Kita hari ini membahas mengenai Kenaikan Yesus Kristus. Peristiwa Kenaikan adalah satu poin dalam kehidupan Yesus Kristus yang paling membingungkan bagi kita, dan karena itu paling sering dilewatkan atau dilupakan orang Kristen. Sebenarnya apakah peristiwa Kenaikan itu?
Tahun 2019 kita sudah coba membereskan kacamata yang kita pakai dalam membaca Kisah Para Rasul 1 tadi, bahwa Kenaikan bukan peristiwa lepas landas tok, bukan sekadar Yesus ke luar angkasa. Dan sedikit merujuk pada bahan PA kita, salah satu salah kaprah di zaman modern dalam membaca Alkitab, yaitu kita sering kali pikir lensa kamera menangkap lebih banyak daripada yang mata manusia bisa tangkap. Misalnya, Saudara teringat suatu adegan dalam kehidupanmu, tapi ketika diperlihatkan foto atau rekaman videonya, Saudara bingung, ternyata ada detail-detail yang Saudara tidak lihat waktu itu yang tertangkap oleh kamera; oleh sebab itu kita menganggap kamera lebih akurat dibandingkan mata manusia. Ini membuat kita meninggikan perspektif kamera di atas perspektif mata manusia, bahwa sesuatu baru benar-benar benar ketika hal tersebut bisa tertangkap oleh kamera. Tentu ini ada benarnya, bukan sama sekali salah, tapi di sisi lain pada saat yang sama mata manusia sesungguhnya memandang lebih dalam dibandingkan kamera. Misalnya, ada seorang anak kecil dituntun mamanya, lewat di samping tukang balon, dan Saudara lihat muka anak itu mupeng (muka pengen). Namun, Saudara sadar tidak bahwa kamera tidak sanggup melihat muka sebagai mupeng? Dari mana Saudara tahu anak itu menginginkan balon? Apakah karena Saudara lihat video yang ditangkap kamera ada asap hijau keluar dari kuping si anak, yang artinya dia menginginkan, sedangkan kalau asap kuning artinya lain? Tentu tidak. Tidak ada hal apapun yang tertangkap oleh lensa kamera, yang membuat Saudara tahu anak itu lagi kepingin balonnya. Kalau Saudara membatasi diri dengan apa yang kamera bisa lihat dalam adegan tersebut, Saudara tidak mungkin sampai pada kesimpulan si anak sedang menginginkan balon. Saudara tahu anak itu mupeng, adalah karena mata manusia memandang bukan cuma yang kelihatan oleh kamera, mata manusia memandang lebih dalam yang tidak kelihatan oleh kamera. Di situlah kita baru menemukan makna dan signifikansi dari peristiwa yang terjadi; bukan dari apa yang dilihat oleh kamera, tapi justru dalam apa yang kamera tidak sanggup lihat.
Demikian juga halnya dengan membaca Alkitab. Waktu di mimbar ini dikatakan, “Jangan baca Alkitab dengan perspektif kamera CCTV”, itu bukan maksudnya mengatakan, ‘O, peristiwa-peristiwanya sebenarnya tidak terjadi, ini fiktif …’; bukan itu. Seperti dalam Khotbah Paskah, kita percaya kesejarahan dari peristiwa-peristiwa Alkitab, bahkan kesejarahan tersebut fundamental bagi iman Kristen; tapi di sisi lain Saudara harus mengerti bahwa cara Alkitab menceritakan peristiwa-peristiwa tersebut bagi kita, bukanlah dengan gaya kamera CCTV. Mengapa demikian? Karena Alkitab tidak pernah hanya tertarik dengan apa yang terjadi –sebagaimana yang cuma bisa dilihat kamera– tapi Alkitab tertarik dengan makna dan signifikansi dari apa yang terjadi itu. Dan untuk hal ini, Saudara tidak bisa menemukannya pada apa yang kamera lihat; untuk mengerti makna dan signifikansi sebuah kejadian, Saudara harus melihat lebih dalam dari apa yang kemera lihat. Inilah sebabnya Alkitab adalah firman Tuhan. Banyak orang mengira, kalau Alkitab adalah firman Tuhan maka harus bisa dites, diklarifikasi, berdasarkan kamera, sains, dsb. Tentu saja tidak demikian. Justru karena Alkitab adalah firman Tuhan, maka Alkitab mencatat dan memperlihatkan apa yang kamera dan sains tidak mampu melihtanya. Jika yang Alkitab lihat sama dengan yang kamera lihat, jika yang Alkitab lihat bisa diverifikasi oleh apa yang kamera lihat, maka untuk apa Saudara datang ke Alkitab, tidak ada gunanya, Saudara bisa datang ke kamera saja. Bahkan orang sekuler pun mengatakan bahwa sains hanya bisa memberikan kepada Saudara the ‘how’, but not the ‘why’, jadi untuk apa menguji Alkitab dengan kacamata seperti itu?? Itu kacamata yang terlalu sempit.
Pada tahun 2019, kita sudah coba membaca peristiwa Kenaikan dengan sesuatu yang lain; walaupun kelihatannya seperti Yesus lepas landas vertikal ke luar angkasa, jangan dibaca hanya sebatas itu, karena Lukas sebenarnya juga menyisipkan banyak hal dalam catatannya –yang kamera tidak bisa lihat– untuk mengkomunikasikan apa makna dan signifikansi Kenaikan Kristus bagi kita. Waktu dikatakan ‘Yesus naik diselubungi awan-awan’, ini jangan dibaca sebagai sebatas urusan uap air mengambang di atmosfir; di sepanjang Alkitab, awan adalah simbol mengenai kemuliaan Tuhan, seperti misalnya tiang awan dan tiang api, suluh obor yang berasap dalam kisah Abraham, dst. Lukas sedang mencatat bahwa Yesus dalam kenaikan-Nya, bukan urusan Yesus memasuki level atmosfir atau stratosfir atau apapun, Lukas mencatat apa yang kamera tidak sanggup lihat, yaitu bahwa dalam kenaikan-Nya, Yesus sedang diangkat kembali, masuk ke dalam kemuliaan takhta Allah.
Terlebih lagi, dalam kitab suci orang Yahudi –kitab Daniel– ada satu nubuatan mengenai figur Anak Manusia, yang setelah menderita di bawah kuasa bangsa-bangsa dunia, naik di dalam awan-awan kepada Bapa, lalu Bapa menganugerahkan kepada-Nya kuasa atas segala suku bangsa dan bahasa sehingga segala lutut akan bertelut di bawah nama Anak Manusia tersebut. Jadi, kenapa Lukas mencatat yang mirip seperti itu? Lukas sebenarnya sedang menyindir tradisi kekaisaran Romawi pada waktu itu, yang ketika seorang kaisarnya mati, mereka melepas burung rajawali ke angkasa, dan mengatakan kaisar tersebut telah terangkat ke surga. Kebiasaan Romawi ini tidak ada hubungannya dengan keselamatan jiwa si kaisar; bukan maksudnya bahwa si kaisar terangkat ke surga bagi mereka, tapi maksudnya bahwa kaisar tersebut telah naik ke surga, artinya telah mengalami pen-dewa-an, telah naik takhta di langit (bukan cuma di bumi). Ini sangat penting bagi anak sang kaisar, supaya ketika dia meneruskan takhta bapaknya, orang-orang tetap menurut. Dengan demikian, catatan Lukas bahwa Yesus terangkat ke surga diselubungi awan-awan, ini bukan sekadar catatan kamera CCTV, bukan catatan mengenai perpindahan lokasi tok; audience pada waktu itu langsung bisa mengerti maksud Lukas, yaitu Lukas sedang mau mengatakan bahwa apa yang adalah mimpi bagi para kaisar Romawi, itu adalah realitas bagi Yesus Kristus, Sang Anak Allah yang sejati. Tentu saja Lukas percaya peristiwa Kenaikan itu historis, tapi tujuan utama di balik gaya bahasa yang Lukas pakai adalah untuk memperlihatkan kepada Saudara hal yang tidak bisa dicatat atau dilihat oleh kamera ini.
Sepasang suami istri habis belanja di supermarket, dan sedang menggotong belanjaan mereka ke mobil. Si istri lalu mengatakan, “Aduh, ini belanjaan beratnya 1 ton!” Saudara sebagai suami akan berespons apa? “Oh, sebentar ya, aku ambil timbangan”, lalu taruh belanjaannya di atas timbangan, dan berkata, “Lah, ‘gak nyampe 1 ton nih, cuma 25 kilo, cuma 2,5% dari 1 ton. Ngawur kamu, Sayang… “; makasetelah itu Saudara akan langsung merasakan seperti apa barang 25 kilo itu menghantam muka Saudara. Tapi itulah sering kali kesalahkaprahan kita terhadap Alkitab, karena Alkitab itu seperti si istri, tidak mau membatasi diri hanya pada apa yang bisa dilihat oleh kamera atau diukur oleh timbangan. Alkitab ingin mengungkapkan sesuatu yang ada di balik yang kelihatan itu, bukan cuma berat belanjaannya tapi sesuatu yang tidak terukur oleh timbangan dan tidak terlihat oleh kamera; bukan cuma beratnya berapa, tapi signifikansi dari berat belanjaan tersebut bagi si istri, yaitu perasaan kesalnya, perasaan capeknya. Dan, suami yang tidak bisa membaca ini adalah suami goblok. Itu sebabnya saya tidak mau Saudara menjadi orang-orang yang bodoh dalam membaca Alkitab.
Hari ini kita coba mempelajari lebih lanjut catatan peristiwa Kenaikan Tuhan Yesus. Sementara pada tahun 2019 kita telah mengupas satu makna Kenaikan (ascension) yang lebih dalam dan lebih sejati dengan mundur hanya sejauh kitab Daniel, maka hari ini kita akan mundur sampai sejauh halaman-halaman pertama Alkitab, yaitu kisah penciptaan, kisah Adam dan Hawa, kisah Taman Eden. Dari situ kita akan coba melihat bagaimana hal tersebut memberikan kita satu lensa baru untuk membaca peristiwa Kenaikan Yesus Kristus.
Yang pertama, kita melihat dalam kisah penciptaan. Dikatakan, pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi (the heaven and the earth). Mari kita coba pikir lagi apa sebenarnya yang dimaksud di balik istilah ‘langit dan bumi’; karena ini perspektif Firman Tuhan, maka tidak cuma bicara mengenai apa yang kelihatan oleh satelit tok. Terjemahan LAI di sini sangat baik karena menerjemahkan istilahshamayim sebagai langit; namun yang sering kali jadi problem kita, kita tidak sadar bahwa istilah yang sama ini dalam bahasa Ibraninya juga mengacu kepada surga. Surga/langit dalam bahasa Alkitab, bukan bicara mengenai atmosfir, tapi mengenai tempat kediaman Sang Ilahi. Kalau kita bandingkan dengan yang satu lagi yaitu bumi, dalam bahasa Ibrani aretz (bumi) artinya daratan dan tidak termasuk lautan, kita sering kali pikir artinya seluruh dunia, tapi ternyata tidak demikian, karena sebagaimana istilah langit dipakai untuk tempat kediaman Allah, maka mereka menggunakan istilah bumi sebagai tempat kediaman manusia –‘Pada mulanya Allah menciptakan tempat kediaman Ilahi dan tempat kediaman manusia’. Ini menarik, karena berarti bagi orang Yahudi yang namanya surga dan bumi, itu tidak diciptakan terpisah. Kita biasa mengira surga sudah ada dari kapan-kapan, lalu tiba-tiba ada bumi, terpisah. Tapi tidak demikian, dalam kosmologi orang Yahudi, Allah menciptakan keduanya berbarengan, surga adalah bagian dari alam ciptaan ini, sama seperti langit adalah bagian dari alam semesta ini. Surga adalah bagian yang critical dalam seluruh alam ciptaan, karena surga adalah ruang kendali bumi –dan Saudara tentu tidak taruh cockpit di luar pesawat. Waktu dalam Alkitab mereka mengatakan ‘Allah di atas’, itu sebenarnya mau mengatakan Allah adalah seperti sang pilot yang berada di paling depan, bukan terpisah, dalam arti Dia sedang mengendalikan semua ini; ‘di atas’ berarti posisi power, posisi otoritas. Ini sama seperti orang Ibrani juga mengatakan di bawah bumi adalah tempat kematian, sheol, dunia orang mati; bukan maksudnya secara geografis letaknya di situ, tapi ini sedang mengungkapkan suatu realitas yang tidak kelihatan, dengan menggunakan istilah-istilah lokasi. Ini bukan gaya bahasa ‘belanjaan seberat 1 ton’ tadi intinya, tapi tentang Allah mengatasi bumi, Allah sedang bertakhta di atas bumi ini. Inti dari gambaran ini adalah untuk kita menyadari, bahwa Allah Alkitab waktu menciptakan surga/langit, Dia bukan menciptakan suatu tempat supernatural yang terpisah dari manusia untuk kemudian Dia tinggal di sana, karena visi Allah bagi ciptaan ini sejak awal adalah tempat tinggal Ilahi dan tempat tinggal manusia terintegrasi sebagai satu kesatuan. Itu sebabnya dalam Doa Bapa Kami dikatakan: “di bumi seperti di surga”. Hal inilah yang sering kali kita tidak sadar, karena kita membacanya pakai kacamata kamera CCTV, kita tidak rela menanggalkannya sementara dan melihat bagaimana mereka pada waktu itu membacanya –membaca apa yang tidak kelihatan. Inilah yang terjadi dalam penciptaan; dan khususnya kita sekarang mau melihat di antara langit dan bumi ini, ada satu tempat di mana realm surga dan realm bumi bersentuhan, yaitu yang kita lihat sebagai Taman Eden.
Kita sudah membahas bahwa penciptaan alam semesta digambarkan keseluruhannya sebagai kuil/bait Allah. Sebagaimana bait Allah ada pelatarannya, kemudian ada ruang kudus-nya, dan kemudian ruang mahakudus-nya, demikianlah di tengah-tengah seluruh ciptaan Allah yang adalah kuil besar ini ada Taman Eden –yang sering kali kita tidak sadar ini sebuah miniatur kuil. Pintu gerbang Taman Eden dicatat menghadap Timur (Kejadian 3), dan dicatat pula bahwa kuil-kuil/bait suci orang Yahudi semua pintu gerbangnya menghadap Timur. Dari kitab Yehezkiel 28, kita tahu Taman Eden berlokasi di sebuah gunung, tempat yang tinggi (holy mountain of God). Gunung-gunung, dalam kosmologi orang kuno adalah tempat di mana langit bertemu dengan bumi. Dalam kitab Kejadian pun sebenarnya lokasi Taman Eden sebagai tempat yang tinggi, sudah terkandung secara implisit, karena dikatakan di Taman Eden tengah-tengahnya ada sebuah sungai yang kemudian bercabang jadi 4 sungai yang besar; ini berarti aliran sungai tersebut mengarah ke bawah, dan Eden berada di tempat yang tinggi. Juga dikatakan, di tengah-tengah Taman Eden ada pohon pengetahuan baik dan jahat, sama seperti di tengah-tengah bait suci Allah ada ruang mahakudus tempat tabut perjanjian yang isinya hukum-hukum Tuhan –dan hukum-hukum Tuhan pada dasarnya adalah pengetahuan akan yang baik dan yang jahat. Di tengah-tengah Taman Eden ada juga pohon lain, yaitu pohon kehidupan; di bait suci orang Israel, di tengah-tengahnya juga ada menorah (tempat lilin, lamp stand) yang bentuknya bercabang-cabang seperti pohon. Saudara lihat, ini semua menyimbolkan kuil/bait Allah itu. Terlebih lagi dalam dua catatan besar, yaitu pembangunan kemah suci di kitab Keluaran dan pembangunan bait suci di zaman Salomo, desain interiornya memakai gambaran-gambaran taman, ada bahan-bahan kayu, ada ukiran-ukiran bunga, buah, dst. Juga kepada Adam dan Hawan sendiri, perintah Tuhan adalah untuk mengelola, mengerjakan, mengusahakan taman tersebut; dan istilah mengusahakan ini bahasa Ibraninya adalah avad, yang juga dipakai di sepanjang Perjanjian Lama untuk istilah beribadah/menyembah (melayani, bekerja, menyembah, dalam bahasa Ibrani pakai istilah yang sama, yaitu avad). Jadi, coba Saudara biasakan diri melihat kebiasaan-kebiasaan penulis-penulis Yahudi memakai bahasa geografis untuk menyatakan apa yang justru tidak kelihatan. Dalam hal ini, penulisnya sedang menggambarkan bahwa Eden sesungguhnya adalah sebuah kuil/bait suci di atas sebuah gunung, tempat persentuhan langit dan bumi, lalu Adam dan Hawa sesungguhnya imam-imam pertamanya. Dengan demikian, waktu Adam dan Hawa ditempatkan di gunung Tuhan, berarti mereka naik ke atas gunung tersebut untuk masuk ke hadirat Allah; dan di atas gunung tersebut, mereka menerima kehidupan dari Allah, mereka menerima nafas dari Allah, mereka menerima roh Allah, mereka menerima firman Allah. Lalu sebagai perwakilan Allah atas dunia ini, mereka diberi mandat untuk menaklukkan dan menguasai bumi; kalau ini dijalankan, berarti mereka harusnya akan turun dari Eden, dan memperluas batasan Eden keluar, ke seluruh bumi.
Kita sering kali bingung, Kenaikan itu koq kayaknya hanya di Injil Lukas dan Kisah Para Rasul; kalau sebegitu pentingnya, koq muncul hanya sedikit; tapi kalau Saudara tahu di mana melihatnya dan di mana mencarinya, maka Saudara akan tahu bahwa pola Kenaikan sudah ada sejak halaman-halaman pertama Alkitab. Saudara perhatikan, pola Kenaikan yang pertama di Alkitab, ketika Adam dan Hawa naik ke hadapan Tuhan, itu tidak berarti mereka lalu meninggalkan bumi ini; dan waktu mereka dipanggil untuk turun, itu tidak berarti mereka lalu meninggalkan hadirat Allah. Mereka dipanggil sebagai makhluk yang berada di tengah-tengah. Mungkinkah pola naik-turun ini cikal bakal dari apa yang dimaksud di Perjanjian Baru “di bumi seperti di surga”? Mungkinkah ini lensa untuk kita membaca dan mengerti Kenaikan Tuhan Yesus?
Kita lanjutkan. Kali berikutnya kita melihat pola Kenaikan, yaitu pada zaman Musa; dan coba Saudara membacanya dengan mata manusia, jangan mata kamera. Keluaran 24:15-18, dikatakan: ‘Maka Musa mendaki gunung (naik ke atas gunung) dan awan itu menutupinya. Kemuliaan TUHAN diam di atas gunung Sinai, dan awan itu menutupinya enam hari lamanya; pada hari ketujuh dipanggil-Nyalah Musa dari tengah-tengah awan itu. Tampaknya kemuliaan TUHAN sebagai api yang menghanguskan di puncak gunung itu pada pemandangan orang Israel. Masuklah Musa ke tengah-tengah awan itu dengan mendaki gunung itu. Lalu tinggallah ia di atas gunung itu empat puluh hari dan empat puluh malam lamanya’. Saudara sekarang mulai melihat yang tidak kelihatan, Saudara lihat bahwa penggunaan bahasa di sini sangat disengaja. Ini penggunaan bahasa yang bukan bahasa kamera CCTV, ini penggunaan bahasa yang membuat kita langsung terngiang-ngiang akan peristiwa yang terjadi sebelumnya. Di sini dikatakan ‘Musa naik ke gunung, diliputi awan kemuliaan Tuhan’, lagi pula ada pola ‘6 hari’, diikuti dengan ‘pada hari ke-7’, jadi di sini Musa sedang dihadirkan sebagai gambaran ideal Eden, yaitu seorang manusia – naik ke gunung Tuhan – di antara langit dan bumi – masuk ke dalam hadirat Tuhan – beristirahat dengan Tuhan pada hari ke-7. Perhatikan, Musa naik ke hadirat Tuhan, masuk ke realm-nya Tuhan, itu dengan tidak meninggalkan realm manusia. Dan waktu Musa kemudian turun, membawa segudang instruksi dari Tuhan untuk membangun tabernakel, dsb., wajahnya bercahaya, sampai-sampai harus ditudungi, maka ini berarti Musa turun ke bumi tanpa benar-benar meninggalkan hadirat Tuhan juga. Saudara, ideal Eden bukanlah meninggalkan bumi lalu pindah lokasi ke surga; ideal Eden adalah integrasi, bertemunya/bersentuhannya langit dan bumi, dengan seorang manusia di tengah-tengahnya.
Kita maju lagi; dan kembali kita menemukan satu contoh dalam kitab Imamat. Di tengah-tengah kitab Imamat (Imamat 16, 17) –yang merupakan daging dari sandwich-nya– adalah catatan mengenai Hari Pendamaian (The Day of Atonement, Yom Kippur); dan pusat dari seluruh upacara Hari Pendamaian ini adalah sebuah korban untuk menutupi dosa seluruh Israel, yang membuat Israel bisa tinggal di hadirat Allah. Dan yang menarik, hari tersebut adalah satu-satunya hari dalam sepanjang tahun, di mana imam besar Yahudi secara simbolis naik ke hadirat Allah, yaitu dengan dia masuk menembus tirai pemisah antara Ruang Kudus dan Ruang Mahakudus; dia masuk ke dalam hadirat Allah –dan tujuannya bukan untuk meninggalkan dunia ini. Sebelum masuk ke Ruang Mahakudus, imam besar ini mempersembahkan korrban, lalu di dalam Ruang Mahakudus dia memercikkan darah korban tersebut, membuat pendamaian bagi seluruh Israel. Sama seperti Musa sebelum naik ke gunung Tuhan dia mempersembahkan korban, demikian juga imam besar. Dengan demikian, tujuannya bukan untuk masuk naik ke hadirat Allah dan meninggalkan dunia ini, tapi untuk menjadi pengantara antara langit dan bumi, mengadakan pendamaian antara manusia dengan Allah, menjadi manusia yang di tengah-tengah Ilahi dan manusia, menjadi mediator, menjadi kaca sipon.
Kita sudah melihat Adam dan Hawa, Musa, para imam, semuanya mempunyai pola mereka naik ke hadirat Tuhan, bukan dengan meninggalkan bumi ini, tapi dengan masuk ke tempat di mana langit dan bumi bersentuhan, yaitu temple. Bagaimana dengan rakyat jelata? Apakah yang dipanggil melakukan itu hanyalah orang-orang elit? Tidak. Kalau kita maju lagi dalam kisah-kisah Alkitab, tidak lama setelah Daud menjadi raja, dia memiliih satu tempat di dalam teritori Israel untuk jadi ibukota, yaitu di Yeusalem; dan lokasi Yerusalem adalah di atas sebuah gunung, bukit Sion, kota Daud. Di situlah belakangan anak Daud, yaitu Salomo, mendirikan Bait Suci Yerusalem, yang dibikin berdasarkan gambaran taman Eden, dengan bahan-bahan emas –yang kita tahu ditemukan di Taman Eden– dengan gambaran-gambaran bunga dan buah-buahan (1 Raja-raja 8). Yang menarik, ketika Saudara baca mengenai kebiasaan orang Yahudi berziarah ke Bait Suci Yerusalem tersebut, entah itu datang pada hari raya, atau untuk beribadah, atau untuk mempersembahkan korban, selalu istilah yang dipakai adalah mereka naik ke Yeusalem. Ini memang tidak selalu muncul dalam terjemahan LAI; misalnya 1 Raj. 12:2, ‘Jika bangsa itu pergi mempersembahkan korban sembelihan di rumah TUHAN di Yerusalem’, di sini pakai istilah ‘pergi’ tapi kata aslinya adalah ‘naik’. Di bagian lain ada juga yang LAI tetap memakai istilah ‘naik’, misalnya dalam Mikha 4:2, ‘dan banyak suku bangsa akan pergi serta berkata: ”Mari, kita naik ke gunung TUHAN, ke rumah Allah Yakub, supaya Ia mengajar kita tentang jalan-jalan-Nya dan supaya kita berjalan menempuhnya; sebab dari Sion akan keluar pengajaran, dan firman TUHAN dari Yerusalem” –ada ‘naik’ (naik ke gunung Tuhan), dan ada ‘turun’ (dari Sion, dari Yerusalem). Ini bukan bahasa CCTV; meskipun secara historis dan geografis Yerusalem terletak di tempat yang tinggi, tapi penggunaan bahasa ini tidak pernah sebatas memperlihatkan apa yang kelihatan, melainkan suatu realitas yang lebih dalam dibandingkan itu. Kalau Saudara membaca kitab-kitab Mazmur, ada mazmur-mazmur jenis tertentu yang dipakai ketika orang-orang Israel pergi berziarah ke Yerusalem, biasanya dalam Alkitab bahasa Indonesia kita membacanya sebagai ‘mazmur-mazmur ziarah’; dan dalam bahasa Inggris –yang lebih dekat dengan bahasa aslinya– istilahnya adalah song of ascent, lagu pendakian, lagu naik –naik ke rumah Tuhan. Lalu apa tujuannya mereka naik ke rumah Tuhan? Bukan untuk kemudian tinggal di sana dan meninggalkan rumah mereka, tapi untuk kemudian turun kembali dan menyebarkan kehadiran Tuhan yang mereka telah terima itu ke seluruh bumi, sehingga panggilan Israel tergenapi, bahwa lewat Abraham seluruh bangsa di bumi akan mendapat berkat. Apa yang Saudara lihat lewat pola ‘kenaikan-turun’ ini? Integrasi antara langit dan bumi, di bumi seperti di surga.
Akhirnya, kita sampai ke Perjanjian Baru, diri Yesus Kistus; dan ini sebabnya kita tidak mungkin bisa mengerti kepenuhan dan keutuhan makna Perjanjian Baru tanpa mengerti Perjanjian Lama. Waktu Saudara mendengar di Markus 10:33 Yesus berkata kepada murid-murid-Nya, “Mari kita naik ke Yerusalem”, apa yang sekarang Saudara lihat? Yesus kemudian masuk ke Yerusalem, lalu Dia ditangkap, diadili, dijatuhi hukuman mati, lalu Dia dibawa ke bukit Golgota. Apa yang terjadi di bukit Golgota? Injil Yohanes paling peka dalam hal ini. Injil Yohanes jauh sebelum peristiwa penyaliban Yesus sudah mengantisipasi, sejak pasal 3 sudah dikatakan: “Sama seperti Musa meninggikan ular di padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan”; lalu dalam pasal 8:28, Maka kata Yesus: ”Apabila kamu telah meninggikan Anak Manusia, barulah kamu tahu, bahwa Akulah Dia… “; pasal 12:32, “dan Aku, apabila Aku ditinggikan dari bumi, Aku akan menarik semua orang datang kepada-Ku.” Ini mengacu kepada apa? Pertama-tama, bahwa di atas bukit Golgota Yesus naik ke atas kayu salib. Setelah Yesus naik ke atas kayu salib, Yesus dibangkitkan dari antara orang mati –dan bangkit berarti arahnya naik/ke atas. Ini semua bukan kebetulan, ada sesuatu yang penulis-penulis Injil sedang mau komunikasikan dengan semua bahasa ‘naik’ ini. Lalu sampai ke kitab Kisah Para Rasul, kita membaca Yesus terangkat dan diselubungi –diterima– oleh awan-awan. Kalau Saudara melek Alkitab, dalam poin tersebut Saudara tidak mungkin bertanya-tanya soal batasan atmosfir dan luar angkasa, soal apakah Yesus membutuhkan baju astronot; Saudara akan menyadari bahwa penulis Injil sedang memperlihatkan bahwa semua gambaran ‘naik ke hadirat Allah’ sepanjang Perjanjian Lama, yang adalah desain awal manusia untuk menjadi poin persentuhan antara langit dan bumi, telah menemukan kulminasinya yang ultimat dalam diri Yesus Kristus. Itulah tujuannya; bahwa penyaliban Yesus – kebangkitan Yesus – kenaikan Yesus adalah bagian dari naiknya Yesus ke atas takhta Bait Suci surgawi, masuknya Yesus ke dalam kokpit alam semesta ini.
Saudara jangan lupa bahwa Musa dan para imam sebelum naik, mereka mempersembahkan korban; dan ini pun digenapi dalam diri Yesus. Sang Raja – Sang Imam – Sang Nabi yang ultimat, memberikan hidup-Nya sebagai persembahan korban yang final/ultimat; di atas kayu salib Dia mengatakan, “Sudah genap”, sebelum Dia kemudian naik ke hadirat Allah di surga. Dengan demikian, tujuannya bukanlah untuk pergi meninggalkan Saudara dan saya, tapi sama seperti Adam dan Hawa, Musa, para imam, orang-orang Israel yang naik ke bait suci Yerusalem, Yesus pun naik dan pada akhirnya sungguh-sungguh menyambungkan/mengintegrasikan langit dan bumi kembali secara final dan secara kekal.
Lalu apa artinya buat saya? Ceritanya belum berakhir di sini, kita lanjutkan dulu. Tadi kita sudah lihat bahwa setiap pola kenaikan ini kemudian dilanjutkan dengan adanya sesuatu yang turun. Musa naik ke gunung Tuhan sendirian, tapi dia di sana menerima hukum untuk dibawa turun ke bumi dalam bentuk Hukum Taurat. Musa naik, untuk membawa Firman Tuhan turun. Musa naik, dan ketika turun dia membawa hukum Tuhan bagi umat Tuhan, dan membawa dengannya kehadiran Ilahi. Tujuannya apa? Yaitu supaya lewat umat Tuhan, maka Firman Tuhan, Hukum Tuhan, boleh dihidupi dan menyebar ke dunia.
Dalam hal ini pola menarik dalam Perjanjian Lama yang belum kita sebut, yaitu satu cerita kunci mengenai Kenaikan yang mengandung esensi ini dengan paling jelas, kisah kenaikan Elia yang disaksikan Elisa. Kisah kenaikan Elia yang diangkat ke surga adalah juga kisah perpindahan tongkat estafet kenabian. Ketika Elisa berjalan bersama-sama Elia, Elia mengatakan, “Saya sebentar lagi mau diangkat; kamu mau minta apa?” Elisa mengatakan, “Saya mau minta rohmu, dobel”. Dalam hal ini kita jangan terlalu cepat menafsir bahwa itu artinya dua kali lipat kuasanya Elia, meskipun Pendeta Dr. Stephen Tong pernah memperlihatkan ternyata benar juga Elia membuat mujizat 7 kali dan Elisa 14 kali, jadi 2 kali lipat. Namun sebenarnya yang namanya ‘double portion’ dalam bahasa waktu itu adalah porsi anak sulung, hak kesulungan. Jadi dengan permintaan tersebut, Elisa maksudnya mengatakan ‘aku mau jadi penerusmu, aku mau mengambil tongkat estafet, melanjutkan peran kenabianmu’. Elia kemudian mengatakan, “Ini hal yang sulit, tapi bukan tidak mungkin”, lalu entah bagaimana Elia kemudian menghubungkannya secara misterius bahwa ini tergantung apakah Elisa bisa menyaksikan Elia terangkat atau tidak. Berikutnya yang terjadi adalah Elia dipisahkan dari Elisa dengan sebuah kereta berapi, naik dengan angin ribut –ada api, angin, kenaikan–dan ini adegan pemberian tongkat estafet kenabian, karena jubah Elia jatuh lalu Elisa yang menyaksikan semua itu kemudian mengambilnya, memukul air dengan jubah tersebut, dan air itu terbelah, lalu nabi-nabi lain yang sekolah nabi melihat dan mengatakan, “Roh Elia telah hinggap pada Elisa”. Cerita kenaikan ini adalah cerita tongkat estafet kenabian.
Sekarang kita baca kembali Kis. 1:9-11, dan coba lihat penekanan berulang kali terhadap bagaimana para rasul telah menyaksikan terangkatnya Yesus; Sesudah Ia mengatakan demikian, terangkatlah Ia disaksikan oleh mereka, dan awan menutup-Nya dari pandangan mereka. Ketika mereka sedang menatap ke langit waktu Ia naik itu, tiba-tiba berdirilah dua orang yang berpakaian putih dekat mereka, dan berkata kepada mereka: “Hai orang-orang Galilea, mengapakah kamu berdiri melihat ke langit? Yesus ini, yang terangkat ke sorga meninggalkan kamu, akan datang kembali dengan cara yang sama seperti kamu melihat Dia naik ke sorga.” Ada berapa kali penekanan tentang menyaksikan di sini? Ini bukan kebetulan. Jadi pada dasarnya di dalam cerita Kenaikan ini, jalan ke Taman Eden yang tadinya telah ditutup oleh kerub yang membawa pedang bernyala-nyala, sekarang oleh dua orang malaikat diumumkan bahwa jalan tersebut telah ditembus, terbuka, oleh Yesus. Pada akhirnya, ada seorang Manusia yang berhasil naik sungguh-sungguh ke hadirat Allah, ke ruang kontrol surga dan bumi. Lalu apa yang terjadi berikutnya? Yaitu para murid menyaksikannya, dan para murid kemudian menunggu turunnya Roh Kudus. Roh Kudus, yang juga disebut Roh Kristus dalam Perjanjian Baru, turun kepada mereka dalam bentuk api dan dengan suara angin ribut. Mereka dikatakan menerima kuasa dari tempat yang tinggi, menjadi saksi-saksi Kristus di Yerusalem, Yudea, Samaria, sampai ke ujung bumi. Cerita Kenaikan adalah cerita pemberian tongkat estafet.
Apa implikasinya bagi kita? Yang pertama, untuk kita menyadari bahwa kisah Kenaikan memberikan dan mengungkap bahwa rencana Tuhan sejak awal dalam bekerja selalu melibatkan manusia. Sejak awal, ternyata cara Tuhan ingin menjalankan aturan-Nya di atas alam semesta ini, selalu adalah melalui manusia. Manusia adalah aspek yang krusial dalam Kerajaan Allah, maka proyek keselamatan manusia bukan berarti tujuannya mengenai keselamatan jiwa kita. Dengan kata lain, proyek keselamatan yang Tuhan berikan bagi manusia, tujuan akhirnya bukan keselamatan tok. Manusia diselamatkan bukan hanya untuk selamat. Kalau Saudara lihat seluruh cerita sepanjang Alkitab, Saudara tidak mungkin mereduksi Alkitab jadi hanya urusan ‘saya berdosa, saya butuh keselamatan, saya diselamatkan, suatu hari saya dibawa pindah ke surga nanti’, Tidak demikian. Itu bukan kisah yang utuh dari Alkitab. Kalau Saudara lihat, dari awal kisahnya adalah mengenai Allah ingin memerintah melalui manusia, Allah ingin ada manusia yang berdiri di tengah-tengah langit dan bumi, dan melalui manusia tersebut —gambar dan rupa-Nya—Allah ingin memerintah bumi ini. Tapi manusia gagal, manusia memberontak, jadi manusia perlu diselamatkan. Tapi, setelah manusia diselamatkan, menurut Saudara kelanjutannya apa? Manusia diselamatkan bukan untuk dirinya sendiri. Manusia diselamatkan untuk dipulihkan posisinya, dikembalikan ke dalam posisi semestinya.
Kita buka satu ayat dalam kitab Wahyu; dan berbekal dari apa yang sudah kita bicarakan, coba Saudara lihat apakah ada sesuatu yang baru Saudara lihat sekarang. Wahyu 5:9, Dan mereka menyanyikan suatu nyanyian baru katanya: ”Engkau layak menerima gulungan kitab itu dan membuka meterai-meterainya; karena Engkau telah disembelih dan dengan darah-Mu Engkau telah membeli mereka bagi Allah dari tiap-tiap suku dan bahasa dan kaum dan bangsa”. Ini proyek keselamatan, Allah menebus manusia lewat mengorbankan diri-Nya. Tapi untuk apa? Ayat 10: “Dan Engkau telah membuat mereka menjadi suatu kerajaan, dan menjadi imam-imam (pengantara) bagi Allah kita, dan mereka akan memerintah sebagai raja di bumi.” Jadi, tujuan dari proyek keselamatan adalah supaya umat manusia bisa memerintah bumi ini; itulah yang selalu merupakan rencana awal dari desain penciptaan.
Kenapa ini satu hal yang penting untuk kita tahu? Karena hari ini kalau kita memikirkan mengenai Kerajaan Allah, atau kita memikirkan bahwa Allah telah menjadi Raja, berkuasa atas seluruh suku bangsa, bangsa, dan bahsa di bumi lewat Kenaikan-Nya, kita cenderung berpikir Dialah yang akan beraksi, Dialah yang akan bertindak. Hari ini kalau mau jujur, apa problem kita membaca mengenai Kenaikan? Kita merasa susah ya, Yesus menjadi Raja, mendapatkan kuasa atas seluruh dunia, tapi koq, realitas dunia masih kacau, masih sangat amburadul?? Koq, masih penuh kejahatan, penderitaan, sakit-penyakit?? Lalu kita bertanya, di mana Tuhan, jikalau Dia benar-benar menjadi Raja?? Ini pertanyaan bodoh, Saudara. Coba selidiki cara pikir di balik pertanyaan ini. Kita berpikir, kalau Dia sungguh jadi Raja, Dia yang akan jadi aktor utamanya, Dia yang akan turun ke tengah-tengah medan perang antara Ukraina dan Rusia serta menghentikan segala permusuhan. Itulah satu-satunya alasan kita berasumsi bahwa kita berhak tanya, “Di mana Tuhan, katanya sudah bertakhta?? Koq, dunia masih kacau?” Tapi Saudara lihat sekali lagi, cara Kerajaan Allah datang ke atas dunia ini adalah selalu melalui umat manusia. Jadi, ketika Saudara melihat dunia hari ini masih begitu kacau, yang Saudara perlu tanya bukanlah ‘di mana Tuhan’ tapi ‘di mana Tubuh Kristus’! Di manakah Saudara dan saya? Karena ternyata Kerajaan Tuhan, kuasa Tuhan atas dunia ini, dari awal direncanakan untuk dijalankan melalui kita, manusia.
Coba Saudara lihat sekali lagi dengan segar, pekerjaan keselamatan yang Tuhan bawa. Ketika membicarakan keselamatan, kita selalu mengatakan: O, itu pekerjaan Tuhan, lihat bagaimana Dia bekerja membawa keselamatan manusia; melalui tangan-Nya sendiri, tidak dibantu manusia; melalui Anak-Nya sendiri, tidak dibantu kita; Dia turun ke level kita, kita tidak sanggup naik kepada Dia; ini pekerjaan Tuhan, tangan Tuhan. Ini semua tentu benar, tidak salah, tapi Saudara juga musti pikirkan bahwa pekerjaan keselamatan yang Tuhan kerjakan ini, tanpa andil dan jasa kita ini, itu datang melalui tangan siapa? Itu datang mellaui tangan seorang manusia, Yesus, Orang Nazaret. Tentu saja kita tahu Dia Allah, tapi jangan lupa Alkitab juga menekankan dengan sangat keras bahwa Yesus adalah semanusia-manusianya Saudara dan saya. Kemanusiaan Yesus itu sama pentingnya dengan keilahiannya dalam proyek keselamatan ini. Allah bekerja mendatangkan keselamatan melalui Yesus, dan sekarang Yesus telah naik menjadi Raja, Dia hendak bekerja melalui Saudara dan saya, umat manusia yang telah diperbaharui, Gereja, Tubuh-Nya, karena rencana-Nya sejak awal memang demikian.
Ada berbagai faktor yang membuat kita buta akan hal ini. Mungkin ada faktor budaya, karena kita orang timur yang sangat hirarkis, yang menghasilkan pola berpkir terlalu fokus pada pemimpin baik dalam urusan positif maupun negatif. Kalau ada keberhasilan, pemimpin yang dielu-elukan; kalau ada kegagalan, juga pemimpin yang dihina-hina. Mungkin itulah faktor yang membutakan kita terhadap cara kerja Tuhan di atas dunia ini yang fokusnya tidak pernah cuma pada posisi yang paling atas. Misalnya kepengurusan gereja, banyak orang di gereja-gereja timur hanya mau terima komando, tidak ada yang berjiwa pengelola, sedikit yang bisa diserahkan pekerjaan, sedikit yang berinisiatif. “Saya mau pelayanan, Pak, tolong kasih tahu langkah-langkahnya semuaaa … sampai habis; tolong latih saya semuaaa… sampai habis; saya tidak ada yang saya kerjakan sendiri, karena semua ‘kan pekerjaan Tuhan”. Itu problemnya. Atau, Saudara bukan berjiwa terima komando tapi berjiwa hanya kasih komando tok. Ini tipe lainnya di gereja; dan paling sedih kalau di gereja pengurusnya cuma dua tipe seperti ini.
Hari ini banyak berita mengenai AI, soal AI membuat disruption, AI akan membuat banyak pekerjaan hilang, dsb. Saya tidak menyangkal AI bisa bikin masalah –itu satu isu yang kompleks–tapi salah satu sisi yang menarik dalam trend AI ini adalah bahwa kehadiran teknologi seperti AI itu membuat kita lebih menyadari apa sesungguhnya pekerjaan-pekejaan yang memang bersifat manusiawi, yang memang porsinya manusia dan tidak bisa digantikan oleh robot, termasuk juga dalam bidang kegerejaan. Ada seorang rabi Yahudi yang biasa berkhotbah kepada jemaatnya; lalu suatu hari dia iseng, dia suruh ChatGPT yang tulis khotbahnya kemudian dia khotbahkan kepada jemaat. Setelah selesai khotbah, baru dia mengatakan kepada jemaatnya bahwa hari ini yang khotbah ChatGPT, dan dia ingin tahu bagaimana reaksi jemaat terhadap khotbah tersebut. Waktu dia turun, mengobrol dengan jemaatnya, ada jemaat yang mengatakan, “Keren juga ya ChatGPT, khotbahnya tidak salah, sih, strukturnya bagus, argumennya jelas. Tapi saya lebih suka kamu yang berkhotbah.” Kenapa? “Karena saya tidak merasakan kasih dari khotbah tadi, saya tidak merasakan relasi dari khotbah tadi, seperti yang biasa saya terima dari khotbah-khotbahmu.” Saudara, kehadiran AI membuat kita berpikir sebenarnya fungsi manusia yang manusiawi itu apa. Satu hal menarik lainnya, mengenai dokter; katanya pekerjaan dokter bisa terancam karena semua diagnosa AI lebih bagus, dsb. Lalu ada yang coba membahas hal ini, dia menulis bahwa pekerjaan dokter tidak mungkin hilang. Kenapa? Karena kalau Saudara jadi pasien, Saudara pasti cenderung lebih mau ada seorang manusia di balik keputusan-keputusan pengobatan apa yang akan dilakukan. Memang benar diagnosa AI mungkin lebih bagus daripada manusia, tapi kita tidak mungkin mau menyerahkan sepenuhnya keputusan makan obat apa kepada AI; meskipun AI bisa melakukan, saya tetap mau ada manusia di belakangnya –dan berarti tanggung jawab dokter untuk hal ini tidak mungkin hilang.
Saudara, ini berarti pekerjaan manusia yang manusiawi adalah pekerjaan yang bukan cuma terima komando, dan juga bukan pekerjaan yang cuma kasih komando. Pekerjaan yang manusiawi adalah pekerjaan yang membutuhkan rasa tanggung jawab, kemampuan untuk mengelola, kemampuan untuk bernalar-menimbang-memutuskan. Itu yang sering kali kita baru sadar setelah ada AI, “O, manusia harusnya kayak begitu”; manusia adalah menjadi pengantara, di tengah-tengah. Tapi terkadang saya merasa di gereja hanya sedikit orang yang mau melayani seperti ini. Banyak orang tidak mau pusing dalam pelayanan, hanya mau terima komando, atau hanya mau kasih komando –dan ini bukanlah bagaimana Tuhan menciptakan Saudara. Manusia diciptakan sebagai middle menagement, bukan cuma terima komando di bawah tok, dan bukan cuma di level kasih komando tok; manusia di tengah-tengah, itu berarti Saudara harus terima komando dari atas dan menerjemahkannya ke bawah.
Kita di dalam gereja Reformed, warna teologisnya terkenal very top-down, kedaulatan Allah jadi penekanan nomor satu. Saya mengatakan, ini bukan penekanan yang tepat; kenapa? Karena John Calvin sebenarnya dikenal sebagai ‘teolog Roh Kudus’; dan kalau Saudara melihat keempat buku Institutio-nya itu –yang pada dasarnya semacam “teologi sistematika”-nya Calvin, meskipun istilah ini tidak tepat– bagian yang paling panjang adalah mengenai doa. Dan, doa itu apa? Doa bukanlah top-down, doa adalah bottom-up, akar rumput. Itu sebabnya kalau dalam gereja Reformed hari ini ada semacam over-focus pada aspek kedaulatan Tuhan, mungkin kita perlu bikin lebih seimbang. Saya bukan mengatakan kita perlu menolak doktrin Kedaulatan Allah, sama sekali tidak; saya mengatakan yang kita perlu tolak adalah doktrin Kedaulatan Allah yang tidak melibatkan manusia, karena cara Allah berdaulat atas dunia ini somehow selalu melibatkan manusia. Dari awal, desainnya seperti itu; dan itu berarti panggilan kita pun demikian.
Kita pernah membahas “Yunus” di PA selama beberapa bulan; dan di situ kita melihat Yunus begitu hancur, bahkan salah satu kesimpulan kita waktu itu adalah Tuhan kayaknya lebih gampang suruh ikan besar yang pergi ke Niniwe penginjilan daripada suruh Yunus, karena Yunus ini begundal sekali. Tapi bukan itu ‘kan yang jadi akhir dan pesan ceritanya; yang kita lihat di akhir adalah bahwa inilah kitab yang menceritakan mengenai isi hati Allah. Apa isi hati Allah? Bukan hasil penginjilannya; kalau hasil yang jadi penekanan, Dia suruh saja ikan besar, lebih jadi. Tapi isi hati Tuhan yang Saudara lihat dalam kitab Yunus adalah betapa Dia berulang kali menarik dan menarik Yunus, menugaskan Yunus, melibatkan Yunus, meskipun Yunus terus menolak. Inilah kitab yang menceritakan isi hati Allah, yang somehow ketika Dia bekerja, ketika Dia mendatangkan kedaulatan-Nya, berkat-Nya, Injil-Nya atas dunia ini, Dia selalu melibatkan manusia, meskipun manusia-manusia itu mengecewakan Dia lagi dan lagi. Kenapa Tuhan kita seperti ini? Ya, karena Tuhan kita seperti itu; tidak ada jawaban lain. Bukan karena Tuhan tidak sanggup mengerjakan sendiri, pragmatis, pekerjaan terlalu berat lalu cari tangan orang untuk gotong-royong. Bukan demikian. Allah Alkitab adalah Allah yang digambarkan mencipta dan menopang ciptaan dengan sepetah kata firman-Nya. Istilah NATO (no action, talk only) tidak berlaku untuk Tuhan, karena waktu Tuhan talk, yang terjadi adalah action.
Kenapa Tuhan melakukannya seperti itu? Sepertinya, alasan yang kita dapatkan hanya bahwa inilah sifat Tuhan, inilah seperti apa Tuhan itu, ada sesuatu deep inside dalam diri Tuhan yang selalu mau melibatkan keluar, adalah natur-Nya untuk selalu mau mengajak, merangkul, melibatkan. Masuk akal, karena kita tahu satu istilah yang dipakai untuk mengungkapkan diri Allah adalah: Allah Tritunggal. Allah yang tidak sendirian. Allah yang ke-tiga-annya tidak lebih fundamental daripada ke-satu-annya, dan yang ke-satu-annya tidak lebih fundamental daripada ke-tiga-annya, perfect communion. Istilah yang lain: kasih; dan kasih yang sejati selalu mengarah keluar.
Sekali lagi, waktu manusia diciiptakan, manusia diciptakan sebagai perpanjangan tangan Allah, ditaruh di tengah-tengah langit dan bumi. Kita memberontak dari panggilan ini. Lalu Tuhan memulai satu rencana, suatu proyek untuk menyelamatkan kita. Dan, bagaimana Dia melakukannya? Apakah dengan cara ‘ya, udahlah, manusia tidak bisa diajak kerja sama, males deh; memang benar when you wanna do something right, you gotta do it yourself’ ? Tidak. Dia melakukannya dengan cara memanggil Abraham, “Melalui Abraham, Aku akan memberkati seluruh bumi” –melalui seorang manusia. Ketika Dia mendengar jeritan Israel di bawah perbudakan Mesir, Dia memanggil seorang manusia yang lain, Musa. Dan ketika manusia berdalih tidak sanggup, Allah memanggil seorang manusia lagi, Harun, untuk membantunya. Belakangan, Dia memanggil Yosua. Belakangan lagi, Dia memanggil Daud. Dan, seperti tadi sudah kita bicarakan, ini semua menunjuk kepada satu poin klmaks, Allah akhirnya menggolkan proyek keselamatan-Nya melalui –sekali lagi– tangan seorang manusia, Yesus, Orang Nazaret. Meskipun kita tahu Yesus adalah Allah, lihat bagaimana Yesus menggenapi rencana keselamatan, yaitu lewat cara yang sangat manusiawi, lewat mati. Saudara, ini sebabnya kita perlu mengoreksi ketimpangan teologi kita dan kembali ke Alkitab. Tentu saja Allah adalah satu-satunya sumber keselamatan, tentu saja keselamatan tidak datang dari manusia, tapi keselamatan Allah yang tidak datang dari manusia itu datang melalui manusia! Mengatakan bahwa manusai tidak punya jasa atau andil dalam proyek keselamatan, itu tidak sama dengan mengatakan manusia tidak punya peran. Saudara perlu membedakan kedua hal ini. Allah kita, ketika Dia bekerja, dia bekerja melalui umat manusia; inilah maknanya dicipta sebagai manusia, inilah maknanya dicipta sebagai gambar rupa Allah, Dia ingin kita menjadi distributor dari pemberian-Nya dan kebaikan-Nya dan pemerintahan-Nya.
Kembali ke urusan Kenaikan; apa yang Kenaikan bicarakan kepada kita, apa makna dan signifikansi Kenaikan bagi kita? Yaitu Kenaikan memberitahukan bagaimana Allah bekerja dalam urusan Kerajaan-Nya. Ini sebabnya Tuhan Yesus sendiri menegaskan di Yohanes 14:12, “Sesungguhnya barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan melakukan juga pekerjaan-pekerjaan yang Aku lakukan, bahkan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar dari pada itu”. Kenapa? Kenapa lebih besar? Ada banyak cara mengerti ‘lebh besar’ ini; tapi salah satunya adalah: karena Yesus sudah naik, era yang baru telah dimulai; Yesus telah menjadi Raja atas alam semesta, dan telah menurunkan Roh-Nya kepada kita sehingga kita sekarang bisa mengerjakan secara lebih universal apa yang Dia telah kerjakan di lokalitas Palestina. Saudara, ini sebabnya Paulus, yang juga ahli Perjanjian Lama, menarik semua hal ini dan menyimpulkan dalam sebuah ilustrasi, bahwa Gereja adalah tubuh Sang Mesias. Ini bukan ide baru dalam pemikiran Paulus, in sesuatu yang sudah muncul bayang-bayangnya dalam Perjanjian Lama. Paulus menggunakan istilah baru untuk mengungkapkan satu hal yang sebenarnya sangat tua, bahwa dari sejak awal ketika Allah memerintah, Dia memerintah melalui manusia; sekarang Yesus naik ke surga, menjadi pilot atas seluruh alam semessta ini, Dia memerintah melalui Gereja-Nya, tubuh-Nya.
Satu ayat untuk menutup khotbah hari ini, Efesus 3:8-10, “Kepadaku, yang paling hina di antara segala orang kudus, telah dianugerahkan kasih karunia ini, untuk memberitakan kepada orang-orang bukan Yahudi kekayaan Kristus, yang tidak terduga itu, dan untuk menyatakan apa isinya tugas penyelenggaraan rahasia yang telah berabad-abad tersembunyi dalam Allah, yang menciptakan segala sesuatu, supaya sekarang oleh jemaat diberitahukan pelbagai ragam hikmat Allah kepada pemerintah-pemerintah dan penguasa-penguasa di surga”. Dikatakan oleh siapa? Oleh Stephen Tong sajakah? Oleh Billy Kristanto sajakah? Oleh Jethro Rachmadi sajakah? Oleh jemaat. Inilah panggilanmu kalau engkau mengerti Kenaikan Kristus. Bagaimana caranya? Ada banyak macam, tapi salah satunya yang ada di depan mata adalah KKR Regional. Saudara seringkali pikir KKR Regional adalah panggilan bagi orang-orang tertentu, yang cakap, yang bertalenta saja; tapi lihat, sebabnya kita mengadakan pelatihan, karena ini adalah sesuatu yang sebenarnya terbuka kepada seluruh jemaat. Dalam 1 Korintus 14:1, Paulus mengatakan, “Kejarlah kasih itu dan usahakanlah dirimu memperoleh karunia-karunia Roh, terutama karunia untuk bernubuat”. Apa artinya karunia Roh? Yaitu karunia yang Saudara dapatkan untuk meneruskan otoritas Tuhan di bumi seperti di surga. Dan kata nubuat dalam Perjanjian Baru, itu merujuk pada orang-orang yang naik ke hadirat Allah, menerima Firman Allah, lalu meneruskannya, mendeklarasikannya ke seluruh dunia. Ini bukan mengenai talentamu, bukan mengenai Saudarra bisa atau tidak, tapi ini mengenai hasratmu.
Saudara hari ini menunggu Yesus datang kembali, merindukan kehadiran-Nya, jika demikian, kenapa Saudara memandang ke langit? Pandanglah ke kiri-kananmu, orang-orang di sekelilingmu, pandanglah kepada Gereja, kepada tubuh Kristus. Itu panggilanmu.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading