Ada satu kutipan menarik dari Dostoyevsky, penulis Rusia, ia menggambarkan suatu dialog tentang hell (neraka): orang bertanya, “Fathers and Teachers, I ask, what is hell?” I answered, “suffering on account of the impossibility to love any longer” — penderitaan karena tidak mungkin untuk mengasihi lagi. Biasa kita menggambarkan neraka sebagai siksaan yang tidak habis-habis dan terutama yang kita pikirkan adalah siksaan fisik — Alkitab memang ada menggambarkan kertak gigi, dsb. — padahal yang tidak kalah menakutkan adalah siksaan jiwa. Memang fisik dan jiwa tidak bisa dipisahkan. Kita percaya dalam akhir segala sesuatu, Tuhan memberikan tubuh baik kepada the elect and the condemned. Jadi orang di dalam neraka pun mempunyai tubuh bukan cuma jiwa, maka penderitaannya penderitaan tubuh juga penderitaan jiwa. Tapi kita biasanya menggambarkan neraka secara sederhana — penderitaan fisik — karena mungkin itu juga merefleksikan apa yang lebih penting dalam hidup kita sekarang yaitu kita lebih takut penderitaan fisik daripada penderitaan jiwa. Kalau terserang penyakit fisik, kita gelisah sekali, tapi mungkin kita tidak terlalu gelisah kalau terserang penyakit rohani. Kita lebih kuatir kena kanker, daripada takut untuk tidak lagi mampu mengasihi sesama dan Tuhan, kita tidak lihat itu sebagai penyakit. Tapi Dostoyevsky menggambarkan substance yang terdalam waktu di neraka yaitu: orang tidak bisa lagi mengasihi.
Saya selalu tertarik konsep surga dan neraka yang ada kaitan dengan yang di sini, ada kontinuitas tertentu. Ada juga konsep surga dan neraka yang tidak ada kontinuitasnya dengan yang di sini, salah satunya: gambaran surga yang timeless. Itu tidak ada kontinuitasnya dengan yang di sini, “pokoknya lain sama sekali dengan yang di sini”; gambaran seperti ini tidak bisa diapa-apakan, dan tidak menghibur apa-apa. Tapi yang lebih benar adalah ada kontinuitas, sehingga orang bisa melihat suatu cicipan/ foretaste di sini dan sekarang sebelum nanti mengalaminya di dalam kekekalan, entah itu surga atau neraka. Gambaran neraka adalah gambaran ketidak mampuan orang untuk bisa mengasihi lagi, impossibility to love any longer, itulah neraka. Mungkin juga ada semacam kasih yang sedikit sekali, karena kita tahu dalam perumpamaan Lazarus dan orang kaya, orang kaya itu di neraka memikirkan anggota keluarganya seperti punya semacam kasih, tapi objeknya tidak ada. The impossibility to love any longer, kontradiksi yang absolut. Mau mengasihi tapi tidak ada yang dikasihi. Selama masih di dunia, kita bersyukur ada orang-orang yang bisa kita kasihi, bukan semata bersyukur karena “SAYA bisa mengasihi!”. Kehadiran orang-orang yang bisa kita kasihi, layani, itu menambahkan cicipan sukacita surgawi. Tanpa kehadiran orang-orang, kita hidup sendiri, itu seperti neraka. Sayangnya orang-orang modern kontemporer, lebih suka tidak diganggu. Lebih suka hidup sendiri, hidup dalam keadaan privacy yang besar sekali, makin orang lain tidak campur merasa makin surga, padahal itu makin neraka menurut Alkitab karena manusia adalah makhluk relasi. Dan kasih-lah yang bisa mewarnai relasi manusia seperti yang dikehendaki Tuhan, relasi yang benar, bukan anykind of relasi karena benci juga termasuk relasi.
Emil Brunner mengatakan bahwa sebetulnya manusia pasti berelasi dengan Tuhan, tapi relasi kasih atau relasi benci? Manusia tidak bisa tidak berelasi karena diciptakan sebagai relational being. Kalau tidak mau berelasi dengan sesama manusia, paling tidak ia berelasi dengan yang lainnya, uang, dunia materi, mimpinya sendiri, “tuhan” yang diciptakan sendiri, barang-barang dan teknologi. Kasih membedakan relasi yang alkitabiah dengan yang tidak. Dengan teknologi, saya tidak mungkin ada relasi kasih; kalau pun ada, relasinya one sided, cuma bisa saya mengasihi dia tapi dia tidak mungkin balas mengasihi saya, itu tidak mungkin menjadi relasi yang sempurna. Tidak ada kasih yang reciprocal, kasihnya cuma searah, dan pelan-pelan hubungan itu jadi impersonal, karena barang bukan personal. Waktu saya banyak diwarnai hubungan yang impersonal, pelan-pelan saya jadi impersonal, karena saya tidak membuka diri terhadap hubungan personal. Pelan-pelan saya depersonified, bukan lagi pribadi, jadi manusia yang dingin, tidak bisa mencintai, tidak ada belas kasihan, melihat orang lain seperti barang atau alat. Orang seperti ini meskipun masih di dunia, ia sudah mencicipi semacam neraka. Sebaliknya, surga dalam pengertian ini, kepenuhan aktualitas orang bisa mengasihi Tuhan dan mengasihi sesamanya dengan penuh.
Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu (ay. 7). Di dalam kasih ada coverage — ada menutupi, ada trust, ada hope, ada kesabaran untuk menanggung — patience to bear. Di dalam iman, pengharapan, dan kasih (Trilogy Christian Virtues menurut Paulus), dikatakan yang paling besar adalah kasih. Karena dalam kasih ada pengharapan, di dalam kasih ada iman. Dalam iman tidak tentu ada kasih. Di dalam pengharapan, tergantung pengharapan jenis apa, tapi pengharapan yang tidak ada kasih memang bukan pengharapan Kristen. Maka Yesus mengajarkan, di bawah hukum kasih itu (double commandment of love) — kasih kepada Tuhan dan kasih kepada sesama — tergantung semua kitab Taurat dan kitab nabi-nabi. Di dalam kasih sudah cover semua yang lain. Kasih adalah hukum untuk orang Kristen. Kita bukan diselamatkan lalu bebas dari hukum sama sekali. Paulus mengatakan kita diselamatkan dari kutuk ketidak mampuan menaati hukum dengan sempurna. Setelah kita dibebaskan, kita memiliki the true Christian freedom; dan kita diperhadapkan dengan the law of love, untuk dapat mengasihi dengan bebas. Orang Kristen hidup bukan tanpa hukum, tapi hidup di dalam hukum kasih.
Ini kontras dengan gambaran modern human otonomy yang mengajarkan bahwa saya punya individual freedom, saya menentukan sendiri apa yang saya mau, saya berhak menjalani kehidupan yang saya rencanakan tanpa diganggu oleh siapapun termasuk orang tua, gereja; kehidupan ini adalah kehidupan yang bebas! Itu hidup yang worldview-nya bukan kasih, tapi “saya” dengan “human rights saya”, saya bebas melakukan apa saja sejauh tidak melukai orang lain. Dunia paling mentok sampai sini, tidak bisa lebih tinggi lagi. Toh saya tidak melukai kamu, tidak menghancurkan kehidupanmu, tidak membakar rumahmu, tidak peduli sama kamu, maka itu sudah baik, sudah suci menurut dunia, tapi menurut konsep Kristen, itu masih jauh. Ada negara yang hukumnya dipengaruhi Samaritan law, maka negara itu membangun di atas Judeo-Christian Tradition. Artinya kalau ada orang jatuh dan Saudara sedang lewat, maka Saudara harus menolong, ada kewajiban itu. Tapi yang tidak dipengaruhi Samaritan law, maka kalau Saudara tidak menolong, itu tidak ada persoalan, karena bukan Saudara yang buat dia jatuh, Saudara tidak bisa dituntut, itu betul-betul “bukan urusan saya”. Kita tidak kebal dengan gambaran seperti ini, modern human otonomy, pertanyaannya masih ada pertimbangan kasih atau keputusan yang liar? Keputusan yang liar menurut Kristen adalah yang tidak mempertimbangkan hukum kasih; liar karena tidak ada hukum; dan hukum menurut Kristen adalah hukum kasih.
Dalam satu kata “kasih” mencakup banyak hal. Orang yang mengasihi bisa menutupi kelemahan, kesalahan orang lain, bukan di blow up, di-ekspos besar-besaran supaya mempermalukan. Orang yang mengasihi, ia memberikan kepercayaan bukan karena orang itu layak dipercayai sepenuhnya. Kalau seseorang mengasihi, ia terus berharap; kehilangan pengharapan sama dengan kehilangan kasih. Juga kesabaran menanggung segala sesuatu, khususnya kelemahan dan kekurangan orang lain, adalah tanda orang memiliki kasih.
Kasih tidak berkesudahan; nubuat akan berakhir; bahasa roh akan berhenti; pengetahuan akan lenyap (ay. 8). Paulus membandingkan kasih dengan karunia-karunia yang lain. Maksudnya, kasih adalah substance dari karunia-karunia rohani/ spiritual gifts. Kasih tidak berkesudahan, maksudnya di surga kasih akan terus berjalan, tapi nubuat akan berakhir. Nubuat seringkali ditafsir karunia seperti nabi, memberitakan firman Tuhan, apa yang berasal dari Tuhan bukan dari diri sendiri; dan waktu memberitakan, itu betul-betul menyapa dan sesuai dengan apa yang orang tersebut perlu dengar pada saat itu. Nubuat akan berakhir, tidak ada lagi orang berkotbah, tidak ada lagi orang mengajarkan firman Tuhan seperti di sini dan sekarang karena kita sudah masuk dalam kelimpahan pengertian akan firman Tuhan. Di surga orang taat sepenuhnya akan firman Tuhan sehingga tidak ada perlunya peneguran dosa, dan juga tidak relevan. maka di surga karunia nubuat akan berakhir (cease). Ada perdebatan tentang karunia-karunia tertentu, bahwa setelah Perjanjian Baru selesai sebagian karunia berhenti karena Alkitab sudah lengkap, disebut pandangan Sesasionis. Tapi bagian ini kita bisa tafsir lebih jauh lagi yaitu bukan setelah kanonisasi selesai, melainkan di surga. Karena kita tahu setelah Perjanjian Baru selesai, karunia nubuat dalam arti orang memberitakan firman Tuhan, masih terus ada. Kita tidak mengatakan masih terus ada nabi tapi fungsi nabi, dan fungsi rasul, masih ada; di surga baru berakhir.
Bahasa roh akan berhenti. Pandangan Sesasionis mengatakan setelah Alkitab selesai ditulis maka bahasa roh berhenti; pandangan lain mengatakan tidak berhenti. Saya cenderung percaya itu belum berhenti karena tidak ada dukungan firman Tuhan yang kuat atas pandangan Sesasionis, meskipun tentu ada kualifikasinya seperti dikatakan dalam 1 Korintus 14. Tapi yang pasti, di surga bahasa roh berhenti. Maka kalau orang tafsir bahasa roh akan berhenti setelah Alkitab selesai ditulis, berarti itu nubuat juga berhenti, tidak ada lagi pemberitaan firman — karena ini masih dalam ayat yang sama — dan lebih kacau lagi bahwa pengetahuan juga berhenti, ini paling tidak bisa diterima. Jadi gambaran itu tidak betul. Yang dimaksud bukan mengacu pada waktu Alkitab selesai ditulis melainkan mengacu pada eskatologi. Di surga bahasa roh akan berhenti, pengetahuan akan lenyap — dalam arti pengetahuan sudah sempurna, kita tidak mengejar pengetahuan lagi — nubuat akan berakhir. Karunianya akan berhenti, tapi di surga kasih tidak berkesudahan.
Kita tadi mengatakan, bahwa kita tertarik dengan konsep surga yang ada cicipannya di sini, ada kontinuitas tertentu. Jadi, gambaran surga bukanlah practicing all spiritual gifts secara sempurna, karena di sana itu semua justru berhenti. Tapi mencicipi surga adalah dengan yang tidak berkesudahan tadi, yaitu kasih. Kalau di sini mengasihi, nanti di surga mengasihi lebih penuh lagi. Oleh karena itu Paulus menggeser pembicaraan karunia-karunia rohani lalu menyisipkan tentang kasih. Karena pembicaraan tentang karunia-karunia bisa menyesatkan dalam arti mengaburkan, mengalihkan perhatian, distract, bukan membicarakan pada fokus yang betul tapi geser kepada yang salah. Karunia-karunia intinya adalah kasih, karena karunia untuk sesama bukan untuk kita sendiri, dalam relasi kasih kepada sesama. Kalau tidak ada kasih, tidak ada gunanya mempraktekkan semua karunia ini; dan jangan lupa nanti di surga semua karunia ini akan berhenti, hanya kasih tidak akan berhenti. Maka kita menyambung kehidupan kita yang sekarang dengan yang di surga kelak, yaitu dengan mempraktekkan yang tidak akan hilang ini di sana, kasih. Kalau Saudara terlalu membangun kebahagiaan dengan apa yang ada di dunia, lalu nanti di surga tidak ada, Saudara nanti tidak kerasan, bisa repot. Orang coba membangun kebahagiaan yang di atas berdasar kebahagiaan yang di sini, sedangkan kebahagiaan yang di sini itu diskontinuitas. Konsep surga ada kontinuitas dengan yang di sini, dan kontinuitas tersebut bangunnya bukan dari apa yang ada di sini diproyeksikan ke atas, itu tentu salah. Yang tidak mungkin salah adalah apa yang betul-betul digambarkan Alkitab tentang surga, itu kontinuitas yang saya bangun di sini, yaitu kasih, karena Alkitab mengatakan kasih itu tidak berkesudahan. Di surga ada penghayatan kasih mengasihi yang sempurna, maka mari kita tarik yang ini sekarang, dan ini liveable. Tapi kalau kita pakai kebahagiaan yang di sini, soal ada harpsichord lah, anjing lah, playstation lah, nanti di surga diskontinuitas dan kita bisa kecewa luar biasa tidak kerasan di surga, dan tidak ada pilihan yang lain cuma tempat satunya lagi (neraka).
Sebab pengetahuan kita tidak lengkap dan nubuat kita tidak sempurna (ay. 9). Selama di dunia, pengetahuan kita tidak lengkap, nubuat kita tidak sempurna, bahkan kebahagiaan kita pun tidak sempurna kecuali terus membangunnya dalam konsep kebahagiaan surgawi. Sebanyak-banyaknya pengetahuan kita, itu tetap tidak lengkap karena kita mengetahui secara parsial; kita ciptaan tidak mungkin mengenal secara exhaustive. Waktu memberitakan firman Tuhan, kita tidak sempurna. Pengetahuan kita akan firman Tuhan tidak sempurna maka waktu kita meneruskan kepada orang lain, tidak sempurna juga. Nanti di surga baru sempurna.
Tetapi jika yang sempurna tiba, maka yang tidak sempurna itu akan lenyap (ay. 10). Ini menunjuk kepada kepenuhan kesempurnaan kelak di surga; dan yang tidak sempurna lenyap, yaitu bahasa roh, nubuat, pengetahuan. Kalau yang sempurna tiba — maksudnya kasih — maka yang tidak sempurna lenyap, direlativisasi. Pengalaman sehari-hari juga mendukung hal ini, contohnya jika kita punya handphone seri terbaru, maka yang lama tentu lengser; karena yang lebih sempurna sudah datang, maka yang tidak sempurna musti turun. Waktu kasih datang, yang sempurna itu tiba, maka yang tidak sempurna itu kehilangan atraksinya, dalam arti di-relativisasi. Maka mari kita mengejar kasih, mari kita mendapatkan kasih ini secara sempurna, minta kepada Tuhan kepenuhan kasih lebih daripada minta karunia apapun. Minta karunia tanpa kasih seperti tengkorak tidak ada jantungnya. Kasih menjadi cor (Latin), maksudnya hati, pusat.
Ketika aku kanak-kanak, aku berkata-kata seperti kanak-kanak, aku merasa seperti kanak-kanak, aku berpikir seperti kanak-kanak. Sekarang sesudah aku menjadi dewasa, aku meninggalkan sifat kanak-kanak itu (ay. 11). Ini adalah gambaran childish dan maturity. Apa yang membedakan spiritually childish dan spiritually mature? Yaitu: kasih. Orang yang dewasa lebih bisa mengasihi; kanak-kanak kurang bisa mengasihi karena memang masih anak-anak. Orang yang terus minta diperhatikan, sensitif, gampang tersinggung, itu kanak-kanak. Tidak bisa menanggung sesamanya waktu hadir jadi beban, hanya bisa waktu sesamanya hadir membahagiakan dia, itu kanak-kanak. Kanak-kanak memang ada fasenya dalam kehidupan manusia, nothing wrong dengan itu. Tapi menjadi dosa kalau terus menerus berada dalam kekanak-kanakan, mempertahankan childish itu terus, tidak bertumbuh, itu kecacatan rohani. Paulus mengatakan “dulu aku kanak-kanak” dan “ sekarang aku dewasa” berarti ada perubahan, dan “aku meninggalkan sifat kanak-kanak itu”. Dewasa yaitu belajar menutupi segala sesuatu, belajar percaya segala sesuatu, belajar mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Kita bertumbuh dari kekanak-kanakan, menapaki kedewasaan itu. Menghadapi perbedaan pendapat, kalau kita dewasa kita masih bisa berbicara seperti orang dewasa, bukan berbeda langsung pukul sampai mati. Perbedaan fundamentalisme dan non fundamentalisme salah satunya di sini. Tidak bisa accomodate perbedaan, yang berbeda langsung dihantam, itu fundamentalisme dalam gambaran negatif. Mengapa begitu? Karena kanak-kanak, tidak ada kasih. Kekristenan tidak kebal dari ini. Kasih bisa merelativisasi perbedaan, bukan dalam pengertian segala sesuatu jadi relatif, melainkan perbedaan itu jadi relatif dibandingkan keinginan saya menerima dan mengasihi sesama apa adanya. The whole story of Christianity sebenarnya adalah ini; tidak ada lagi budak, orang merdeka; tidak ada lagi laki-laki, perempuan; tidak ada lagi kaya, miskin; ras ini itu. Waktu orang sama-sama berbagian dalam Perjamuan Kudus, semuanya sama, sinners before The Holy God, maka semua perbedaan itu menjadi tidak penting lagi, direlativisasi. Laki perempuan, tua muda, semua sama karena ada ikatan kasih yang dimulai dari Tuhan sendiri.
Karena sekarang kita melihat dalam cermin suatu gambaran yang samar-samar, tetapi nanti kita akan melihat muka dengan muka. (ay. 12). Yang dimaksud adalah perjumpaan muka dengan muka, prosopon dengan prosopon (prosopon – Yunani; persona – Latin; person – Inggris). Prosopon suatu kata yang menarik karena spektrumnya luas, bukan cuma person tapi bisa juga diterjemahkan dengan muka, dan menariknya, itu termasuk juga topeng. Secara etimologis ini artinya kaya sekali, bisa menjadi pemalsuan; kepribadian saya seperti pakai topeng, orang tidak bisa melihat kedalaman saya, hanya melihat topeng saya, dan topeng ini bisa saya ganti-ganti sehingga saya pecah kepribadian, bisa punya 16 kepribadian, dst. Itu pengertian negatifnya. Alkitab pakai istilah prosopon ini dalam Matius waktu membicarakan ‘apabila kamu berpuasa, janganlah supaya kamu dilihat mukamu’; kepribadian yang palsu, kemunafikan maksudnya. Tapi waktu Alkitab pakai ini dalam “perjumpaan muka dengan muka”, bukan topeng maksudnya melainkan the real face, muka dia dan muka sesamanya, muka dia dengan mukaTuhan berjumpa, menggambarkan suatu relasi kasih yang sangat intim. Dalam bagian ini ada suatu trasformasi, dari melihat “dalam cermin yang samar-samar” (karena cermin zaman dulu dari kaleng sehingga hanya bisa terlihat samar-samar), kepada suatu penglihatan “muka dengan muka”, berarti melihat jelas sekali. Dari mengenal tidak sempurna kepada mengenal dengan sempurna seperti aku sendiri dikenal, yaitu oleh Tuhan. Suatu pengenalan yang sangat sempurna. Transformasi ini by apa? Alkitab mengatakan by love. Dengan sesama kita, waktu kita belum/ kurang mengasihi dia, kita melihat dia samar-samar, demikian juga dia. Tapi semakin mengasihi semakin masuk dalam perjumpaan muka dengan muka. Ada istilah bahasa Indonesia yang bagus sekali “buang muka”, orang buang muka karena tidak bisa berhadapan muka dengan muka, menandakan tidak ada relasi kasih tapi relasi hatred.
Perbahasa Indonesia mengatakan “tak kenal maka tak sayang”, karena tidak kenal maka tidak menyayangi. Kalimat ini problem, karena kalau pendekatan dimulai dari pengenalan maka “saya mengenal dulu lalu nanti saya pikir-pikir ini baik atau tidak baik. kalau baik saya cintai, kalau tidak baik saya buang”. Jadi kalimat tadi sebetulnya tidak lengkap, karena termasuk juga “tak kenal maka tak benci”. Maka membangun dalam pengenalan, bisa berakhir dengan bukan saja ke-sayang-an tapi juga ke-benci-an, karena saya masuk dalam kultur like and dislike — yang menguntungkan saya maka saya like, yang cenderung jadi beban maka saya dislike.
Tapi jika dibalik, dan inilah jalan Alkitab, kita mengasihi dulu, baru kita mengenal. Mengenal bukan dalam pengertian tahu kelemahannya saja, tapi oleh karena kasih menutupi segala sesuatu maka saya melihat kelemahannya dalam perspektif kasih. Yesus tahu dosa-dosa kita tapi Dia berdoa “Ya, Bapa, ampunilah mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” Itu artinya menutupi dosa di dalam perspektif kasih. Pengenalan menurut Alkitab bukan soal tahu rumahnya di mana, kelemahannya apa, problemnya apa, tetapi mengetahui di dalam kasih. Menjadikan orang yang diketahui/ dikenal bukan objek tapi sesama subjek yang sedang berelasi di dalam kasih. That is true knowledge; mengenal dalam pengertian mengasihi. Waktu kita mengasihi, kita mengenal dengan sempurna. Kasih itu membawa pada pengenalan yang sempurna. Pengenalan yang membawa kepada perspektif anugerah Tuhan. Waktu lihat sesama, kita tidak tahu ini asli atau topeng; lalu waktu kita betul-betul mengenal ternyata memang palsu, tapi kita mengasihi, dan karena mengasihi, kita menolong dia untuk keluar dari kepalsuan itu, bukan kita jelek-jelekkan. Waktu kita mengenal, bukan berarti cuma kenal baiknya saja tapi juga kekurangannya, itu mengenal dalam perspektif kasih. Maka terakhir Paulus mengatakan bahwa dalam iman, pengharapan, kasih, memang yang paling besar adalah kasih. Karena kasih ini membuat gambaran yang samar-samar akan diri ini, maupun sesama, dan juga Tuhan, menjadi mengenal muka dengan muka. Terhadap diri, kalau kita tidak percaya kasih, kita sulit menerima kelemahan kita sendiri. Kita cenderung men-justifikasi dan me-rasionalisasi kelemahan kita karena kita takut kalau ketahuan boroknya nanti ditolak orang lain. Maka kita main prosopon yang palsu, kompensasi di sana-sini mengharapkan kelemahan saya tertutup karena orang lihat kebaikan-kebaikan yang saya jalankan. Orang berani mengenal dirinya bukan dengan samar-samar, yaitu waktu ia melihat dirinya di dalam terang kasih Tuhan. Tuhan menerima kita apa adanya, kita tidak usah pakai topeng. Waktu ternyata kita kusta semua, Tuhan tetap menerima dan memeluk kita. Dalam keadaan inilah kita berani membuka topeng kita. Kita tidak malu mengakui “memang saya adalah orang kusta”, karena ada penerimaan kasih. Waktu Yesus menerima kita apa adanya di atas kayu salib, itu menanggalkan semua kepalsuan kita, semua ketakutan kita, semua kegagalan kita untuk melihat diri dengan benar. Manusia yang egois, manusia yang penuh kekejaman, semua dibeberkan di atas kayu salib. Kebobrokan manusia semua dibongkar di sana, tapi kemudian Yesus mengatakan “Ya Bapa, ampunilah mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” Perspektif kasih membawa kita kepada penelanjangan, kemudian Tuhan memberikan kain putih — righteousness.
Kiranya Tuhan memberkati kita.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS).