Kita sudah membaca bagian akhir pasal 6, dua macam orang membangun rumah: yang satu akan hancur karena tidak dibangun di atas pondasi yang benar, sedangkan satunya akan kokoh karena dibangun di atas pondasi yang benar. Prinsipnya sederhana, mereka yang membangun di atas pondasi yang benar adalah mereka yang melakukan firman Tuhan. Saya pikir itu kata kunci yang bisa dipakai untuk mengerti bagian ini, masih berkaitan dengan prinsip firman Tuhan, prinsip Sola Scriptura. Kita tahu, sola scriptura dalam konteksnya sering dikontraskan dengan berbagai hal: sola scriptura in contrast dengan tradisi, atau in contrast dengan rasio (rasio yang berdosa) dalam konteks Rasionalisme, atau in contrast dengan experience yang bisa sangat subjektif; bukan dalam pengertian tradisi mutlak salah, rasio selalu menyesatkan, pengalaman selalu tidak bisa dipercaya, tetapi dalam pengertian primacy of the Scripture — Alkitab yang di atas semua, menguji semua. Maka kita, gereja Reformatoris, tidak berusaha membaca Alkitab dari perspektif Luther saja tapi oleh Alkitab justru memperkaya pengertian yang kita terima daripadanya, karena Alkitab lebih kaya daripada pikiran Martin Luther. Bagian yang kita baca bisa diberi semacam subtema Sola Scriptura, yaitu orang yang melakukan firman Tuhan akan tahan waktu banjir melanda kehidupannya. Prinsip sederhana tapi sulit melakukannya. Dalam keberdosaan dan kelemahan kita, sangat mudah untuk mengerti tetapi tidak tentu bisa melakukannya se-sederhana kita mengertinya. Namun dalam Alkitab, mengerti artinya melakukan; orang yang mengerti berarti melakukan, yang tidak melakukan tidak bisa disebut mengerti. Kita melihat di sini Lukas menggambarkan Yesus berurusan dengan perwira di Kapernaum, juga dalam kaitan dengan scriptura (firman Tuhan), perwira ini memiliki respon yang unik — seharusnya tidak unik justru jadi standar kehidupan orang percaya — unik menurut Tuhan Yesus karena respon seperti itu tidak dijumpai-Nya di kalangan orang Israel (ayat 9).
Sebelum masuk ke situ, dalam ayat 1: Setelah Yesus selesai berbicara di depan orang banyak, masuklah Ia ke Kapernaum. Kapernaum kaitannya dengan hadirnya orang-orang Gentiles. Di bagian lain Yesus pernah condemn Kapernaum, tapi di bagian ini gambarannya positif karena ada gentile yang bertobat, yang percaya dan menyatakan iman sejati pada perkataan Kristus. Orang Israel selalu merasa diri spesial, golongan elit, umat pilihan Tuhan, tapi Lukas justru menghadirkan gambaran orang-orang sederhana yang tak disangka-sangka, orang-orang gentiles, yang ternyata mereka melampaui iman kepercayaan, kerohanian, kesalehan orang Israel. Ini gambaran yang terus menerus hadir dalam kitab Lukas, gambaran yang bukan sekedar mengakomodasi orang marginal tapi justru meninggikan mereka; prisnsip reversal (pembalikan); yang kaya – miskin, yang miskin – kaya, yang terakhir – pertama, yang pertama – terakhir, yang anggap diri termasuk inner circle mungkin tidak mengerti, yang di luar justru yang mengerti kehendak Tuhan, dst.
Yang menarik dalam gambaran ini, ia seorang perwira, di Kapernaum, mempunyai hamba, yang sangat dihargainya. Ada orang terhadap ordo di atasnya ia jaga baik-baik, sangat tahu harus bagaimana, kelihatan sangat menghormati; tetapi terhadap ordo di bawahnya ia menekan. Orang sangat sensitif terhadap urusan hirarki, sensitif dalam 2 hal: sensitif terhadap yang di atas, “hati-hati ini greater power, saya harus baik-baik”; juga sensitif ke bawah, “kamu harus hargai saya, karena saya di atas kamu”. Saya bukan mengajarkan Egalitarianisme, Alkitab juga tidak mengajarkan itu, tapi kita melihat gambaran yang sederhana: perwira ini sangat mengerti soal hirarki, karena ia seorang “perwira” dalam military context, tapi dia menghargai hambanya. Ada satu kelebihan yang tidak otomatis ada dalam hidup orang-orang yang mengaku umat Tuhan, mungkin juga termasuk orang Kristen saat ini, sadly so. Orang gentile ini bisa mempunyai kepekaan bagaimana menghargai hambanya, yang sakit keras, hampir mati, yang dalam culture saat itu sudah tidak berguna lagi, sudah tidak bisa kerja, dibuang saja — bahkan jangankan hamba, di culture tertentu ada orang tua kalau sudah lanjut usia dilempar saja ke hutan karena membebani. Seperti kita lihat dalam film orang yang naik kapal membawa budak-budak yang harus kerja keras, kalau ada budak yang sakit akan dilempar begitu saja ke pulau, sementara kapal jalan terus. Dalam dunia gambaran seperti ini sangat wajar, tapi perwira ini tidak begitu. Ia mempunyai satu kualitas kerohanian yang tidak seperti kebanyakan orang di zamannya. Hambanya sakit keras hampir mati, bukan saja tidak dibuang, tidak dipecat, tapi ia perhatikan dan berusaha supaya hambanya itu bisa mengalami pertolongan Yesus Kristus.
Kemudian di bagian ini, khususnya memang dalam Lukas, ada certain profile yang mungkin tidak selalu cocok dengan emphasis dalam teologi Reformatoris khususnya. Waktu kita baca ayat berikutnya: “Ia layak engkau tolong, sebab ia mengasihi bangsa kita dan dialah yang menanggung pembangunan rumah ibadat kami”, sepertinya lagi-lagi bicara kelebihan orang ini. Pembacaan secara teologi Reformatoris yang sempit, memang di sinilah persoalannya: manusia kalau sudah memberi sumbangsih, merasa layak; itu gambaran yang selalu negatif tentang perbuatan baik, tapi Alkitab tidaklah sesempit ini. Dalam Kisah Para Rasul, yang juga ditulis Lukas selain Injil Lukas, kita mendapati adanya orang saleh, yang memberi sedekah, dan dikatakan sedekahnya didengar Tuhan, seperti bau-bauan yang harum, Tuhan berkenan. Agak jarang kita mendengar prinsip seperti ini, biasanya waktu mendengar tentang sedekah, kita langsung katakan: “itu tidak menyelamatkan, orang tidak diselamatkan karena sedekah, jangan pikir karena kamu memberi sedekah lalu kamu punya entrance ticket untuk masuk surga!” Ini evangelical standard, sehingga membaca bagian ini, kita merasa terganggu, ini apa? ditolong karena dia layak? Memang berikutnya ia mengatakan dirinya tidak layak, tapi bagaimanapun orang-orang bilang “ia layak Engkau tolong”, lalu bagaimana sinkronisasi-nya? Ada tension di sini. Good for him merasa tidak layak, tapi orang lain bilang layak, bagaimana? Kalau kita mau tafsir negatif: inilah orang-orang Israel yang salah mengerti; orang bangun rumah ibadat mereka dan mengasihi mereka, langsung saja dibilang “layak”; memang dasar narsis, dasar orang kalau ditolong, kalau untungnya buat dia, langsung bilang “layak”; kalau orang benci dia, langsung bilang “tidak layak”; ini spiritualitas apa? Tapi itu bukan profil teologi Lukas. Dalam keseluruhan Injil Lukas dan Kisah Para Rasul, Lukas menekankan kontinuitas pekerjaan Tuhan bahkan sebelum seseorang mengalami peristiwa pertobatan yang jelas. Kornelius, sebelum pertobatannya, sudah dicatat sebagai seorang yang melakukan perbuatan baik; artinya perbuatan baik bahkan pre atau sebelum seorang bertobat sudah bisa merupakan pekerjaan Tuhan. Kita musti terbuka terhadap paradigma ini, bukan setiap kali mendengar “perbuatan baik” langsung kita siram dengan air dingin: “ini tidak menyelamatkan, yang menyelamatkan hanya Yesus Kristus”. Memang betul, yang menyelamatkan adalah Yesus Kristus bukan perbuatan baik, itu clear, tapi kita tidak pernah tahu apakah perbuatan baik sebelum seseorang diselamatkan itu sudah merupakan pekerjaan Roh Kudus atau perbuatan baik yang dilakukan dalam kemunafikan semata. Tidak ada orang yang bisa judge bagian ini. Agak bahaya kalau kita menyatakan perbuatan baik sebelum orang diselamatkan itu pasti kategori munafik, tidak ada yang benar, tidak ada pekerjaan Tuhan, kecuali dia bertobat dulu, regenerated, baru ada perbuatan baik yang benar. Mengalokasikan kemunafikan hanya sebelum pertobatan lalu setelah pertobatan tidak ada lagi kemunafikan, agak bahaya karena setelah orang lahir baru tetap tidak bebas dari perbuatan baik yang berpotensi munafik. Alkitab tidak memberikan gambaran simplifikasi seperti itu, tapi diferensiasi yang halus dan berhati-hati.
Waktu dikatakan “ia layak Engkau tolong”, sebenarnya mau mengatakan apa? Mau mengatakan bahwa inilah orang yang takut akan Tuhan, yang disebut Sebomenoi, yaitu orang yang respek keagamaan Yahudi, datang ke sinagoga, tapi belum disunat, mempunyai simpati demikian besar, ikut beribadat, punya kedekatan afinitas dengan agama Yahudi, juga memberi sedekah. Lukas tidak memberikan catatan yang critical sama sekali di bagian ini, misalkan: “Jangan pikir karena dia sudah memberi persembahan rumah ibadat lalu Saya pasti mau pergi, memangnya Saya budak orang kaya?” itu tidak ada keluar dari mulut Yesus, hanya dicatat, “lalu Yesus pergi bersama-sama dengan mereka” seolah Yesus meng-iya-kan memang ia layak. Bagian ini sulit kita mengerti. Alkitab mencatat “ia layak Engkau tolong” lalu ayat 6 mengatakan “Yesus pergi bersama mereka”, berarti Yesus menerima statement itu. Itu pembacaan yang sederhana saja, karena itu kita harus memperluas horison kita tentang perbuatan baik. Mungkin ini seperti tidak terlalu at home dalam teologi Reformatoris, tapi saya percaya bukan teologi Reformatoris salah atau tidak ada tempat untuk itu. Tapi ada tempat atau tidak ada pun, di Alkitab ada tempat; dan teologi Reformatoris adalah teologi yang berusaha kembali kepada Alkitab, jadi bagian ini tidak mungkin tidak reformatoris, for The Bible tells me so, kita ikut saja. Tidak harus critical terhadap perbuatan baik. kalau kita setiap lihat perbuatan baik selalu critical, nanti penginjilan kita bisa salah. Bayangkan kalau kita siram dengan air dingin pekerjaan Tuhan sendiri yang dihadirkan melalui Roh Kudus, yang bahkan sudah bekerja sebelum seorang bertobat, maka kita bukannya menyiram “perbuatan baik” manusia tapi menyiram pekerjaan Roh Kudus. Itu bahaya sekali. Pertanyaannya mungkin, dari mana saya tahu bahwa itu perbuatan baik yang ia banggakan atau perbuatan baik yang ia sendiri sadar adalah kesempatan, privilege, anugerah Tuhan? Yaitu dari respon perwira itu waktu ia mengatakan, “sebab itu aku juga menganggap diriku tidak layak”. Ini dua gambaran yang asimetri, yang seringkali hadir dalam kekristenan. Dari sisi pribadi merasa diri tidak mampu, tapi mungkin orang luar mengatakan ia mampu. Dari sisi sendiri merasa tidak rendah hati, tapi orang lain katakan rendah hati. Dari sisi sendiri merasa berdosa, tidak layak, kurang saleh, tapi mungkin orang luar lihat ia saleh. Tidak harus ada tension di sini; justru memang harusnya begitu. Kalau orang betul-betul saleh, ia akan mendapati dirinya kurang saleh. Apparent kontradiksi bukanlah kontradiksi at all. Orang yang di luar meng-konfirmasi bahwa ia saleh, takut akan Tuhan, tapi ia sendiri merasa kurang, merasa tidak layak; alangkah bahagianya kalau seperti itu. Tapi kalau orang lain merasa kita kurang layak lalu kita merasa layak, celaka! Ini spiritualitas yang terbalik, jauh sekali dari gambaran yang diajarkan firman Tuhan. Asimetris perwira ini asimetris yang baik, saleh. Terhadap atasan sangat bisa menempatkan diri sebagai bawahan yang harus taat, tapi kepada bawahan ada kepedulian, tidak memakai power, jabatan, posisi, sebaliknya ia menghargai bawahannya. Dan bukan karena ia kelihatan egalitarian terhadap bawahannya lalu jadi kurang ajar terhadap yang di atasnya, tidak, ia sangat jelas akan ordo di atasnya.
Sense of unworthiness dan bukan dibuat-buat, dari mana ia dapatkan itu? Dari kepekaannya hidup dalam hirarki keperwiraan, karena ia hidup dalam military context. Saya percaya gambaran ketaatannya kepada Tuhan sangat dipengaruhi konteks “perwira”, yang juga dipakai Tuhan. Dalam hal ini pembacaan yang negatif juga bisa saja. Orang yang selalu lihat Alkitab negatif, tidak akan menemukan yang positif. O, iman dia merupakan proyeksi dari pengalaman hidup militernya, kalau gitu Tuhan seperti jendral; ini pengenalan yang dari bawah. Sedikit perbandingan, Daud yang menulis Mazmur 23 Tuhan adalah Gembalaku, kalau kita baca secara negatif: ini orang yang narsis, selidik punya selidik, dia sendiri gembala yang ada urusan dengan domba-domba, maka dia sebut Tuhan sebagai Gembalanya, dia pikir Tuhan seperti dirinya. Tapi kita tidak baca seperti itu, yang kita baca adalah Tuhan memperkenalkan diri sebagai Gembala melalui memberi kesempatan kepada Daud untuk menggembalakan domba, sehingga ia punya perspektif yang sangat khusus waktu mengatakan Tuhan adalah Gembalaku. Pembacaan negatif lagi: O, dia taat karena dia memang perwira, hidup dalam military context sudah biasa hidup seperti itu karena tidak ada pilihan, tidak usah heran orang sudah biasa taat seperti ini terhadap Tuhan pasti taat juga, jadi kita musti menyangsikan ketaatannya, dst. Ini pembacaan paranoid, negatif, evil. Sebaliknya pembacaan yang positif mengerti bahwa ini orang yang integrated. Sebagaimana dia hidup dalam kesehariannya, dia tahu juga waktu dirinya di hadapan Yesus, ia perlakukan Yesus bukan sebagai bawahan. Sebenarnya tidak perlu katakan bahwa Yesus bukan bawahan, tapi nyatanya itu tidak otomatis. Ada orang yang menganggap Tuhan itu bawahan, atau bukan bawahan — lebih baik sedikit — menganggap Tuhan cuma dalam level teman, sahabat, tidak pernah dalam level atasan, tidak ada tempat untuk itu; paling mentok di level “sahabat”. Menyanyikan Tuhan adalah Sahabatku itu menyenangkan; tapi kalimat ini pun bisa salah kalau parsial begitu saja. Tuhan bukan hanya sahabat. Bukan. Tuhan itu Atasan kita; dalam kaitan dengan ini bahkan lebih dari military context.
Respon dari perwira ini ada total submission, dan tidak ada discussion, kalau atasan bilang begini, ya sudah. Sekali lagi, dibaca dengan perspektif paranoia negatif bisa saja: kita diajar Teologi Reformatoris harus kritis, tidak boleh ketaatan buta, itu bisa bahaya sekali, semua harus diuji, dst. Tapi intinya, di dalam hati kita ada kesulitan untuk submit, itu persoalannya, that’s it! Tapi kita hias dengan membawa-bawa Teologi Reformatoris, Luther, musti kritis, reform habits of the mind is being critical, kutip Brian Gerrish, dsb. Banyak sekali justification tapi intinya cuma satu: saya ada kesulitan untuk submit. Daud dalam hidupnya belajar untuk submit kepada Saul, otoritas yang salah sebenarnya, dan Tuhan menghendaki demikian. Daud bisa saja katakan: “Tuhan, saya tidak ada pesoalan untuk submit, asal Engkau berikan Samuel, Musa, Elia, atau pun Petrus atau Yohanes, tapi jangan Saul; saya tidak bisa submit karena orang ini nggak bener.” Tapi diskursus itu tidak ada dalam Alkitab. Submission bukan berarti kita jadi tidak bisa membedakan mana salah mana benar, submission adalah pelatihan di dalam diri; dan perwira itu mempelajari hal ini dalam kesehariannya. Mungkinkah dalam kesehariannya ada atasannya yang beri command salah? Mungkin saja, tapi itu bukan poin yang mau dibicarakan Alkitab di sini, melainkan bagaimana kita melihat Tuhan sebagai Atasan kita, dengan total submission firman Tuhan.
“Tuhan jangan bersusah-susah, aku tidak layak menerima Tuan di rumahku. Saya cuma bawahan. Sebab itu aku juga menganggap tidak layak untuk datang kepada-Mu. Kamu jangan datang, saya tidak layak. Saya datang pun tidak layak. Bukan saya menghina Engkau dengan saya tidak mau datang, bukan. Saya merasa tidak layak untuk datang kepada-Mu. Katakan saja sepatah kata, firman. Katakan saja — sola — firman; sepatah firman, sola scriptura, maka hambaku itu akan sembuh.” Luar biasa sense of unworthiness seperti ini. Kita dalam kehidupan ini bergumul untuk pecaya kepada firman. Kita sudah baca dan “tahu” firman, tapi sulit untuk total submission pada apa yang dikatakan firman Tuhan. Kita bangun rasionalisasi kita untuk jauhkan diri dari total submission yang sederhana ini. Oleh karena kerumitan pikiran kita kah? Bukan. Tapi oleh karena kerumitan hati kita, lalu kita pakai pikiran untuk melayani kerumitan sikap hati, karena hati kita terlalu rumit, terlalu banyak cabang, tidak sederhana. Jika hati kita sederhana, pikiran mau rumit pun akan jadi pelayan dari kesederhanaan hati. Alkitab memakai kesedehanaan hati yang childlike seperti seorang anak, dalam pengertian tidak ada apa-apa, selalu bergantung. Dan Alkitab juga pakai kesederhanaan hati seorang bawahan yang kalau atasan katakan begini, ya kita siap. Ini submission, tidak ada discussion, tidak ada pertanyaan, tidak ada keraguan. Sepatah kata saja dan dia akan sembuh. Sekali lagi, ini dikaitkan dengan pengenalan dia akan arti hidup sebagai bawahan, sebagai atasan, yang di bawah ada prajurit, di atas ada jendral; kehidupan militer, ada istilah militan.
Calvin pakai istilah the church militant dan church trumphant. Apa itu militan? Dalam pemahaman populer artinya tahan banting, tahan menderita, punya fighting spirit; atau dalam pengertian negatif: radikal, ekstrem. Militan dalam pengertian yang dekat dengan military yang positif, yaitu orang yang taat sepenuhnya, sikap hati khususnya terhadap firman Tuhan, karena kita tidak bisa berdalih terhadap firman Tuhan dan tidak perlu ada discussion. Jangan dimengerti militan secara negatif sebagai orang yang buta tidak bisa membedakan perintah yang benar dan salah (kita exclude hal itu dalam pembicaraan bagian ini). Ini bukan anti pengertian, bukan membabi buta, ini kategori kesederhanaan hati. Hati-hati kalau kita justru men-justify diri yang tidak bisa submit totally dengan membangun teologi “tidak bisa sepenuhnya begitu, kita musti mengerti, musti baca commentary dulu, dengar dari beberapa orang dulu, dst”. Intinya satu: tidak ada kesederhanaan hati untuk taat sepenuhnya. Human otonomy. “Kamu mau bicara begitu boleh saja tapi saya punya freedom, nanti saya pilah-pilah sendiri, karena saya kan unique human beeing, bukannya saya prejudice, saya yang tentukan kalimat mana yang masuk akal kalimat mana yang tidak, otoritas akhir ada pada saya”. Kalau kita menghidupi human otonomy seperti ini, waktu membaca bagian ini rasanya janggal sekali, ini orang koq goblok sekali, tidak kristis sama sekali, dst.
Kita sulit menerima total submission karena worldview yang kita bangun adalah human otonomy. Bagian ini alangkah susahnya dimengerti kita yang hidup di tahun 2015 ini karena tahun 2015 akan selalu menyudutkan “ini bahaya iman seperti ini”. Saya percaya, mengikuti Calvin, yang mengatakan, “Orang yang tidak bisa taat kepada manusia, bagaimana taat kepada Tuhan yang tidak kelihatan?” Yohanes mengatakan, kamu bilang mengasihi Allah, yang tidak kelihatan, tetapi kamu tidak mengasihi saudaramu yang kelihatan, bagaimana maksudnya? Dalam prinsip yang sama, “you even cannot submit to human authority, how to submit to Divine Authority? How? Tapi lalu dibalik, dan celakanya pakai nama Luther, lalu jawab: “Luther mengajarkan, kita tidak boleh submit to anykind of authority, kita hanya boleh submit kepada Tuhan dan kepada firman-Nya!”. Kalimat ini memang benar, tapi lalu dipakai untuk men-justify kegagalan orang dalam seni submission, bahaya sekali. Paulus menulis dalam surat Roma untuk submit kepada pemerintah, human authority, sebagai ekspresi submit kepada Tuhan karena pemerintah adalah alat Tuhan. Iulah cara Paulus melihat relasi antara God’s authority dan human authority. Di bagian lain ia tulis, “hai hamba-hamba, taatilah tuanmu seperti engkau taat kepada Kristus”. Paulus melihat ketaatan kepada otoritas manusia adalah sebagaimana taat kepada Tuhan. Ia tidak katakan: “hai hamba-hamba, yang di dalam dunia ini tidak perlu ditaati sama sekali, baik itu pemerintah atau tuanmu atau apa pun! Be rebellious, karena kita cuma perlu taat kepada Tuhan saja”. Tidak begitu. Mungkin kita teringat perkataan Petrus: “kita harus lebih taat kepda Tuhan daripada kepada manusia”. Memang ada saat-saat di mana Tuhan menguji iman kita, lebih taat kepada Tuhan atau lebih takut kepada manusia. Takut itu bukan persoalan submission, beda kategori; takut itu berusaha untuk menyenangkan manusia. Dan ayat ini sama sekali tidak mengajarkan kita untuk tidak perlu submit kepada otoritas manusia apapun karena kita pada dasarnya cuma perlu taat kepada Tuhan dan firman-Nya. Itu bukan reformatoris. Tidak juga dalam kehidupan Luther. Spiritualitas seperti itu racun dalam kekristenan. Yesus sendiri submit kepada human authority; Dia lahir dalam keterbatasan daging seperti kita, Dia bukan hanya submit kepada Bapa tapi juga kepada Taurat, Dia juga submit waktu dibaptis oleh Yohanes dalam pengaturan Tuhan. Puncak submission ada dalam diri Yesus, tapi kita tidak mau submit? Silakan pikir sendiri, kita milik Kristus atau milik siapa. Dalam cerita Alkitab, yang ada persoalan dengan submission itu namanya Setan. Setan ada attitude problem, tidak bisa submit.
“…sepatah kata saja maka hambaku akan sembuh”, lalu perwira ini berikan contoh dalam hidupnya jika ia katakan “pergi!” maka akan pergi; “datang!”, maka akan datang. Pertanyaannya: masih adakah dalam kehidupan kita this kind of military submission kepada Tuhan? Atau jangan-jangan kita banyak ber-argumentasi bukan hanya dengan human authority tapi juga terhadap Tuhan. Kita banyak bergumul, banyak meragukan firman Tuhan padahal kita tahu itu kebenaran, perintah. Kalau saja seandainya kita tidak ditebus pun — padahal kita ditebus — kalau Tuhan, Pencipta kita mengatakan sesuatu, kita tidak ada pilihan untuk tidak taat, karena Dia Pencipta, kita ciptaan. Tapi Tuhan berikan freewill, freedom, dan tanggung jawab bersamaan dengan itu, Tuhan mau uji, dalam freewill yang diberikan apakah masih bisa total submission? Waktu bisa, seperti dalam military context, how beautiful! Karena ada freewill, ketaatan kita bukan ketaatan robot, dan itu makin indah. Ketaatan militan menjadi rare jewel dalam kehidupan manusia yang diberi kehendak bebas dalam Tuhan, tapi dia tetap bisa memilih untuk taat, dalam pertolongan anugerah Tuhan tentunya. Yesus berkata: “iman sebesar ini tidak pernah Aku jumpai sekali pun di antara orang Israel”. Iman apa? Iman militan, iman yang tidak ada pertanyaan. Iman yang jelas sekali posisinya di mana, yang jelas disertai oleh sense of unworthiness. Iman yang jelas kalau diperintah, saya pasti kerjakan, tidak ada debat, tidak ada diskusi. Yang paling sedih kalau kalimat ini masih benar sampai tahun 2015, kalau Tuhan masih katakan “iman sebesar ini tidak pernah Aku jumpai sekali pun di antara orang Kristen tahun 2015”, sedih sekali. Di bagian lain, tentang kedatangan-Nya,Yesus mengatakan, lamenting, “Kalau Anak Manusia datang kembali, akankah Dia mendapati iman di bumi?” Kalimat yang berat sekali. Yesus bukan doubt, ini kalimat peringatan, semakin menjelang akhir zaman makin rusak, makin tidak ada iman, kasih orang menjadi dingin, makin egois, makin serakah.
“Iman sebesar ini tidak pernah Aku jumpai, sekalipun di antara orang-orang Israel”. Mari kita minta kekuatan Tuhan, supaya kalimat ini tidak diberikan kepada kita, kalimat yang sama ini, tapi kita boleh menyaksikan dalam pertolongan dan anugerah Tuhan, Tuhan menjumpai iman yang seperti itu di tengah-tengah kita.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Baca: Lukas 7: 1-10; 11-17
