Kematian Yesus merupakan salah satu peristiwa yang paling banyak dibicarakan orang. Begitu banyak pandangan orang akan hal ini; hal ini tidak mengherankan jika kita melihat dengan jelas kitab-kitab Injil dalam Alkitab kita. Kitab-kitab Injil kita mengisahkan bahwa kematian Yesus secara garis besar dapat dilihat dari dua sudut pandang; pertama dari bawah dan kedua dari atas. Dari bawah kita melihat bahwa manusia memiliki pengharapan-pengharapan, pemikiran, keagamaan, permainan politis, yang pada akhirnya membawa peristiwa memilukan ini; namun dari atas kita melihat bahwa ini adalah rencana besar Allah yang telah dirancangkan-Nya untuk kebaikan umat yang dikasihi-Nya. Ketika mereka sampai… mereka menyalibkan… mereka adalah subjek pembicaraan disini sementara Yesus adalah objek yang tidak berdaya, mereka memegang kendali. Tidak heran seorang mantan Farisi bernama Paulus menyatakan bahwa salib adalah kebodohan, adalah batu sandungan. Yesus yang dipercayai oleh orang-orang Kristen adalah objek penderita, korban kecerobohan, kedengkian plus kekacauan politis pada waktu itu. Ini adalah kecelakaan yang sangat buruk, diserahkan oleh seorang murid kunci, pengkhianatan dari dalam, disangkali oleh tangan kanan-Nya, dan ditinggal kabur oleh inner circle-Nya, bukankah ini skenario yang sangat buruk??? Ditempatkan diantara para pemberontak untuk dimatikan setelah ditetapkan sebagai terdakwa yang terbukti bersalah dipengadilan resmi militer.
Kedua Injil sinoptik yang lain menangkap teriakan memilukan Yesus disini, sebuah pertanyaan yang tak terjawab: Allah-Ku, Allah-Ku mengapa Engkau meninggalkan Aku… kita perlu membaca kalimat ini bukan dalam konklusi dini yang terburu-buru sebagai sebuah ucapan konfidensi tinggi yang diucapkan dalam kesadaran penuh untuk menggenapkan Mazmur 22 (tentu kita percaya bahwa Dia benar-benar menggenapkan Mazmur 22). Ini adalah teriakan menakutkan dari seorang yang merasa ditinggalkan Allah. Yesus jelas dipotret dalam Alkitab kita sebagai orang yang mengenal panggilan salib-Nya; namun bukan berarti ketika hal ini dijalankan akan menjadi seperti seorang yang menonton siaran ulang, dimana tidak ada keterkejutan, ketakutan sama sekali. Otoritas bait suci, prajurit Romawi, orang banyak, bahkan penjahat diatas salib serempak dengan “hujatan masuk akal” mereka: Anak Allah musti turun, selamatkan diri dan semuanya. Jika tidak turun, tentu Dia adalah satu dari sekian banyak orang gagal yang lain; disalibkan oleh Romawi karena Dia adalah Mesias, dan oleh orang Yahudi karena Dia bukan Mesias, atau setidaknya calon Mesias yang gagal.
Romawi tidak memiliki alasan untuk menyalibkan orang karena orang tersebut melanggar hukum agama, itu bukan urusan mereka pun hal tersebut tidak menarik buat mereka; mereka menyalibkan Yesus karena Yesus dipandang mengklaim diri sebagai raja orang Yahudi, sebagai Kristus. Tindakan makar seperti ini tidak dapat mereka tolerir; plakat diatas kepala-Nya menyatakan hal ini, ditulis dalam tiga bahasa membuat urusan ini menjadi sangat jelas. Sebaliknya bagi otoritas Yahudi, Yesus disalib karena seperti yang dikatakan imam-imam kepala dia mengatakan: Aku adalah raja orang Yahudi (Yoh 19:21). Kita melihat adegan yang dicatat penginjil Yohanes bahwa para imam menganggap Yesus bukan raja orang Yahudi, namun Pilatus menolak permintaan mereka; bagi Pilatus tepatlah jika raja orang Yahudi diluar otorisasi Romawi disalibkan seperti ini; sungguh ruwet. Sangat manusiawi jika Yesus akan sampai pada titik kegentaran sebesar ini: apakah yang dilakukan-Nya, yang jelas bertentangan dengan semua atau hampir semua elemen masyarakat tersebut sungguh benar dihadapan Allah??? Benarkah semua murid-Nya yang telah lari, para otoritas bait suci, orang banyak, para prajurit semuanya ramai-ramai salah sementara Dia sendiri yang benar??? Tidakkah mungkin Yesus yang kali ini perlu sekali saja mengevaluasi keyakinan-Nya???
Paskah, Mesias, dan salib jelas dalam pandangan pertama bukan perpaduan masuk akal. Paskah, Mesias mustinya bersanding dengan pembebasan besar; kehancuran Mesir, rontoknya lawan-lawan Daud; dan kini dimusnahkannya lawan-lawan sang Anak Daud. Dia telah taat seumur hidup-Nya, menanggung banyak cemooh dan perlawanan, kini waktu yang sangat menentukan; Allah wajarnya akan melakukan pembebasan besar; sekarang waktunya, sudah 3,5 tahun tertunda sejak kabar Kerajaan sorga pertama kali didengungkan oleh-Nya. Namun kini Dia tidak melihat Allah bertindak. Bersama dua penjahat, cemooh dan hujat terus menghampiri-Nya hingga saat menjelang kematian-Nya. Kita percaya bahwa tekanan hebat yang melanda Tuhan Yesus bukan terbatas pada urusan fisik, namun yang tidak kalah hebat adalah cemooh menakutkan tersebut; suara setan yang mencobai-Nya dipadang gurun kini kembali muncul bersahut sahutan ditempat yang tidak lebih baik, yaitu “tengkorak”; kini tampaknya ucapan ini perlu dipertimbangkan oleh para pembaca. Setan tersebut kini menyematkan suaranya didalam mulut banyak pihak, tak terkecuali perwakilan tertinggi umat TUHAN, yaitu imam-imam kepala: jika Engkau Anak Allah… dan ucapan-ucapan tersebut tampak cukup meyakinkan sekarang; apa yang dilakukan Anak Daud dengan terpaku tanpa daya diatas kayu salib??? Dalam kepedihan yang paling puncak Yesus meneriakkan pertanyaan memilukan ini Allah-Ku, Allah-ku mengapa Engkau meninggalkan Aku…
Lukas dalam Injilnya tidak memasukkan teriakan pilu Yesus, sebaliknya sebuah ucapan yang penuh keyakinan. Bapa ampunilah mereka… Yesus masih memanggil Allah sebagai Bapa-Nya. Ini adalah sebuah kepercayaan. Bangsa Yahudi percaya bahwa mereka adalah anak-anak Allah; namun karena dosa-dosa mereka, maka Allah tidak berkenan kepada mereka, Allah kini telah menjauh dari mereka. Namun kabar baik dibawa oleh Yesus yaitu bahwa mereka bisa kembali memanggil Allah sebagai Bapa mereka. Ini bukan sekedar ucapan, namun sebuah kabar bahwa perkenanan Allah kini ada diantara mereka. Saat ini kita sering tidak menyadari seriusnya sapaan Bapa ini. Sebuah seruan yang dikenal oleh orang Israel sebagai hak mereka yang telah lama lenyap karena dosa-dosa mereka. Disini Yesus; bersama kedua penjahat, dengan perlakuan kasar para prajurit Romawi, orang-orang kafir itu menyerukan panggilan Bapa. Berkaca dari Injil Matius dan Markus yang memilih memakai panggilan tak terjawab Eli, Eli / Eloi, Eloi (Allah/Allahku) Lukas memakai kata “Bapa”.
Disini Lukas mencatat Yesus yang terlihat lebih konfiden akan keadaan-Nya; ketiga ucapan Yesus yang dicatat dalam Injil Lukas memberikan kesan tersebut; Bapa ampuni mereka, hari ini kamu bersama Aku di Firdaus, Bapa kedalam tangan-Mu kuserahkan nyawa-Ku. Dia masih berani memanggil Allah sebagai “Bapa”. Hal ini bukan sama sekali bahwa Lukas ingin meringankan bobot penderitaan salib, ataupun menggambarkan Yesus sebagai Pribadi kedua Allah Tritunggal yang penuh dengan kuasa dan terbebas dari segala kelemahan. Yesus dalam Injil Lukas bukan superhuman yang tidak “mendarat”, namun dalam episode salib ini kita seperti tidak mendapati kegentaran yang sangat besar. Yesus bukan Pribadi yang hanya melihat salib dari “perspektif dari atas”, namun seperti kita umat manusia pada umumnya, Yesus juga melihat, bahkan mengalami sisi koin yang lain; hanya saja episode itu ditarik sedikit kedepan, yaitu dalam peristiwa Getsemani.
Dalam bagian tersebut Tuhan Yesus 2x menyuruh murid-murid-Nya untuk berdoa; dan kita melihat bagaimana Dia sendiri berdoa, dikuatkan malaikat, dan makin bersungguh-sungguh berdoa. Yesus bukan Pribadi yang berkata, Bapa mari kemarikan cawan tersebut, galon kalau perlu, Aku sudah tak sabar untuk mempermalukan kerajaan setan dengan menengguknya sampai tetes terakhir. Tidak, seperti halnya murid-murid yang diperingati-Nya untuk berdoa dan berjaga agar tidak jatuh; kita melihat bagaimana Yesus yang ketakutan dikuatkan oleh malaikat dan bergumul serius di dalam doa. Lukas mempresentasikan doa sebagai satu hal yang demikian besar; peristiwa-peristiwa besar didahului dengan doa, dan dalam hal ini keyakinan besar Tuhan Yesus juga dimulai dengan doa. Doa mungkin bukan merupakan hal yang paling populer bagi kita, terlebih lagi, berdoa mungkin merupakan salah satu kegiatan rohani yang paling sulit kita lihat kaitannya dengan tindak pertolongan Tuhan. Konseling, baca Alkitab meski juga tidak terlalu menjadi favorit kita namun setidaknya memiliki efek instan buat kita, tidak demikian dengan doa. Kita bahkan bukan sekedar tidak mendapati efek instan, namun bahkan korelasi tindakan Allah dengan doa pun tidak mudah kita dapati. Ketika anak kita sakit, tentu sebagai orang Kristen kita berdoa, dan secara waras kitapun membawa anak kita ke dokter, memberikan obat dan setelah itu anak kita sembuh. Dengan kematangan teologi yang cukup kita mengatakan, Tuhan telah memakai dokter dan obat-obatan seperti yang kita telah doakan. Kalau kita boleh tanyakan; kira-kira jika kita tidak berdoa dan kita bawa ke dokter apakah anak kita akan sembuh; dan sebaliknya??? Mungkin kita jauh lebih sulit melihat Tuhan bekerja melalui doa ketimbang melalui dokter, obat dsb. Namun dalam bagian ini Lukas sekali lagi menyatakan betapa krusialnya doa ini.
Meski bukan kebiasaan yang paling membahagiakan, berdoa adalah sarana yang dipakai Allah untuk Dia bekerja menguatkan umat-Nya dalam poin yang paling menakutkan dalam hidup. Terkadang ketika kita tidak memiliki gairah untuk berdoa kita secara simpel meletakkan aktivitas ini dilain hari (toh dampaknya juga tidak terlalu ada). Dalam poin ini patutlah kita mendengarkan nasihat Screwtape kepada Wormwood, yaitu bahwa salah satu hal yang paling membahayakan urusan setan adalah bahwa orang Kristen yang meski tidak bergairah namun tetap memilih untuk melakukan pekerjaan Tuhan. Disatu sisi, berdoa dengan segala gairah tentu adalah hal yang menyenangkan Tuhan; namun disisi yang lain ketika kita kehilangan gairah untuk berdoa, penyelesaiannya bukanlah dengan tidak berdoa. Murid-murid tertidur dalam dukacita, Yesus bukan sedang terjaga dalam segala kegirangan, Dia yang paling mengalami tekanan, peluh-Nya menetes bagai titik darah, dan Dia berdoa. Kini kita melihat murid-murid-Nya telah kabur, dan Petrus yang telah memakai pedangnya untuk memotong telinga hamba imam besar sudah mengingkari pengenalannya akan Yesus. Sebaliknya Yesus yang bergulat dalam doa, dalam tekanan yang paling berat bisa berseru Bapa.
Permohonan ampunan yang diungkapkan Tuhan Yesus jika kita lihat dari perspektif Paskah mungkin merupakan salah satu ucapan yang paling menyejukkan telinga kita; ucapan ini besar kemungkinan lebih populer di telinga kita ketimbang perkataan Yesus dari atas salib seperti Aku haus, ini anakmu, ini ibumu. Namun jika kita menilik dari sisi yang lain; ucapan ini tidak semengharukan yang kita pikirkan. Menjalankan panggilan sebagai Mesias, Yesus tidak berdiri mewakili diri sendiri; Dia mewakili pengharapan nasional religius, politis umat Allah. Memintakan pengampunan bagi musuh politis mereka, ketimbang sebuah aksi mengharukan lebih merupakan tindak salah kaprah. Tindakan Yesus ini mirip tindakan derma yang melibatkan orang lain; ketimbang mengundang tepuk tangan, aksi ini lebih mengundang kejengkelan. Umat Yahudi telah menerima bentuk penghukuman Tuhan yang paling keras; mereka dibuang di Babel, mengalami penjajahan demi penjajahan pasukan asing; menghayati sejarah mereka yang panuh dengan kucuran darah, sangat bisa dimengerti jika mereka mengaitkan pelayanan Mesianis Yesus dengan tindakan penghakiman terhadap musuh. Sejalan dengan berbagai macam janji dalam kitab para nabi, bahwa suatu saat mereka akan dibebaskan, pembebasan tersebut akan diiringi dengan pembalasan terhadap lawan-lawan mereka.
Berbagai literatur Yahudi pada waktu itu menerangkan dengan jelas apa yang menjadi pengharapan eskatologis orang-orang Israel, yaitu bahwa musuh-musuh mereka akan menerima balasan setimpal. Itu yang dituliskan dalam kitab 4 Ezra, 2 Barukh, Apocalypse of Abraham (kitab-kitab non Kanonik, kita tidak mengakuinya sebagai Firman Tuhan, namun melalui kitab-kitab ini kita bisa membaca apa yang diharapkan orang Yahudi tentang musuh-musuh mereka). Kini setelah sekian lama mereka menantikan dengan kesabaran, waktu yang mereka tunggu-tunggu telah tiba; Mesias telah datang. Lahir di kota Daud, memulai masa pelayanannya dengan menginjak karpet merah yang dibentangkan orang maha penting, Yohanes pembaptis, melakukan peristiwa-peristiwa Mesianis (penyembuhan, pengajaran, tindakan-tindakan), masuk ke Yerusalem dengan gaya yang sangat Mesianis; kini waktunya mereka telah tiba. Kesabaran mereka akhirnya terbayarkan, darah nenek moyang mereka tidak tertumpah dengan percuma, kini saat penyelamatan telah tiba. Namun apa lacur, penyelamat mereka justru tertangkap dan disalibkan diantara para pemberontak lain. Jika Dia Mesias mustinya Dia menyelamatkan Diri dan bangsa-Nya ya ini adalah pandangan paling waras; dan ketika Yesus mengucapkan kalimat diatas kayu salib; ucapan paling wajar yang harusnya keluar tentu adalah kalimat kutukan bagi para lawan mereka; Mzm 137 mungkin akan paling sesuai dilontarkan dalam keadaan seperti ini: kiranya putri Babel mendapati kehancuran, kiranya anak-anakmu dipecahkan diatas bukit batu. Namun Lukas tidak mencatat kalimat Mzm 137, sebaliknya Dia berdoa memintakan pengampunan. Mengemban panggilan sebagai Mesiasnya Israel dan berdoa meminta pengampunan ketimbang menghaturkan kutukan mematikan sungguh menggelikan, ini adalah aib yang tak terampuni.
Namun inilah warta Yesus; Dia membawa kerajaan Allah menerobos masuk kedalam kerajaan dunia berdosa bukan dengan kekuatan kekerasan namun dengan kuasa pengampunan. Pengampunan yang tentu sangat sulit diterima oleh orang-orang Yahudi pada waktu itu. Ini merupakan salah satu praksis dasar Kristen, yaitu memberikan pengampunan. Tindakan ini hanya mengundang ejekan; bahkan salah satu penyamun diatas kayu salibpun mengejek-Nya. Berbicara tentang Tuhan mengampuni kita mungkin mengharukan kita, namun mengatakan bahwa Tuhan mengampuni orang yang sangat kita benci tentu adalah perkara yang lain; terlebih jika dia benar-benar bersalah secara serius. Pengampunan yang serius hanya bisa diberikan dengan setidaknya 2 syarat; pertama bahwa pelanggaran tersebut terjadi terhadap hal yang sangat berharga, kedua, pelakunya tidak memiliki alasan pembenaran. Terkadang kita mengatakan iya saya ampuni dia dan kita merasa sudah memberikan pengampunan yang hebat. Namun seringkali pengampunan yang kita berikan tidak meliputi kedua hal diatas; ketika kita mengatakan saya mengampuni seringkali karena hal tersebut kita anggap perkara yang agak sepele. Seorang yang menjelekkan kita dibelakang kita, orang yang menyerempet mobil baru kita; saya ampuni besar kemungkinan karena kita memang menganggap hal tersebut tidak terlalu serius. Atau disisi yang lain pelakunya memiliki alasan; orang menyerempet mobil kita karena sedang mengebut; kita akan ampuni jika orang tersebut mengebut karena sedang mengantarkan anaknya yang sedang terkena penyakit kritis ke RS, sebaliknya kita akan sulit mengampuni jika dia kebut-kebutan hanya karena hobi. Namun hal ini lebih merupakan tindakan memaklumi ketimbang memaafkan. Orang-orang asing yang menjajah mereka telah melakukan tindakan yang sangat serius; mereka merampas kebebasan (suatu hal yang sangat berharga), menindas, memeras dan terkadang membunuh. Dan mereka sama sekali tidak bisa dimaklumi atas tindakan keji mereka. Disinilah justru pengampunan dibutuhkan.
Panggilan kita untuk mengampuni secara serius, dialamatkan kepada orang yang melakukan pelanggaran secara serius, dan tidak memiliki alasan untuk dimaklumi. Ini tidak mudah, mustahil bahkan dalam agenda Mesianis yang dipandang waras pada waktu itu. Hal ini hanya akan memancing pernyataan sinis; orang lain Ia selamatkan biar Ia selamatkan Diri-Nya sendiri. Berdoa bagi pengampunan, keselamatan orang lain; sebelum jauh kesana mending selamatkan diri dahulu. Salah satu kesulitan serius dalam kita mengikut jalan Yesus adalah bahwa jalan sebaliknya terdengar sangat normal, sangat common sense, sangat rasional; diakui oleh kepala waras manapun juga. Ini mustahil bagi mereka. Namun Lukas dengan sangat piawai mengajak para pembacanya untuk menempatkan diri dengan tepat. Dalam sekuel Injilnya (Kisah Para Rasul), Lukas menaruh perkataan yang mirip dalam setting yang juga mirip melalui kisah Stefanus. Yang menjadi pembeda serius adalah eksekutor utamanya disini bukan lagi prajurit-prajurit kafir yang mereka pikir layak mendapatkan tidak pembalasan yang paling keras. Sebaliknya, para pelakunya adalah orang-orang Yahudi sendiri; pun tindakan mereka tersebut mengikuti sebuah rentetan panjang sejarah dosa mereka, sejak zaman Yusuf hingga Yesus dan yang paling aktual tentu Stefanus sendiri (Kis 7).
Dalam bagian ini mereka (dan kita) diajak untuk belajar, bahwa mereka (dan kita) sendiri adalah penerima pengampunan yang sangat besar. Panggilan Kristen kitapun tidak terisolasi dari proyek dasar namun sangat tidak mudah ini, yaitu memberikan ampunan khususnya bagi mereka yang sangat sulit kita ampuni. Untuk itu kita diundang untuk belajar menempatkan diri pertama-tama sebagai penerima ampunan besar tersebut. Ampunan yang kita terima besar dan serius karena pertama, kita berdosa terhadap Allah. Tidak ada agresi yang lebih serius ketimbang pemberontakan terhadap Allah; ini adalah kesalahan ultimat. Kedua kita sama sekali tidak memiliki alasan untuk berdosa; Allah adalah Pribadi suci, penuh kemuliaan dan maha baik; berdosa terhadap Pribadi sedemikian sungguh tidak dapat dimaklumi. Hal ini menjadikan kita memerlukan pengampunan sepenuh-penuhnya. Kesulitan kita untuk memberikan ampunan karena orang melakukan kesalahan yang demikian besar terhadap kita, seringkali disebabkan oleh kesulitan kita melihat agresi kita dihadapan Allah sebagai hal yang lebih serius. Jika kita menerima bahwa Allah mengampuni kita, namun gagal mengampuni orang lain; besar kemungkinan kita menganggap bahwa kita layak mendapatkan pengampunan. Hal ini hanya bisa lahir jika kita kurang mengenal kesucian, kemuliaan Tuhan.
Sementara kejadian ditempat tengkorak berubah menjadi sangat serius; langit menjadi gelap dan tabir bait suci terbelah menjadi dua orang banyak akan berpikir. Mungkin ini adalah saatnya Yesus turun, ini saatnya dimana pada akhirnya Dia menunjukkan jati diri aslinya; seperti hulk yang dalam keadaan paling genting akhirnya mengeluarkan semua kemampuannya. Benar, tindak penyelamatan itu akhirnya tiba; namun bukan dengan turunnya balatentara sorga, sebaliknya dengan Yesus yang menyerahkan hidup-Nya. Dari satu sisi mereka akan melihat pemuda konyol ini akhirnya mengalami kematian terkutuk yang pantas; namun disisi yang sebaliknya kita justru melihat bahwa Yesus telah menyelesaikan karya Perjanjian Baru yang ditandai dengan tindakan pengampunan. Yesus, sang Mesias yang tidak berdosa telah berdiri menjadi pembela umat-Nya dihadapan Bapa. Yesus mati, harga puncak atas besarnya dosa manusia, dosa kita, bukan hanya dosa mereka. Seringkali kita gagal untuk melihat dosa kita besar, kita mengakui secara teologis tetapi tidak menghidupinya secara praktis. Mengapa dosa kita besar, sekali lagi sebab kita sedang memposisikan diri menghadapi Allah. Orang berdosa, lawan utamanya bukan setan, bukan juga kematian; sebaliknya kita adalah musuh Allah. Tidak ada harapan sedikitpun bagi kita untuk selamat. Namun lawan kita yang paling puncak telah memberikan kita penebusan dengan harga yang paling puncak; Yesus disalibkan, menyerahkan hidup-Nya; dan menghidupkan kita; selamat mengenang.
GOD be praised!!!
Ringkasan khotbah ini sudah diperiksa oleh pengkhotbah (KK)