Hari ini kita membaca ayat 28 sampai 37 mengikuti pemenggalan dalam salah satu terjemahan bahasa Inggris. Dalam bahasa Indonesia bagian ini diletakkan berkesinambungan dengan ayat-ayat sebelumnya –yang memang betul juga, dan ada kaitannya– di ayat 27 pengakuan Marta, "Ya, Tuhan, aku percaya, bahwa Engkaulah Mesias, Anak Allah, Dia yang akan datang ke dalam dunia", lalu ayat 28 Marta memanggil saudaranya, Maria. Saudara jangan menganggap ini wajar karena berurusan dengan saudaranya sendiri, melainkan ini menunjukkan bahwa setiap confession (pengakuan iman) yang benar, seharusnya membuat kita memanggil sesama yang lain dan memberitakan tentang Kristus.
Kalimat Marta di sini memakai istilah ‘guru’; dia mengatakan: "Guru ada di sana dan Ia memanggil engkau" (ayat 28). Waktu menyebut ‘guru’, berarti memosisikan diri –baik Marta maupun Maria—sebagai murid. Dalam keadaan perkabungan –yang setiap dari kita bisa berada dalam keadaan persoalan atau juga perkabungan– Marta mendapatkan kelegaan waktu dia bercakap-cakap dengan Tuhan Yesus; dan dia yang sudah mendapatkan penghiburan, mengajak Maria untuk berbagian dalam penghiburan ini. Perhatikan di sini, Marta yang memosisikan dirinya sebagai murid dan menyebut Yesus Kristus sebagai guru, dia juga memperkenalkan Yesus Kristus kepada Maria sebagai guru, dan dengan demikian secara implisit juga memosisikan Maria sebagai murid. Maksudnya, di dalam keadaan seperti ini –keadaan dukacita, keterhilangan, persoalan hidup, dsb.—perlu sosok seorang guru yang memberikan instruksi/ pengarahan, yang bisa mengeluarkan seseorang dari keadaan yang manusia memang sulit untuk mengeluarkan dirinya sendiri, yaitu keadaan dukacita seperti ini.
"Guru ada di sana dan Ia memanggil engkau" –artinya mulai dari pangggilan Kristus. Manusia berada dalam keadaan yang tidak bisa memanggil dirinya sendiri, tidak bisa melakukan self therapy untuk mengeluarkan dirinya dari keadaan dukacita, berkabung, kekecewaan, dsb.; yang menentukan adalah Yesus yang memanggil. Inilah bedanya dengan gambaran dalam dunia kita. Dunia seperti menyediakan berbagai macam kemungkinan dan fasilitas supaya kita bisa menghibur diri kita sendiri –bukan cuma dalam pengertian to console atau to comfort, tapi juga to entertain—untuk dapat keluar dari keadaan tersebut. Sedangkan dalam perspektif Kristen, kecuali Yesus memanggil, tidak ada penghiburan yang sejati, tidak ada orang yang betul-betul bisa keluar dari permasalahannya. Dan yang ada dalam permasalahan di sini, bukanlah hanya Maria, tapi juga orang-orang yang ada di sana.
Ayat 29 mengatakan Maria segera bangkit. Di bagian ini kita tidak tahu seberapa desperate-nya Maria dalam keadaan ini, maka kita jangan terlalu banyak bicara tentang hal itu (ada tafsiran yang mencoba masuk ke psikologinya Maria, lalu membedakannya dengan Marta, dsb.) Memang cukup aman mengatakan bahwa di catatan lain dalam Firman Tuhan, gambaran tentang Marta agak tercela –sibuk sendiri, dsb.—sementara Maria mendengarkan firman Tuhan; tetapi setidaknya di bagian ini ada restorasi profil Marta. Sebaliknya, kita juga tidak perlu menarik kesimpulan bahwa di bagian ini justru Maria yang kelihatannya negatif –karena Alkitab tidak terlalu jelas tentang hal ini– namun yang pasti, bagian yang positif adalah ketika Marta mengatakan bahwa Yesus memanggil, Maria segera bangkit lalu pergi mendapatkan Yesus. Dia tadinya dikatakan “remain seated in the house”, masih di dalam gestur perkabungan, masih di dalam persoalannya, lalu Yesus memanggil, dan Maria segera keluar dari keadaan itu mendapatkan Yesus.
Selanjutnya ayat 30 hanya memberi keterangan bahwa Yesus memang belum sampai ke kampung itu; berarti mungkin banyak orang di situ juga belum tahu bahwa Yesus datang, sedangkan Maria tahu karena dibisikkan oleh Marta. Dalam hal ini ada penafsiran yang mengatakan alasannya Marta berbisik adalah karena dia seakan punya sense bahwa orang-orang Yahudi di situ tidak suka kepada Yesus Kristus. Jadi ini satu gambaran yang privat, karena memang tidak semua orang perlu tahu Yesus akan datang, meskipun mereka akhirnya akan tahu.
Di ayat 31, Saudara membaca bahwa orang-orang Yahudi itu datang untuk menghibur Maria, tapi kenyataannya orang-orang yang menghibur itu sendiri pun tidak bisa mengerti Maria. Ini sesuatu yang aneh. Kalau orang datang menghibur, asumsi sederhananya mereka akan berusaha mengerti keadaan orang yang sedang susah itu, tapi di sini kelihatannya mereka tidak mengenal Maria; Alkitab mencatat, waktu Maria bangkit pergi keluar, mereka mengikutinya karena menyangka Maria mau pergi ke kubur untuk meratap. Jadi tampaknya mereka tidak bisa mengenali siapa yang dihiburnya, dan penghiburan mereka juga tidak berhasil. Waktu kita membesuk orang, baiklah kita minta Tuhan berbelas kasihan supaya kita betul-betul datang dengan kuasa penghiburan. Ada orang yang membesuk, lalu orang yang dibesuk justru terhibur ketika dia pulang, karena dari tadi dia terus–menerus bicara tentang dirinya sendiri sampai-sampai kelihatannya persoalan dia malah jauh lebih besar daripada yang dibesuk. Kalau kita betul-betul mau jadi penghibur, kita musti datang dengan kuasa penghiburan yang cuma bisa kita peroleh dari Tuhan.
Orang-orang di bagian ini, bukan saja tidak bisa melepaskan Maria dari dukacitanya atau memberikan penghiburan yang sejati, mereka sendiri sepertinya malah terus-menerus di dalam dukacita itu –profil ini cukup jelas terlihat dari keseluruhan bagian yang kita baca. Jadi, ada orang perlu dihibur lalu orang lain datang menghibur, dan orang yang tadi betul-betul terhibur sehingga akhirnya keluar dari persoalannya. Tapi ada juga orang yang perlu dihibur, lalu orang lain datang menghibur, namun akhirnya bukan orang yang tadi terlepas dari persoalannya dan mendapatkan penghiburan, malah yang menghibur justru jadi stres, ‘iya, ya, persoalanmu berat banget, saya jadi ikut sakit kepala’, terseret dalam satu keadaan yang sama-sama redup; karena begitu sulit keadaannya, berat sekali dukacitanya, sulit sekali ditolong, sampai akhirnya yang menolong pun terseret dalam dukacitanya. Di sinilah kita melihat bagaimana Maria keluar mau mendapati Yesus, dia mau meninggalkan keadaannya yang ‘remain seated in the house’ itu, keluar dari gestur berduka itu, karena ada pengharapan yaitu Yesus Kristus yang ada di situ.
Tetapi penghibur-penghiburnya berpikir ‘O, dia mau ke kuburan, mau teriak-teriak menangis lebih keras lagi, oke, kita ikut juga teriak-teriak lebih keras di sana; dia perlu penghiburan, kita pokoknya ikut’. Inilah bedanya Tuhan dengan manusia. Kalau Tuhan datang menghibur, Dia melepaskan kita dari dukacita; sedangkan kalau manusia datang untuk menghibur, mereka justru amplify dukacitanya manusia, dan masih berani bilang “itu namanya solidaritas” –‘saya datang, bikin yang berduka lebih dukacita lagi, toh, saya berbagian dalam dukacitanya’. Penghibur-penghibur seperti ini adalah penghibur-penghibur yang tidak mengerti kedalaman hati Maria, dan bagaimanapun tidak bisa menghibur juga. Mereka salah mengerti, mengira Maria masih terus dalam keadaan dukacita, yang bahkan lebih dalam lagi; dan mereka bukan menghentikan dari dukacitanya, ‘sudahlah, sudah cukup, sudah 4 hari’, sebaliknya malah mendukung. Kamu kecewa, saya juga ikut kecewa, kita sama-sama kecewa, jadi persekutuan orang-orang kecewa dan orang-orang berdukacita –itu tidak menolong ke mana-mana.
Mereka pikir Maria akan pergi ke kubur untuk meratap di situ, tapi sebaliknya, Maria bukan mau masuk ke dukacita yang lebih dalam lagi melainkan sedang menanggapi panggilan Kristus. Berbahagia kalau dalam kehidupan kita, dalam keseharian kita, dalam kerumitan dan kompleksitas persoalan keluarga, pekerjaan, dan yang lainnya, kita bisa mendengar panggilan Tuhan, mendengar panggilan Firman Tuhan yang berbicara dalam hidup kita. Ini memang tidak dengan sendirinya; kalau kita tidak biasa menyediakan waktu untuk membaca dan merenungkan Firman Tuhan, kita jadi tidak peka akan suara Tuhan. Tuhan mungkin bukannya tidak berbicara, tapi kita yang tidak peka mendengar suara-Nya. Bukan mendengar suara dengan telinga fisik, melainkan dengan telinga rohani kita bisa tahu Tuhan sedang mengajar kita untuk menerapkan prinsip Firman Tuhan yang mana. Itu bisa terjadi kalau kita suka merenungkan Firman Tuhan; dan Maria adalah orang seperti ini. Kita jangan bilang ‘ya, tentu saja dia tahu, ‘kan dia benar-benar diberitahu sama Marta!’; orang yang diberitahu pun tidak tentu sensitif, seperti juga orang yang dengar kotbah tidak tentu sensitif kalau itu tentang dirinya. Memang bukan masalah mendengar dengan telinga fisik; kalau Maria tidak peka dalam kehidupannya, meskipun dia mendengar kalimat Marta “Guru memanggil engkau”, bisa saja dia tanggapi “Saya terlalu susah, mau gurulah atau siapalah, saya tidak terima tamu hari ini”. Jadi bukan respon yang take it for granted waktu Maria menanggapi panggilan Yesus. Orang-orang di sekitarnya sangat tidak mengerti keadaan hati Maria, dan juga tidak bisa menghibur; sementara Maria adalah orang yang memang peka dengan panggilan Yesus, dia memang orang yang suka merenungkan Firman Tuhan, duduk di kaki Tuhan Yesus. Orang yang suka duduk di kaki Tuhan Yesus mendengar Firman Tuhan, dia bisa mendengar panggilan Tuhan dalam kesehariannya.
Ayat 32 tentang perjumpaan itu, dikatakan: Setibanya Maria di tempat Yesus berada dan melihat Dia, tersungkurlah ia di depan kaki-Nya –satu gestur penyembahan, gestur seorang murid kepada Gurunya. Dan lebih dari itu, Maria mengatakan: "Tuhan, sekiranya Engkau ada di sini, saudaraku pasti tidak mati” –kalimat yang sama dengan kalimat yang dikatakan Marta di ayat-ayat sebelumnya. Jadi di sini Maria share stage yang sama dengan Marta, satu pengharapan bahwa Yesus di dalam masa lampau, yang punya kuasa itu, akan menghentikan sakit-penyakit sehingga tidak berakhir dengan kematian –tapi Yesus sudah mengatakan bahwa penyakit ini tidak akan membawa kematian melainkan akan menyatakan kemuliaan Allah. Meskipun Saudara dan saya tidak dibangkitkan seperti Lazarus dalam pengertian yang sangat unik dan khusus ini, kita juga bisa mengatakan kalimat yang sama, bahwa sakit-penyakit kita tidak akan membawa kematian, karena kematian bukanlah kata terakhir, ada kebangkitan setelah itu. Kematian bukan akhir dari sakit-penyakit, kemuliaan Tuhan adalah terakhir dari semuanya.
Kalimat Maria di sini sama dengan perkataannya Marta –"Tuhan, sekiranya Engkau ada di sini, saudaraku pasti tidak mati”—dan kita boleh menafsirkan yang sama dari kalimat ini. Kita tidak boleh berpikir Marta dan Maria seperti menyalahkan Tuhan Yesus, ‘Lu sih gak ada di sini, di mana Lu waktu itu, seandainya Engkau ada di sini, saudaraku pasti tidak mati, jadi ini salah Lu semua’, karena kalimat tersebut bukan begitu isinya. Ini adalah satu kepercayaan akan Tuhan Yesus, yang mereka memang sudah tahu track record-Nya; Dia suka menyembuhkan orang sakit dan melenyapkan kelemahan-kelemahan manusia, tapi apa boleh buat, kelemahan yang kayak begini (kematian) susah, ini memang dari dulu tidak pernah ada kesembuhannya. Jadi mereka ini ada batas waktu beriman kepada Tuhan, kalau sakit-penyakit, ada kesembuhan, tapi kalau kematian, ya, sudah, semua orang pasti mati, jangan berharap lagi kepada Yesus, toh nanti ada kebangkitan setelah segala sesuatu berakhir –tetapi Yesus mengatakan “Akulah kebangkitan dan hidup” (“I am the ressurection and the life”), di sini dan sekarang. Jadi baik Marta maupun Maria ada keterbatasan dalam percayanya, bukan cuma dalam soal masa lampau, tapi juga dalam hal apa Yesus masih bisa berurusan, yaitu dalam hal sakit penyakit; sedangkan kalau dengan kematian memang belum pernah, maka mereka juga tidak berharap.
Kemudian Yesus melihat Maria menangis, dan juga orang-orang Yahudi yang datang bersama-sama dia (ayat 33 a). Coba Saudara perhatikan dari persepektifnya Maria: seandainya Yesus ada di sini, sakit penyakit pasti bisa diatasi-Nya, tapi ini kematian, bukan cuma sakit penyakit, dan sudah 4 hari. Maka di sini Maria menangis, menyatakan ketidakberdayaannya menghadapi kematian, dan juga secara tidak langsung menangisi ketidakberdayaan Yesus yang datang “terlambat” ini. Seolah-olah dalam tangisannya Maria mengatakan, ‘Ya, Tuhan, seandainya waktu itu ataupun sekarang dia cuma sakit, saya yakin sepenuhnya Engkau bisa menyembuhkan; tetapi sekarang ini dia mati, sudah tidak ada lagi pengharapan untuk disembuhkan, karena ini bukan sakit, ini mati’.
Maria menangis menerima fakta bahwa Lazarus memang sudah mati; dan di sini ada Yesus dalam terjemahan bahasa Indonesia dicatat ‘masygullah hati-Nya, Ia sangat terharu’. Ada satu tradisi penafsiran yang luar biasa besar, yang menafsir bahwa Yesus di sini sangat sedih (‘masygul’ dalam pengertian ‘sedih’), lagipula Dia terharu karena Maria menangis dan juga orang-orang Yahudi yang datang bersama dengannya, meratapi the power of death yang tidak bisa diselesaikan oleh siapapun. Dalam hal ini terjemahan bahasa Inggris ayat 33: ‘When Jesus saw her weeping, and the Jews who had come with her also weeping, he was deeply moved in his spirit and greatly troubled’ –maksudnya Dia sangat tergerak, sangat mengerti kesusahan kita, menangis bersama dengan kita. Message seperti ini bisa jadi indah dan sangat menghibur, tapi masalahnya tidak cocok dengan bahasa aslinya; dan memang bukan itu message-nya. Saya belum ada waktu menyelidiki dari mana, kapan, dan karena apa mulainya tradisi menafsir kalimat ini sebagai Yesus sedih, tetapi kalau dibandingkan dengan bahasa aslinya, terjemahan bahasa Jerman lebih baik dan dalam tradisi yang lebih setia; yaitu Yesus marah (bukan sedih). Di sini Saudara melihat kesulitannya ayat ini; ada orang yang menangis, lalu Lu datang, kalau Lu tidak bisa menangis bareng, setidaknya ya, Lu diam, tapi ini Lu marah?? Mungkin ini salah satu yang menyebabkan terjemahannya jadi berubah. Kadang-kadang manusia berusaha menolong Tuhan supaya mukanya Tuhan agak baik, agak rapi, tapi malah membuat message-nya jadi tidak keruan dan kita tidak mendapatkan message yang asli.
Sedikit ilustrasi tentang ini, misalnya anak Saudara menangis, lalu Saudara memarahi. Memang ada tempatnya waktu anak menangis lalu kita peluk; tapi ada tempatnya juga waktu anak menangis kita marahi dia, karena sudah keterlaluan menangisnya, ada yang tidak beres dalam tangisannya, ada yang perlu dikoreksi. Kalau orangtua cuma mengerti dan mengerti terhadap anaknya, lalu kita harap Tuhan juga mengerti terus terhadap kita karena kita anaknya Tuhan, akhirnya kita jadi orang-orang Kristen yang cengeng, yang tidak bertumbuh, yang tidak bisa dimarahi sama sekali, tidak bisa ditegur, meski sudah bertahun-tahun ke gereja. Dan ada orang Kristen kayak begini. Mengapa tidak bisa ditegur? Karena manja; pokoknya tidak bisa disinggung tidak bisa ditegur. Boleh saja Saudara mau gambaran Tuhan yang terus seperti ini, yang setiap kali kita menangis maka datanglah Dia menangis bersama dengan kita, tapi kita jadi kerdil terus, tidak akan pernah bertumbuh. Waktu orang menangis, susah, lalu Tuhan marah, kita baru kaget, ‘koq marah ya??’, bukan saja tidak menangis bersama-sama, tapi malah marah.
Maka di bagian ini, terjemahan bahasa Jerman lebih tepat; yang kalau diterjemahkan dalam bahasa Inggris: “He became angry in spirit and was disgusted” (Dia menjadi marah di dalam Roh-Nya, dan Dia ngamuk, jengkel, sebal). Ini kalimat yang keras; ‘gak nyambung dengan kalimat ‘masygul dan terharu’. Kalau Tuhan terharu, kita senang sekali, kita juga jadi terhibur. Model pendekatan pastoral seperti ini, tentu ada tempatnya, Tuhan bisa melakukan seperti itu, bahkan Dia sudah melakukan dalam kehidupan kita, dan juga sudah dicatat dalam Firman Tuhan; tetapi di bagian ini tidak sedang membicarakan itu. Ada sesuatu yang perlu dikoreksi di sini, mengapa Yesus bisa marah waktu mereka menangis. Maria tadi mengatakan "Tuhan, sekiranya Engkau ada di sini, saudaraku pasti tidak mati”, maksudnya ‘Tuhan, kita percaya dengan segenap hati kalau Engkau berurusan dengan penyakit, itu gampang buat-Mu, pasti dia akan sembuh, tapi masalahnya sekarang kematian, Tuhan; kalau kematian, kayaknya ya, bukan level Lu lah, Lu juga ‘gak bisa tolong, dan kita mengerti, dan karena itu kita menangis’. Yesus marah menanggapi ini, dan Dia disgusted dengan iman kepercayaan yang seperti ini.
Ada saat-saat dalam kehidupan, ketika kita merasa Tuhan sepertinya tidak mampu menolong kita; atau sebagai orang Reformed kita mengatakan ‘Dia bukan ‘gak mampu, Dia ‘gak mau’, meski dalam hati jengkel juga mengapa Dia tidak mau padahal kita benar-benar perlu ditolong. Jadi di sini ada pertanyaan, sesuatu yang seakan menyudutkan Tuhan –ada ketidakpercayaan. Di sini sebenarnya mereka membatasi bahwa Yesus itu kuasanya cuma sampai pada sakit penyakit, bukan pada kematian; kematian adalah bagian yang Yesus tidak mungkin bisa mengalahkan. Maka di sini Yesus masygul hati-Nya, Dia marah, disgusted, angry in spirit, Dia greget.
Kalau sedikit saya kembangkan, meski mungki bukan betul-betul dalam konteks ini, kita musti hati-hati waktu kita kecewa kepada Tuhan –atau lebih tepatnya kecewa kepada Gereja, kecewa kepada orang Kristen, kecewa kepada Pendeta—akan ada tempatnya Tuhan datang memeluk, tapi Saudara jangan pikir boleh terus-menerus kecewa dan Tuhan akan mengemis ‘mari sini, ayo dong sini’; Saudara bisa dilepas oleh Tuhan. Saudara bukan pusatnya alam semesta yang Tuhan musti kejar terus. Sama sekali tidak. Pusatnya alam semesta adalah Tuhan sendiri, bukan Saudara dan saya. Jadi jangan terlalu ge-er, jangan pikir kalau Saudara kecewa maka seluruh dunia akan mencari Saudara, dan Tuhan suruh semua malaikat mencari Saudara. Saudara biasa dengar kotbah yang bilang “Tuhan mencari orang berdosa”, dan kita senang; senang bukan karena terharu betapa besarnya cinta kasih Tuhan, melainkan senang karena ge-er betapa pentingnya saya sampai Tuhan pun mau mencari saya. Ada orang-orang yang sangat tidak matang dalam kehidupannya, dia tidak bertumbuh sebenarnya meski sudah bertahun-tahun ke gereja. Dia pikir, kalau dia kecewa maka seluruh gereja akan take care, ramai-ramai menyelamatkan dia; padahal mungkin Saudara sedang dilepas oleh Tuhan, mungkin ada kemarahan yang Saudara perlu terima dari Tuhan –seperti di bagian ini.
Maria cukup dekat dengan Yesus, tapi Yesus marah. Ada yang perlu dikoreksi dalam kehidupan Maria, dan terutama juga orang-orang Yahudi yang di sekitarnya itu. Ada sesuatu yang mereka perlu belajar tentang Yesus Kristus, yang mereka tidak mengerti saat ini, karena mereka belum mengenal siapa sebenarnya Tuhan itu. Ada tafsiran yang menjelaskan mengenai hal ini, bagaimana bisa orang yang menangis ditanggapi dengan kemarahan, lagipula Tuhan yang melakukan. Tafsiran tersebut menjelaskan dengan memakai perspektif Paulus. Dalam Surat Tesalonika, ada teguran dari Paulus kepada orang-orang yang ditinggal mati mereka yang dikasihinya; Paulus bilang: ‘kamu berdukacita, jangan berdukacita seperti orang yang tidak percaya kebangkitan’ –kamu berdukacita, itu boleh saja, dalam hidup memang ada persoalan, tapi jangan berdukacita seperti orang yang tidak ada pengharapan, itu bukan dukacitanya orang Kristen; kamu terus tenggelam dalam dukacitamu, sepertinya Tuhan memang tidak ada, itu ketidakpercayaan namanya.
Kita bukan Gereja yang bilang “Musti beriman!! Percaya saja!!”, tapi sebaliknya, hati-hati dengan ketiadaan iman dan ketiadaan kepercayaan –ini ekstrim lainnya. Yang satu bilang “Beriman!! Percaya!!”, dan yang ini “tidak percaya juga tidak apa-apa, wajar tidak beriman; ragu-ragu itu wajar, kecewa itu wajar, tidak apa-apa, kecewa saja”. Yang satu overconfidence dengan imannya, yang satu merasa tidak kenapa-kenapa kalau tidak ada pengharapan. Wajar-wajar saja kalau saya menangis seperti orang tidak berpengharapan karena memang ini sangat menyakitkan saya! Persoalan ini sangat menghancurkan saya, wajar saja kalau saya mengasihani diri. Kalau saya jadi sinis dan sarkastis kepada Tuhan, itu juga wajar, memang hidup ini berat, koq! Hati-hati, Saudara, Tuhan juga bisa kecewa dan marah, bukan cuma kita yang bisa kecewa dan marah. Dengan demikian waktu kita melihat Tuhan bisa marah dalam keadaan ada tangisan seperti ini, kalau kita pinjam perspektifnya Paulus, inilah gambaran orang-orang berdukacita yang tidak ada pengharapan, seakan-akan Tuhan tidak ada kuasanya; bagaimana mungkin Tuhan tidak marah terhadap orang-orang seperti ini. Orang yang tenggelam dalam persoalan kehidupannya, dia bukan saja gagal dan tidak sanggup bersaksi, dia bahkan seperti menganggap Tuhan sudah tidak ada lagi, seperti memang betul akhir segala sesuatu yaitu kematian ini, kebangkrutan ini, persoalan ini, penderitaan ini. Yesus marah menanggapi keadaan itu.
Ayat 34, Yesus bilang: "Di manakah dia kamu baringkan?" Yesus berurusan dengan persoalan itu sendiri, yaitu kematian; dan selanjutnya Saudara baca kalimat yang sangat menarik ini: "Tuhan, marilah dan lihatlah!" Apakah Saudara familiar dengan kalimat ini? “Marilah dan lihatlah” –“come and see”—kalimat ini kita bahas di bagian awal Injil Yohanes. Waktu murid-murid pertama bertanya di mana Yesus tinggal, Ia berkata kepada mereka: “Marilah dan kamu akan melihatnya” –“come and see” (Yoh. 1:39). Kita sudah membahas, bahwa Yesus bukan sedang menunjukkan rumah-Nya, Yesus sedang menunjuk kepada diri-Nya sendiri –karena Dia tidak selalu tinggal di rumah itu, sebagaimana ada ayat mengatakan ‘serigala mempunyai liang, tapi Anak Manusia tidak punya tempat untuk membaringkan kepala-Nya’. Di mana Yesus berada, itulah tempat Yesus tinggal.
Dari sisi Tuhan, waktu Dia bicara kepada manusia berdosa “marilah dan lihatlah”, ini satu ajakan untuk melihat kehidupan Tuhan; dan dalam bagian ini yaitu: “Akulah kebangkitan dan hidup –marilah dan lihatlah”. Tetapi waktu manusia berdosa bicara kepada Tuhan “marilah dan lihatlah”, apa yang dia bisa tunjukkan? Dunia kematian. Tuhan, mari dan lihatlah, dosa-dosa saya, kegelapan, dunia kematian, penderitaan, kehancuran –itulah yang kita bawa ke hadapan Tuhan. Waktu Tuhan memperkenalkan diri-Nya kepada kita, “marilah dan lihatlah, datang kepada-Ku”, salah satunya adalah yang terakhir ini: “Akulah kebangkitan dan hidup”. Waktu manusia membawa dirinya, mengajak Tuhan, “marilah dan lihatlah”, itu artinya lihatlah kehidupan kami, Lazarus yang membusuk, dunia kematian yang tidak diatasi oleh manusia. Maka menangislah Yesus (ayat 35).
Kalau Saudara dan saya tidak ada resonans dalam bagian ini, kita sulit sekali menginjili keluar. Saya bisa teriak-teriak “Saudara harus menginjili karena ini adalah Gereja Reformed Injili!”, dan akhirnya Saudara menginjili juga karena sebel diteriaki kayak begitu –daripada dia ngomong terus, bikin gua sebel, guilty feeling, dsb., okelah kita menginjili; nanti kalau ditanya ‘sudah penginjilan?’, bisa jawab ‘sudah’, jadi berhenti merasa diteror, karena saya sudah menjalankan yang lu teriak-teriak tiap Minggu. Bisa saja seperti itu. Tapi Yesus, menangis karena menghadapi dunia kematian, yang pada awalnya bukan seperti ini, manusia tidak seharusnya mengalami ini. Yesus menangis karena hal itu. Yesus bukan menangis karena hal yang seperti yang dikatakan orang-orang Yahudi di ayat 36, "Lihatlah, betapa kasih-Nya kepadanya!" Kalimat mereka ini salah. Air mata Yesus ini air mata kosmis, bukan air mata sekedar urusannya dengan Lazarus dan Marta –itu terlalu kecil.
Ada orang Kristen yang ikut Tuhan, datang ke gereja, dsb., lalu dia pikir urusannya Tuhan itu soal kompor yang rusak lah, dan urusan-urusan lainnya semacam itu. Pendeta Agus Marjanto pernah didatangi jemaat yang bawa pembantunya: “Pak, tolong selesaikan masalah kami ini, saya ini berantem terus sama pembantu saya!” Entah berantemnya karena menyapu kurang bersih mungkin, atau kompor lupa dimatikan, atau apa, lalu seluruh gereja (pendetanya) dibawa masuk ke urusan ini. Bagaimana orang seperti ini bisa masuk dalam urusan Kerajaan Allah?? Yang ada adalah urusan semua disempitkan ke urusan pel yang masih terlalu basah, dsb. Kalau urusan seperti begini, tinggal suruh pembantunya kursus memeras kain pel yang baik; Saudara tidak usah jadi Kristen, tidak perlu Yesus Kristus untuk urusan pel. Alkitab bukan urusan kain pel yang terlalu basah, itu urusan yang terlalu sepele, terlalu trivial. Dan Saudara perhatikan, ada orang datang ke gereja, senang mendengar urusan-urusan seperti ini, sepertinya urusan pribadinya diselesaikan di dalam Tuhan Yesus. Saya bukannya mengatakan ini tidak ada tempatnya; Tuhan memang sangat peduli dengan kehidupan kita, termasuk juga persoalan-persoalan pribadi, tetapi itu di-assume saja, sudah pasti Dia yang menyerahkan Anak-Nya sendiri masakan Dia tidak menolong kita dalam hal-hal sepele. Namun ada orang Kristen yang terus-menerus berpikirnya di hal-hal ini, tidak bisa diajak naik. Tidak bisa diajak melihat emosi kosmis ini, emosinya selalu berurusan dengan dirinya sendiri, soal keributan di rumah tangga, gaji tidak cukup, dsb. –berputar di situ terus. Bagaimana bisa orang Kristen seperti ini menggarami dunia??
Waktu Yesus menangis, Dia bukan menangis seperti dikatakan mereka, ‘lihatlah, betapa kasih-Nya kepadanya’; Yesus sudah pasti mengasihi keluarga ini, itu tidak perlu dibicarakan lagi. Tetapi di sini Yesus menangis karena ini urusannya dengan the power of death yang sudah menguasai kehidupan manusia, bukan cuma karena Lazarus mati. Seandainya Yesus cuma menangisi Lazarus, bisa diserang lagi, “ini nepotisme, giliran orang yang Lu baik, teman lama dari kecil ini, Lu besuk; giliran orang yang lain itu mati, Lu ‘gak datang” –Yesus jadi nepotisme. Tapi Tuhan tidak seperti itu; Saudara dan saya yang mungkin begitu. Emosinya Tuhan adalah emosi untuk seluruh dunia; dan Dia mengajak Saudara dan saya berbagian dalam emosi itu, sebagaimana di sini menangislah Yesus. Selama kita tidak mengerti ini air mata kosmis –tentang keterjebakan manusia akan kuasa dosa, kuasa kematian, dan tidak pernah bisa keluar dari sana– kita juga tidak akan ada air mata ini, masa bodoh, itu bukan urusan saya, urusan keluarga saya saja tidak selesai-selesai, mana saya mau mikirin urusannya dunia. Selama kita seperti ini terus, akhirnya kita jadi orang Kristen yang begini terus. Dan jangan heran kalau suatu saat Tuhan marah.
Kadang-kadang waktu anak kita marahi karena salah, bukan karena kita tidak sabar, dia bukannya bertobat malah lebih marah lagi kepada kita, malah menangis lebih keras lagi. Ini hopeless, tidak bisa dikasih tahu, tidak bisa ditegur. Harusnya dia belajar, mengapa orangtuanya bisa marah. Sekarang lihat kehidupan Saudara dan saya, kita lagi sedih lalu Tuhan datang dan Tuhan marah. Kita bingung, “koq marah sih?!”, dan kita jadi marah balik kepada Tuhan. Kalau kayak begini, tidak bertumbuh. Harusnya jadi mikir, mengapa Tuhan marah padahal saya lagi sedih, mengapa Tuhan bukan peluk saya, ada hal apa yang perlu saya belajar di sini, karena ini mengagetkan.
Orang-orang di bagian ini menjawab –mewakili seluruh umat manusia yang helpless dan hopeless—“Tuhan, marilah dan lihatlah; inilah dunia kami, lihatlah Tuhan, dunia kematian”, maka menangislah Yesus. Inilah ketidakberdayaan manusia menghadapi kematian. Kematian di dalam Alkitab bukan cuma kematian fisik saja, tapi juga kematian dalam pengertian ketiadaan relasi. Kehidupan adalah tentang relasi, kematian adalah tentang tidak adanya relasi. Orang yang sekarat, dia miskin relasi. Jadi urusannya dengan relasi. Pertama, relasi dengan Tuhan; kedua, relasi dengan sesama manusia; dan akhirnya “relasi” dalam arti berdamai dengan diri sendiri. Di dalam dunia ini banyak orang yang tidak bisa keluar dari kehidupan yang tidak berelasi; lalu kita bagaimana waktu melihat hal itu? Yesus dalam pasal pertama terus-menerus mengatakan “marilah dan lihatlah”, dan termasuk juga di bagian ini ajakan Tuhan Yesus ‘marilah dan lihatlah’; lihat apa? Lihat Tuhan yang menghadapi dunianya manusia, dunianya Saudara dan saya, kegelapan, kematian, kemiskinan relasi, keegoisan, ketidakpedulian, dingin, kejam.
Ayat 37, Tetapi beberapa orang di antaranya berkata: "Ia yang memelekkan mata orang buta, tidak sanggupkah Ia bertindak, sehingga orang ini tidak mati?” Kalimat ini kalau Saudara baca sepintas, seperti mirip kalimatnya Marta dan Maria, tetapi kalimat ini sangat negatif. Maka di ayat 38 dikatakan ‘Maka masygullah pula hati Yesus’. Tidak mungkin ditanggapi sebagaimana ayat 38 kalau kalimat mereka ini beres, kalau ini kalimat yang sama seperti yang dikatakan Marta dan Maria. Artinya, kalimat ayat 37 ini satu kalimat yang menyatakan ketidakpercayaan; atau lebih jauh lagi, ini kalimat yang mempersalahkan Tuhan. Gimana sih Lu ‘gak ada di sini waktu itu; Kamu harusnya ada di sini, sudah tahu ada orang sakit, malah sengaja telat lagi. Sekarang sudah mati, telat ‘kan?? Berasa salah ‘gak Lu sekarang?? –begitu kira-kira. Kalimat ini bukan menyatakan iman kepada Yesus yang telah sanggup memelekkan mata orang buta –bukan ke sana artinya—melainkan sense of entitlement, bahwa Tuhan itu wajib untuk menyelesaikan penderitaan kita, Tuhan punya tanggung jawab/ keharusan menolong saya. Orang yang berpikir seperti ini, selalu bergumul dengan the problem of evil dalam kehidupannya.
Saya pernah mengatakan kepada Saudara, kita tidak punya problem of evil; yang kita punya adalah problem of goodness. Manusia sudah jatuh ke dalam dosa, maka kalau kehidupan Saudara melarat, sakit penyakit, mati muda, keluarga berantakan, itu wajar-wajar saja. Saudara dan saya memang yang rusak, jadi what do you expect? Kalau dunia ini jadi berantakan kayak begini, itu biasa, tidak ada yang luar biasa, memang kita yang rusak koq. Kalau Saudara banting gelas lalu pecah, apa Saudara bilang “lho koq pecah?”, atau lebih gendeng lagi “di mana Tuhan?” Ini orang tidak waras, lu yang banting lalu pecah, rusak, koq bilang ‘di mana Tuhan’?? Sebaliknya, kalau Saudara banting lalu tidak pecah, di situ kita baru boleh bicara “lho koq tidak pecah ya, koq masih ada kesehatan, koq masih bisa untung, koq masih bisa makan, ya” –ada problem of goodness di sini.
Kita bukan ada problem of evil melainkan problem of goodness, karena waktu manusia tidak ditolong Tuhan, itu biasa-basa saja, wajar, memang manusia layak tidak ditolong oleh Tuhan. Tetapi waktu Tuhan menolong, itu betul-betul tidak seharusnya, Tuhan tidak punya kewajiban untuk ada di sana. Tuhan tidak punya kewajiban untuk mencegah Lazarus yang sakit ini berakhir pada kematian. Memang manusia sudah jatuh ke dalam dosa, dan bersama dengan itu masuk sakit penyakit serta segala persoalan penderitaan dalam kehidupan manusia. Dan kalau hal itu akhirnya adalah kematian, wajar-wajar saja, tidak ada persoalan apa-apa dalam diri Tuhan; memang manusia sendiri yang memilih untuk mati daripada hidup kekal; di mana persoalannya dengan Tuhan?? Kalimat ayat 37 ini mungkin juga kalimat yang mewakili Saudara dan saya, yang seringkali berpikir bahwa Tuhan bertanggung jawab atas kehidupan kita, yang seringkali berpikir bahwa Tuhan harus menolong saya, mirip seperti orang melempar gelas, pecah, lalu tanya ‘di mana Tuhan’ –dan mungkin Tuhan jawab, ‘Saya sih tetap ada, tapi lu yang lupa ada hukum gravitasi, kalau banting gelas ya, tentu saja rusaklah’. Saudara kerja tidak keruan jadi terlilit persoalan, lalu tanya ‘di mana Tuhan, di mana Tuhan’; tapi Tuhan tanya “di mana kamu?”
Kabar baiknya –ini message yang indirect– kalau kita bisa membebaskan diri dari menuntut Tuhan berkewajiban dalam kehidupan kita, berarti Saudara mengerti Tuhan itu siapa. Kalau Saudara tidak gampang-gampang menarik Tuhan ke ruang pegadilan untuk dihakimi oleh kita sendiri, artinya Saudara tahu Tuhan itu di mana, bahwa Dia guru, tuan, dan kita murid, bahwa Tuhan bukan terdakwa. Dunia melihat Tuhan itu terdakwa, oleh sebab itu kita disebut ‘saksi-saksi’. Saksi yang menyaksikan bahwa kamu salah, bahwa menjadikan Dia terdakwa, itu salah, karena Tuhan bukan terdakwa; saksi menyatakan kebenaran. Tapi celaka kalau orang Kristen sendiri ikut mendakwa Tuhan, itu jadi seperti dunia, tidak mengenal Tuhan, menarik dan menyeret Tuhan ke ruang pengadilan, lalu tanya kalimat “tidak sanggupkah Ia bertindak, sehingga orang ini tidak mati?” Bukan masalah Tuhan sanggup atau tidak sanggup, tapi memang Tuhan tidak seharusnya menolong.
Kalau kehidupan kita diubahkan oleh Tuhan, kita bertumbuh, kita semakin mengenal Kristus, maka kita bukan saja tidak akan menanyakan kalimat seperti ini, sebaliknya kita akan jadi orang yang lebih bisa menghargai pertolongan Tuhan sekecil apapun dalam kehidupan kita. Gambaran seperti ini yang akan menolong kita, menguatkan kita, memberikan kepada kita satu dorongan untuk menjadi saksi, pertama bagi Tuhan, tapi juga bagi orang-orang di sekitar kita yang tidak bisa lepas dari dunia kematian.
Kiranya Tuhan memberkati kita semua.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading