Perikop ayat 21-30 ini ada paralelnya dengan Injil Sinoptik, sehingga saya tidak akan membahasnya terlalu detail. Kita terutama mau konsentrasi pada Johannine special material yang cuma ada di Injil Yohanes (ayat 31-35), tapi tetap kita akan memberikan beberapa komentar dalam perikop ayat 21-30.
Ayat 21, Setelah Yesus berkata demikian Ia sangat terharu, lalu bersaksi: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya seorang di antara kamu akan menyerahkan Aku." Dalam bagian Alkitab yang lain, kita sudah pernah membahas bahwa istilah ‘terharu’ musti kita mengerti dalam pengertian yang tepat, karena jika tidak, kita salah mengerti istilah ini, yang dalam terjemahan bahasa Inggrisnya ‘was troubled in spirit’. Kata ‘terharu’ dalam terjemahan Indonesia seringkali pengertiannya positif, tapi kalimat ‘Yesus terharu’ di sini bukan terharu dalam pengertian tersentuh atau sangat tergerak; di sini pengertiannya lebih negatif sifatnya, yaitu ‘troubled in His spirit’. Kita pernah membahas ini dalam perikop tentang Lazarus, kalimat ‘Yesus masygul hati-Nya’, yang terjemahan bahasa Inggrisnya ‘troubled in His spirit’, malah diarahkan kepada pengertian marah.
Kalau kita membaca bagian ini, sebetulnya cukup jelas tanda apa yang akan diberikan tentang orang yang akan menyerahkan Yesus, karena Yesus bilang: “Dialah itu, yang kepadanya Aku memberikan roti, sesudah Aku mencelupkannya”, dan sesudah itu Dia betul-betul mengambil roti, mencelupkannya, dan memberikan kepada Yudas (ayat 26). Tapi apa respons murid-murid? Yohanes mencatat, tidak ada seorang pun dari antara mereka yang duduk makan itu mengerti (ayat 28). Kadang-kadang kita bisa heran, hal yang sangat masuk akal sehat seperti itu koq tidak bisa tembus; ternyata yang common sense bagi seseorang tidak tentu juga common sense bagi yang lain. Hal sesederhana apapun, kalau orang tidak memperhatikan, kalau tidak ada pencerahan, kalau belum saatnya Tuhan nyatakan, orang tidak bisa mengerti. Ini bagian dari pemuridan. Di dalam prinsip pemuridan, adalah hal yang penting bahwa kita tidak bisa take it for granted orang pasti mengerti; sesuatu yang bagi kita sangat sederhana, sangat basic lalu kita pikir orang mengerti, kenyataannya tidak demikian. Di bagian ini, tidak bisa lebih jelas lagi; di sini ada Yohenas, murid yang dikasihi, dan Petrus bilang kepadanya untuk tanya “Tuhan, siapakah itu?” lalu Yesus bilang “dialah itu, yang kepadanya Aku memberikan roti, sesudah Aku mencelupkannya”. Ini harusnya sudah jelas sekali. Yesus tidak pakai teka-teki misalnya orang tersebut namanya terdiri dari sekian huruf, dia kira-kira 13 hari lalu pergi bareng ke supermarket, dsb., dsb., yang rumit sekali; Yesus pakai penjelasan yang sederhana: “dialah itu, yang kepadanya Aku memberikan roti, sesudah Aku mencelupkannya” dan setelah itu betul saja Yesus melakukannya. Tapi murid-murid tetap saja tidak mengerti.
Mungkin Saudara bilang “ini benar-benar keterlaluan, kayak begini saja tidak mengerti”, tapi Saudara jangan lihat mereka tidak mengerti sedangkan Saudara pasti mengerti, karena sebetulnya banyak hal dalam kehidupan Saudara dan saya, yang dari sisi Tuhan sangat basic dan jelas, yang harusnya kita mengerti, tapi kita tidak mengerti. Itu sebabnya kita musti rendah hati. Contoh sederhana, kadang-kadang orang bicara pada kita, lalu kita sedang pikir sesuatu yang lain, kita jadi tidak dengar. Saya kadang-kadang agak sedikit tegang dengan istri karena dia pernah bicara sesuatu, dan saya sudah respons “iya”, tapi ternyata sebetulnya saya tidak dengar; saya memang bilang “iya”, tapi sebenarnya saya sedang pikir yang lain, saya cuma sadar ada suara tapi tidak tahu isinya apa. Dalam kehidupan sehari-hari kita bisa tidak ngèh, kita bisa tidak tahu apa yang sedang terjadi atau apa yang dikatakan, terlebih lagi dalam hal rohani. Di dalam hal rohani, kalau kita tidak betul-betul memperhatikan maknanya, kita seringkali lewat saja. Bukan tidak ada kesempatan, bukan tidak pernah ada pemberitaan Injil, bukan tidak pernah ada penggalian Firman Tuhan, tapi kita terlewat karena kita tidak memahami apa yag dikatakan di sana.
Di bagian ini Yohanes mencatat: Tetapi tidak ada seorang pun di antara mereka yang duduk makan itu mengerti, apa maksud Yesus mengatakan itu kepada Yudas (ayat 28). Bahkan ditambahkan ayat 29: Karena Yudas memegang kas, ada yang menyangka, bahwa Yesus menyuruh dia membeli apa-apa yang perlu untuk perayaan itu, atau memberi apa-apa kepada orang miskin –sangat positif. Bagian ini musti hati-hati menafsir. Kalau pikiran kita terlalu negatif tentang orang lain, itu keliru, itu pikiran paranoia, dan kita salah. Tapi juga bisa ada kesalahan yang lain –ini musti hati-hati bicaranya—yaitu orang tidak sebegitu baiknya tapi Sudara naif, Saudara anggap semua orang baik, seperti di bagian ini mereka pikir Yudas mau memberikan kepada orang miskin. Bagaimana bisa Yudas memberikan kepada orang miskin, dia itu mengkhianati Yesus demi uang! Yudas itu cinta uang, dia hambanya uang, tapi murid-murid menyangka dia sedang taat kepada Yesus. Berarti di sini murid-murid tidak ada spiritual discerment, tidak bisa membedakan. Saya bukan mengajar Saudara untuk curiga. Pak Tong pernah mengatakan, orang-orang yang cenderung baik, yang sifatnya bukan licik dan tidak suka menipu orang, dia lalu pikir seluruh dunia kayak dirinya; kalau dia tidak akan melakukan itu, dia pikir orang lain juga tidak akan melakukan itu, akhirnya jadi naif luar biasa, tidak tahu bahwa dunia ini dunia yang sudah jatuh dan tidak semua orang seperti dirinya. Saya bukan bilang orang ini tidak punya kelemahan –bisa saja, dan pasti punya kelemahan—tapi cara pikirnya yang memproyeksikan diri sendiri kepada orang lain itu membuat akhirnya setelah terjadi sesuatu dia geleng-geleng kepala, ’koq bisa ya, orang melakukan ini, koq tega, ya??’ dan dia mulai kecewa dsb. Hal-hal seperti ini sebenarnya sudah diantisipasi dalam Alkitab, kalau kita membacanya dengan teliti.
Murid-murid ini tidak ada spiritual discerment; di sini yang tahu tentang Yudas cuma Yesus,yang lainnya tidak tahu. Mereka pikir Yudas ini murid yang baik-baik, taat, mengasihi orang miskin, murid yang mengikut Yesus sebagaimana Yesus biasanya mengasihi orang miskin. Padahal yang dikatakan Yesus, bukan itu. Waktu Yesus mengatakan kalimat “Apa yang hendak kauperbuat, perbuatlah dengan segera”, yang akan diperbuat Yudas itu bukan sesuatu yang positif, dia akan mengkhianati Yesus setelah ini, di dalam kerasukan setannya. Memang ketika cerita ini ditulis, Yohanes jelas mengerti siapa Yudas, karena ditulis dalam perspektif setelah kematian dan kebangkitan Yesus; tapi waktu peristiwa itu terjadi, Yohanes sendiri juga tidak tahu. Yohanes adalah murid yang dikasihi tapi dia juga tidak tahu.
Selanjutnya catatan Yohanes masuk ke perikop ayat 31-35; di sini LAI memberi judul “Perintah baru”, sama seperti terjemahan bahasa Inggris, “New commandment”. Judul yang tepat, karena hal itu memang yang menjadi center. Dalam Injil Yohanes boleh dikatakan salah satu center teologinya adalah kasih/cinta. Tidak tepat kalau Saudara mengatakan di Injil Matius, Markus, dan Lukas juga begitu, karena Matius, Markus, Lukas punya center yang lain, sementara dalam Injil Yohanes hal ini terus-menerus diulang dan diulang. Yohanes adalah rasul yang sangat peka waktu bicara tentang kasih; dia sendiri menyebut dirinya “murid yang dikasihi”.
Waktu Yohanes mengatakan dirinya “murid yang dikasihi”, ini pengertiannya lebih bersifat subjektif, itu adalah pemahaman pribadinya tentang bagaimana Tuhan memperlakukan dia, yaitu dengan penuh cinta kasih. Di sini Saudara tidak boleh tarik kesimpulan bahwa kalau Yohanes murid yang dikasihi, berarti murid yang lain tidak dikasihi. Cara logika seperti ini kadang-kadang jadi mengganggu dan menyebalkan, karena bagian ini tidak bicara itu. Itu seperti seumpama saya bilang “Tadi pagi saya mandi”, lalu Saudara menanggapi, “Maksudmu, saya ‘gak mandi??” Padahal saya tidak bilang begitu; kecuali saya bilang “hanya saya yang mandi”, baru sensitifnya Saudara ada tempatnya. Di sini Yohanes cuma bilang bahwa dirinya murid yang dikasihi, jadi Saudara tidak boleh tarik kesimpulan ‘menurut Yohanes, semua murid yang lain itu –Petrus, Yakobus, dsb.– tidak dikasihi, itu namanya ge-er’. Bukan itu maksudnya, melainkan lebih di dalam penghayatan subjektif, atau lebih tepatnya penghayatan personal; Yohanes melihat dirinya di hadapan Tuhan, dia sangat mengerti bahwa dia adalah murid yang dikasihi.
Di bagian lain dalam Perjanjian Baru, Paulus pernah mengatakan dirinya “chief sinner”, di antara semua orang berdosa, dirinya yang paling berdosa. Itu juga pemahaman personal. Maksudnya, kalimat ini Saudara dan saya seharusnya juga bisa mengatakannya, “Di antara semua orang berdosa, saya yang paling berdosa” –dan saya percaya Paulus tidak akan ngamuk lalu bilang, “Ngawur! secara objektif saya yang juaranya”. Bukan dipahami seperti itu, melainkan dipahami secara setiap pribadi; dan itu benar secara personal setiap pribadi, bahkan dengan istilah superlatif pun. Istilah ‘paling’ biasanya berarti cuma satu, kalau saya ‘paling’ berarti orang lain bukan ‘paling’, kalau orang lain ‘paling’ berarti saya bukan ‘paling’. Tapi kalau Saudara memahami perkataan Paulus dalam kekakuan seperti ini, Saudara tidak mengerti bahwa di dalam iman Kristen ada hal yang bisa dihayati secara personal, bukan dihayati sebagai benar secara objektif saja. Setiap orang bisa mengatakan “saya yang paling berdosa”, dan semuanya benar. Kita memberikan ruang untuk penghayatan yang seperti ini; bukan semuanya diselesaikan secara pemahaman scientific, karena scientific tidak bisa menyelesaikan segala sesuatu, sedangkan dalam teologi kita bisa menghayatinya seperti ini. Saudara dan saya bisa bersama dengan Paulus –dan itu bisa benar kalau kita menghayatinya dengan jujur di hadapan Tuhan—mengatakan bahwa kita ini chief sinner, seperti juga Paulus chief sinner.
Kembali ke perikop ini, dalam Injil Yohanes sangat ditekankan tentang kasih. Kita sudah membahas, waktu Yesus membasuh kaki murid-murid-Nya, itu adalah tindakan kasih. Kita tidak mengertinya sebagai sakramen, melainkan sebagaimana dikatakan dalam tafsiran WBC, bahwa hal itu by virtue of love, ini bicara tentang kebajikan cinta, kebajikan kasih, bukan untuk dihayati secara sakramen, bukan dihayati sebagai ritual yang menuju kepada sakramen. Itu sebabnya kita tidak terlalu menekankan ritual tersebut di gereja ini, memang arahnya bukan ke sana. Tapi mereka yang melakukan pun tidak apa, itu bukan sesuatu yang kita musti judgemental. Namun yang ditekankan dalam pembasuhan kaki ini adalah spirit kasih, spirit hamba; itu yang lebih penting. Substansi dan esensinya ada di situ. Yesus bukan hamba, tapi Dia memperhambakan diri-Nya sendiri, bukan dengan terpaksa melainkan karena Dia mengasihi. Intinya adalah kasih.
Waktu kita membaca perikop ayat 31-35 ini, kita juga bisa membacanya dalam perspektif kasih/cinta. Yesus tahu bahwa Yudas akan mengkhianati Dia, dan Yesus juga tahu bahwa tidak satu pun murid-murid-Nya yang tahu hal itu. Ini sangat menyesakkan. Ini adalah saat-saat Yesus sangat perlu pendampingan –secara manusia. Ada orang yang bisa mengerti kesulitan-Nya, itu sangat diperlukan dalam saat seperti ini. Masih mending kalau murid-murid-Nya tahu juga, lalu misalnya ikut sebal, ‘bagaimana, sih! padahal sudah lama ikut’, dsb., tapi di sini Yesus tahu pasti bahwa murid-murid-Nya juga tidak tahu hal itu; dan di dalam keadaan seperti ini, Dia membicarakan tentang kasih, tentang cinta, tentang kemuliaan, glorification, pemuliaan, dsb. Spiritualitas seperti inilah yang Yesus mau kita berada di dalamnya, bukan spiritualitas yang tenggelam di dalam sakit hati, kepanikan, dan pikiran yang redup, karena sepertinya sudah tidak ada jalan keluar lagi, sudah dikhianati dan tidak ada satu pun murid yang mengerti, lalu terus masuk ke dalam kekecewaan. Yesus mau membebaskan kita dari hal-hal seperti ini, untuk tidak terus tenggelam dalam kekecewaan, sakit hati, dsb., karena keadaan seperti itu tidak membawa kita ke mana-mana, terus jalan di tempat, tidak peduli berapa banyak kita dengar Firman Tuhan, tidak membawa Saudara dan saya bertumbuh menyerupai Kristus. Apa yang mau Yesus lakukan? Yesus mau membawa kita kepada diri-Nya sendiri. Apakah itu? Inilah: dikhianati dan tidak ada satu orang pun yang mengerti, namun Yesus malah bicara tentang kemuliaan; ayat 31: “Sekarang Anak Manusia dipermuliakan dan Allah dipermuliakan di dalam Dia”.
Menderita karena kebenaran, menderita karena nama Tuhan, menurut Injil Yohanes adalah pemuliaan. Kita berbagian di dalam pemuliaan Kristus, waktu Saudara dan saya menderita karena kebenaran –bukan karena ketidakbenaran. Kalau karena ketidakbenaran, itu persoalan kita sendiri; kalau kita berdosa lalu menanggung akibatnya, itu tidak ada urusannya dengan pemuliaan. Yang dikatakan di sini adalah pemuliaan karena ketaatan kepada Bapa, glorification. Ini tidak dimengerti sama sekali oleh dunia. Bagi dunia hal itu tidak ada kaitannya dengan kemuliaan. Bagi dunia, Yesus ditelanjangi di atas kayu salib, itu kemuliaan apa?? Yesus yang diarak ke luar kota, bagi pemerintah Romawi selain untuk menghukum juga untuk mempermalukan; “Inilah Mesias yang kamu percayai, inilah Pemimpin yang kamu harapkan jadi Raja dan mengalahkan pemerintah Romawi, tapi sekarang diarak keluar dari kota”, menyatakan bahwa Orang yang dibangga-banggakan ternyata tidak bisa apa-apa, cuma bisa gitu doang, menyatakan pemerintah Romawi masih tetap lebih powerful daripada yang mereka rencanakan. Jadi apanya kemuliaan?? Itu gambaran orang yang kalah, koq kemuliaan??
Tetapi, Yohanes menyebut ini sebagai kemuliaan, Anak Manusia dipermuliakan, Allah dipermuliakan di dalam Dia. Ini prinsip Trinitatis yang secara unik sangat ditekankan dalam Injil Yohanes, melampaui Injil Sinoptik. Waktu Anak dipermuliakan, Bapa juga dipermuliakan di dalam Dia. Waktu Gereja dipermuliakan, Allah juga dipermuliakan –maksudnya tidak dipermalukan. Jadi, pemuliaan yang Saudara dan saya terima waktu kita taat kepada Tuhan, itu bukan berhenti pada kita. Kita sudah pernah membahas, bahwa penerimaan yang diberikan kepada kita itu bukan penerimaan atas kita melainkan penerimaan akan Kristus yang mengutus kita; dan Kristus pun menghayati seperti itu, “bukan menerima Aku, tapi menerima Bapa yang mengutus Aku”. Dengan prinsip yang sama, kita juga bisa menghayati pemuliaan, bahwa waktu manusia dipermuliakan, Allah dipermuliakan di dalam dia. Ini seharusnya menjadi doa Gereja, supaya waktu Gereja dipermuliakan –ini pasif, bukan mempermuliakan dirinya sendiri—Allah juga dipermuliakan di dalam kehidupan Gereja, kehidupan orang-orang percaya.
Dalam kultur Timur ada budaya ‘honor-shame’ (budaya ‘hormat dan malu’); dan tidak harus dimengerti sebagai oposisi, alternatif satunya biasanya bicara tentang ‘guilt culture’ (budaya salah dan benar). Orang Asia sepertinya lebih berurusan dengan ‘keren dan malu’, ‘hormat/mulia dan malu’, daripada ‘benar dan salah’. Kalau Saudara membaca literatur seperti itu, kita mendapat kesan seolah-olah gulit culture, yang mempersoalkan salah dan benar, sepertinya lebih Alkitabiah. Saya tidak setuju dengan ini, bahwa urusan honor and shame seolah-olah urusan budaya Timur yang tidak setia dengan Alkitab, lalu kebudayaan yang menekankan salah-benar lebih sesuai dengan Alkitab, itu sebabnya ada penjara yang tidak bisa disuap, ada penghukuman dan juga pengampunan, bahkan adanya indulgensia sangat mungkin dalam kebudayaan yang dipengaruhi gulit culture dan tidak terlalu berfungsi dalam honor-shame culture. Saya tidak sependapat dengan gambaran yang mengatakan honor-shame culture tidak sesuai dengan Alkitab; persoalannya adalah: kita meletakkan honor and shame itu pada diri kita sendiri, tidak berkait dengan Tuhan. Ini yang masalah; waktu saya malu, bukan karena saya mempermaluan Tuhan tapi saya yang memang malu. Kita jaga muka kita sendiri, bukan jaga mukanya Tuhan. Inilah yang membuat honor-shame culture bermasalah. Ada satu jemaat di kota lain, yang cerita bahwa dalam budaya gerejanya, kalau seorang anak ikut katekisasi kemudian masuk ke dalam ujian, tekanannya berat sekali, jangan sampai salah, karena itu urusan mukanya seluruh keluarga, karena musti menjaga dignitas kemuliaan keluarga/marganya. Gambaran seperti itu, kalau kita kaitkan dengan Yohanes 13, kita melihat waktu Anak Manusia dipermuliakan, dikatakan dalam Firman Tuhan: “Allah dipermuliakan di dalam Dia”.
Saudara boleh menghidupi honor-shame culture, tidak ada yang salah di situ, tapi jangan lupa waktu kita mengejar honor, itu bukan berhenti pada diri kita sendiri melainkan kemuliaan Allah yang diperjuangkan, bahwa saya tidak boleh mempermalukan nama Tuhan, bahwa hidup ini harus ada dignitasnya kerena saya sedang membawa mukanya Tuhan. Kalau Saudara berpikir seperti ini, maka kita seperti Kristus. Tapi kalau kita cuma peduli dengan mukanya keluarga sendiri, itu sepertinya tidak terlalu Kristen, tidak ada urusannya dengan Kristus.
Ayat 32, “Jikalau Allah dipermuliakan di dalam Dia –Bapa dipermuliakan di dalam Anak– Allah akan mempermuliakan Dia juga di dalam diri-Nya, dan akan mempermuliakan Dia dengan segera.” Saudara lihat di sini, bahkan di dalam Tritunggal kita bicara ordo. Bapa melahirkan Anak, Anak dilahirkan oleh Bapa, Roh Kudus keluar dari Bapa dan Anak (atau dalam variasi Gereja Timur: Roh Kudus keluar dari Bapa). Tentu saja tidak bisa dibalik jadi Bapa keluar dari Roh Kudus atau Bapa dilahirkan oleh Anak. Ini cuma bisa satu arah, Bapa melahirkan Anak, Roh Kudus keluar dari Bapa dan Anak; demikian juga kita mengatakan “Bapa mengutus Anak”, bukan “Anak mengutus Bapa”. Tetapi perhatikan di sini, waktu bicara Tritunggal, itu tidak cuma membicarakan ordo melainkan bicara tentang ‘saling’ juga –saling mempermuliakan. Bapa mempermuliakan Anak, Anak mempermuliakan Bapa; dalam urutan ini memang Anak yang dipermuliakan terlebih dahulu. Anak mempermuliakan Bapa, tapi juga tidak salah waktu dikatakan “Bapa mempermuliakan Anak”. Ini sama sekali tidak menyalahi ordo.
Dalam kehidupan ini, di dalam relasi kita perlu menjaga dua-duanya; di satu sisi ada ordo, di sisi lain ada equality. Tidak bisa cuma bicara ordo. Kalau cuma ordo yang dibicarakan, dan kita tidak tertarik membicarakan equality/kesamaan, maka ordo cenderung jadi hirarkis, jadi society yang top-down, yang arahnya selalu harus dari atas ke bawah, tidak pernah dari bawah ke atas. Di gereja ini, Saudara bebas untuk kasih usulan/masukan, hanya saja, kita harapkan Saudara juga bisa terima usulan. Kalau pimpinan gereja tidak bisa terima usulan, itu masalah; dan masalah juga kalau Saudara cuma mengusulkan tapi tidak pernah mau terima usulan orang lain. Sejauh kita saling belajar, saling mendengar, dsb., itu sesuatu yang indah. Kita membaca dalam Tritunggal, ada saling mempermuliakan; Bapa mempermuliakan Anak, Anak mempermuliakan Bapa.
Dalam Surat Efesus, waktu Paulus membahas tentang istri yang harus tunduk/submit kepada suami dan suami yang harus mengasihi istrinya, di ayat sebelumnya ada perkataan “silakan tunduk satu dengan yang lain” (submit one to another). Bagian ini hampir tidak pernah dibahas dalam kotbah pernikahan; saya kadang-kadang bahas, karena tidak bisa cuma bicara submission dalam pengertian ordo saja. Menurut Alkitab, semua orang –bukan cuma suami istri—musti saling submit. Bagian ini mengimbangi pengertian ordo. Di dalam ordo ada urutannya; tapi juga ada tempat untuk kita menghayati secara kesamaan/ equality.
Di ayat 32 tadi dikatakan “Allah dipermuliakan di dalam Dia”, Bapa dipermuliakan di dalam Anak, yang dipermuliakan adalah Bapa. Tapi Saudara juga baca di situ: “Allah akan mempermuliakan Dia–Bapa akan mempermuliakan Anak– juga di dalam diri-Nya, dan akan mempermuliakan Dia dengan segera.” Ada yang menafsir dengan membedakan ‘mempermuliakan’ yang pertama dengan yang kedua, bahwa yang pertama bicara tentang salib, dan yang kedua bicara tentang kebangkitan. Tafsiran ini cukup populer. Tapi kita sudah membahas, bahwa sedikit berbeda dari profil Lukas yang pengertiannya lebih sekuensial –penderitaan terlebih dahulu, kemudian masuk kepada kemuliaan– Yohanes tidak melihat itu sebagai peristiwa yang sekuensial. Dia melihatnya sebagai satu kesatuan, kematian dan kebangkitan Kristus itu satu peristiwa pemuliaan, dan ini sangat konsisten, seperti juga dalam peristiwa Lazarus dibangkitkan penekanannya bukan pada ketepatan waktu. Kalau bicara ketepatan waktu, seakan jadi “salah” waktu-nya; kebangkitan orang mati harusnya nanti, tapi koq Lazarus dibangkitkan di situ pada saat itu. Ini karena penekanan Yohanes bukan pada sekuens waktunya, melainkan pada “I am The Ressurection and The Life”, bahwa Yesus adalah kebangkitan dan hidup, tidak usah tunggu sampai nanti, sekarang pun juga bisa, kalau mau. Kembali ke bagian ini, demikian juga mengenai pemuliaan, tidak seperti profil teologi Lukas. Saya bukan sedang menyiram air dingin pada teologinya Lukas; masing-masing ada keindahannya. Keindahan dari teologi Yohanes adalah kita tidak harus selalu berpikir sekuensial, maksudnya bersakit-sakit dahulu lalu terakhirnya kemuliaan –yang memang ada tempat untuk itu– tapi dalam pengertian bahwa waktu Gereja menderita, itu adalah pemuliaan.
Dalam zaman Abad Pertengahan ada pembicaraan tentang “church militant” dan “church triumphant”, ada gambaran Gereja yang militan –maksudnya Gereja yang menderita bersama Kristus—lalu ada Gereja yang berkemenangan. Kita bisa menghayati ini secara sekuensial, dalam pengertian Gereja, selama di dunia adalah Gereja yang senantiasa menderita (militant), sedangkan triumphant-nya nanti/eskatologis, waktu Yesus datang kembali barulah akan berkemenangan. Tapi kita juga bisa membacanya dari perspektif teologi Yohanes, bahwa waktu Gereja sedang menderita bersama dengan Kristus –karena kebenaran, bukan karena kesalahannya sendiri—itu sebetulnya sudah berkemenangan. Justru Gereja tidak berkemenangan kalau tidak mau penderita bersama dengan Tuhan; itu Gereja yang kalah, itu bukan Gereja yang militant, dan tidak triumphant. Di sini seolah-olah kita mengaburkan antara militant dan triumphant sehingga jadi confused, tapi yang dimaksud bukan confused, melainkan dilihat sebagai satu kesatuan. Inilah perspektifnya Yohanes, waktu dia bicara pemuliaan/glorification. Waktu Yesus naik ke atas kayu salib, itu betul-betul suffering, penghinaan, tapi juga pemuliaan/peninggian/lift-up.
Ayat 33, “Hai anak-anak-Ku, hanya seketika saja lagi Aku ada bersama kamu. Kamu akan mencari Aku, dan seperti yang telah Kukatakan kepada orang-orang Yahudi: Ke tempat Aku pergi, tidak mungkin kamu datang”. Ini kalimat yang penting karena di bagian-bagian berikutnya (pasal 14, 15, 16) mulai masuk kepada yang disebut diskursus perpisahan (farewell discourse) dalam Injil Yohanes, yang tidak ada dalam Injil-injil yang lain (Injil Matius ada juga diskursus-diskursus yang lain, semuanya dibagi 5 diskursus). Kalimat-kalimat perpisahan itu panjang luar biasa di dalam Injil Yohanes, dan kita tidak boleh membacanya sebagai sekedar perkataan-perkataan sentimental. Tentu saja sentimental termasuk, tapi lebih daripada sekedar sentimental. Dan kalimat di ayat 33 inilah yang mempersiapkan untuk masuk kepada the great farewell discourse tersebut.
“Kamu akan mencari Aku, dan seperti yang telah Kukatakan kepada orang-orang Yahudi: Ke tempat Aku pergi, tidak mungkin kamu datang, demikian pula Aku mengatakannya sekarang juga kepada kamu.” Seperti juga kita biasanya membahas Injil Yohanes, waktu di kalimat ini dikatakan tentang ‘tempat’, tentang ‘pergi’, dsb., maksudnya bukan cuma bicara soal tempat secara geografis. Saudara jadi salah mengerti kalau kalimat itu hanya dimengerti dalam arti: Yesus pergi ke surga, surga itu suatu lokasi, jadi murid-murid tidak bisa pergi ke lokasi yang namanya surga karena mereka masih dalam dunia. Memang pengertian tersebut ada benarnya, tidak salah, tapi bukan hanya itu. Saudara ingat dalam pembahasan awal Injil Yohanes, waktu itu murid-murid tanya, “Guru, di mana Engkau tinggal?” lalu Yesus jawab, “Marilah dan lihatlah”, kalimat itu pasti betul secara harafiah, Yesus memang menunjukkan rumahnya, tapi lebih daripada itu Yesus sedang mengundang kepada abide/tinggalnya Yesus, bahwa murid-murid diundang untuk masuk ke dalam kehidupan Yesus. Perkataan “marilah dan lihatlah”, maksudnya bukan cuma lihat rumah Yesus desainnya Minimalis lalu ada Gothik-nya, dsb., bukan itu, melainkan “marilah dan lihatlah kehidupan-Ku”, karena tidak lama setelah itu Yesus pergi ke Kana dan itu juga perlu dilihat, sementara rumah yang tadi sudah ditinggalkan. Jadi berarti bukan tentang rumah itu saja, tapi terutama tentang kehidupan Yesus.
Injil Yohanes seringkali pakai istilah-istilah yang dipahami secara harafiah pun tidak salah, tapi lebih daripada itu mempunyai arti rohani. Pengertian seperti ini penting; sedikit mengantisipasi waktu Petrus tanya di ayat 36, "Tuhan, ke manakah Engkau pergi?”, lalu dijawab Yesus, "Ke tempat Aku pergi, engkau tidak dapat mengikuti Aku sekarang, tetapi kelak engkau akan mengikuti Aku", artinya bukan cuma ‘sekarang Aku pergi ke surga, kamu tidak bisa ikut, nanti suatu saat kamu akan ke surga’; bagian ini tidak bicara surga. Ini bicara cawan pahit yang akan diminum, ini bicara penderitaannya Petrus; itulah yang dimaksud dalam konteks tersebut.
Dengan demikian –kembali ke ayat 33 ini—waktu Yesus bilang “Kamu akan mencari Aku, dan seperti yang telah Kukatakan kepada orang-orang Yahudi: Ke tempat Aku pergi, tidak mungkin kamu datang, demikian pula Aku mengatakannya sekarang juga kepada kamu”, perkataan “tidak mungkin kamu datang” di situ bukanlah kalimat final; Saudara baca di kalimat berikutnya ada perkataan bahwa nanti kamu akan datang, kelak. Maksudnya, di dalam keadaanmu sekarang, kamu belum siap untuk datang ke tempat itu. Hal ini, kalau kita baca dalam prinsip pemuridan, termasuk prinsip yang amat sangat penting: seorang guru/pengajar harus siap bahwa muridnya itu belum bisa datang ke sana. Tetapi seorang guru yang greget kepada muridnya, “koq, lu ‘gak ngerti-ngerti?? ini ‘kan kayak begini begitu!”, dia tidak bisa jadi guru.
Seorang guru musti tahu bahwa yang di hadapannya itu murid; ini bukan dalam pengertian condescending dalam Bahasa Inggris yang menghina/merendahkan, melainkan condescending dalam pengertian Bahasa Latin yaitu sikap rendah hati yang merendahkan diri. Seorang guru musti siap mengatakan kalimat ini: “di tempat saya ada, kamu belum bisa ke sini”. Kalau si murid memang sudah ke situ, tentu saja dia tidak belajar lagi sama Saudara, bukankah begitu? Misalnya saya mengajar piano, saya musti berasumsi bahwa murid yang diajar itu tidak secanggih saya –secara akal sehat begitu. Kalau di dalam dunia piano itu common sense, lalu mengapa di dalam dunia rohani jadi tidak?? Bukankah sebenarnya common sense juga? Saya mengajar, lalu yang diajar belum sampai ke sini; kalau memang sudah sampai ke sini, ya, buat apa mengajar, ‘kan??
Jadi, waktu kita menghayati bagian ini, kita bisa kaitkan dengan pemuridan (discipleship). Waktu dikatakan “ke tempat Aku pergi, tidak mungkin kamu datang”, ini bukan keadaan yang final, sebagaimana nanti kita baca di bagian-bagian berikutnya; “tetapi pada saat ini tidak mungkin kamu datang demikian pula Aku mengatakannya sekarang juga kepada kamu”. Ini satu kesiapan untuk sabar, untuk menanti, untuk menata dengan realistis dan bukan idealistis, untuk mengharap dengan realistis dan bukan idealistis, bahwa memang murid-murid belum sampai ke sana. Kalau kita bisa berpikir seperti ini, saya percaya Gereja akan diberkati. Di sini Saudara jadi memberi ruang untuk orang bertumbuh. Tapi kalimat ini jangan dihayati ‘saya memang di atas, lu di bawah, saya lebih dulu daripada kamu, saya lebih ngerti, kamu kurang ngerti’; pengertian kayak begini membawa kepada kecongkakan. Bukan itu maksudnya, melainkan kesabaran kita terhadap orang-orang yang kita layani. Seperti kalau Saudara punya anak, kita menanti mereka bertumbuh dengan sabar. Kalau bertumbuh terlalu lama, itu namanya cacat, tapi kita tidak bisa memaksa mereka bertumbuh langsung cepat dan langsung berada dalam posisi kita, karena itu adalah bagian dari discipleship sebagaimana yang kita terima dalam Firman Tuhan.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading