Ini adalah salah satu mazmur yang termasuk dalam “Seven Penitential Psalms”. Yang menarik dari pasal ini, mazmur ini bukanlah pengakuan dosa itu sendiri, melainkan praktek dari pengakuan dosa yang kemudian diajarkan atau diceritakan.
Mazmur ini ditulis dalam struktur kiastik, yang pertama dengan yang terakhir mirip; A berhubungan dengan A’, B dengan B’, C dengan C’, D di tengah-tengah (urutannya A, B, C, D, C’, B’, A’). Bagian yang di tengah adalah bagian sentralnya, dan itu jatuh pada ayat 8: “Aku hendak mengajar dan menunjukkan kepadamu jalan yang harus kautempuh; Aku hendak memberi nasihat, mata-Ku tertuju kepadamu.” Jalan apa yang ditunjukkan di sini? Tidak lain tidak bukan adalah pengakuan dosa ini sendiri.
Kita sadar, dalam kehidupan ini salah satu problem yang harus kita selesaikan di hadapan Tuhan adalah persoalan rasa bersalah (problem of guilt). Manusia bisa berusaha menekan perasaan bersalah ini dan mengalihkannya pada hal-hal yang lain, atau melakukan semacam kompensasi melalui moralitas, melalui agama, ataupun kebudayaan. Tetapi, apapun yang dilakukan manusia, kecuali dia kembali kepada Tuhan, sebetulnya tidak ada kebahagiaan yang sejati, tidak ada jalan keluar yang sesungguhnya dari problem of guilt ini. Itu sebabnya Saudara membaca di ayat pertama dikatakan: “Berbahagialah orang yang diampuni pelanggarannya, yang dosanya ditutupi!”
Kalimat “berbahagialah …” ini adalah kalimat yang memang bukan cuma ada di pasal ini saja, tapi juga di pasal-pasal yang lain; dan kita tidak perlu membuat semacam ranking mana kalimat “berbahagialah” yang paling penting di dalam Alkitab. Namun demikian seperti dikatakan Luther Mays, seorang komentator yang mengatakan, “Pardon of God is the first and principle basis of the life of the people of God”, kita tidak bisa membicarakan ucapan “berbahagia” yang lain tanpa “berbahagia” yang ini, yaitu “berbahagia orang yang kesalahannya tidak diperhitungkan Tuhan”. Calvin mengatakan, semua yang dikatakan kitab suci tentang “berbahagialah”, bergantung pada blessedness yang satu ini. Istilah ‘blessedness’ di dalam bahasa Inggris dipakai bergantian dengan ‘happiness”, sementara di dalam bahasa Indonesia dipakai istilah ‘berbahagialah’ atau ‘kebahagiaan’.
Saudara lihat di sini, berapa jauhnya yang disebut ‘berbahagia’ oleh Tuhan dibandingkan dengan kebahagiaan yang ada di dalam dunia. Di dalam dunia ini, mereka punya konsep kebahagiaannya sendiri; tetapi Saudara perhatikan, perasaan bersalah ini kalau tidak diselesaikan, tidak mungkin manusia mendapatkan kebahagiaan yang sejati. Ada psikologi modern yang secara hostile mengatakan, bahwa Kekristenan sengaja menimbulkan perasaan bersalah manusia, sehingga hal itu kemudian bisa dimanipulasi atau dikontrol oleh Gereja. Ini tidak benar, karena persoalan bersalah adalah sesuatu yang memang harus diselesaikan oleh manusia; dan bahwa urusan setiap manusia adalah dengan Tuhan, bukan dengan Gereja tapi dengan Tuhan. Sangat keliru kalau mengatakan Gereja yang menciptakan ide kebersalahan ini, dan gara-gara Gereja maka manusia bisa punya perasaan bersalah. Sebetulnya, manusia diciptakan dengan kapasitas untuk bisa menilai yang salah dan yang benar; dan waktu dia sengaja melakukan kesalahan, akan ada perasaan bersalah. Kecuali manusia datang kepada Tuhan dan membereskannya di hadapan Tuhan, tidak ada jalan keluar dalam hal perasaan bersalah ini.
Orang seringkali berpikir bahwa pengakuan dosa itu sesuatu yang hiper-religius, semacam penyakit, atau seolah-olah sesuatu yang terlalu radikal secara keagamaan. Tetapi kalau kita membaca dalam pasal ini, sebetulnya Tuhan memberikan suatu jalan yang bukan hanya benar secara teologis namun juga manusiawi, ada aspek kemanusiaannya, bahwa manusia boleh mengaku dosanya di hadapan Tuhan. Justru manusia boleh mengaku dosanya di hadapan Tuhan ini sesuatu yang manusiawi, sedangkan yang tidak manusiawi adalah ketika manusia sudah bersalah tapi tidak ada tempat atau pribadi untuk dia mengaku dosanya. Mengapa? Karena manusia akan terus dihantui perasaan bersalah tanpa ada jalan keluar. Bahkan di dalam pasal 32 ayat 3, dikatakan tentang pengalaman pemazmur yang awalnya dia berdiam diri, tidak mau mengaku dosa, dan di dalam saat seperti itu tulang-tulangnya menjadi lesu, dia mengeluh sepanjang hari, tangan Tuhan menekan dia dengan berat.
Banyak orang dalam kehidupan ini tidak percaya kepada Tuhan, mereka menjadi tuhan atas dirinya sendiri. Orang seperti ini selalu menekan perasaan bersalah, dia pikir akan selalu luput dari penghakiman Tuhan –dia tidak percaya Tuhan. Tapi sebagaimana Saudara mungkin pernah baca, orang-orang seperti ini di akhir kehidupannya meledak, tidak bisa tahan lagi, tidak bisa tidak harus jujur bahwa mereka ketakutan waktu menghadapi penghakiman Tuhan. Di sini kita melihat, bahwa rasa bersalah bukanlah ciptaan Gereja, tapi ini adalah Tuhan sendiri yang berurusan dengan kita.
Di bagian ini kita melihat ada kontras, pilihan untuk tetap diam (keep silence) atau berbicara; dan berbicara yang dimaksud di sini adalah mengaku dosa. Seperti dikatakan oleh Mays, seringkali waktu kita melihat Tuhan sebagai ‘the other’, maka berdiam diri (silence) sebetulnya adalah performance of stubborn pride. Saudara perhatikan, Adam setelah jatuh ke dalam dosa, dia bersembunyi dari hadirat Allah; dia bukan mengaku dosa tapi malah melarikan diri dari hadapan Allah. Inilah akibatnya orang yang berdiam diri padahal seharusnya mengaku dosa, yaitu dia harus berurusan dengan tangan Tuhan yang menekan dia dengan berat, sebagaimana dikatakan ayat 4 mazmur ini. Jadi, berdiam diri seperti ini sebetulnya penolakan terhadap anugerah yang disediakan Tuhan. Pengakuan dosa harusnya kita katakan kepada Tuhan, karena Tuhan kita adalah Tuhan yang mahapengampun, Dia panjang sabar, Dia beranugerah. Saudara melihat di sini, iman kepada Tuhan yang pengampun, itu mendahului kita mengaku dosa kepada Dia.
Allah yang dinyatakan dalam kitab suci itu mengutus Anak-Nya sendiri menjadi tebusan bagi kita, sehingga kita yang percaya di dalam nama-Nya, kita mendapatkan pengampunan dosa. Orang yang menolak Kristus, tidak ada jalan keluar dari perasaan bersalahnya, dia tidak tahu musti pergi ke mana. Saudara bisa saja mengaku dosa kepada orang yang terhadapnya Saudara bersalah, tapi kita tahu, tidak selalu ada kesempatan untuk itu. Ada anak-anak yang begitu menyesal waktu orangtuanya meninggal, ada perasaan bersalah, dan mereka sudah tidak bisa minta maaf lagi karena orangtuanya sudah pergi. Ada orang yang kepadanya kita bersalah, tapi kita tidak bisa ketemu dia lagi, itu sebabnya Alkitab menyediakan the human way ini, yang juga adalah God’s way, yaitu menyelesaikan dosa di hadapan Allah yang mahapengampun.
Meskipun demikian, Mazmur ini juga mengatakan bahwa pengakuan dosa ini musti dilakukan dengan kejujuran, dengan integritas. Kita tidak boleh menganggap sepi anugerah atau belas kasihan Tuhan. Kita tidak dipanggil untuk mempermainkan kesabaran atau anugerah Tuhan. Itu sebabnya Saudara baca di ayat 2 dikatakan: “Berbahagialah manusia, yang kesalahannya tidak diperhitungkan TUHAN, dan yang tidak berjiwa penipu!” Apa maksudnya ‘tidak berjiwa penipu’? Yaitu jangan berpura-pura seperti kelihatan menyesal padahal tidak menyesal, jangan berpura-pura seperti mengaku dosa tapi sebetulnya tidak ada pertobatan. Di dalam hal ini, ada kutipan dari Agustinus yang indah; dia mengatakan: “Do not claim the right to the kingdom on the grounds of your own justice; nor the right to sin on the grounds of God’s mercy”. Jadi waktu kita bicara tentang kerajaan Allah, dasarnya bukan kebenaran kita, melainkan kebenaran Kristus. Demikian juga waktu kita mengaku dosa, waktu kita berbicara, waktu kita beriman akan belas kasihan dan anugerah Allah, jangan hal ini membuat kita malah seolah-olah berhak melakukan dosa. Agustinus mengingatkan supaya kita tidak jatuh ke satu kehidupan yang mempermainkan anugerah Tuhan, yang menganggap pengampunan Allah sebagai sesuatu yang gampangan. Yesus membayar dengan nyawa-Nya sendiri untuk ini. Memang ini adalah anugerah yang gratis karena kita tidak pernah bisa bayar, kita tidak pernah bisa beli, tetapi ini tidak pernah menjadi anugerah yang murahan. Inilah yang dikatakan di ayat 2, “Berbahagialah manusia, yang kesalahannya tidak diperhitungkan TUHAN, dan yang tidak berjiwa penipu!”
Waktu kita mengaku dosa, kita juga musti mengerti bahwa hal ini bukan semacam jasa, seakan-akan kita menerima pengampunan Tuhan karena jasa kita dalam mengaku dosa. Mengaku dosa bukanlah kebaikan kita, mengaku dosa bukanlah suatu pekerjaan baik yang kita lakukan; mengaku dosa adalah sesuatu yang dilakukan di dalam iman, dan iman itu menyatakan kebangkrutan pribadi di hadapan Tuhan. Meskipun demikian, kita sadar dalam kehidupan ini betapa mengaku dosa bisa dihayati secara keliru, kita bisa masuk ke dalam kerutinan yang salah. Pendeta Stephen Tong pernah mengingatkan para liturgos ketika memimpin pengakuan dosa, perlu berhati-hati dalam kata-katanya agar jangan memberi kesan seolah-olah setiap hari Minggu mengaku dosa, setelah itu boleh berdosa lagi, karena nanti juga akan ada pengakuan dosa lagi, dan untuk berdosa lagi, dan seterusnya –konsep yang tentu berbahaya. Di sini pengakuan dosa bukan menyatakan pertobatan yang sejati tetapi lebih mirip semacam dalih (excuse) dan pembenaran (justification) atas ketidaksempurnaan kita.
Memang di dalam spiritualitas Reformed kita tidak mengajarkan perfeksionisme. Kita sadar bahwa selama masih berada di dalam dunia ini, orang-orang Kristen –bahkan orang suci yang terbaik pun– masih bisa jatuh, masih bisa gagal di dalam pergumulannya melawan dosa. Meskipun demikian, orang yang sungguh-sungguh lahir baru, dia mencintai kekudusan, dia bukan mencintai dosa. Paulus mengatakan, Kristus itu bukan pelayan dosa; Dia melayani orang-orang berdosa seperti Saudara dan saya –itu memang betul—tapi Dia bukan pelayannya dosa. Kita dilayani oleh Kristus, bahkan digantikan kematian kita supaya kita boleh keluar dari dosa. Kalau kita mengerti hal ini, saya percaya kita akan terhindar dari yang dinamakan cheap grace atau anugerah murahan itu.
Ada kaitan antara mazmur pengakuan dosa (penitential psalm) pasal 32 ini dengan penitential yang lain yang mungkin paling terkenal, yaitu Mazmur 51. Kalau Saudara membaca Mazmur 51, dikatakan di ayat 19: “Korban sembelihan kepada Allah ialah jiwa yang hancur; hati yang patah dan remuk … .” Saudara lihat di ayat ini, pengakuan dosa jelas bukan sesuatu yang murahan, bukan suatu praktek yang easy going ‘yah, pastilah diampuni Tuhan’ lagi dan lagi dan lagi, melainkan ada pertobatan yang sejati.
Berbahagialah mereka yang diampuni dosanya oleh Tuhan; di sini kebahagiaannya bukan berhenti pada ‘diampuni dosanya’ saja, tetapi di sini disebut berbahagia karena hanya orang yang diampuni dosanyalah yang bisa hidupnya masuk ke dalam kekudusan yang disediakan oleh Tuhan. Kita berbahagia karena kita tidak harus dan tidak lagi menjadi hamba dosa, sebaliknya kita boleh menjadi hamba kebenaran. Ini adalah kebahagiaan orang-orang yang percaya kepada Tuhan, percaya kepada Kristus. Kita tidak harus menyelesaikan dengan kekuatan kita sendiri perasaan bersalah itu, apalagi tangan Tuhan yang menekan. Kita datang kepada Tuhan di dalam pertobatan yang sejati, dan Tuhan yang setia dan adil itu mengampuni Saudara dan saya.
Kiranya Tuhan memberikan kebahagiaan yang seperti ini kepada Saudara dan saya. Tuhan memberkati kita semua.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading