pemimpin duniawi masuk ke suatu ruangan, dia ada di situ untuk didengar, bukan untuk mendengar. Bahkan kita bisa katakan, pemimpin-pemimpin di dunia secara umum –tidak semua– adalah orang yang tidak jago mendengar; mereka bukan tipe yang tahan duduk diam berjam-jam mendengarkan orang lain, karena yang seperti itu tidak cocok jadi pemimpin. Seorang pemimpin yang terlalu banyak mendengarkan orang lain, dianggap kurang dinamis, kurang aktif, kurang cepat ambil keputusan; mereka akan cepat atau lambat tergilas oleh orang-orang lain yang lebih tidak sabar, karena itulah caranya mengambil kuasa di dunia ini, untuk bisa berdampak di dunia ini secara duniawi –yaitu dengan ngomong, bukan mendengar. Dengan proklamasi, bukan dengan atensi. Dengan menarik telinga orang lain, bukan memberikan telinga bagi orang lain. Dan memang benar, itu juga salah satu bahayanya jadi pengkhotbah, karena dengan cepat para pengkhotbah bisa terjeblos ke dalam perangkap duniawi ini. Sebaliknya, mengapa bisa ada pengkhotbah-pengkhotbah yang baik, yaitu karena mereka adalah orang-orang yang banyak mendengar terlebih dahulu. Mendengar, tetap adalah skill yang terutama dalam Kerajaan Allah, baik bagi jemaat awam, maupun orang-orang yang di atas mimbar.
Tuhan Yesus mengatakan dalam perumpamaan, bahwa Kerajaan Allah datang dengan mendengar, menerima, menyerap, mengerti. Semua kerajaan di dunia ini maju dengan cara menjewer telinga orang yang tidak mau dengar, “Lu harus dengar gua!” tapi Kerajaan Allah sangat berbeda. Kerajaan duniawi maju karena mereka boleh dikatakan tidak tahu caranya mendengar, sebaliknya jago membuat orang lain mendengar mereka.
Di sini kita jadi mengerti ketika dalam perumpamaan yang lain Tuhan Yesus mengatakan, Kerajaan Allah itu seperti “benih” –bukan batu yang besar, misalnya. Kalau sebuah batu besar bergulir dari bukit, itu akan membuat dampak yang besar –bisa menghancurkan tembok, bisa melindas orang sampai gepeng –sehingga ada perubahan/dampak, tapi perubahan yang sangat kasar, transformasi yang datang melalui power dan paksaan. Sedangkan benih, jelas membuat dampak, tapi dampak yang datangnya secara organik, perlahan-lahan, dengan segala kelembutan (gentle powers). Batu yang besar bisa menghancurkan tanah, tapi benih yang kecil menghidupkan tanah yang gersang jadi hutan. Benih bukan mematikan energi, melainkan mengatur ulang aliran energi di dalam tanah, mengarahkan nutrisi-nutrisi di dalam tanah menjadi sumber kehidupan. Jika kita bandingkan seperti ini, kita baru sadar bahwa yang namanya batu besar, sebenarnya tidak benar-benar mengubah, cuma memecah, menghancurkan; sedangkan sebuah benih sungguh-sungguh membuat perubahan, mengubah yang mati menjadi hidup, suatu perubahan yang tidak cuma permukaan. Apa hubungannya semua ini dengan kitab Ester? Saya cerita ini semua karena ini adalah perumpamaan Tuhan Yesus yang memperlihatkan kepada kita adanya suatu pembalikan, sebuah reversal.
Seringkali Saudara bertanya kepada saya, ‘mengapa begini, mengapa begitu’, dan saya pun kadang-kadang bisa bertanya seperti itu, ‘mengapa Tuhan begini dan tidak begitu’. Saudara tentu tahu ada tipe-tipe pertanyaan seperti itu; ‘kalau Tuhan mahatahu, tahu Adam dan Hawa akan jatuh, mengapa Dia ciptakan pohon pengetahuan yang baik dan jahat; kalau sungguh Tuhan berdaulat, mengapa masih banyak kejahatan di atas dunia ini’. Ini pertanyaan-pertanyaan yang wajar, bahkan Yohanes Pembaptis pun ada momen pergumulan seperti itu dalam hidupnya. Ketika dia dipenjarakan, dia mengirim utusan kepada TuhanYesus; dia bertanya ‘Kamu ini beneran Mesias ‘gak sih? Kamu ini the chosen One itu, atau kami harus tunggu orang lain?’ Kenapa Yohanes Pembaptis tiba-tiba tanya seperti itu, apakah karena dia takut mati? Tidak. Dia sangat berani. Tapi mungkin ini karena Yohanes Pembaptis –dan juga kita–seringkali salah mengerti, atau lebih tepatnya terbalik dalam mengerti Kerajaan Allah. Yohanes pembaptis pada saat itu mungkin lupa bahwa Kerajaan Allah tidak bergerak maju sebagaimana kerajaan dunia bergerak maju, bahwa Kerajaan Allah bergerak maju dengan cara yang terbalik dari kerajaan dunia. Yohanes Pembaptis mengatakan ‘kalau kamu, Yesus, beneran Raja, dan aku adalah bawahan-Mu, lalu kenapa aku menderita, dipenjara, sebentar lagi harus dipenggal kepalanya karena mengatakan kebenaran kepada Herodes; jadi sebenarnya Kamu yang raja, atau dia yang raja?’ Kita pun sering bertanya demikian, “Tuhan, kalau Engkau benar-benar Raja, mengapa banyak orang meragukan-Mu dan menolak-Mu; mengapa sangat sulit meyakinkan orang lain bahwa Engkau adalah Allah; mengapa dunia begitu kacau; mengapa pandemi tidak selesai-selesai; mengapa setiap hari buka WA isinya si A meninggal, si B meninggal, orang-orang Kristen yang baik itu??”
Saudara, mungkin problem kita terhadap Kekristenan selama ini adalah seperti itu, mengapa Allah tidak begini, mengapa Allah tidak begitu, mengapa dunia begini dan begitu. Kalau Yesus sungguh Raja dan Dia ingin semua orang selamat, mengapa Dia tidak langsung muncul saja dengan terang-benderang di depan semua orang; bukankah jadi selesai urusan, beres?? Kalau Dia Raja yang baik, kenapa hidupku penuh dengan kekurangan dan penderitaan? Mengapa aku dikhianati? Mengapa dunia ini penuh dengan kejahatan? Inilah yang Yohanes Pembaptis katakan –mengapa aku dipenjara jika aku adalah pelayan Raja yang sejati itu. Kita lupa untuk bertanya satu pertanyaan yang paling krusial, kita lupa untuk bertanya kepada diri sendiri, “kenapa sih, kita mengharapkan Kerajaan Tuhan berjalan seperti cara operasi kerajaan dunia; kenapa kita mengharapkan Kerajaan Allah itu berjalannya paralel seperti kerajaan dunia berjalan”. Di sini Tuhan Yesus akan mengatakan “Kerajaan-Ku tidak seperti itu cara kerjanya”.
Kerajaan Surga tidak datang seperti batu besar yang menggilas segala sesuatu. Kerajaan Surga datang sebagai benih yang kecil. Kerajaan Allah tidak datang seperti kerajaan Aleksander Agung dengan serangan kilat yang melibas semua yang tidak mau takluk. Kerajaan Allah datang dengan lembut seperti benih; awalnya seperti kecil, gampang hancur, remeh, tidak ada harganya. Dan, kita melihat memang seperti itulah Kerajaan Allah, karena berita Kerajaan Allah (berita Injil) juga berita yang bodoh dan remeh. Terbalik sama sekali. Gampang ditertawakan, gampang ditolak. Orang-orang mendengar Injil seringkali mengatakan “yang bener aja lu”. Apakah berita Inil, berita yang terbalik itu? Yaitu: datanglah Raja dari surga, dan Dia menang dengan cara kalah, Dia mendapatkan kemuliaan dengan cara dihina, Dia memberikan kehidupan dengan cara mati.
Waktu kita membaca kitab Ester dan melihat pembalikan-pembalikan yang begitu dahsyat, kita mungkin terkesima, kagum, menikmati. “Wah, gila, Tuhan pakai cara seperti itu, seperti ‘gak kelihatan, lagipula ‘gak nama Tuhan, tapi wow! tanggal 13 bulan Adar diputar balik, Haman diputar balik, dadunya Haman diputar balik, Ahasyweros diputar balik’. Dan bukan cuma dalam cerita Ester, ternyata kegagalan Saul juga diputar balik. Perintah Tuhan untuk menghabisi orang Amalek, diputar balik. Kegagalan-kegagalan bangsa Israel yang seringkali merampas harta musuh-musuh mereka, diputar balik. Saudara melihat semua ini luar biasa. Tapi kita sering lupa satu makna yang paling penting, bahwa ketika kita masuk Kerajaan Allah, yang diputar balik bukan hanya mereka, yang diputar balik juga kita, cara pandang kita, cara kerja kita.
Kita sudah pernah bicara bahwa yang diputar balik bukan cuma Haman dan undang-undangnya, tapi Mordekhai juga diputar balik dari mengandalakan diri sendiri sampai jadi mengandalkan Tuhan. Ester juga diputar balik, dari orang yang tinggal di menara gading, terputus sama sekali dengan nasib rakyatnya, lalu menjadi seorang ratu yang agung, yang mengatakan ‘kalau aku perlu mati, biarlah aku mati, demi bangsaku’. Dan, Saudara lihat, justru pembalikan-pembalikan seperti itulah yang menjadi solusi yang Tuhan pakai. Jika Allah tidak melakukan pembalikan-pembalikan ini, apa harapannya??
Saudara, mungkin inilah hal yang kita bisa tarik dari semua pembahasan ini, bahwa Raja kita telah menghidupi gaya hidup yang begitu terbalik, Raja kita punya cara kerja yang begitu terbalik. Itu sebabnya, kalau Saudara dan saya menyatakan diri sebagai pengikut-pengkut-Nya, kita harus rela hidup dengan terbalik. Ini berarti kita harus rela menyerahkan diri kita, untuk kemudian baru bisa mendapatkan diri kita. Ini berarti kita harus rela, ketika kita mau jalan ke atas, caranya adalah turun ke bawah. Bahwa kemuliaan, justru ditemukan di dalam kehinaan. Bahwa kemenangan, justru ditemukan di dalam pengorbanan. Bahwa cara untuk mendapat kelimpahan, adalah justru dengan memberi. Bahwa kuasa adalah justru kuasa untuk melayani. Bahwa jalan untuk sungguh bertumbuh dan dibentuk menjadi seperti Tuhan Yesus, dalam bijaksana ataupun dalam kasih-Nya, adalah melalui penderitaan, melalui sakit-penyakit, karena lewat itulah kita belajar ketergantungan. Edan, ya. Siapa mau percaya berita seperti ini? Siapa mau menghidupi berita seperti ini? Siapa?? Hanya mereka yang telah melihat Tuhannya menyerahkan nyawa-Nya bagi berita ini, di dalam keterbalikan ini.
Saudara, inilah poin terutama dari pembahasan kitab Ester. Kitab ini memperlihatkan kepada kita Kerajaan Allah, dan terutama memperlihatkan kepada kita Rajanya. Allah, yang diperlihatkan dengan cara disembunyikan –terbalik. Allah, yang diperlihatkan dalam diri Yesus Kristus, Allah yang memutar balik Saudara dan saya, karena Allah ini telah terlebih dahulu memutar balik diri-Nya.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading