Kita membahas Doktrin Dosa lewat dua topik besar, yaitu Akar Dosa (minggu lalu), dan hari ini Akibat Dosa. Kita sudah melihat akar dosa bukanlah urusan melanggar peraturan atau tidak tahu ada peraturan yang benar, melainkan ada sesuatu yang lebih dalam, yaitu kita menempatkan diri di tempat Allah, dan oleh karena itu solusinya adalah Allah yang menempatkan diri-Nya di tempat kita.
Hari ini kita membahas mengenai dampak dosa, mengenai apa yang dosa lakukan dalam kehidupan kita. Dan, karena Kekristenan adalah agama yang sangat relasional –bahwa Allah Tritunggal itu ciri khasnya Allah yang ada kasih, ada relasi antar Pribadi dalam Allah Tritunggal, sehingga kita pun diciptakan untuk berelasi– maka ketika dosa masuk ke dunia, dampak utamanya adalah keterputusan atau kerusakan dari relasi-relasi tersebut, yang kita sebut keterasingan (alienation). Keterasingan ini ada empat, yaitu keterasingan antara kita dengan Tuhan, keterasingan antara kita dengan diri kita sendiri, keterasingan antara kita dengan sesama manusia, keterasingan antara kita dengan alam.
Sebelum masuk ke pembahasan empat poin tersebut, kita mau meletakkan dulu dasar untuk jadi acuan dalam melihat semua keterasingan itu, yaitu mengenai apakah dampak dosa yang kita langsung lihat dalam narasi ini. Dampak dosa yang terutama, kita lihat dalam kalimat yang keluar dari mulut Adam dan Hawa ketika mereka dikonfrontasi oleh Tuhan; Tuhan datang dan mengatakan ‘apa yang terjadi, di mana engkau, kenapa bisa begini’, lalu yang Adam lakukan adalah mengatakan, “Bukan aku, tapi gara-gara perempuan itu.” Ini respons yang pertama, lagipula ini tindakan Adam untuk mengambinghitamkan; tapi bukan cuma mengambinghitamkan Hawa, klausa dalam kalimatnya adalah: “… perempuan itu yang Engkau taruh di sisiku”, sehingga ada sense bahwa Adam juga bahkan mengambinghitamkan Allah. Waktu Hawa ditanya, kalimat yang keluar pun kira-kira mirip: “Bukan aku yang masalah, tapi ular itu yang memperdayakan aku.”
Dalam hal ini ada satu esensi dosa yang kita mau lihat; kemarin kita sudah mengatakan bahwa akar dari dosa adalah pembalikan dari ciptaan Tuhan, ini keterbalikan yang bersifat vertikal (Tuhan menciptakan manusia untuk tunduk kepada Tuhan dan berkuasa atas alam, manusia tidak mau menerima posisi ini, manusia merebut posisi Tuhan, dan ironisnya manusia malah dikuasai oleh alam, karena manusia membuat hal lain yang ada dalam alam, yang bukan Tuhan, menjadi berhalanya; jadi harusnya takluk kepada Tuhan dan menguasai alam, namun gara-gara dosa manusia mau merebut posisi Tuhan dan akhirnya malah dikuasai alam), dan hari ini kita melihat keterbalikan kedua, yang bersifat horisontal. Kita ini bukan cuma dipanggil untuk takluk kepada Tuhan dan menguasai alam, tapi juga dipanggil untuk memberi diri bagi sesama kita, mengasihi sesama kita –secara horisontal. Ideal skenarionya seperti dalam film-film romantis, di mana si cowok melakukan tindakan pengorbanan bagi si cewek, misalnya waktu ada truk mau menabrak si cewek, lalu dia dorong si cewek itu dan dia sendiri yang kena tabrak. Kemudian waktu si cowok sudah bergelimang darah dan sekarat di pelukan si cewek, dia mengatakan, “It’s OK, ‘gak masalah, honey, karena memang hidupku untuk hidupmu”. Inilah relasi kasih, hidupku untuk hidupmu. Namun yang Saudara lihat lewat respons Adam, dan juga respons Hawa, di bagian ini, hal tersebut diputar balik habis-habisan, bukan lagi hidupku untuk hidupmu, tapi hidupmu untuk melayani hidupku.
Allah mengatakan, “Adam, apa yang terjadi?” Adam bilang, “Itu, Tuhan, gara-gara dia, biarlah dia jadi tumbal, saya tidak salah” –bukan memberikan diri bagi sesamanya, melainkan mengorbankan orang lain demi diri sendiri. Inilah yang kita lihat dalam kalimat-kalimat pertama kisah kejatuhan manusia; dan pertama-tama saya ingin kita menyadari dulu, bahwa inilah dampak dosa yang ada dalam hidup kita semua. Mendengar ini, kita mungkin bingung karena kita kayaknya tidak mengorbankan orang lain demi diri kita, kayaknya kalau saya bakal tertabrak truk, saya tidak tarik orang lain biar dia yang tertabrakdan saya tidak. Jadi, dalam hal-hal seperti apa kita melakukannya?
Satu contoh yang gampang, misalnya dalam hal manusia membangun identitas. Kalau Saudara dari kecil sudah belajar main biola, dan saudara-saudaramu juga les biola, tapi Saudara yang paling jago dalam keluarga, maka Saudara ada rasa bangga. Naik level sedikit, Saudara ikut kontes di sekolah, dan Saudara dinobatkan sebagai pemain biola terbaik di sekolah, maka Saudara akan lebih bangga lagi, identitasmu jadi lebih jelas, bahwa saya ini pemain biola yang hebat. Naik lagi ke level propinsi, Saudara dinobatkan jadi juara sepropinsi, maka Sauadara semakin merasa diri oke. Kemudian anggaplah Saudara diberi beasiswa ke luar negeri untuk belajar biola. Waktu Saudara sudah di luar negeri tapi belum sampai ke sekolah tersebut, belum bertemu anak-anak sekolah itu, dan belum tahu seberapa mereka hebatnya atau bego-nya, dalam perjalanan menuju ke sekolah naik subway, Saudara menemukan seseorang yang ngamen dengan main biola –dan mainnya jauh lebih bagus daripada Saudara– maka bagaimana perasaanmu?
Omong-omong cerita ini ada sedikit dasarnya dalam kehidupan saya, karena saya belajar musik di Melbourne. Sebelum pergi ke sana, saya lumayan bangga pada diri, dan ada modalnya juga, karena bisa diterima sekolah di luar negeri, bisa lolos audisinya yang bukan tanpa standar. Lagipula saya bisa apply ke sekolah musik pun adalah karena sejak kecil ada pengakuan-pengakuan orang di berbagai tempat dan berbagai waktu, bahwa saya ada bakat musik yang lebih dari orang lain. Jadi waktu akhirnya saya diterima, saya merasa wah boleh juga, ya; memang saya bukan yang terbaiklah, tapi bukan berarti ‘gak ada modal ‘kan –meski tentu saja saya tidak mengatakan itu keras-keras. Namun begitu saya sampai di Melbourne, turun dari subway, yang saya temukan adalah orang-orang dengan celana jins bolong-bolong dan baju yang lusuh banget sementara rambutnya kayak tidak pernah dicuci, sedang main cello, dan mainnya luar biasa bagus. Memang ini tidak secara langsung saingan dengan saya (karena saya vokalis), tapi tetap saja terasa bagaimana gitu. Lalu waktu keluar ke jalanan, di perempatan ada orang ngamen main biola, dan mainnya salah satu dari empat violin concerto yang paling terkenal di dunia dan paling sulit. Ini baru orang yang ngamen di jalanan, lalu bagaimana yang di fakultas musiknya, kerennya kayak apa??
Saudara, bayangkan kita berada dalam situasi seperti ini, apa yang kita rasakan? Kita merasa ciut. Kita merasa identitas kita langsung mengerut. Kenapa? Michel Foucault, seorang filsuf Perancis, mengatakan: manusia memang membangun identitasnya dari hal-hal seperti ini; manusia tidak membangun identitasnya dari kehebatannya atau kepintarannya, kita tidak bangga kalau kita hebat atau pintar, kita baru bangga ketika kita lebih hebat atau lebih pintar dari orang lain. Saudara lihat, kita ini membuat identitas kita, hidup kita, atas dasar hal-hal yang orang lain tidak punya atau yang orang lain kurang. Kalau kita punya suatu barang, kita tidak terlalu bahagia karena hal tersebut; kita baru bahagia kalau barang tersebut orang lain tidak punya, kalau kita memiliki lebih daripada orang lain. Inilah celakanya manusia, hidupmu untuk hidupku, hidupmu aku pakai untuk jadi pijakanku mengetahui siapa diriku, gua lumayan juga karena gua punya apa yang orang lain tidak punya.
Saudara, ini satu hal yang sudah pasti bukan cuma benar bagi mahasiswa musik, ini benar bagi kita semua. Sering kali, kalau kita bertemu dengan orang yang below average, kita mungkin tidak suka, karena orang itu jadi menyebalkan atau tidak bisa kerja sama; namun kita juga tidak terlalu suka kalau bertemu orang yang above average, karena kita jadi kelihatan bodoh. Kita paling senang kalau bertemu dengan orang yang sedang-sedang saja, karena diri kita jadi kelihatan lebih bagus sedikit.
Ada satu hal menarik dalam pengalaman saya yang suka gowes. Dalam grup sepedaan saya, kami kadang-kadang pergi menanjak di KM 0 Sentul, yang lumayan puas rasanya kalau bisa sampai atas; dan saya tidak malu untuk mengatakan bahwa saya ini climber sepeda paling cepat di grup kami. Namun yang menarik, ketika saya nomor satu sampai di atas, dan saya harus menunggu yang lain sampai, kadang saya jadi kurang sabar, maka saya turun lagi sampai bertemu mereka, lalu putar balik dan naik lagi bersama-sama mereka. Saya rasa itu normal saja, daripada menunggu di atas ‘gak ngapa-ngapain. Itulah yang sering terjadi. Dan, orang yang paling bontot dalam hal ini adalah Pak Heru, dia gowesnya paling pelan, sepedanya juga paling parah, lalu biasanya kami-kamilah yang harus bantu perbaiki; Pak Heru selalu jadi figur yang seperti itu dalam grup gowes kami. Beberapa bulan lalu, saya ikut triathlon (renang, bersepeda, lari)untuk pertama kalinya; dan Pak Heru adalah pelari dalam grup kami yang paling jago. Dia paling cepat, paling jauh larinya, paling hebat staminanya, sudah pernah ikut marathon di Bali dsb., maka sebelum ikut triathlon, saya mau belajar pada dia, latihan lari sama-sama, karena saya sendiri tidak pernah lari, saya merasa ini olah raga yang paling membosankan. Jadi kami pergi ke GBK, lari sama-sama keliling GBK. Di situ saya larinya lambat setengah mati, sedangkan Pak Heru santai saja. Sudah begitu, Pak Heru kadang-kadang putar badan lalu lari mundur; dan saya yang lari maju ini lebih lambat daripada dia yang lari mundur. Dia lalu mulai mengejek-ejek sedikit, “Ayo Jeth, semangat Jeth..”, lalu dia lari lebih jauh sedikit –karena ada fotografer– lalu putar balik ke arah saya, lalu kita sama-sama lari lagi. Ini persis yang saya lakukan terhadap dia di Sentul. Dan, itulah saat saya menyadari kayak apa rasanya digituin; saya bilang ke dia, “Wah, gua baru tahu rasanya kalau gua biasanya balik turun jemput lu waktu bersepeda”, dan dia tertawa-tawa.
Saudara, inilah pengalaman kita, bahkan dalam urusan olahraga pun kita bisa merasa seperti ini. Kenapa kalau kita misalnya sudah tahu bakal gowes dengan orang yang hebat-hebat dan kita pasti ketinggalan, kita rasa enggan, janganlah, nanti bikin malu ? Kenapa kita tidak bisa jadi orang yang sekadar gowes demi gowes itu sendiri, demi kesenangannya saja? Kenapa kita sering kali membandingkan diri kita dengan orang lain, dan kalau tahu kita pasti kalah, maka kita tidak terlalu mau ikut? Kalau Saudara main pingpong dengan orang yang selalu menang 21-0 terhadap Saudara, rasanya bagaimana? Lama-lama rasanya malas ‘kan. Kenapa? Kenapa kita tidak bisa enjoy permainannya saja? Karena ini: manusia dipanggil untuk memberikan diri bagi sesamanya, namun yang kita lakukan akibat dosa adalah kita mau orang lain jadi pijakan bagi hidup saya; saya baru tahu siapa saya, kalau saya bisa membandingkan diri dengan orang lain dan saya lebih baik daripada orang lain, hidupmu ada bagi hidupku.
Kalau Saudara buka media massa, semacam detik.com, dsb., salah satu yang paling sering muncul di front page adalah berita mengenai selebriti. Berita-beritanya juga bukan berita yang bagus, biasanya soal selebriti ini terlibat affair, selebriti itu berzina, dsb., lalu kenapa muncul terus yang seperti itu? Ada artikel yang membahas mengenai hal ini, dan mengatakan bahwa berita-berita seperti itu muncul dan orang suka, karena kita ini enjoy kalau bisa menghina-hina orang. Waktu kita baca selebriti A terlibat affair, kita mengatakan, “Wah, ck, ck, ck, ancur lu, ya… “ –dan itu menyenangkan. Kenapa menyenangkan? Sekali lagi, karena kita sedang berpijak di atas orang lain, bahwa orang-orang ini hancur banget, gua mendingan. Kita lakukan ini secara tidak sadar, tapi hampir semua dari kita seperti ini. Ironisnya, itu membuktikan bahwa kita tidak beda dengan mereka, kita tidak lebih baik daripada mereka. Mereka mungkin orang-orang yang menggunakan orang lain demi dirinya, namun kita pun sedang menggunakan mereka demi diri kita. Satu hal, kalau orang saling bunuh pakai pedang, maka tidak penting sebagus apa pedangnya –bisa pedang berkarat, bisa pedang berkilau-kilau–dan Saudara tidak bisa bilang yang bunuh pakai pedang berkilau-kilau itu lebih baik, karena dua-duanya dipakai untuk membunuh orang. Inilah ironisnya hidup manusia, kita saling bunuh pakai pedang, tapi kita membahas soal pedang siapa yang paling bagus. Memang di permukaan jalan hidup manusia berbeda-beda, namun ujungnya dasarnya satu: hidupmu untuk hidupku, dirimu untuk diriku. Kita bukan memberikan pundak kita untuk dijadikan pijakan orang lain, kita menggunakan pundak orang lain untuk jadi pijakan kita. Ini dampak dosa yang mendasar sekali; dan inilah dasar untuk membahas keterasingan-keterasingan berikutnya.
Setelah keterbalikan secara horisontal tadi, bukannya manusia mengasihi sesamanya, melainkan manusia mengorbankan sesamanya bagi dirinya; dan sekarang kita mau melihat empat keterasingan yang tadi kita sebut. Keterasingan yang pertama, yaitu keterasingan dengan Tuhan. Ini kita lihat dalam ayat 8, ketika mereka mendengar suara Allah berjalan di taman pada hari sejuk, mereka kabur, bersembunyi.
Waktu dikatakan Allah berjalan, ini bukan untuk kita kemudian tanya soal Allah koq punya kaki, dsb., karena kata ‘berjalan’ di dalam Alkitab tidak pernah untuk mengungkapkan urusan pergerakan kaki. Misalnya waktu dikatakan Yonatan berjalan dengan Daud, maksudnya adalah adanya esensi fellowship, ada persekutuan, ada jalan bareng (Daud tidak pernah dikatakan berjalan bersama dengan Saul). Jadi, waktu dikatakan Allah berjalan di hari sejuk di taman tersebut, maksudnya Allah sedang mencari mereka, Allah menghendaki persekutuan dengan manusia –namun manusia kabur dari persekutuan ini. Ada sesuatu yang drastis berubah di sini, karena kehadiran Tuhan yang tadinya merupakan suatu persekutuan antara sahabat dengan Sahabat, sekarang berubah jadi teror, manusia kabur dari Tuhan, tidak mau lagi bersekutu dengan Dia.
Dalam hal ini, kalau Saudara anggap ini cuma muncul dalam diri orang-orang yang berdosanya parah, pikir sekali lagi, karena di dalam Alkitab pola ini muncul sepanjang halaman-halamannya. Yesaya, waktu bertemu dengan Tuhan, yang dia katakan sama juga: “Celakalah aku, mampus aku, mati aku.” Kalau Saudara pikir ini cuma di Perjanjian Lama –karena Allah Perjanjian Lama kayaknya lebih gimana gitu— jangan salah, tidak demikian, nyatanya waktu Petrus mengenali dirinya di hadapan Tuhan Yesus, dia mengatakan hal yang sama: “Pergi daripadaku, Tuhan, aku ini orang berdosa, ‘gak bisa bersama Kamu” –keterasingan. Suatu pola yang jelas di dalam Alkitab, bahwa kehadiran Tuhan ketika dialami orang berdosa, adalah kehadiran yang mengerikan, kehadiran yang bahkan membuat orang-orang yang kita anggap pahlawan iman pun, roboh dan tersungkur. Inilah keterasingan yang dibawa oleh dosa.
Satu hal yang menarik, kita sekarang jadi bisa melihat betapa orang zaman sekarang bisa-bisanya merasa “dekat Tuhan” dan mereka mengatakannya dengan nada yang senang, sedangkan di dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, ternyata bagi Alkitab tanda orang yang sungguh bertemu dengan Tuhan yang sejati, tanda orang yang sungguh dekat dengan Tuhan yang sejati, adalah justru kita merasakan keterasingan, kita merasakan teror. Bahkan Musa, yang mengatakan kepada Tuhan, “Tuhan, aku mau melihat kemuliaan-Mu!” di situ Tuhan mengoreksi dia, Tuhan mengatakan: “Tidak bisa, Musa, mati lu nanti; lihat belakang-Ku saja”. Ini satu hal yang kita sering kali tidak sadari, tapi kita perlu pegang kalau kita benar-benar percaya Alkitab sebagai firman Tuhan.
Dulu, di Amerika tahun 60-70an, ada seorang jurnalis bernama David Frost, yang terkenal karena berhasil mewawancara Richard Nixon (presiden Amerika yang terlibat skandal). Suatu hari David Frost ini mewawancarai seorang lain bernama Madalyn O’Hair, seorang atheis, karena dia memasukkan tuntutan hukum untuk meniadakan pembacaan Alkitab di sekolah-sekolah Amerika. David Frost sendiri seorang yang percaya Tuhan, maka waktu mewawancarai Madalyn O’Hair, dia pakai cara yang agak curang, yaitu mengatakan: “Oke, kamu ‘kan menganggap harusnya orang di sekolah tidak disuruh melakukan kegiatan religius seperti baca Alkitab, dsb. Kenapa kamu merasa seperti itu?” Madalyn O’Hair bilang, “Ya, karena tidak semua orang percaya Tuhan! Saya tidak percaya Tuhan, dan saya punya hak ‘kan??” David Frost lalu berbalik ke arah penonton di studio, bertanya, “Siapa di sini yang percaya Tuhan?” dan banyak sekali yang angkat tangan (ini tahun 60-70an, masih banyak orang di Amerika yang percaya Tuhan). Inilah demokrasi, yang lebih banyak yang menang, O’Hair seperti kalah. Namun seorang theolog kemudian memberi respons atas wawancara tersebut, dia mengatakan poin yang bagus, bahwa O’Hair seperti kalah, tapi sebenarnya kalau mau menang dia bisa saja tinggal balas dengan angket yang lain, seperti ini: “Oke, kalian banyak yang percaya Tuhan, fine; sekarang berapa banyak yang percaya Tuhannya Alkitab?” –itulah pertanyaannya.
Berapa banyak yang percaya Tuhan yang mengatakan, “Kuduslah kamu, seperti Aku kudus” ? Berapa banyak yang percaya Tuhan yang mengatakan, “Tidak sekali-kali Aku membebaskan orang yang bersalah dari hukuman. Aku adalah Tuhan yang membalaskan kesalahan seorang bapak kepada anak-anaknya, dan kepada cucu-cucunya, kepada keturunan ketiga dan keempat” ? Itulah Allah Alkitab. Allah Alkitab mengatakan hal-hal seperti itu di Keluaran 34:7. Madalyn O’Hair tinggal mengangkat itu, dan pasti sedikit yang percaya Allah Alkitab ini. Ini membuat kita jadi menyadari satu hal: kalau kita merasa nyaman dengan Tuhan, barangkali Tuhan kita itu cuma tuhan kertas hasil lipatan kita sendiri. Tuhan yang sejati, lain cerita; Tuhan yang asli itu begitu mengerikan bagi orang berdosa.
Di sini mungkin kita mengatakan: “Pak, saya memang tidak nyaman dengan Tuhan; benar kata Bapak. Itu sebabnya, Pak, jangan marah-marah kalau kita tidak ke PD, tidak datang PA, tidak mau belajar penginjilan, dsb. –karena kita memang tidak nyaman dengan Tuhan, seperti yang Bapak bilang ‘kan, ada keterasingan. Jadinya normal dong.” Tapi tidak seperti itu, Saudara, cara berpikirnya. Ada satu pengalaman yang boleh menolong kita menghayati hal ini, waktu saya berhadapan dengan orang-orang yang merasa tidak nyaman akan satu dan lain hal dalam kebiasaan ibadah Reformed, entah musiknya, entah terlalu dingin, dsb. Dalam hal ini, bukan berarti kita tidak ada kelemahan dan tidak perlu perbaikan, tapi saya mau menantang mereka untuk memikirkan satu hal: kenapa sih kalau kamu bertemu dengan Tuhan di gereja, idealnya kamu merasa nyaman? Ini karena ekspektasinya ‘di gereja harusnya saya merasa nyaman, merasa oke, merasa dikasihi, dsb.’ Mungkin kita bukan lagi orang-orang yang percaya Kekristenan berarti jadi kaya, tidak pernah sakit, dsb., tapi banyak dari kita masih berpikir bahwa Kekristenan yang ideal adalah saya merasa nyaman, saya dilayani, ekspektasi saya dipenuhi di gereja, harapan-harapan saya direalisasi di gereja. Itu sebabnya kalau khotbah susah sedikit, Saudara mengomel. Kalau yang khotbah menurut Saudara kurang bagus, kurang komunikatif, Saudara pindah ke tempat lain dulu. Ini kenapa? Karena kita punya ekspektasi bahwa kalau datang kepada Tuhan, harusnya saya merasa nyaman. Tapi lihat, di dalam Alkitab justru tidak demikian; Alkitab jelas mengatakan efek dosa adalah: kamu harusnya expect bahwa berhadapan dengan Tuhan, bertemu dengan Tuhan yang sejati, kamu akan merasa terasing, merasakan teror. Jika sadar akan hal ini, kita tidak bakal banyak ngomel di gereja, kita tidak bakal terlalu ngomel waktu bertemu dengan orang-orang yang menyebalkan, kita tidak bakal terlalu ngomel waktu berhadapan dengan khotbah-khotbah yang sulit tapi benar. In some sense, itu justru “gunanya” Tuhan –kalau kita pakai kalimat yang agak kurang ajar.
Saudara, gunanya bertemu dengan Tuhan adalah justru supaya ekspektasi Saudara diputarbalik, harapan-harapanmu dikoreksi. Kenapa demikian? Karena kalau Tuhanmu adalah Tuhan yang tidak bisa menantang harapanmu, yang tidak bisa menantang konsepmu, yang tidak bisa memutar balik pengalamanmu, maka itu Tuhan yang tidak bisa mengubah hidupmu juga, karena Saudara sudah sinkron koq dengan Dia; Dia datang, Saudara nyaman, jadi tidak ada yang perlu diubah lagi ‘kan –maka hidupmu juga tidak akan berubah. Dan itu Tuhan yang in some sense tidak berguna. Kenapa bisa ada Tuhan seperti itu, karena itu adalah tuhan hasil lipatan kertas kita sendiri. Tuhan yang asli adalah Tuhan yang akan membuat kita tidak nyaman. Kalau kita mau jujur, tidak ada di antara manusia yang mau Tuhan seperti ini. Ini bukan cuma problem orang-orang yang di luar gereja dan menjauhi gereja, ini juga problem orang-orang yang di dalam gereja. Inilah keterasingan yang pertama, keterasingan kita dengan Tuhan. Kita perlu mengakui hal ini.
Keterasingan yang kedua, yaitu keterasingan dengan diri kita sendiri. Hal ini kita baca di ayat 7: Maka terbukalah mata mereka berdua, dan mereka tahu bahwa mereka telanjang. Ini kalimat yang persis kebalikan dari yang kita baca sebelumnya di Kejadian 2 waktu Adam dan Hawa diciptakan, yaitu mereka keduanya telanjang –manusia dan istrinya itu– tapi mereka tidak merasa malu. Dulu telanjang dan tidak merasa malu, sekarang terbuka mata dan mereka tahu bahwa mereka telanjang. Jadi masalahnya di mana? Masalahnya adalah rasa malu. Tadinya tidak ada rasa malu, sekarang ada rasa malu.
Waktu telanjang dilihat orang lain dan kita merasa malu, kita pikir ini problem kita dengan orang lain. Tentu ini ada benarnya; tapi rasa malu adalah justru berarti keterasingan kita dengan diri kita sendiri. Kita malu, itu bukan terutama ketika berurusan dengan orang lain; kita malu, ketika kita merasa ‘koq saya kayak gini sih. Jadi rasa malu itu problemnya dengan diri sendiri, bukan dengan orang lain. Malu adalah suatu sense di mana kita tidak nyaman dengan diri kita sendiri. Ini hal yang lumrah, karena kita diciptakan bagi Tuhan, sehingga ketika kita kehilangan Tuhan, kita kehilangan diri. Begitu ada jurang antara Tuhan dengan diri kita, maka pasti juga ada jurang antara kita dengan diri kita sendiri, ada perasaan sesuatu yang wrong inside. Ini logis saja karena kita memang diciptakan untuk Dia, namun fenomenanya waktu kita merasa malu, kita lalu mencari banyak hal untuk menambal yang bolong. Adam dan Hawa mencari daun pohon ara, menyematnya jadi cawat untuk menambal apa yang bolong. Inilah akibat dosa yang kedua. Saudara bisa menjelaskan banyak perilaku manusia melalui hal ini, bahwa banyak orang merasa diri harus melakukan sesuatu, harus mendapatkan sesuatu, untuk menambal hal-hal ini.
Satu contoh dalam hal ini yaitu –kembali ke hal pertama tadi– waktu kita mengambinghitamkan orang lain. Misalnya, setelah Adam mengatakan “perempuan itu yang salah”, Saudara lalu mengajak Adam duduk dan bicara pelan-pelan: “Dam, masa’ sih lu ‘gak merasa lu ada andil dalam kerusakan ini?” dan saya cukup yakin jawabannya adalah: “Tidak! Saya ‘gak ada masalah di sini, bukan masalah di saya, itu masalahnya di dia! Kalau dia ‘gak melakukan itu, saya ‘gak bakalan jatuh!” –menyalahkan yang lain. Hawa pun pasti sama. Mereka tidak menyadari diri sendiri, mereka terasing dari diri sendiri. Waktu Saudara tidak mau mengakui andilmu dalam suatu kesalahan, ini berarti Saudara terasing dari dirimu sendiri, Saudara tidak mengenal dirimu sebagaimana realitasnya. Inilah sering kali cara kita menghidupi hidup ini. Waktu kita menyalahkan orang lain, kita tidak bisa mengakui andil diri dalam kejatuhan/kerusakan, kita mengatakan “bukan saya, orang lain yang masalah”, ini salah satu bukti bahwa manusia terasing dari dirinya sendiri. Itulah sebabnya dari tadi saya cerita banyak banget dengan pakai ilustrasi gowes, lari, dsb., yaitu untuk menunjukkan bahwa kita ini menghidupi hidup yang seperti itu, hidupmu untuk hidupku.
Kenapa saya harus bikin segala macam ilustrasi tadi? Karena Saudara tahu koq, manusia tidak mau mengakui hal itu kecuali dipojokkan; dan itu berarti kita tidak mengenal diri kita sendiri. Kita tidak mau mengakui itu, kita tidak bisa melihat itu dalam hidup kita. Ini adalah keterasingan kita terhadap diri kita sendiri, bahwa kita bahkan tidak mengenal diri sendiri. Waktu Saudara melihat hal tersebut dalam diri banyak orang, Saudara harus sadar bahwa hal yang sama juga terjadi dalam diri kita. Saudara melihat orang-orang yang ke sana kemari berusaha melakukan ini itu, dan Saudara tahu mereka melakukan itu demi untuk menambal. Saudara juga tahu ada orang-orang yang selalu tidak berani melakuan sesuatu, selalu takut dan tidak berani gerak, yaitu karena mereka merasa bolongnya sudah terlalu besar, jangan sampai bikin lebih banyak bolong lagi. Sama saja. Sekali lagi, pedangnya bisa bermacam-macam, ada yang berkarat, ada yang berkilauan, tapi sama-sama dipakai untuk membunuh orang. Itulah keterasingan dengan diri.
Keterasingan yang ketiga, yaitu keterasingan dengan orang lain. Kita menyembunyikan diri bukan cuma dari Tuhan, juga bukan cuma dari diri kita sendiri; kita menyembunyikan diri dari orang lain. Melanjutkan yang tadi, Adam dan Hawa membuat cawat untuk menutupi ketelanjangan mereka. Ini berarti: mulai hari ini, kamu tidak bisa mengakses sepenuhnya diriku, dan –mungkin juga– aku tidak mau mengakses sepenuhnya dirimu.
Kita sekarang ada jarak, ada keterpisahan, ada tembok di antara kita. Fenomena ini bisa kita lihat dalam cara kita berelasi dengan orang lain. Kita ini berelasi tidak dengan semua orang ‘kan, karena kita takut relasi tersebut bisa menggigit kita –maka kita pilih-pilih. Kita tidak berelasi dengan orang-orang yang bisa merugikan kita. Kita tidak berelasi dengan orang-orang yang butuh dan mencari perhatian. Ini menarik, karena orang yang mencari dan butuh perhatian, harusnya adalah orang yang perlu kita beri perhatian; tapi waktu cari teman, kita tidak mau yang kayak begitu. Cara terbaik untuk mendapatkan teman adalah dengan jual mahal, jangan kelihatan needy. Dalam film “Bridget Jones’s Diary”, salah satunya Bridget Jones menulis dalam diary-nya: ‘selalu bersikap independen, jangan pernah kelihatan perlu cowok, karena inilah cara terbaik untuk mendapatkan cowok’ –jual mahal. Kita tahu ini works, karena kita ini berelasi dengan orang bukan demi dia, melainkan untuk menjadikan dia tambalan bagi hidup kita.
Satu hal menarik, kalau pacaran jadi naik level, orang mengejar hal tersebut; sedangkan pacaran turun level, tidak ada yang mau. Tapi Saudara lihat, kalau tidak ada yang mau turun level, bagaimana mungkin bisa ada orang yang naik level, ‘kan, karena ini melibatkan dua orang, harus gayung bersambut air –dan kita sering kali tidak sadar diri kita seperti itu. Dari sisi cowok secara umum, waktu mencari seorang wanita, kita bukan cari wanita yang cocok, kita cari wanita yang bisa mengangkat diri kita. Kita sering kali tertarik dengan wanita-wanita yang cantik, dan bukan yang cocok; kenapa? Karena kita merasa ‘wah, dia cantik banget; kalau gua bisa dapat dia, gua ini something’. Kita mungkin tidak sadar akan hal itu, kita juga tidak mengatakannya terang-terangan –karena kita ‘kan tidak kenal diri kita– tapi sering kali kita melakukan itu. Ironisnya, waktu akhirnya mendapatkan wanita tersebut, kita bukannya terangkat tapi malah kebalikannya; orang bukan mengangkat si suami, ‘wah boleh juga dia’, tapi malah mengatakan: “Gila, suaminya jelek banget”. Dan, sering kali ini menjadi fenomena yang lain; karena sudah tahu kalau pacaran naik level mau mengangkat diri tidak bisa juga, akhirnya ya sudah, jadinya saya bukan cari orang yang cocok meskipun orang yang cocok itu cantik, karena nanti saya kebanting seumur hidup.
Saya pernah baca satu artikel menarik di Cosmopolitan, ditulis dari sudut pandang seorang wanita. Dia menulis tentang fenomena bahwa para wanita suka dengan pria-pria yang punya tipe badan “dad bod” (dad bod artinya body kayakbapak-bapak –maka pakai istilah ‘dad’— yang karakteristiknya bisa ada otot-otot sedikit tapi perutnya agak gembul seperti perut bapak-bapak). Kenapa? Dia membahas begini: karena wanita secara umum likes to be the pretty one; maunya wanita kalau punya pasangan, dia sendirilah yang cantik, bukan cowoknya. Wanita itu insecure, demikian katanya, dan tidak perlu tambahan insecurity lewat bersanding-sandingan dengan dewa-dewa Athena. Mungkin saja para wanita bisa nge-fans dengan BTS dsb. yang badannya keren-keren, tapi kalau untuk cari relasi, wanita senang yang dad bod, karena ‘membuat kami merasa cantik dalam relasi ini, dan bukan dia yang ganteng; kalau jalan dengan cowok yang luar biasa kekar, pretty boy, dsb., yang dia lebih daripada gua, rasanya gimana ya.. ‘ Saudara lihat, kembali lagi ‘saya menggunakan orang ini untuk diri saya; hidupnya untuk hidupku’. Pria dan wanita sama saja demikian.
Hal ini bukan cuma muncul dalam urusan pacaran, tapi bahkan dalam kerohanian dan kehidupan di gereja. Kalau orang-orang di GRII diminta jadi pengurus, responsnya: “Aduh, jangan saya, saya ‘gak mampu,’gak layak, ‘gak segala macam…”; sedangkan orang-orang dari gereja lain, ada yang waktu diajak pelayanan, mereka bersemangat sekali, mereka merasa itu suatu kehormatan, bahkan mereka saling mengejar untuk mendapatkan posisi-posisi seperti itu di gereja. Kenapa bisa seperti itu? Yang Saudara lihat, mereka kejar posisi, kalau saya dapat pelayanan dengan tanggung jawab seperti ini, berarti saya di atas orang lain, saya lebih hebat. Lalu waktu Saudara melihat ke orang-orang GRII, Saudara merasa kita tidak seperti itu, kita rendah hati. Rendah hati dari mana?? Waktu Saudara menolak pelayanan, menolak diangkat jadi pengurus, Saudara juga sedang melakukan hal yang sama: menggunakan orang lain jadi pijakanmu. Kenapa demikian? Karena kalau ‘bukan saya’ yang jadi pengurus, berarti orang lain, berarti saya ingin dilayani, bukan melayani; kepalamu untuk jadi pijakan kakiku. Sekali lagi, yang satu pedang berkarat, satunya lagi pedang berkilauan, tidak masalah pedangnya ketika dua-duanya dipakai untuk membunuh orang.
Yang terakhir, keterasingan kita dengan alam. Hal ini cukup self-explained; ada duri, semak belukar, ada banjir, gempa bumi, tsunami –alam tidak lagi ally-nya manusia. Satu hal menarik untuk mengungkapkan ini, adalah lewat tulisan seorang penulis bernama Erma Bombeck. Dia mengatakan: Musuh manusia adalah tanah; kenapa? Karena seumur hidup, saya kerjanya menyapu debu tanah dari halaman depan rumah saya; dan ketika halaman depan bersih dari debu tanah, halaman belakang rumah saya sudah penuh dengan debu tanah. Ketika saya sudah berhasil membersihkan halaman belakang dari debu tanah, halaman depan saya sudah penuh dengan debu tanah. Seumur hidupku adalah berperang dengan tanah, dan saya tidak pernah menang. Dan, tebak apa yang saya dapatkan sebagai hasil dari semua itu ketika saya mati? Tanah. Inilah yang Kejadian 3 katakan, “Engkau berasal dari debu, engkau akan kembali ke debu.”
“Minggu lalu ‘kan Pak Jethro bilang belajar doktrin dosa bukan untuk bikin orang depresi; justru di dalam doktrin dosa yang alkitabiah ada pengharapan yang sejati. Lalu di mana pengharapannya, Pak? Semakin dalam saya belajar, semakin saya putus asa, karena semua orang akhirnya sama saja, entah dari GRII atau gereja Kharismatik, entah pria atau wanita, entah yang pacaran atau kerja atau pelayanan, semuanya sama saja! Semuanya beroperasi atas dasar satu hal yang sama, yaitu: hidupmu bagi hidupku; semua pendosa. Jadi di mana pengharapannya??” Saudara, yang menarik justru di situlah pengharapannya; ini paradoks Kekristenan. Keindahan-keindahan dalam Kekristenan tidak pernah kabur dari kerusakan-kerusakan yang ada di dunia. Keindahan-keindahan Kekristenan bukanlah keindahan surgawi entah di mana, yang tidak realistis dan terlepas dengan dunia. Keindahan Alkitab adalah bahwa Allah kita selalu bisa somehow membuat keputusharapanan menjadi sesuatu yang malah indah. Dari situlah kita melihat doktrin dosa yang alkitabiah ini jusru membawa pengharapan, karena semua manusia pada akhirnya sama saja di hadapan Allah. Dalam Kejadian 3, bukan cuma pria yang berdosa, wanita juga berdosa; bukan cuma wanita yang berdosa, pria juga berdosa. Dua-duanya bersikap sama, dua-duanya malu, dua-duanya berusaha mengambinghitamkan pihak lain –dan dua-duanya diusir. Inilah doktrin dosa dalam Alkitab, bahwa kita semua sama-sama berdosa, tidak peduli ras apa, kelas masyarakat apa, pendukung paslon mana, jemaat ataupun pendeta.
Omong-omong, jangan pikir saya mengkhotbahkan ini untuk menghakimimu, karena penghakiman Firman Tuhan adalah bagi kita semua; kalau saya tidak berdosa, saya tidak akan mampu berkhotbah mengenai dosa. Tapi Saudara lihat, justru doktrin dosa yang universal seperti ini malah bisa menjadi asal-muasal pengharapan yang sejati, karena hanya dalam doktrin dosa inilah tercipta suatu kesamarataan yang bersifat radikal, semua. Kalau hari ini Saudara bertemu dengan seorang LGBT, bisakah engkau tidak menaruh kakimu di atas pundaknya? Saudara mengatakan, “Ya, orang LGBT berdosa, saya juga berdosa, perlu karunia Tuhan”, tapi di dalam hati kita mengatakan ‘saya tidak ada dosa kayak begitu, orang ini yang bikin masyarakat hancur, saya tidak seperti itu, saya punya sesuatu yang dia tidak punya’ –kembali lagi hidupmu bagi hidupku, jadilah pijakan kakiku. Ini problem! Kalau Saudara datang kepada mereka dengan sikap seperti itu, mereka tidak akan mau mendengarkan Saudara. Jadi bagaimana mungkin bisa ada pengharapan kalau tidak ada kesamarataan; di sinilah kesamarataan itu: ada pedang berkarat, ada pedang berkilauan, dan dua-duanya sama saja karena dipakai untuk membunuh orang.
Christopher Yuan, seorang LGBT Kristen memberikan seminar dan kesaksian; dan dia mengatakan, kalau kita mau memulai dialog dengan orang-orang seperti ini, kita harus berhenti melihat mereka sebagai musuh. Kita dengan mulut bisa saja mengasihi mereka, tapi sikap kita terhadap mereka membongkar apa yang jadi isi hati kita. Saya pernah pelayanan ke panti narkoba bersama beberapa jemaat GRII, orang-orang yang memang mau datang melayani orang-orang di panti narkoba, mereka ini orang-orang aktifis, ada pengurus, ada guru Sekolah Minggu, dsb. Lalu kami masuk ke ruangan itu, di situ kursi-kursinya ada tiga row, dan orang-orang panti narkoba tersebut sudah duduk di row yang paling jauh dari pintu masuk. Lalu apa yang terjadi? Semua jemaat yang bersama saya datang melayani, ambil tempat duduk di row dekat pintu masuk, sementara yang tengah dibiarkan kosong; saya ajak pindah ke tengah pun tidak mau. Aneh banget ‘kan. Tapi, kalau kita menghadapi situasi yang sama, saya tidak yakin kita akan ambil sikap yang berbeda; dengan orang narkoba yang di panti saja begitu, apalagi kalau ada 30 orang banci datang ke gereja, apa yang akan jadi sikap kita?? Susah sekali untuk kita melihat diri sama dengan mereka; pedang mereka berkarat soalnya, Pak, sedangkan pedang kita berkilauan; memang kita bunuh orang juga, tapi ya, bagaimana ya… .
Saudara, satu hal yang jadi kunci, bahwa pengharapan untuk bisa menyentuh orang-orang itu, pengharapan agar dari keterpisahan/keterasingan bisa ada rekonsiliasi, hanyalah doktrin dosa yang tepat. Kenapa? Karena doktrin dosa yang tepat mengatakan: “Orang lain pengemis, kamu juga pengemis; harusnya pengemis mengatakan kepada pengemis yang lain, ‘di mana mendapatkan roti’”. Contoh paling bagus yang pernah Pak Billy katakan mengenai bagaimana cara dia mendekati waktu bertemu dengan orang LGBT, yaitu bukan dengan mengatakan, “Kita sama di hadapan Tuhan, Jesus loves me, Jesus loves you too”, melainkan dengan mengatakan: “Kita sama di hadapan Tuhan, kita sama-sama berdosa; kamu ada temptation, saya juga ada temptation. Saya datang ke hadirat Tuhan, sama berdosanya seperti kamu; dan saya ajak kamu datang kepada Tuhan, bukan karena saya lebih suci, tapi saya punya sesuatu yang ingin saya sharing kepada kamu.” Kata-kata itu tidak tentu membuat orang tersebut mau datang ke gereja, tapi paling tidak ada secercah harapan yang sejati. Inilah kerendahan hati yang alkitabiah. Kerendahan hati dalam Alkitab bukanlah merendah. Waktu orang merendah, sering kali mereka justru sedang meninggi. Kerendahan hati di Alkitab bukanlah merendah, dan bukan rendah diri, melainkan tahu diri, tahu siapa diri kita sesungguhnya, bahwa kita sama berdosanya, entah pedang berkarat atau pedang berkilau sama saja dipakai untuk membunuh orang. Demikianlah yang doktrin dosa lakukan bagi hidup kita, yaitu membuat kita menyadari akan hal tersebut; dan justru pengharapannya muncul di sini.
Terakhir, apa yang Tuhan lakukan kepada para pendosa? Allah bertanya kepada mereka. Tujuannya apa? Kita tahu, itu bukan survey situasi; lalu kenapa Dia musti bertanya? Dia tahu segala sesuatu, kenapa Dia tidak langsung memberi vonis saja? Di belakang nanti toh juga keluar vonisnya, lalu kenapa tidak langsung saja? Dalam hal ini Saudara bisa melihat dengan perspektif yang tepat, kalau Saudara membayangkan menghadapi anak-anakmu. Misalkan Saudara pulang ke rumah, dan menemukan anakmu sedang gigit-gigit jari di depan vas bunga yang pecah, atau bahkan sedang sembunyi di kamar, pura-pura tidak tahu. Saudara tentu tahulah apa yang terjadi, memang anak ini yang menjatuhkan vas itu. Saudara tahu anak inilah yang salah. Lalu apa yang Saudara katakan sebagai orangtua yang baik? Apakah mengatakan: “Lu ya! Bikin hancur ya! Ini vonisnya: ‘gak boleh keluar rumah, bla, bla, bla…” ? Tentu tidak. Sebagai orangtua yang baik, Saudara akan TANYA, meskipun Saudara sudah tahu jawabannya. Saudara akan tanya, “Kenapa kamu sembunyi di sini? Apa yang terjadi, beritahu Papa. Itu vas bunga pecah, kenapa?” –meskipun Saudara sudah tahu jawabannya. Kenapa Saudara melakukan itu? Inilah bedanya antara orang yang hatinya tertuju kepada propertinya dan orang yang hatinya ada pada orangnya. Kalau hati Saudara ada pada anak-anakmu, Saudara ingin mengajak mereka mengakui kesalahannya. Kenapa? Karena Saudara tahu satu hal: pertobatan tidak datang tanpa pengakuan dosa. Inilah polanya, dengan pengakuan akan dosa, baru bisa ada pengharapan yang sejati; begitu ada pengakuan dosa, baru bisa ada pertobatan. Itu sebabnya Saudara tanya anak ini pelan-pelan untuk mengakui kesalahannya, karena tidak ada cara lain selain itu. Saudara tampar dia atau bunuh dia pun, tidak akan menyelesaikan masalah –maka Saudara bertanya.
Pertanyaan Tuhan, itu bukan berarti mencecar; pertanyaan Tuhan adalah pertanyaan yang mau membawa manusia kepada pertobatan. Satu hal yang menarik, kita bisa merasa Tuhan buang-buang waktu, namun Tuhan tidak beroperasi seperti itu; Tuhan tidak mengatakan ‘hidupmu untuk hidup-Ku’ –harusnya begitu karena Dia Tuhan, Dia yang berhak– namun Tuhan mengatakan, “Waktu-Ku untuk hidupmu”.
Tidak berhenti di situ, lanjutannya adalah janji Tuhan: “Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan ini; keturunannya akan meremukkan kepalamu, engkau akan meremukkan tumitnya.” Gambarannya adalah: seorang manusia keturunan Hawa akan menghancurkan ular dengan tumitnya, tapi dia akan kena gigit, karena tumitnya menghajar kepala ular. Yang menarik ada theolog yang membacanya seperti ini: banyak yang mengatakan kesalahan Adam adalah bahwa dia tidak memimpin Hawa, malah dia yang dipimpin Hawa; memang itu ada benarnya, tapi yang harusnya Adam lakukan adalah begitu ular mucul menggoda Hawa, Adam melompat dan menghajar kepala ular dengan tumitnya –dan ini mungkin meresikokan nyawanya. Tetapi, kalau Adam tergigit oleh ular itu, dan sekarang sekarat di pelukan Hawa, Adam bisa mengatakan kalimat yang tadi itu, ‘it’s OK, honey, it’s alright; hidupku memang untuk hidupmu’. Dengan demikian, gambaran janji Tuhan ini –demikianlah theolog tadi mengatakan–menggambarkan apa yang harusnya Adam lakukan, tapi dia tidak lakukan, maka perlu ada Orang lain yang melakukan.
Siapakah keturunan perempuan itu? Siapakah yang dalam budaya patriakhal –yang selalu menyebut orangtua menurut bapaknya– malah disebut sebagai keturunan perempuan? Dialah yang benar-benar turun dari perempuan tanpa melalui pria, yaitu Yesus Kristus. Dalam Yesus Kristus, Saudara melihat Allah bukan cuma mengatakan ‘waktu-Ku untuk hidupmu’, tapi juga ‘hidup-Ku untuk hidupmu’. Jikalau ini sungguh menjadi pusat hidupmu, maka ini akan membuat Gereja sanggup hidup bagi orang lain. Kita hanya bisa sanggup melihat orang lain sama dengan kita, ketika kita melihat Allah yang telah menyamakan diri-Nya dengan kita. Inilah Allah kita. Inilah pengharapan yang sejati, yang justru lahir lewat kita mengerti dosa dengan tepat.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading