Hari ini kita mau bicara tentang panggilan orang Kristen dalam budaya (culture), melihat apa sebenarnya pandangan Kekristenan mengenai culture; dan kita akan membuka dari kitab Yesaya pasal 60.
Mempelajari kitab Yesaya, kita sering kali penuh kebingungan karena ini satu bentuk yang bukan naratif seperti Keluaran atau Hakim-hakim, yang bersifat cerita. Namun kitab Yesaya sebenarnya disusun dengan cukup rapi, pasal 1-39 adalah nubuat-nubuat seputar penghakiman masa sekarang, pasal 40-66 nubuat-nubuat seputar pengharapan masa depan. Pasal 60 berarti termasuk bagian yang kedua, bagian yang Yesaya sedang melukiskan pengharapan masa depan, satu periode yang dikatakan Yerusalem akan jadi pusat ekonomi, pusat kuasa politik, dan pusat dari keadilan serta kekudusan juga; misalnya, dikatakan “kekayaan bangsa-bangsa akan datang kepadamu” –pusat ekonomi– lalu “raja-raja mereka akan melayani engkau”, sementara selama ini raja-raja bangsa lain menindas Israel. Tapi waktu Saudara melihat makin detail, pada saat yang sama Saudara menyadari pengharapan ini kayaknya tidak pernah kejadian dalam sejarah Israel. Dikatakan di ayat 8, ada sesuatu yang melayang seperti awan, seperti burung merpati, dst.; ini seperti orang melihat dari menara, ada awan-awan di ufuk cakrawala, lalu semakin dekat kelihatan seperti kawanan burung merpati, semakin dekat lagi ternyata kapal-kapal dari Tarsis, yang bukan kapal sembarangan tapi armada kapal paling top seluruh dunia. Juga Saudara melihat ada nama-nama Midian, Syeba, Kedar, Nebayot; ini daerah-daerah yang dalam peta zaman itu berada di ujung-ujung utara, selatan, timur, barat, jadi maksudnya seluruh kekayaan bangsa-bangsa dari utara, selatan, timur, barat, mengalir ke Yerusalem bagi keagungan Allah. Di ayat 6 dikatakan mereka membawa kekayaan ini bukan untuk di-investasi lalu dapat profit dan dibawa pulang kembali, melainkan untuk memberitakan perbuatan-perbuatan masyhur Yahweh. Hal ini tidak pernah terjadi sepanjang sejarah Israel, dan kita juga rasa tidak akan mungkin terjadi di masa depan Israel.
Di bagian akhir, ayat 17-21, bahasa yang Yesaya pakai semakin berlebihan. Ayat 18 bicara tentang suatu masyarakat yang tidak ada lagi kekerasan, kerusakan, tangisan, perang. Ayat 20 mengatakan tidak ada lagi perkabungan, kesedihan. Ayat 19 bahkan mengatakan tidak ada lagi matahari dan bulan. Di sini Saudara jadi menyadari, Yesaya bukan sedang memandang masa depan Israel dalam sejarah manusia yang sekarang, tapi Yesaya sedang memandang ke masa depan dalam arti sejarah langit dan bumi yang baru. Itu sebabnya ada kemiripan bagian ini dengan bahasa-bahasa dalam penglihatan Yohanes di kitab Wahyu, pasal 21-22. Dikatakan dalam tulisan Yohanes, “ … aku melihat langit yang baru dan bumi yang baru aku melihat kota yang kudus, Yerusalem yang baru, turun dari sorga … aku mendengar suara yang nyaring dari takhta itu berkata: “Lihatlah, kemah Allah ada di tengah-tengah manusia … Ia akan menghapus segala air mata dari mata mereka maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita, … ia menunjukkan kepadaku kota yang kudus itu, Yerusalem, … Kota itu penuh dengan kemuliaan Allah dan cahayanya sama seperti permata yang paling indah … jalan-jalan kota itu dari emas murni bagaikan kaca bening … Dan kota itu tidak memerlukan matahari dan bulan untuk menyinarinya, sebab kemuliaan Allah meneranginya dan Anak Domba itu adalah lampunya. … raja-raja di bumi membawa kekayaan mereka kepadanya; … dan pintu-pintu gerbangnya tidak akan ditutup pada siang hari, sebab malam tidak akan ada lagi di sana; dan kekayaan dan hormat bangsa-bangsa akan dibawa kepadanya. … Dan malam tidak akan ada lagi di sana, dan mereka tidak memerlukan cahaya lampu dan cahaya matahari, sebab Tuhan Allah akan menerangi mereka … “. Mirip ya. Jadi baik Yesaya maupun Yohanes cukup sinkron dalam hal ini; waktu mereka melihat gambaran langit dan bumi yang baru, inilah yang mereka lihat, inilah masa depan umat Tuhan, inilah masa depan umat manusia. Inilah gambaran yang ternyata Saudara temukan bukan cuma di Perjanjian Baru, tapi juga di Perjanjian Lama.
Apa yang Saudara temukan di langit dan bumi yang baru? Apa yang kita akan lakukan dalam kekekalan di sana nanti –atau lebih tepatnya, di sini nanti? Apa yang ada di situ? Yang ada adalah: kita akan berbudaya. Yang Saudara baca di bagian ini adalah bahwa ketika masyarakat langit dan bumi baru tinggal di kota Allah, di Yerusalem baru, mereka dipenuhi dengan berbagai aktifitas budaya. Kita perlu berhenti di sini sejenak, dan menyadari apa yang baru saja kita lihat, bahwa inilah masa depan umat manusia. Ada apa di situ? Ada kekayaan bangsa-bangsa –berarti ada kegiatan ekonomi. Ada arsitektur, karena dikatakan ada membangun tembok dan kota. Ada sains dan teknologi, karena membangun kapal tentu perlu teknologi. Ada seni, keindahan, estetika, karena ada dikatakan tentang jalan-jalan emas, juga cahaya yang bukan cuma terang tok tapi juga indah seperti permata yang paling indah. Jadi, masa depan umat manusia di langit dan bumi yang baru itu penuh dengan warna budaya, karena masa depan ini adalah masa depan yang bersifat material. Ini satu hal yang kita perlu tekankan lagi dan lagi dari mimbar Gereja, bahwa Alkitab menyatakan dengan jelas dan berkali-kali bahwa ending dari sejarah manusia bukanlah bahwa kita diangkat naik ke surga, melainkan bahwa kemuliaan surga, dari Allah, turun ke bumi, memulihkan bumi, mentransformasinya jadi langit dan bumi yang baru.
Kalau Saudara ingin tahu masa depan umat manusia, Saudara tinggal melihat diri Yesus Kristus setelah Dia bangkit, yaitu bukan jadi roh yang gentayangan tapi mempunyai tubuh –tubuh kemuliaan-Nya– dan dalam tubuh kemuliaan-Nya ini, Dia makan ikan, Saudara bisa menyentuh Dia, Saudara bisa menaruh jarimu di bekas lubang di tangan dan lambung-Nya. Dalam langit dan bumi yang baru, Saudara tidak sekadar eksis dalam kesadaran yang melayang-layang; Saudara akan merangkul dan dirangkul, Saudara akan makan dan minum. Inilah masa depan yang bermateri. Inilah masa depan di mana kegiatan kultural dipulihkan, lalu berlangsung sampai kekekalan. Akhir zaman, di dalam Alkitab bukanlah akhir dari segala sesuatu tapi dimulainya suatu zaman yang baru, yang dalam arti tertentu lebih riil dibandingkan zaman yang sekarang. Dan, ini bukan baru Saudara temukan di kitab Wahyu (Perjanjian Baru); ini gambaran yang Saudara temukan di kitab Yesaya, bahkan kalau pun mundur ke halaman-halaman pertama Alkitab, yang Saudara temukan adalah Allah dengan tangan-Nya yang penuh debu tanah, waktu mencipta kita. Kita perlu meresapi ini pelan-pelan, karena betapa berbedanya ini dari semua kepercayaan/keyakinan di seluruh dunia. Agama-agama Timur selalu mengatakan dunia material tidak penting, karena itu ilusi, akan lewat; yang penting adalah sesuatu yang lebih transenden daripada dunia material. Agama-agama Barat (mitologi-mitologi Yunani dan Romawi) pun sama, bagi mereka dunia material sangat riil tapi juga tidak penting, karena itu merupakan sesuatu yang kotor, jelek, rendah; rasio adalah yang terutama, sedangkan tubuh adalah jelek, apalagi debu tanah. Tapi waktu Saudara kembali ke Alkitab, Allah pada mulanya memasukkan tangan-Nya ke debu tanah untuk mencipta kita! Ini tidak ada paralelnya dalam agama-agama dunia.
Dan, ketika Dia mencipta kita, Dia menciptanya sebagai tukang kebun (gardener). Apa kerja seorang gardener? Yaitu mengusahakan sebuah garden; dalam bahasa Inggrisnya lebih jelas, yaitu to cultivate the garden. Cultivate dan culture, akar katanya sama. Jadi pekerjaannya adalah mengolah, mengusahakan, mengelola; gambaran taman Eden yang diambil bahan mentahnya lalu diatur dan diolah sehingga potensi yang terkandung di dalamnya digunakan bagi kebaikan umat manusia. Gambaran ini adalah gambaran yeng menyatakan budaya dalam segala kelimpahannya.Gambaran taman bukan cuma urusan keindahan saja, karena makan, mencari umbi, mencari buah-buahan, itu juga di taman. Gambaran taman juga bukan cuma urusan fungsional dan kuliner, tapi juga ada urusan penataan, estetika, keindahan; bukan cuma ada ubi dan buah, tapi juga ada bunga mekar yang membawa bau harum dan keindahan. Lebih lanjut, potensi sebuah taman bukan cuma urusan estetik dan kuliner, tapi sains pun dimulai dari tanah, karena sains adalah studi akan alam. Lebih lanjut lagi, potensi sebuah taman juga urusan interaksi sesama manusia, karena dalam bercocok tanam Saudara tidak cuma perlu mengatur tamannya tok, tapi juga mengatur orang-orang yang bekerja di sana. Dengan demikian sosiologi, politik, bahkan psikologi, juga mulai dari situ. Kalau Saudara merenungkan ini dalam-dalam, Saudara akan menyadari betapa culture di dalam Alkitab punya tempat yang begitu tinggi, karena sumber dari segala kegiatan manusia sesungguhnya Allah sendiri.
Kalau Saudara going beyond taman-nya, Saudara bisa melihat kenapa kata culture berasal dari cultivate, yaitu karena pola mengusahakan potensi untuk menghasilkan suatu hasil aktual bagi kebaikan umat manusia, adalah pola dasar dari seluruh culture. Apa itu musik? Yaitu Saudara mengambil bahan dasar bunyi, dan mengaturnya menjadi musik, untuk dinikmati orang, untuk menginspirasi orang, bagi kebaikan umat manusia. Apa itu literatur, teater, atau film? Yaitu Saudara mengambil bahan dasar pengalaman hidup manusia, mengaturnya jadi narasi, kisah, drama. Apa itu lukisan? Yaitu Saudara mengambil bahan dasar warna, dan mengaturnya dalam sebuah kanvas. Ini semua pada dasarnya adalah bercocok tanam, yaitu Saudara mengambil bahan mentah dalam alam ini, mengolahnya, menarik keluar segala potensi di dalamnya, menjadi sesuatu yang menghidupkan manusia. Saudara menjalankan pola Allah Pencipta di sini, yang membuat order dari chaos, sehingga manusia bisa hidup. Itu sebabnya semua pekerjaan, termasuk menyisir rambut, adalah membuat order dari chaos. Membersihkan rumah pun demikian; kalau tidak ada yang membersihkan rumah, Saudara akan mati. Jadi semua pekerjaan, termasuk yang kita anggap pekerjaan rendahan, dalam teologi Reformed diklaim bahwa itu semua adalah pekerjaan Tuhan, karena Tuhanlah yang memulai itu dengan tangan-Nya dalam tanah. Itulah yang dimulai oleh Tuhan ketika Dia menciptakan manusia sebagai gardener. Itulah yang Tuhan lanjutkan ketika Dia datang ke dunia ini bukan sebagaimana biasanya dewa-dewi menjelma –dewa Romawi menjelma jadi jendral– yaitu Allah Alkitab menjelma jadi tukang kayu. Ini sebabnya sering kali klaim para teolog adalah bahwa kacamata Alkitab adalah kacamata yang mengangkat paling tinggi akan pekerjaan-pekerjaan yang paling rendah. Kenapa? Karena segala sesuatu –dari bercocok tanam, menyisir rambut, sampai investasi, manajemen– adalah bersumber dari apa yang Allah kita lakukan.
Investasi adalah sesuatu yang Allah lakukan, Richard Mouw dalam suatu seminar untuk orang-orang finance dan bisnis pernah mengatakan demikian. Cerita penciptaan adalah cerita seorang investor, Tuhan, yang pada mulanya hanya Dia yang punya modal, yaitu nafas kehidupan, tapi Dia kemudian menginvestasikannya kepada makhluk-makhluk lain sehingga mereka bisa hidup, jadi pribadi, punya kehendak bebas. Ini bukan cuma investasi di awal doang, tapi ini suatu modal awal yang menutut keterlibatan terus-menerus; Allah terus-menerus membayarnya dengan harga yang paling mahal. Ini investasi yang all out, all in, yaitu dengan mengorbankan diri-Nya, mengorbankan Anak-Nya sendiri. Kita bertanya-tanya, apakah worth it investasi yang seperti ini?? Tuhan harusnya jangan ambil resiko setinggi ini deh, Tuhan harusnya bikin ciptaan yang dipenuhi robot-robot yang tidak bisa melawan Dia, itu investasi yang lebih aman. Tapi Tuhan tidak memilih investasi yang seperti itu, kata Richard Mouw. Dia memilih investasi yang ada resiko, karena Dia tahu ujungnya it’s worth it, karena lewat investasi ini pada akhirnya Ia membuat berkali-kali lipat keindahan serta keagungan dari alam ciptaan ini. Kalau Saudara kerjanya sebagai seorang investor, yang Saudara lakukan adalah: Saudara melihat kebutuhan dalam masyarakat, Saudara melihat ada seorang manusia yang punya kapasitas untuk memenuhi kebutuhan tersebut tapi tidak punya modal, maka Saudara suntik modal dengan resiko yang tidak sedikit, supaya kebutuhan manusia tadi bisa terpenuhi. Ujungnya adalah menciptakan perkembangan manusia; dan hasil yang Saudara terima berkali-kali lipat. Mouw mengatakan, ini bukan cuma tindakan yang godly, tapi sesungguhnya tindakan yang godlike; bukan cuma tindakan yang mirip Allah, tapi ini sesungguhnya menyerupai Allah. Setelah selesai seminar tersebut, orang-orang finance dan bisnis tersebut mengobrol dengan Richard Mouw; mereka mengatakan, “Wow! Yang Bapak katakan sangat membantu kami; tapi tolong satu hal, bolehkah Bapak mengatakan ini juga ke pendeta kami”. Kenapa demikian? “Karena yang kami dengar selama ini dari mimbar-mimbar gereja kami, pendeta kami mengatakan, ‘Hai, kalian , orang-orang finance dan bisnis, kami (pendeta) mengerjakan pekerjaan Tuhan, sedangkan kalian kerjanya cuma cari duit, jadi panggilan dan tanggung jawab kalian adalah memberikan duit itu kepada kami, supaya kami bisa memakainya demi pekerjaan Tuhan –karena kalian cuma mengerjakan pekerjaan-pekerjaan manusia tok’”.
Saudara, kalau kembali ke Alkitab kepada apa yang Yesaya dan Yohanes katakan, memang kita tahu Kekristenan punya misi menyelamatkan jiwa-jiwa bagi Tuhan, tapi ujungnya untuk apa jiwa-jiwa itu diselamatkan? Apa gambaran akhirnya? Yaitu pemulihan ciptaan, pemulihan culture. Dalam arti tertentu, di dalam langit dan bumi yang baru justru yang tidak dibutuhkan adalah pendeta, karena semua yang mau diselamatkan sudah selamat, sedangkan yang masih dibutuhkan di sana adalah para musikus, arsitek, dan bahkan investor. Dalam hal Roh Kudus pun, sering kali kita melihatnya terlalu sempit, bahwa peran Roh Kudus adalah murni urusan pertobatan saja, karena kita membaca di Yohanes 16 Yesus sendiri mengatakan Roh Kudus perannya menginsyafkan manusia akan dosa, melahirbarukan kita, dsb.. Tapi Saudara lihat di halaman pertama Alkitab, Roh Kudus adalah Roh yang bekerja dalam penciptaan. Dalam Mazmur 104, Roh Kudus adalah Roh yang memulihkan bumi ini. Dengan demikian, Roh Kudus bukan cuma Roh yang adalah pengkhotbah, tapi Roh yang comitted kepada ciptaan untuk memulihkan ciptaan ini; dan itu sebabnya Roh Kudus mengisyafkan manusia akan dosa, melahirbarukan kita, supaya setelah itu Saudara dan saya dipakai dalam pemulihan ciptaan ini, dalam pemulihan culture ini. Jadi para pendeta dan vikaris tidak bisa mengatakan “kamilah mengerjakan pekerjaan Tuhan, kalian cuma perlu memberi uang kalian”.
Itu sebabnya kita berani mengklaim bahwa di atas dunia ini, tidak ada worldview atau kepercayaan/keyakinan yang memberikan dasar lebih kuat untuk melakukan culture, dibandingkan Kekristenan. Mereka bukan tidak ada dasar sama sekali, tapi Kekristenan memberikan lebih. Kenapa? Karena agama-agama lain mengatakan bahwa dunia materi ini tidak riil dan cuma ilusi, ataupun riil tapi mengotori/merendahkanmu. Atau bukan teori agama tapi teori sekuler, seperti scientific mengenai alam semesta, di situ tidak ada urusan riil atau tidak riil karena alam semesta memang riil, juga tidak ada urusan soal rendahan atau bukan rendahan karena alam semesta ya cuma alam semesta, tapi apa ujungnya alam semesta dalam teori scientific atau sekuler itu? Bahwa alam semesta akan hancur! Entah hancur karena Big Bang bikin ekspansi lalu suatu hari mungkin memantul balik jadi Big Crunch di mana segala sesuatu akan hancur; atau Big Bang ekspansi terus, dan terus, dan terus, sehingga planet dan bintang-bintang makin lama makin jauh, makin jauh, dan makin jauh, makin redup dan makin redup, lalu suatu hari dalam masa yang sangat panjang terjadi yang namanya the heat death of the universe, ketika semua bintang dan planet tidak lagi dalam dalam satu area yang sama dan tidak lagi ber-efek satu dengan yang lain, tidak ada lagi panas, tidak ada lagi cukup cahaya, dan alam semesta jadi suatu tempat yang begitu gelap dan begitu dingin.
Saudara, hanya Alkitab yang mengatakan, bahwa aktifitas cultural berlangsung terus sampai selama-lamanya, dan bahkan adalah tujuan dari keselamatan itu sendiri. Saudara jangan kaget mendengar ini, karena Saudara tahu bahwa keselamatan dalam Kekristenan bukan langkah terakhir, itu langkah pertama; Saudara tahu bahwa keselamatan dalam Kekristenan bukan tujuan, tapi sarananya. Namun yang sering kali kita bingung, kalau begitu, jadi apa tujuannya. Dalam gambaran akhir zaman di Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, gambaran tujuan akhirnya adalah kembali ke desain asli Tuhan menciptakan Saudara, kembali ke pekerjaan asli yang Tuhan berikan kepada kita di awal yaitu mengelola dan mengolah ciptaan ini –bermusik, bekerja, bertukang, bahkan berbisinis.
Kenapa bagi kita gambaran Alkitab seperti ini terkesan asing? Kalau mau jujur, jauh lebih gampang menerima gambaran Kekristenan yang anti investasi, anti bisnis, anti pekerjaan, dsb.; kenapa? Jawabannya sederhana: karena pengalaman cultural kita hari ini begitu jauh dari yang digambarkan Yesaya. Yang kita baca dalam Yesaya dan tulisan Yohanes adalah human culture yang sempurna, yang tidak ada kekerasan, tidak ada eksploitasi, tidak ada ketegangan antara yang punya dan yang tidak punya, tidak ada konflik rasial, tidak ada marjinalisasi, tidak ada duka, tidak ada keputusasaan. Itu sebabnya waktu kita membicarakan culture, kita bukan cuma membicarakan apa desain awalnya dan apa tujuan akhirnya, tapi kita perlu menyentuh bagian yang terjadi di tengah-tengahnya. Kenapa hari ini culture kita begitu rusak? Apakah pekerjaan budaya manusia memang identik dengan segala kerusakan itu, atau sebenarnya tidak harus demikian? Kembali Saudara mendapat jawabannya dari Yesaya 60. Di situ Saudara melihat ada perfect human culture, karena semua tindakan culture itu dilakukan untuk kemuliaan dan keagungan Tuhan –sebagaimana dikatakan di pasal itu berulang kali.
Culture kita hari ini, adalah culture yang alternatif, bukan culture yang sesungguhnya. Culture kita hari ini, adalah culture Menara Babel. Dalam kisah Menara Babel, tidak pernah Tuhan bermasalah dengan arsitekturnya, “Hai Menara Babel, mencong tuh!”; tidak pernah juga ada problem, “Sori ya, jangan bikin kota, ya, Aku maunya taman!” Yang Saudara lihat, gambaran final dalam Yesaya ataupun Yohanes, bukanlah gambaran back to nature ala Greenpeace, balik ke Taman Eden, semua telanjang-telanjang lagi, tapi gambaran kota –kota Allah, Yerusalem yang baru. Jadi urusan mendirikan kota bukanlah yang jadi masalah dalam kisah Menara Babel, karena semua potensi cultural pada dasarnya adalah ciptaan Allah yang baik; lalu apa problemnya Menara Babel? Problem dari Menara Babel, kita tahu dalam Kejadian 11:4, bahwa alasan mereka melakukan semua tindakan cultural ini adalah untuk membuat nama bagi mereka sendiri. Itulah problemnya.
Di satu sisi, tentu saja bekerja untuk mendapatkan fulfillment sebagai manusia bukanlah sesuatu hal yang salah; itu adalah bagian yang krusial dari kenapa Saudara dan saya melakukan pekerjaan. Allah kita itu pekerja, maka waktu kita bisa mengerjakan pekerjaan kita dengan kompeten dan baik, memang kita mendapatkan fulfillment.Itu memang satu hal yang krusial dalam makna hidup sebagai manusia. Tapi yang diperlihatkan dalam Menara Babel adalah pekerjaan menjadi cara utama Saudara mendapatkan makna hidup. Ketika pekerjaan menjadi satu-satunya jalan untuk Saudara merasa diri penting, mendapatkan harga diri, nilai diri, itulah sumber destruktifnya. Ini satu hal yang sangat mudah menggoda manusia. Perhatikan misalnya dalam kultur Anglo Saxon di Inggris dan juga Jerman, nama pekerjaan menjadi sure name seseorang, contohnya nama-nama seperti Fisher, Smith, Baker; nama Michael Schumacher misalnya, itu nama Jerman, schumacher artinya shoemaker, pembuat sepatu. Kenapa demikian? Karena memang sangat sulit untuk manusia tidak melihat pada pekerjaannya dan menjadikan itu identitas utama dia. Sekarang saya tahu saya penting, sekarang saya tahu saya siapa, karena saya punya status dan uang yang dihasilkan lewat pekerjaan saya –itulah godaannya sejak dulu, kita mencari nama lewat pekerjaan. Dan, dari situlah destruktifitas dari sebuah pekerjaan datang.
Allah tidak bekerja demi mencari nama. Ah, bukankah Allah bilang berkali-kali, “Muliakan Aku”? Saudara, memuliakan Dia itu kitalah yang mengatakan, kita yang memuliakan Allah, karena Allah kita bukan bekerja demi kemuliaan. Allah mencipta bagi siapa sih? Demi siapa Dia memisahkan air jadi di atas dan dibawah, mengumpulkan air di satu tempat sehingga muncul tanah kering? Tentu saja supaya manusia ada tempat untuk hidup. Demi siapa Dia menyuruh tanah mengeluarkan tanaman yang berbiji dan berbuah? Dan setelah semua ini selesai, Dia memberikan ciptaan ini untuk kita kelola, untuk menjadi tempat kita berkuasa. Lalu ujungnya, Allah bukan hanya menciptakan ciptaan untuk kita, Dia menciptakan kita untuk ciptaan ini. Dia ingin kita mengelola ciptaan ini, mengembangkan dan memekarkan ciptaan ini. Arahnya selalu ke luar. Ini sebabnya kita memuliakan Allah yang seperti ini, yaitu karena Dia dalam bekerja tidak mencari nama bagi diri-Nya sendiri. Memuliakan Allah melalui pekerjaan, itu bukan berarti hasilnya Saudara bawa dalam bentuk persembahan uang untuk mendukung KKR regional tok; memuliakan Allah melalui pekerjaan berarti Saudara mengerjakan pekerjaan Saudara sesuai tujuan mula-mula Allah, bukan demi namamu tapi demi membawa shalom atas ciptaan ini. Dengan demikian, yang namanya memuliakan Tuhan pun ujungnya yang dapat benefit secara utama bukan Tuhan sendiri, karena Dia tidak kekurangan apapun yang kita bisa tambahkan.
Kerusakan dari culture dan pekerjaan, bukanlah dalam culture dan pekerjaan itu sendiri, melainkan ketika pekerjaan tidak lagi jadi sarana bagi nama Tuhan, tetapi bagi nama kita. Ada satu insight menarik dari Dorothy Sayers, seorang teolog, yang beliau tulis pada akhir Perang Dunia II di Inggris. Sayers mengatakan, masyarakat manusia sudah terlalu mendarah daging melihat pekerjaan sebagai sesuatu yang kita lakukan untuk mendapatkan uang atau status, sampai-sampai kita tidak terbayang lagi apa alternatifnya. Tapi dalam masa Perang Dunia II ada satu hal mengejutkan yang Sayers lihat di Inggris. Sama seperti kita, orang yang jadi dokter pada waktu itu tentu kebanyakan bukan karena ingin memulihkan badan-badan yang sakit melainkan ingin diri dan keluarganya naik status dalam masyarakat; menjadi pengacara bukan karena hasrat bagi keadilan tapi karena ingin diri dan keluarganya naik status dalam masyarakat. Tetapi dalam masa PD II –yang tentu saja mengerikan– untuk pertama kalinya dalam hidup mereka itu, mereka rasa bahagia dalam pekerjaan mereka. Misalnya ketika tentara perang Irak atau Afganistan pulang ke Amerika untuk rotasi, mereka tetap ingin kembali ke medan perang meskipun di sana berbahaya, bisa mati, bisa cacat seumur hidup, yaitu karena kehidupan mereka sebagai warga negara di Amerika terasa tidak ada maknanya, sementara di medan perang mereka fulfilled, punya makna hidup yang tidak mereka temukan dalam pekerjaan normal. Ini bukan cuma satu hal yang ditemukan pada para pria yang kerja sebagai tentara, karena dalam PD II negara-negara memberlakukan total war, artinya situasi begitu genting sehingga seluruh sumber daya negara diperuntukkan bagi peperangan, sehingga para wanita yang tinggal pun ganti pekerjaan, masuk ke pabrik-pabrik pembuat senjata, menjahit pakaian-pakaian buat serdadu, mengurus komunikasi surat-menyurat, mengurus logistik yang diperlukan para tentara. Dan, mereka kaget, karena untuk pertama kali dalam hidup, mereka merasa happy dan fulfilled. Kenapa? Karena di sinilah mereka menemukan diri mereka melakukan pekerjaan bukan demi gaji, bukan demi status sosial atau rasial; mereka menemukan diri mereka bekerja demi mendatangkan kebaikan bagi umat manusia, kedamaian bagi seluruh negara. Mereka bekerja dengan arah ke luar. Mereka mengalami cicipan dari yang namanya shalom, yaitu ketika manusia bukan keluar pagi-pagi demi mendapatkan uang, atau demi satu langkah di depan para kompetitor, tapi untuk kebaikan komunitas umat manusia. Mereka merasakan begitu happy untuk pertama kalinya, meskipun situasi begitu mengerikan dan nyawa mereka di ujung tanduk. Sedihnya –Sayers mengatakan– setelah itu, perang selesai, mereka kembali ke pekerjaan mereka masing-masing, dan status quo pun kembali seperti sediakala.
Satu sumber lain, yaitu dari Daniel Bell, yang menulis buku ”The Cultural Contradiction of Capitalism”. Daniel Bell membuat suatu analisa, bahwa pada mulanya yang namanya pertumbuhan ekonomi –artinya profit– itu digerakkan oleh hal-hal seperti penghematan, kejujuran, integritas, delayed gratification; intinya, pada awalnya profit justru berkembang/ bertumbuh ketika ada orang-orang yang melihat bahwa hal-hal lain lebih penting daripada profit itu sendiri. Justru ketika belakangan orang menjadikan profit dan uang sebagai tujuan utama, sementara semua yang lain dikorbankan, maka secara keseluruhan ini meruntuhkan basis dari pertumbuhan ekonomi itu sendiri, meruntuhkan pertumbuhan profit itu sendiri. Inilah yang kita temukan dalam culture ekonomi kita hari ini. Culture menjadi rusak karena ada sesuatu yang baik dijadikan sebagai yang terbaik, sesuatu yang penting dijadikan sebagai yang terpenting –ini pemberhalaan.
Saudara bahkan bisa menemukan ini di Yesaya 60 dan Wahyu 21-22. Di akhir zaman, gambaran dalam kota Allah, langit dan bumi yang baru, Saudara temukan tetap ada keragaman berbagai tradisi culture. Perhatikan di sana, dikatakan ‘setiap bangsa, setiap suku, setiap bahasa datang berbondong-bondong ke kota Allah’, berarti kota Yerusalem yang baru itu multi-kultural. Ini masuk akal, karena Saudara tahu setiap culture punya kekuatan dan kelemahan masing-masing. Ada culture Tarsis dengan armada kapal yang kuat tetapi mungkin lemah dalam urusan peternakan. Culture yang lain kuat dalam urusan emas perak, tapi mungkin lemah dalam pendidikan. Ada yang membawa kayu, yang mungkin lemah dalam urusan besi. Ada yang membawa kemenyan, dan seterusnya. Begitu bermacam-macam gambaran yang Saudara dapat di Yesaya 60. Ini pada dasarnya memperlihatkan gambaran persatuan umat Tuhan di langit dan bumi yang baru bukanlah seperti gambaran Korea Utara yang semua orang warnanya sama, arahnya sama, dalam detik yang sama. Kita butuh semua culture. Kita tahu dalam setiap culture ada kekuatan dan kelemahan masing-masing yang dibutuhkan bagi semua. Menariknya, Tuhan menjaga keragaman ini bahkan di dalam langit dan bumi yang baru. Tuhan kita tidak menginginkan keseragaman.
Semua culture itu perlu, untuk membawa kontribusi dan kekuatan masing-masing demi memuliakan Tuhan. Tapi yang Saudara lihat hari ini, suatu culture yang kuat –misalnya dalam hal hak individual– mengangkat kekuatan ini jadi identitas mereka yang terutama, “Kami masyarakat Barat! Kami memperjuangkan kebebasan dan hak individual, tidak seperti masyarakat Timur yang ketinggalan zaman itu!” Culture yang kuat dalam hal ikatan keluarga, misalnya culture Timur, akhirnya mengangkat itu jadi identitas terutama, bukan menggunakannya untuk membangun umat manusia secara global; dan mengatakan, “Kami culture Timur! Lihat negara-negara Barat itu sebentar lagi hancur, karena semua orang boleh menikah dengan semua orang, dan sebentar lagi semua orang boleh menikah dengan anjing, dst.”. Masing-masing culture menjadikan kekuatan masing-masing bukan untuk membangun satu dengan yang lain, tapi menjadikan identitas masing-masing di atas orang-orang yang lain. Ini termasuk juga dalam Gereja; Gereja yang kuat dalam doktrin, menjadikan itu identitasnya yang terutama, “Kita tidak seperti gereja-gereja yang lain!”
Lalu, apa pengharapannya? Pengharapannya kita temukan di ayat 1-3 dari Yesaya 60 –pasal ini sebenarnya dimulai dengan solusinya– yaitu: “Bangkitlah, menjadi teranglah, sebab terangmu datang, dan kemuliaan TUHAN terbit atasmu. Sebab sesungguhnya, kegelapan menutupi bumi, dan kekelaman menutupi bangsa-bangsa; tetapi terang TUHAN terbit atasmu, dan kemuliaan-Nya menjadi nyata atasmu. Bangsa-bangsa berduyun-duyun datang kepada terangmu, dan raja-raja kepada cahaya yang terbit bagimu.” Apa yang diulang-ulang dalam ayat-ayat ini? Terang, cahaya. Tapi ini bukan cuma urusan terang Tuhan yang menerangi semua orang –sehingga tidak perlu lagi bulan, matahari, dsb., sebagaimana kita baca di bagian belakang pasal ini– terang Tuhan itu datang dan menjadikan kita terang. Menjadi teranglah, sebab terangmu datang; terangmu itulah yang menjadikan bangsa-bangsa berduyun-duyun kepada terangmu itu, raja-raja menuju kepada cahaya yang terbit bagimu. Jadi, solusi dari culture yang rusak adalah ketika Tuhan menjadikan kita terang, sehingga bangsa-bangsa tertarik kepada terang ini, dan disembuhkan oleh terang ini. Seperti apakah itu?
Kita melihat dalam problem pemberhalaan tadi, culture manusia rusak karena dipakai bukan untuk mendatangkan kebaikan bagi orang lain, bukan untuk memuliakan Tuhan dengan cara membawa kebaikan bagi orang lain, tapi untuk mencari nama bagi diri sendiri. Kenapa manusia mencari nama bagi diri sendiri? Karena hidup manusia gelap; dan ini gelap yang bukan cuma gelap, tapi gelap yang haus akan terang. Agustinus pernah mengatakan, dalam hati manusia ada sebuah lubang berbentuk Tuhan (a God-shaped hole) yang tidak bisa diisi dengan hal apapun selain Tuhan; dan kita bisa tambahkan, bahwa dalam hati manusia ada sebuah God-shaped black hole. Black hole bukan cuma gelap tapi menyerap terang, menggelapkan yang terang. Manusia terus-menerus mencari nama karena manusia tidak pernah puas akan nama, tidak ada habisnya, suatu pengejaran yang tidak berujung. Tidak masalah Saudara dapat pencapaian setinggi apapun, tetap saja Saudara tidak bisa selesai, tidak bisa secure. Saudara tahu ini koq. Mungkin Saudara masih menipu diri dan mengatakan, “Saya belum mencapai itu, saya cuma ingin rekening bank 100 juta”, dan ketika mencapai itu, Saudara ingin lebih lagi. “Saya cuma ingin rekening bank 1 M”, dan ketika mencapai itu, Saudara ingin lebih lagi. Sementara yang tidak pernah mencapai itu, Saudara mengatakan, “Ya, seandainya saya seperti mereka yang mencapai itu, tapi saya tidak punya, 10 juta pun jarang ada di rekening bank saya”; itu menipu diri, karena orang-orang yang sudah mencapai puncak pada akhirnya tidak sedikit yang cerita bahwa dalam momen puncaknya mereka malah ingin bunuh diri. Kenapa? Karena ada a God-shaped black hole dalam hati manusia. Inilah yang membuat kita kerja mati-matian demi naik status. Inilah yang membuat kita pilih pekerjaan-pekerjaan yang kita sebenarnya tidak cocok, tapi hanya karena pekerjaan tersebut bisa membawa ke status lebih tinggi, uang lebih banyak. Capek. Inilah yang membuat kita rela menggilas orang lain; kalau pun tidak dengan cara ilegal, tapi membuat kita rela mendapatkan uang dengan mengeruk keuntungan orang lain.
Saudara, itu sebabnya Injil tujuannya tidak pernah cuma urusan kekekalan jiwamu di surga entah mana; bahkan, saya mengatakan Injil itu tujuannya sama sekali bukan urusan itu. Injil itu apa? Injil adalah identitas baru. Saudara yang menerima Injil, artinya menerima identitas baru di dalam Tuhan, identitas yang mengatakan, “Saya dicintai, diterima oleh Tuhan, bukan karena seberapa uang yang saya bisa hasilkan, bukan karena seberapa indah musik yang saya bisa tulis, bukan karena seberapa lurus rambut yang saya bisa sisir, bahkan bukan karena seberapa bagus khotbah yang saya berikan, bukan karena seberapa dalam pendalaman Firman Tuhan yang saya bisa gali”. Orang Kristen yang benar-benar mengambil sedikit demi sedikit identitas ini, dia akan jadi bagian dari pemulihan culture, terang datang kepadanya dan menjadikan dia terang bagi bangsa-bangsa lain. Inilah yang akan mempengaruhi cara Saudara me-manage bawahanmu, menggunakan uangmu.
Coba pikir, kenapa Saudara pegang uangmu erat-erat? Karena saya perlu uang, Pak. Perlu uang buat apa? Perlu untuk bayar, supaya saya bisa tinggal di tempat tertentu, punya taraf hidup tertentu. Kenapa perlu taraf hidup sampai sebegitunya? Karena saya insecure di dalam, jadi saya perlu sesuatu di luar saya untuk menopang yang di dalam ini, karena jika tidak, yang di dalam ini tanda tanya. Misalnya Saudara tinggal di gubuk, atau tinggal di istana, Saudara merasa identitasmu lain, hargamu lain; Saudara menjadi CEO, atau tukang sapu jalan, Saudara merasa identitasmu lain. Kenapa? Karena di dalam hati kita identitas kita begitu rapuh, begitu insecure, begitu tidak ada pegangan, maka saya perlu semua hal di luar untuk menopang hati saya, supaya saya bisa bertahan di taraf tertentu, barulah di situ saya tahu siapa diri saya –dan semua itu perlu uang, maka tidak heran saya pegang erat-erat uang saya, karena uangku adalah diriku. Namun ketika Allah menjadi Allah, dan uang hanya menjadi uang, maka ada yang berbeda sekarang. Uangmu bisa engkau pakai untuk mendatangkan keadilan, untuk membawa pertumbuhan bagi orang lain; dan itu menjadi bagian dari pemulihan culture yang rusak, menjadi terang bagi orang lain. Itu sebabnya kita mengatakan bahwa Injil adalah sarana keselamatan; tujuannya bukan kembali kepada Saudara lagi, Saudara naik ke surga, ongkang-ongkang kaki main harpa rartusan ribu tahun, melainkan untuk Saudara memperbaharui culture ini, melalui culture yang baru. Inilah sebabnya Allah turun dalam terang.
Dalam cerita Alkitab, setiap kali Allah turun ke dalam hidup manusia, Allah turun dengan terang; Allah turun dalam semak belukar yang menyala-nyala, Allah turun dalam tiang api, Allah turun dalam gunung Sinai dengan api di puncaknya, Allah turun dalam kemuliaan-Nya kepada Musa sampai wajah Musa bercahaya karena memantulkan. Tapi ironisnya, cahaya yang kita sangat butuhkan karena hati kita yang gelap, kita tidak bisa dapatkan karena kita gelap sementara Dia terang, dan kegelapan tidak bisa eksis. Itulah sebabnya Allah mengatakan kepada Musa dari semak belukar yang menyala-nyala, “Jangan dekat-dekat, Musa”. Allah mengatakan kepada orang Israel di gunung Sinai, “Jaga jarak, siaga 1”. Allah mengatakan kepda Musa yang minta Dia memperlihatkan kemuliaan-Nya, “Oke, Aku lewat dulu, engkau boleh lihat belakang-Ku saja, karena jika tidak, engkau akan mati”. Namun di dalam Yesaya 60 Saudara melihat kota Allah diterangi dengan terang Allah sendiri itu, tapi mereka tidak mati. Kenapa bisa? Karena identitas Terang itu akhirnya dibuka dalam Wahyu 21-22, bahwa lampu kota itu adalah Anak domba Allah. Bukan Singa Allah, bukan Singa dari Yehuda, tapi Anak Domba Allah, yang Matius mengatakan kegelapan menudungi dunia selagi Dia naik ke atas kayu salib, yang Yohanes 12 mengatakan, “Ketika Aku naik ke atas kayu salib, Aku akan menarik semua orang kepada diri-Ku”. Ini bahasa Yesaya 60.
Apakah terang yang menarik banyak orang? Terang salib. Apakah terang salib itu? Yaitu terang yang mengambil kegelapan, supaya yang lain boleh diterangi. Richard Mouw dalam seminar tadi mengatakan, inilah prinsip bisnis yang penting bagi orang Kristen yang mau memuliakan Tuhan dalam bisnis. Kalau kamu menjalankan prinsip ini, kamu bisa ikut Tuhan, kamu menjadi agen pembaruan culture dunia, bahkan tanpa kamu perlu mengkhotbahkan, ajak-ajak renungan, atau bikin persekutuan kantor. Dengan bagaimana? Richard Mouw mengatakan, kalau kamu mau jadi pemimpin yang memperbarui culture dunia, tanggunglah lebih banyak penderitaan dibandingkan memberikan penderitaan. Mulai dari situ. Realistis saja, sebagai pemimpin culture, pemimpin ekonomi, investor, orang finance dan businessman, bagaimanapun juga Saudara tidak bisa tidak harus memberikan pain, penderitaan, bagi orang lain. Saudara kadang harus potong gaji, pecat orang, karena realitas di dunia ini tidak sesimpel itu. Tapi lihat, banyak pemimpin dalam menjalankan fungsi ini, yang mereka lakukan adalah ‘lebih baik saya memberikan penderitaan dibandingkan saya menanggung penderitaan’. Richard Mouw mengatakan, orang Kristen sebaliknya; waktu engkau jadi pemimpin, kalau kamu mau mengikut Tuhan dan memberikan pembaruan bagi culture manusia, tanpa harus khotbahin mereka, kamu bisa melakukannya dengan cara kamu memperlihatkan terang salib, dengan kamu lebih banyak menanggung penderitaan dibandingkan memberikan penderitaan.
Mendengar ini, saya ingat satu ilustrasi dari Tim Keller. Seorang wanita datang kepada dia di gerejanya, Redeemer Church, dan berkata, “Saya bukan orang Kristen, dan saya tidak yakin mau jadi orang Kristen, tapi saya ingin tahu lebih banyak mengenai Kekristenan.” Waktu ditanya alasannya, wanita ini bercerita, “Saya seorang karyawan, bekerja di bawah seorang bos, dan suatu kali saya melakukan kesalahan fatal yang harusnya membuat saya dipecat, tapi bos saya yang maju pasang badan, mengatakan, ‘jangan pecat dia, pecat saya, karena ini tim saya meskipun dia yang bikin kesalahan’”. Oleh sebab hal tersebut, bos ini tidak dipecat tapi dia kehilangan pamor, kehilangan reputasi baik yang sudah dibangun bertahun-tahun, turun posisi ke posisi proyek-proyek tidak penting. Lalu wanita ini bertanya kepda dia, “Kenapa kamu melakukan itu? Yang namanya bos, mengambil karya positif dari karyawan, itu lumrah, tapi menanggung kesalahan karyawan, itu tidak pernah ada. Jadi kenapa kamu melakukan ini, mau apa??” Bos itu lalu mengatakan, “Saya orang Kristen; Yesus Kristus sudah terlebih dulu menanggung kesalahanku, maka aku hanya mau coba sedikit menghidupi apa yang telah Dia hidupi bagiku” –dan berikutnya si wanita tanya, “Kamu ke gereja mana?”
Saudara, inginkah jadi orang seperti ini? Inginkah Saudara menjadi orang-orang yang terang dengan terang salib sehingga dunia tertarik melihat Saudara, datang kepada Saudara, dan disembuhkan lewat terang yang terbit atasmu?
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading