Judul yang diberikan LAI untuk perikop ini “Kesaksian Yesus tentang Diri-Nya” kurang tepat, karena ayat 31 dikatakan “Kalau Aku bersaksi tentang diri-Ku sendiri, maka kesaksian-Ku itu tidak benar”; kalau Yesus bersaksi tentang diri-Nya sendiri, kesaksian itu menjadi kesaksian yang tidak benar. Yesus tidak bersaksi tentang diri-Nya sendiri tapi tentang Bapa. Roh Kudus bersaksi tentang Yesus. Dan di dalam bagian ini kita membaca, bahwa Bapa bersaksi tentang Anak. Inilah Pribadi Tritunggal, masing-masing bukan bersaksi tentang dirinya sendiri; kalau bersaksi tentang diri sendiri, itu kepribadian manusia yang narsisistik, bukan Pribadi Tritunggal.
Kita ini diciptakan dalam gambar dan rupa Allah, oleh karena itu kita musti mengikuti gerakan yang ada di dalam Tritunggal, bukan menciptakan konsep kepribadian kita sendiri yang diracuni oleh dosa. Kata ‘dosa’ sudah sering sekali kita dengar, tapi apa sebenarnya arti dosa? Banyak sekali dimensi dosa, salah satunya kalau kita bahas dalam pengertian Trinitarian, yaitu konsep kepribadian yang ngawur yang tidak sesuai dengan konsep Tritunggal. Jadi, bukannya Bapa bersaksi tentang Bapa sendiri, Anak bersaksi tentang Anak sendiri, Roh Kudus bersaksi tentang Roh Kudus sendiri, itu bukan Trinitarian yang kita baca dalam Alkitab; yang ada adalah masing-masing bersaksi tentang pribadi yang lain.
Kalau kita bersaksi tentang diri kita sendiri, kita bisa ngawur, kita kurang-kurangi kelemahan dan kegagalan kita, kita besar-besarkan kelebihan kita sebanyak-banyaknya bahkan kalau bisa melampaui kenyataan. Yesus tidak mungkin melakukan itu. Saudara perhatikan di sini, seandainya katakanlah Yesus bersaksi tentang diri-Nya sendiri, pasti perkataan-Nya benar, tidak mungkin ada yang salah, karena Dia Yesus. Tetapi, kalau menurut iman Kristen persoalannya bukan hanya ‘konten’ kesaksiannya yang benar, namun juga ‘siapa’ yang bersaksi. Seandainya Yesus bersaksi tentang diri-Nya sendiri, pasti kontennya benar, tapi di sini Yesus mengatakan bahwa kesaksian itu menjadi tidak benar. Mengapa? Karena tidak seharusnya Yesus bersaksi tentang diri-Nya sendiri.
Dalam pasal-pasal pertama kita sudah bahas bahwa setting in life dari ‘saksi’ yaitu ruang pengadilan; berarti di sini ada yang dituduh (terdakwa) dan ada yang bersaksi (menjadi saksi). Oleh karena itu kalau Yesus bersaksi tentang diri-Nya sendiri, berarti Dia ada di dalam posisi terdakwa sekaligus saksi; kalau seperti itu, sekalian saja jadi hakim juga, karena Yesus itu Hakim, pasti menang perkara. Tapi Alkitab tidak bicara begitu. Ayat 31 ini sangat relevan di dalam kehidupan kita, karena kita sendiri tidak luput dari diomongin orang lain, digosipin –yang seringkali salah– lalu disalah-mengerti, difitnah, dsb., dan kita tergoda untuk membela diri kita sendiri. Kita tergoda untuk bersaksi tentang diri kita sendiri. Seandainya kita kemudian mengatakan kebenaran tentang diri kita sendiri, menurut Yesus itu tetap salah. Kita tidak dipanggil untuk jadi saksi diri kita sendiri; kita dipanggil untuk jadi saksi Kristus. Kepribadian yang berputar pada dirinya sendiri –yang dituduh dia, yang membela juga dia, sekalian juga dia yang jadi hakim– itu non-Trinitarian, bukan kepribadian Tritunggal tapi kepribadian asing yang tidak ada hubungannya dengan Tritunggal. Dan ini dosa. Penolakan terhadap konsep kepribadian Tritunggal, itu dosa.
Di dalam Alkitab, kita melihat kaitan sangat erat antara pengenalan akan Tritunggal dengan hidup yang kekal. Kalau Saudara membaca buku katekisasi, termasuk juga katekismus-katekismus dan Reformed confessions yang klasik seperti Heidelberg, Belgic, Second Helvetic, Canons of Dort, Westminster, Geneva Catechism yang ditulis Calvin, Saudara bisa mendapatkan banyak insight tentang Tritunggal. Pengenalan Tritunggal adalah dasar hidup yang kekal. Kalau kita tidak mengenal Allah Tritunggal, menurut konsep Alkitab kita tidak memiliki hidup yang kekal. Pertanyaannya, mengenal Tritunggal itu artinya bagaimana? Saudara harus hati-hati dengan gambaran yang disebut formulae Christianity, yang cuma main formula, “O, pengertian saya tentang Tritunggal beres, tidak sesat, yaitu Una Substantia (satu substansi), Tres Personae (tiga pribadi)” lalu berpikir kalau mengatakan ‘satu substansi, tiga pribadi’ langsung selamat; tapi kalau ‘satu pribadi, tiga substansi’, masuk neraka. Inilah yang namanya Kekristenan ala formula. Saya bukan melecehkan konsili-konsili ekumenikal yang sangat diberkati Tuhan, sama sekali tidak; tapi kalau Saudara baca Alkitab, kita akan sadar betapa terbatasnya konsili-konsili ekumenikal itu. Ada banyak yang tidak dibahas di dalam konsili-konsili ekumenikal, Alkitab amat sangat jauh lebih dalam, lebih luas, lebih kaya dari itu. Ada banyak hal yang tidak bisa ditampung oleh konsili-konsili ekumenikal yang agung itu, termasuk juga tidak bisa ditampung katekismus-katekismus Reformed yang agung, karena kekayaan Alkitab terlalu limpah. Kalau pengertian arti Tritunggal menjadi dasar hidup yang kekal, maka kita harusnya menghidupi hubungan seperti yang terjadi dalam Tritunggal. Kalau kita menolak menghidupi konsep ‘bersaksi tentang pribadi yang lain’, bukankah ini penolakan terhadap Tritunggal sebetulnya?? Mungkin kita tetap mengatakan “Una Substantia Tres Personae” tapi tidak menghidupi gerakan yang ada di dalam Tritunggal, bahkan mungkin tidak tertarik, kita lebih suka bersaksi tentang diri kita sendiri, kita menjadi pribadi yang berputar pada diri sendiri, a highly narcissistic personhood yang tidak ada hubungannya dengan Allah Tritunggal, lalu kita tetap bersikeras mengatakan diri kita masuk surga karena bisa bicara formula Tritunggal yang benar. Menurut saya, bukan itu iman kepada Tritunggal.
Dalam bagian ini kita mendapati Yesus sedang mengajar kepada kita bukan cuma mengatakan kalimat yang benar, tapi ‘siapa’ yang mengatakannya. Kalau saya bicara tentang diri saya sendiri, itu tidak menjadi sesuatu yang benar; Yesus tidak dipanggil untuk jadi saksi diri-Nya sendiri, Dia adalah saksi Bapa-Nya. Maka di ayat 32 dikatakan “Ada yang lain yang bersaksi tentang Aku”. Biar orang lain yang bicara tentang kebaikan kita, jangan kita bicara tentang kebaikan kita sendiri. Itu tidak cocok dengan konsep Tritunggal. Tapi kita biasanya tidak sabar, apalagi waktu kita dibicarakan secara keliru. Toleransi Tuhan itu panjang sekali, dan kadang kita juga gereget kepada Tuhan bukan cuma gereget sama orang yang menfitnah kita. Namun Tuhan itu berdaulat, termasuk juga berdaulat kapan waktunya Dia menyelesaikan kesalah-mengertian. Waktu Yesus bangkit, Dia tidak menyelesaikan kesalah-mengertian orang Farisi. Apa Saudara pernah membaca, setelah bangkit Yesus pergi ke Yerusalem hitung-hitungan sama orang-orang yang dulu salah bicara tentang Dia? Tidak ada. Yesus menyerahkan kepada saksi-saksi-Nya; murid-murid-Nya menjadi saksi tentang Dia, lalu Dia naik ke surga. Dan kemudian murid-murid-Nya juga dianiaya. Orang yang tadinya dalam posisi ‘saksi’, akhirnya mereka sendiri menjadi posisi yang didakwa; ini namanya Unio cum Christo (persekutuan dengan penderitaan Kristus). Saudara dan saya dipanggil untuk menghidupi gerakan seperti ini. Itulah mengenal Kristus, itulah artinya kita dipersekutukan dalam penderitaan Kristus. Di dalam Injil dan Kisah para Rasul tidak ada cerita Yesus menjadi saksi untuk diri-Nya sendiri, yang ada adalah ‘yang lain’ menjadi saksi. Saudara dan saya juga dipanggil untuk tidak menjadi saksi bagi diri kita sendiri, karena itu bukan cerita Injil melainkan cerita yang entah dari mana. Dalam keadaan seperti ini, kita belajar untuk dibentuk, dikuduskan, termasuk juga emosi kita, konsep kita tentang waktu –musti menunggu Tuhan.
Yesus menyerahkan kepada Bapa-Nya, “ada yang lain yang bersaksi tentang Aku”, selanjutnya “ dan Aku tahu, bahwa kesaksian yang diberikan-Nya tentang Aku adalah benar” (ayat 32). Di sini bahasa Indonesia terjemahan LAI sangat tepat, kalimat ‘kesaksian yang diberikan-Nya’ memakai ‘Nya’ huruf besar, yang maksudnya adalah Bapa; biarkan Tuhan yang bersaksi tentang kita. Betapa luar biasa ayat ini, kita bersaksi tentang Tuhan, Tuhan pun bersaksi tentang kita. Apa maksudnya? Bukan di atas Tuhan ada yang lebih tinggi lagi yaitu kita –tentu ini sesat– tapi maksudnya kalau kita hidup benar, jangan kita bersaksi-bersaksi sendiri biarkan Tuhan yang bersaksi akan hal itu, Tuhan yang tahu. Tapi di sini saya perlu segera menambahkan bahwa kalimat “Tuhan yang tahu” ini kadang-kadang keluar dari mulut orang yang membenarkan diri, sudah salah masih tidak mau disalahkan lalu mengatakan, “Tuhan tahu”. Saudara dan saya bisa mengatakan “Tuhan yang tahu” cuma untuk membenarkan diri kita sendiri, padahal yang Tuhan tahu lain dari yang kita katakan itu. Orang salah, ditegur, lalu mengatakan Tuhan yang tahu”, maksud sebenarnya ‘lu semua ‘gak usah menghakimi saya, penghakiman itu datang dari Tuhan, jadi tutup mulutmu!’; ini orang yang sombong luar biasa lalu pakai kalimat yang mirip perkataan Yesus “Bapa yang bersaksi tentang Aku”. Hati-hati. Kalimat ini bisa disalah-gunakan manusia berdosa seperti Saudara dan saya. Kadang-kadang Tuhan tahu dan menegur kita melalui peneguran orang lain, kita musti terbuka untuk itu. Tapi waktu Yesus mengatakan kalimat tersebut, kita tahu Dia betul-betul tidak ada salah. “Ada yang lain yang bersaksi tentang Aku dan Aku tahu, bahwa kesaksian yang diberikan-Nya tentang Aku adalah benar”, Bapa bersaksi tentang Kristus. Dalam kehidupan kita, profiling karakter kita yang paling final itu datang dari Allah, bukan dari manusia. Ini bukan berarti manusia sama sekali tidak berhak menilai kita, tapi intinya kita tidak perlu terlalu terganggu dan gelisah dengan penilaian manusia, kalau kita menghidupi doktrinTritunggal bukan cuma formulae Christianity.
Tapi di bagian berikutnya kita membaca ada juga kesaksian manusia. Bapa bersaksi akan Kristus, itu sebenarnya sudah cukup. Kalau Bapa mengatakan, “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan”, itu sudah cukup, perlu tambah apa lagi? Kalau Bapa mengatakan, “Hai hamba-Ku yang baik dan setia, masuklah di dalam kebahagiaan Tuanmu”, maka orang mau kritik apapun tidak usah pusing karena Tuhan sendiri sudah memuji, sudah cukup. Tapi mengapa di sini ada kesaksian manusia, misalnya Yohanes Pembaptis, padahal kesaksian Bapa tentang Anak sudah cukup? Di dalam ayat 33-34 kita baca: “Kamu telah mengirim utusan kepada Yohanes dan ia telah bersaksi tentang kebenaran; tetapi Aku tidak memerlukan kesaksian dari manusia, namun Aku mengatakan hal ini, supaya kamu diselamatkan.” Yesus tidak memerlukan kesaksian dari manusia. Demikian juga kehidupan kita waktu Tuhan sudah menilai, tidak perlu ada kesaksian manusia karena penilaian Tuhan tidak mungkin salah, tidak mungkin perlu koreksi, tidak mungkin kurang lengkap, tidak mungkin salah perspektif, dan Tuhan melihat semuanya sehingga waktu Tuhan bersaksi/ mengatakan tentang kehidupan kita, ya, itulah finalnya. Bapa adalah saksi bagi Sang Anak, Anak sendiri adalah saksi bagi Sang Bapa, tapi di sini Yohanes Pembaptis juga menjadi saksi tentang Kristus, tentang kebenaran. Di sini Yesus segera menambahkan : “…tetapi Aku tidak memerlukan kesaksian dari manusia, namun Aku mengatakan hal ini, supaya kamu diselamatkan.” Apa artinya? Apa saya diselamatkan karena kesaksian Yohanes Pembaptis?? Bukankah kita diselamatkan karena korban Kristus mati menebus dosa di kayu salib?? Saya percaya ini ditafsir di dalam pengertian konsistensi teologi Inkarnasi; Allah yang tidak kelihatan menjadi manusia, masuk di dalam dunia yang kelihatan, menjadi daging, lalu disaksikan oleh manusia yang berada di dalam dunia yang kelihatan, yaitu Yohanes Pembaptis. Manusia tidak selalu bisa mendengar Yang tidak kelihatan, bukan karena Bapa tidak jelas mengatakan tapi karena manusia tuli dan buta rohani tidak bisa melihat kesaksian dari Bapa, maka perlu Yohanes Pembaptis. Ini juga bukan berarti Yohanes Pembaptis mutlak, sehingga kalau tidak ada dia rencana keselamatan bubar. Tuhan tidak bergantung kepada siapa pun, tapi waktu di sini dikatakan “supaya kamu diselamatkan”, artinya rencana keselamatan itu memang melibatkan kesaksian manusia, termasuk kesaksian Saudara dan saya. Kalau kita tidak mau jadi saksi, Tuhan pasti punya cara sehingga orang pilihan datang kepada Dia. Tapi Tuhan mau pakai kita, melibatkan kita menjadi saksi, seperti Yohanes Pembaptis juga dilibatkan menjadi saksi. Yang tidak kelihatan masuk ke dalam dunia yang kelihatan, kemudian disaksikan oleh orang-orang yang ada di dalam dunia yang kelihatan juga, bukan cuma disaksikan dari surga.
Kalau Saudara membaca Injil Matius, Markus, Lukas, di situ ada perspektif yang berbeda-beda. Waktu Yesus dibaptis, ada perspektif yang menunjukkan bahwa ini pembicaraan Bapa yang bukan kepada Anak, melainkan merupakan satu pengumuman yang paling sedikit ditujukan kepada Yohanes Pembaptis atau mungkin murid-muridnya juga: “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan”. Tapi kalau Saudara baca dalam Injil sinoptik yang lain ada perbedaan: “Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan”. Kalau kita pakai perspektif yang terakhir ini, bagian ini adalah pembicaraan Bapa kepada Anak, tidak ada yang harus dengar karena pembicaraan ini antara Bapa dan Anak, yang tahu adalah Anak. Jika demikian, bagaimana yang lain bisa mendengar suara Bapa di situ? Oleh sebab itulah ada perspektif yang lain tadi, bahwa pembicaraan ini bisa ditafsir sebagai pengumuman/proklamasi.
Kembali pada perspektif yang pertama, –yaitu pembicaraan Bapa dengan Anak– “Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan”, memangnya siapa yang bisa dengar suara Bapa kalau begini? Kalau dalam perspektif ini, cuma Yesus yang bisa mendengar, oleh karena itulah perlu kesaksian manusia. Kesaksian dari Bapa itu cukup, final, tidak perlu dikoreksi, tetapi supaya kamu diselamatkan maka Allah yang tidak kelihatan menjadi daging supaya kamu bisa melihat secara fisik juga, supaya kamu bisa raba dan bisa pegang. Ada yang bersaksi dari dari dunia yang kelihatan juga –bukan kesaksian para malaikat atau para orang kudus di surga yang semua tidak kelihatan– adalah supaya kamu bisa diselamatkan; menurut konsep Alkitab, teologi inkarnatoris itu tekanannya pada manusia hidup di dunia sini dan sekarang. Meskipun Yesus tidak memerlukan kesaksian dari manusia, namun Yesus mengatakan hal ini supaya kamu diselamatkan.
Calvin pernah mengatakan ‘kalau kita tidak bisa mendengar pengajaran dari orang yang kelihatan, bagaimana kita bisa mendapatkan pengajaran dari Allah yang tidak kelihatan? kalau kita tidak bisa dididik oleh manusia yang kelihatan, bagaimana kita mau dididik oleh Tuhan yang tidak kelihatan?’ Ini mirip seperti perkataan Yohanes ‘kamu tidak mengasihi sesamamu yang kelihatan, bagaimana kamu mengasihi Allah yang tidak kelihatan’, tapi kemudian Calvin menerapkannya di dalam pengajaran, kepemimpinan, dan kalau boleh saya tambahkan juga dalam kesaksian: kalau kita tidak bisa mendengar kesaksian dari manusia yang kelihatan, bagaimana kita menerima kesaksian dari Tuhan? Tuhan memberikan orang-orang ini supaya kita juga diberkati. Kalau dalam konteks suami istri, seorang istri yang tidak bisa tunduk pada suaminya, bagaimana dia mau tunduk kepada Tuhan? Begitu juga seorang suami, kalau suami tidak mengasihi dan berkorban bagi istrinya, bagaimana dia bisa bilang dia berkorban kepada Kristus yang tidak kelihatan? Itu problem yang sama. Oleh sebab itu Yohanes Pembaptis memberi kesaksian, yang memang dari manusia. Inilah keindahan inkarnasi, Yesus menjadi manusia dan Yesus melibatkan manusia menjadi saksi-saksi-Nya. Ini bukan berarti Yesus perlu manusia; waktu Yesus masuk Yerusalem, ada ayat yang mengatakan kalau orang-orang itu pun tidak memuji, batu-batu akan dipakai Tuhan untuk memuji Tuhan. Bersaksi itu boleh pakai manusia –tidak harus pakai manusia– tapi Tuhan mau pakai manusia, supaya kita diselamatkan.
Selanjutnya Yohanes digambarkan seperti pelita yang bercahaya; ayat 35 “Ia adalah pelita yang menyala dan yang bercahaya dan kamu hanya mau menikmati seketika saja cahayanya itu”. Bahasa Inggrisnya: He was a burning and shining lamp, and you were willing to rejoice for a while in his light. Maksudnya, Yohanes Pembaptis itu terang –yang lebih kecil daripada Kristus, Terang yang sesungguhnya– dan seharusnya itu membawa mereka kepada Terang yang lebih besar itu, tapi mereka mandek di dalam terang yang seketika itu saja. Yohanes Pembaptis itu orang yang dipakai Tuhan untuk mempersiapkan jalan bagi Sang Mesias, maka kalau orang mendapat terang dari Yohanes, ia seharusnya datang kepada Terang yang lebih besar itu karena Yohanes memang menunjuk ke sana, “Lihatlah Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia”. Harusnya orang terus menuju kepada Terang yang lebih besar, tapi nyatanya tidak, maka dikatakan ‘kamu hanya mau menikmati terangnya seketika saja, dia seperti pelita yang menyala, tapi kamu tidak datang kepada yang ditunjuk oleh Yohanes Pembaptis’.
Metafor “terang” lumayan sering di dalam Injil Yohanes dibanding Injil sinoptik. Terang itu terang yang mengatasi kegelapan, pelita yang bercahaya. Apa artinya? Yohanes Pembaptis itu seperti terang, dia menyinari dunia yang dalam kegelapan, yaitu dosa. Apa itu dosa? Dalam cara bagaimana Yohanes menjadi terang? Kotbah Yohanes Pembaptis tidak banyak dicatat, pendek-pendek, tapi dalam kotbahnya itu kita tahu yang dimaksud dengan kegelapan. Dia bicara tentang kemunafikan pemimpin-pemimpin agama, orang-orang itu ditegur dengan begitu keras, kemudian ada orang-orang yang diajak mencukupkan diri dengan gaji yang ada, jangan memeras. Kemunafikan (hypocrisy), kecongkakan tidak mau dididik (the sin of pride), keserakahan (the sin of greed), inilah kegelapan. Waktu Yohanes berkotbah, dia menegur, mempersiapkan Kerajaan Allah: “Bertobatlah, Kerajaan Allah sudah dekat”. Di sini kita musti merenungkan lagi, apa artinya Kerajaan Allah? Saya kuatir sekali dengan formulae Christianity, Saudara bisa memakai kata ‘dosa’, ‘Kerajaan Allah’, ‘kehendak Tuhan’, dan kalimat-kalimat jargon yang kita semua sudah hafal, tapi sebetulnya artinya apa? Waktu kita berdoa “datanglah Kerajaan-Mu”, apa itu maksudnya? Orang mengertinya bisa sangat melebar, ngawur luar biasa, semau dia sendiri tentang Kerajaan Allah ini. ‘Kerajaan Allah itu kalau yang saya kehendaki semuanya terpenuhi’; padahal itu tidak ada urusannya dengan Kerajaan Allah. ‘Kerajaan Allah berarti Tuhan bekerja dengan mujizat’; padahal itu juga bukan substansinya. Lalu ‘Kerajaan Allah itu kemegahan Kekristenan yang makin lama makin jadi agama yang mayoritas’, apakah itu Kerajaan Allah?? Waktu Yohanes Pembaptis bicara tentang Kerajaan Allah, apa sebenarnya artinya? Yohanes Pembaptis membangun tradisi Kerajaan Allah berdasarkan kitab nabi-nabi, oleh karena itu kita musti belajar kitab nabi-nabi untuk bisa mengerti yang dikatakan Yohanes Pembaptis dan Yesus tentang Kerajaan Allah. Yesus ada juga menjelaskan tentang Kerajaan Allah di dalam berbagai perumpamaan, tapi Yohanes Pembaptis tidak menjelaskan; darinya kita hanya mendapatkan sedikit gambaran yang tidak terlalu lengkap, justru dia mengatakan kepada pendengarnya untuk menyelidiki kitab-kitab suci yang dari dulu sudah ada.
Koresy, raja Persia yang terakhir dalam masa pembuangan, adalah seorang yang dipakai Tuhan, diurapi, menjadi seorang raja yang dipakai oleh Raja di atas segala raja yaitu Kerajaan Allah bukan kerajaan Media-Persia, Syria, dsb., untuk bisa menghantar orang Israel yang terbuang dari hadirat Tuhan sehingga bisa menikmati hadirat-Nya dan membangun Bait Suci kembali. Lalu Alkitab (Yesaya) mencatat perkataan Tuhan, Koresy disebut sebagai His messiah (‘His’ di sini maksudnya Tuhan); di dalam bahasa aslinya, Koresy adalah mesias Tuhan. Bukankah harusnya Mesias itu keturunan Daud? Tapi ini raja kafir? Di sinilah, kalau kita bicara ‘Kerajaan Allah’ banyak tidak cocoknya; kita maunya Kerajaan Allah itu gereja kita, dan orang Israel dulu juga berpikir seperti itu. Kerajaan Allah menurut Israel ya, kerajaan Israel, tapi nyatanya Koresy. Koq bisa Koresy disebut mesias, bukankah ‘gak cocok, ‘gak boleh dong, paling sedikit harus orang Israel, lebih baik lagi harusnya keturunan Daud, keturunan Yehuda, sedangkan keturunan suku lain pun ‘gak boleh, tapi mengapa jadi Koresy? lagipula tidak jelas ini orang statusnya orang diselamatkan apa bukan, orang pilihan apa bukan, mengapa boleh terlibat dalam pekerjaan Tuhan, mengapa bisa included di dalam Kingdom of God?? Lalu kita lebih terkejut lagi karena jangankan Koresy, waktu Yesus berbicara perumpamaan tentang seorang penabur, Iblis yang menabur pun termasuk bagian dari Kerajaan Allah. Penaburan benih yang jahat itu termasuk Kerajaan Allah, menurut konsep Yesus Kristus. Tapi kalau menurut konsep kita, semua orang jahat harus dibabat, dibersihkan dari Kerajaan Allah; pertanyaannya, Kerajaan Allah yang mana, menurut konsepnya siapa, pemahamannya siapa, karena ini tidak cocok dengan gambaran Yesus. Kerajaan Allah menurut gambaran Yesus itu peperangan, di dalamnya ada juga pekerjaan Iblis. Jadi kembalilah kepada Alkitab.
Waktu Yohanes Pembaptis menjadi terang, pelita yang menyala, dia menerangi kegelapan, Kerajaan Allah yang hadir di tengah-tengah Israel. Apa maksudnya? Kalau kita membaca kitab Yesaya, artinya selain Koresy Tuhan bisa memakai orang-orang yang non-Israel, orang-orang miskin (the poor and the needy) diberitakan kabar baik, diakonia. Itu semua termasuk dalam Kerajaan Allah. Saya bukan mengajar social gospel, tapi dalam Kisah Para Rasul diakonia itu salah satu fungsi yang sangat berjalan di dalam Gereja. Tadi kita mengatakan, salah satu dosa yang ditegur Yohanes Pembaptis adalah dosa kesarakahan, maka kalau kita dikuasai sin of greed, tidak mungkin ada diakonia; kalau kita dikuasai keserakahan, kekikiran, kepelitan, bagaimana mungkin kita mendukung pekerjaan Tuhan, lalu sudah begitu kita masih tetap bersikeras diselamatkan masuk surga karena bisa menjawab Una Substantia Tres Personae, Yesus dua natur –natur Ilahi, natur manusia– satu pribadi. Betul-betul mengkuatirkan model Kekristenan yang main formula seperti ini tapi tidak tertarik untuk menghidupi Injil. Yohanes Pembaptis itu mengapa disebut pelita? Apa yang menjadi terang dalam kehidupannya? Yaitu bahwa dia menegur kegelapan-kegelapan yang ada di dalam hati manusia, di dalam hati Saudara dan saya, lalu mengajak kita untuk menikmati realita Kerajaan Allah. Tidak menjadi orang yang discourage, pesimis berlebihan hanya karena ada pekerjaan Iblis sebab Yesus sudah mengatakan itu termasuk Kerajaan Allah. Kita tidak perlu kaget, Yesus sendiri sudah mengajarkan seperti itu. Jangan kehilangan pengharapan dalam gambaran yang seperti ini karena inilah gambaran yang sangat realistik tentang Kerajaan Allah, bukan gambaran yang steril. “Ia adalah pelita yang menyala dan yang bercahaya dan kamu hanya mau menikmati seketika saja cahayanya itu”, mengapa? Karena manusia lebih suka dalam kegelapan, tidak mau hidup dalam terang.
Yesus mengatakan: “Tetapi Aku mempunyai suatu kesaksian yang lebih penting dari pada kesaksian Yohanes, yaitu segala pekerjaan yang diserahkan Bapa kepada-Ku, supaya Aku melaksanakannya” (ayat 36a). Yohanes Pembaptis itu terang yang kecil, dan dia melenyapkan kegelapan di dalam konteks porsi dirinya. Yesus itu Terang yang besar, Terang yang sesungguhnya, Dia juga melenyapkan kegelapan. Inilah dosa manusia, yaitu hidup dalam kegelapan, tidak menjalankan prinsip-prinsip Kerajaan Allah, kita cuma membangun network dengan orang-orang yang menurut kita menguntungkan dan tidak tertarik berbagian dalam kehidupan orang-orang yang jelas-jelas tidak bisa membalas apa-apa. Tapi kalau kita mengikuti prinsip Kerajaan Allah, waktu Saudara memberi kepada orang yang tidak bisa membalas, pemberian itu lebih gampang murni, meski bisa saja kita tetap murni waktu memberi kepada orang yang bisa membalas. Bukan cuma soal keuangan, tapi mungkin juga senyuman. Waktu Saudara senyum kepada orang yang tidak suka Saudara dan malah buang muka, itu sakit, tapi Yesus mengajak kita masuk dalam realita ini. Ini adalah realita Kerajaan Allah, bukan pilih-pilih, bukan like and dislike, bukan selective fellowship. Waktu kita Perjamuan Kudus, itu Kerajaan Allah, semua orang berdosa diundang oleh Yesus, termasuk orang Farisi yang self-righteous pun diundang. Cerita bapa yang punya dua anak, baik anak yang terhilang ke tempat jauh maupun anak yang terhilang di dalam rumah, keduanya diundang masuk lagi ke dalam rumahnya. Yesus table fellowship bukan cuma dengan si anak bungsu tapi si anak sulung juga, orang yang self-righteous itu, termasuk Saudara dan saya. Yesus datang dengan terang ini. Terang ini kontras sekali dari kegelapan yang ada di dalam dunia. Kegelapan yang ada dalam dunia tidak bisa menerima ini, karena dunia selalu mengajarkan ‘kita ini tidak punya banyak waktu, maka kenalan sama orang pun harus pilih-pilih, kalau tidak waktumu habis’. Waktu Yesus datang di dalam dunia, Dia mendemonstrasikan artinya hidup di dalam realita Kerajaan Allah. “Pekerjaan itu juga yang Kukerjakan sekarang, dan itulah yang memberi kesaksian tentang Aku, bahwa Bapa yang mengutus Aku” (ayat 36b), kehidupan Kristus menyatakan kehidupan Bapa.
Ayat 37 “Kamu tidak pernah mendengar suara-Nya (suara Bapa), rupa-Nyapun tidak pernah kamu lihat”. Kalau membaca ayat ini, seolah-olah ya, memang begitu, Bapa ‘kan tidak terlihat, Dia ada dalam terang yang tak terhampiri seperti kata Yakobus, tapi bukan itu yang dimaksud di sini. Perhatikan sekali lagi: “Kamu tidak pernah mendengar suara-Nya, rupa-Nyapun tidak pernah kamu lihat, dan firman-Nya tidak menetap di dalam dirimu” –ini semuanya sinonim– “sebab kamu tidak percaya kepada Dia yang diutus-Nya”. Seharusnya kita ini bisa mendengar suara Bapa, rupa-Nya jelas kita lihat di dalam Yesus Kristus karena Yesus mengatakan ‘barangsiapa melihat Aku, dia melihat Bapa’ (bukan berarti Yesus sama dengan Bapa tapi bahwa Yesus adalah perfect representation dari Bapa). Lalu mengapa orang tidak bisa mendengar suara Bapa, yang bisa mendengar cuma Anak? Yaitu karena firman-Nya tidak menetap dalam diri kita, karena kita tidak percaya kepada Sang Anak yang diutus oleh Sang Bapa. Yesus itu satu-satunya jalan kepada Bapa, kalau kita tidak menerima kehidupan Sang Anak maka kita tidak bisa melihat Bapa, tidak ada pengenalan akan Allah. Tidak ada orang yang bisa datang kepada Bapa, mengenal Bapa, kalau tidak melalui Sang Anak; menurut Alkitab.
Apa yang dimaksud dengan suara Bapa? Yaitu yang ada dalam Kitab Suci. Bapa berbicara melalui Kitab Suci; suara-Nya harusnya bisa didengar. Tapi mengapa orang membaca Kitab Suci dan tetap tidak mendengar suara Bapa? Bukan karena Bapa itu tidak terlihat, bukan karena yang bisa akses ke Bapa hanya Sang Anak, tapi karena firman tidak menetap dalam diri kita, karena kita tidak percaya kepada Sang Anak. Kata ‘percaya’ ini jangan ditafsir dalam pengertian formulae Christianity tadi. Kalau cuma formulae Christianity akhirnya kita bicara Credo (Aku Percaya), lalu di dalamnya kita bilang communio sanctorum (persekutuan orang-orang kudus) tapi orang kudusnya kita pilih sendiri yang sesuai dengan diri saya. Waktu Yesus menghidupi prinsip communio sanctorum ini, Dia membuka meja kepada semua orang.
Ayat 39-40 “Kamu menyelidiki Kitab-kitab Suci, sebab kamu menyangka bahwa oleh-Nya kamu mempunyai hidup yang kekal, tetapi walaupun Kitab-kitab Suci itu memberi kesaksian tentang Aku, namun kamu tidak mau datang kepada-Ku untuk memperoleh hidup itu”. Saya membaca bahwa waktu Yesus mengatakan kalimat ini, ada latar belakang di dalam Yudaisme; saya mengambil kutipan dari Rabi Hillel yang sangat terkenal: “If a man has gain for himself words of the law, he has gain for himself life in the world to came”, jelas ada kaitan antara words of the law (perkataan Taurat) dengan hidup kekal. Dan satu lagi dari Rabi Akiba: “God said: ‘The word is not an idle thing for you (Ulangan 32:47), and if it is idle for you, why is it so? Because you do not know how to search it (karena kamu tidak tahu bagaimana menyelidikinya), for you do not energetically occupy yourself with it, for it is your life; when is it your life? When you exert yourself with it.’“ Jadi waktu Yesus mengatakan ‘kamu menyelidiki Kitab-kitab Suci, sebab kamu menyangka bahwa oleh-Nya kamu mempunyai hidup yang kekal’ karena memang sebenarnya seperti itulah ajaran para rabi. Yesus sebenarnya tidak sedang berpolemik dengan ajaran para rabi, tapi Dia mau mengatakan bahwa menyelidiki Kitab Suci seperti itu, tanpa mencari Pribadi Kristus –padahal Kitab-kitab Suci memberi kesaksian tentang Pribadi Kristus– maka kamu tidak akan memperoleh hidup.
Belajar firman Tuhan, belajar teologi, dsb. , kalau kita tidak berjumpa dengan Pribadi Kristus maka tidak ada hidup. ‘Ikut Yesus, ikut Yesus’, apa itu artinya? Apa maksudnya mengabarkan Injil? Apa itu Injil? Jangan-jangan Saudara mengabarkan injil model formulae Christianity lagi, karena kita sendiri tidak tertarik dengan kehidupan Pribadi Tritunggal, kita berputar di dalam diri kita sendiri, bicara tentang diri sendiri, membela diri sendiri, dsb., lalu memberitakan Injil; pertanyaannya: injil yang mana?? kehidupan Yesus yang mana?? Kalau kita bilang kita ini mengikut Kristus, berarti kita belajar untuk berpartisipasi di dalam kehidupan-Nya, seperti kehidupan yang ada pada Kristus. Itu namanya mengabarkan Injil, termasuk juga dengan perkataan. Tapi kalau kita mengabarkan dan mengabarkan kemudian kita menghidupi teori yang lain, tidak menghidupi Injil tapi menghidupi kapitalisme misalnya, tidak tertarik akan diakonia dan belas kasihan, hanya bicara tentang bekerja keras untuk makin lama makin sukses, maka itu bukan Injil. Saudara bukan ikut Kristus, Saudara ikut yang lain. Itu berhala.
Orang sering bilang, ‘kalau mau mengajar orang, selagi dia muda, lebih gampang diajar; orang makin tua makin susah diajar’. Saya tidak percaya statement itu; ini bijaksana dunia. Kalau menurut prinsip Alkitab, mengapa orang tidak berubah? Jawabannya sederhana: karena dia tidak bertemu Kristus. Waktu baca firman Tuhan tidak ada personal encountering with Jesus, maka tidak berubah. Saudara bisa membaca berapa pun banyaknya buku teologi, membaca berapa kali pun banyaknya Alkitab dari kejadian sampai Wahyu, tapi kalau tidak ada perjumpaan pribadi dengan Yesus, maka tidak ada perubahan. “Kitab-kitab suci itu memberi kesaksian tentang Aku”, bukan menyediakan formula-formula. Orang yang berjumpa dengan Yesus, bagaimana mungkin tidak diubah kehidupannya? Di dalam kitab-kitab Injil, semua orang yang bertemu Kristus ada transformasi, atau penolakan. Kalau tidak cinta, ya, benci. Tidak ada orang bertemu Kristus lalu cuma ignore. Terang itu menyilaukan bagi orang yang hidup dalam kegelapan, tidak mungkin tidak menyadari. Kalau ada terang masuk dan masih tidak sadar juga, ya, memang keterlaluan kegelapannya, mungkin Tuhan sudah membutakan orang-orang seperti itu. Tapi kita berharap bukan seperti ini. Saya berharap kita bukan orang yang menolak mentah-mentah, tapi waktu berjumpa dengan Yesus kita diubahkan. Ini bukan masalah usia.
Waktu kita membaca Kitab Suci, waktu mendengar kotbah, waktu saat teduh, waktu baca buku teologi, pertanyaannya: Saudara berjumpa dengan Pribadi Kristus atau tidak? Karena perjumpaan dengan Pribadi Kristus pasti mengubahkan. Tidak ada orang yang bisa tahan di depan Pribadi Kristus lalu simply ignore Dia; kalau tidak ada perubahan maka tidak ada personal encounter with Jesus Christ. Dan perjumpaan pribadi dengan Yesus Kristus ini berarti juga personal encounter with The Trinity, karena Yesus bukan bersaksi tentang diri-Nya sendiri, Dia bersaksi tentang Bapa, dan di dalam Roh Kudus kita dicelikkan untuk bisa mengerti ini. “Kitab-kitab Suci itu memberi kesaksian tentang Aku”, yaitu memberi kesaksian tentang Pribadi Kristus, yang membawa kepada pengenalan Pribadi Tritunggal.
Mari kita belajar dalam kehidupan kita untuk menghayati ini, karena perjumpaan dengan Tuhan itu perjumpaan yang mengubahkan. Ketidak-berjumpaan dengan Tuhan, membuat kita terus-menerus berada dalam kegelapan. Kiranya Tuhan memberkati.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading