Ini salah satu pasal yang paling terkenal dalam Alkitab, bahkan seorang teolog liberal, Adolf von Harnack mengatakan bagian ini adalah “the greatest chapter in the Bible”. Kasih seperti bahasa universal. Baik kalangan Kristen konservatif maupun liberal, bahkan agama-agama lain, dan juga kaum ateis yang tidak beragama, jika ditanya “lebih baik mengasihi atau membenci?” pasti jawabannya “lebih baik mengasihi”. Lalu kalau konsep kasih dirayakan, disetujui orang sedunia, di mana keunikan Kristennya?
Pertama, jika kita lihat bagian ini dalam konteks yang besar sebagai “daging yang ada di tengah sandwich pasal 12 dan 14”, inti dari keseluruhan diskursus “karunia roh”. Pasal 12 membicarakan tentang satu roh dan rupa-rupa karunia, dan pasal 14 yang membicarakan sekali lagi tentang karunia Roh, maka tengahnya, pasal 13 membicarakan tentang kasih. Major discourse-nya adalah pembicaraan tentang karunia-karunia Roh, Gereja diberikan karunia roh untuk memperlengkapi. Yang mau ditekankan di sini adalah: entah karunia apa pun yang ada pada satu komunitas, substansinya adalah kasih, bukan the exercise of spiritual gift in itself.
Ayat 1-3 gambaran bahwa kasih adalah substansi yang paling penting dari apa yang dapat kita lihat secara fenomena, bahkan apa yang dapat dilakukan orang-orang Kristen. Pertama, hal berbicara dalam bahasa manusia atau bahasa malaikat, termasuk juga bahasa roh — sesuai konteks bagian ini — Paulus mengatakan, “Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing.” Suatu gambaran yang noisy, ribut, seperti ada sesuatu tapi setelah dicek tidak ada apa-apa, mirip orang yang bicara banyak sekali tapi tidak ada isinya. Karunia-karunia waktu tidak ada kasih di dalamnya, akan seperti itu. Karunia lainnya seperti karunia nubuat atau memiliki seluruh pengetahuan, orang yang belajar banyak, secara akademis seperti kelihatan menggali, knowledgeable, , tapi kalau tidak mempunyai kasih sama sekali tidak berguna. Orang yang memiliki iman sempurna memindahkan gunung tapi tidak punya kasih juga sama sekali tidak berguna. Kategori terakhir yaitu orang yang membagi-bagikan, semacam pelayanan diakonia, atau pelayanan secara umum, bahkan klimaksnya seperti tindakan martir, kesaksian yang paling puncak yang dianggap paling dekat seperti Yesus pun, itu tidak otomatis ada kasih. Dan tanpa ada kasih di dalamnya, itu tidak ada faedahnya meski orang-orang bisa kagum melihatnya seperti orang yang setia dan tahan menderita.
Agama, tidak kecuali kekristenan, kalau tidak hati-hati bisa menciptakan tindakan yang sifatnya eksternal saja, bisa begitu mengagumkan sampai tindakan martir, mungkin seperti suicide bomber, dsb., tapi dikatakan kalau tidak ada kasih betul-betul tidak ada faedahnya. Henry Drummond menulis buku The Greatest Thing in The World (love, maksudnya), di situ ia katakan, the final test of religion, the final test of christianity, bukan religiousity/ ke-religiusan-nya, bukan konsep righteousness-nya juga — yang seringkali bisa jadi self righteouss — tapi adalah love, kasih. Itu ujian terakhir. Karena kekristenan pun tidak bebas dari gambaran orang-orang yang producing external deeds tanpa ada internal love di dalamnya, dan akhirnya kembali seperti orang yeng belum diselamatkan/regenerate. Karena yang membedakan orang yang sudah regenarate, waktu mengerjakan sesuatu, perbuatan baik, dsb. diikuti gerakan internal yang sincere. Dalam Teologi Reformed, termasuk dalam Lutheranisme, tidak percaya bahwa manusia tidak bisa melakukan good deeds sama sekali. Baik Luther, Calvin, Melanchthon, Zwingli, semua mengatakan bahwa orang bisa melakukan good deeds bahkan sebelum regenerate, tapi external good deeds, fenomenal good deeds, sedangkan dalam hatinya tetap stained by the power of sin tidak ada orang yang bisa melakukan yang betul-betul berkenan kepada Tuhan. Bahkan orang yang sudah regenerate tetap perlu selalu minta pengampunan Tuhan dalam good deeds yang kita lakukan, karena perbuatan baik kita tidak sempurna. Orang bisa melakukan apa saja secara eksternal, kelihatan dari luar sudah hebat sekali tapi Alkitab mengatakan, kalau tidak ada kasih, tidak ada faedahnya.
Bagian yang kedua, Drummond memberikan judul Love Analysis, bicara tentang analisa kasih. Kasih itu di dalamnya banyak elemen, lalu di-observe satu per satu, karena dalam kasih mencakup banyak hal.
Kasih itu sabar. Orang yang mengasihi itu sabar. Bahasa Inggris pakai istilah patient, tapi terjemahan yang lama pakai istilah long suffering. Istilah yang bagus, karena sabar baru diuji ketika seorang masuk dalam penderitaan dan ia bisa tahan lama (long), bukan waktu tidak ada apa-apa, waktu tidur, waktu travelling, dsb. Sabar adalah seperti Kristus, waktu Dia dihina, dicaci maki, menderita, Dia sabar. Sabar tidak bisa dipisahkan dengan suffering, dalam arti luas semua hal yang tidak menyenangkan kita, lalu bagaimana kita bisa tetap menanti waktu Tuhan, menanti kedatangan Tuhan, menanti pertolongan Tuhan. Suatu penantian yang personal, itu kasih. Ini berbeda dengan agama lain waktu mengajarkan kasih itu sabar, konsepnya stoik, orang yang sudah tidak bisa tersinggung, tidak mempan lagi, tidak bisa di-provokasi. Itu bukan konsep kesabaran Kristen. Konsep kesabaran Kristen adalah penantian akan Tuhan, Tuhan tidak bisa keluar dari situ. Tanpa Tuhan, itu bukan kesabaran Kristen. Mengapa orang bisa sabar, karena ia menantikan Tuhan yang mengubah sesamanya, orang sekitarnya, keluarganya, musuhnya. Sesuatu kesabaran yang teosentris, yaitu kita melihat pada kesabaran Kristus, dan kita belajar bahwa Kristus juga yang meberikan kepada kita kemampuan untuk sabar, dan kita menantikan Dia.
Kasih itu murah hati. Seorang yang mengasihi, mempunyai kemurahan hati seperti Kristus. Disambung dengan “ia tidak cemburu”, ini bicara tentang keluasan hati. Orang yang murah hati karena ia luas hati. Orang yang cemburu (dalam pengertian negatif) karena tidak luas hati. Murah hati dalam konsep Kristen, berbeda dengan murah hati dalam pengertian humanis. Kebaikan/ kindness dalam pengertian humanis, orang akan bertanya, patokannya apa? Takarannya sampai di mana? Contohnya dalam konteks dunia hari ini masih jadi perdebatan, orang akan terima refugee ini sampai kapan? Sampai batas mana orang mau bermurah hati? Apakah murah hati artinya kita boleh diinjak-injak, bagaimana pun orang berbuat jahat, kita tidak boleh ada perlawanan? Bisa sulit menarik batas kindness dalam konsep Kristen atau humanis. Dalam kehidupan Yesus, kita lihat gambaran Yesus yang juga ada polemik dengan orang Farisi, pemimpin agama. Yesus kelihatan seperti kurang kind. Tapi pastinya tidak, karena waktu membicarakan kasih itu sabar, kasih itu murah hati, dsb. kita percaya itu digenapi sempurna dalam Yesus. Berarti konsep kindness kita perlu mengikuti konsep yang ada pada Kristus, bukan sembarang konsep kindness, karena jika tidak, orang Kristen akan mudah diviktimisasi. Orang suka berkata, “Kamu orang Kristen, masa saya pinjam uang tidak kasih? Masa saya tabrak mobilmu, kamu sudah begitu? Kamu orang Kristen… .” Waktu kita menerapkan kindness, harus ada bijaksana, bukan tidak ada disiplin, bukan tidak ada kemarahan yang suci. Tapi kita tahu kapan kita kurang kindness yaitu waktu kita sempit hati. Sempit hati itu pasti keliru. Orang yang sempit hati tidak bisa murah hati. Kultur like and dislike itu kultur sempit hati, bukan Kristen, karena christian kindness tidak selektif seperti itu terutama kalau kategori seleksinya adalah siapa yang saya suka dan tidak suka.
Cemburu, termasuk di dalamnya juga: insecurity, tidak tahan kalau lihat orang lain lebih daripada dirinya, lebih diperhatikan, lebih dikagumi, dsb. Yang menarik, bicara tentang kecemburuan atau iri hati, biasanya orang punya grupnya sendiri, terhadap siapa ia iri hati, dan hal ini semua orang tidak ada yang kebal , termasuk hamba Tuhan. Contohnya, pendeta iri hati-nya terhadap sesama pendeta, hamba Tuhan iri hati terhadap hamba Tuhan, tidak akan iri hati terhadap businessman. Majelis iri hati terhadap majelis yang lain, majelis tidak akan insecure terhadap hamba Tuhan. Tapi Tuhan seringkali membentuk kita untuk hadir bersama orang-orang yang sama. Bagaimana dengan sesama orang yang sangat mirip dengan pekerjaan saya? Kalau kita luas hati, kita belajar menerima keanekaragaman, terutama keluasan anugerah Tuhan.
Kasih tidak memegahkan diri, tidak sombong. Masih dalam paket yang sama tentang kesempitan atau keluasan hati, mengapa orang memegahkan diri? Ya, karena sempit hati, terutama self concious, tertuju pada dirinya sendiri, ingin dirinya jadi pusat perhatian, semua adalah tentang dirinya. Memegahkan diri , sombong, dua hal yang mirip sekali. Pride, dalam tradisi “Seven Deadly Sins” atau “The Eight Deadly Thoughts” , termasuk yang seringkali disoroti. Agustinus banyak kali membicarakan the sin of pride, dosa kesombongan atau kebanggaan. Hamba Tuhan ada 2 macam: yang membawa orang kepada Tuhan atau yang membawa orang kepada dirinya sendiri. Kerendahan hati bukan cuma melihat “saya kurang”, itu tetap bisa self concious, melainkan less concious. Orang yang memikirkan Tuhan, tidak ada lagi waktu untuk memikirkan dirinya, untuk minder atau sombong, untuk meyoroti diri, karena pikirannya tertuju kepada Tuhan dan sesama. Karena mengasihi orang lain, tidak ada waktu untuk bicarakan kelebihan diri, dan tidak relevan juga. Orang lain — yang dikasihi — berada pada posisi yang di pusat, sedangkan dirinya — yang mengasihi — posisi yang lebih marginal.
Ia tidak melakukan yang tidak sopan. Kasih membuat orang sensitif. Sensitif yang asimetri. Kita tahu, kita sering menyinggung perasaan orang lain tanpa kita sendiri sadar. Kita baru sadar setelah dikasih tahu. Waktu seseorang disinggung, ia gampang sekali sensitif, tapi waktu menyinggung, dia sangat tidak sensitif. Sensitifitas manusia memang asimetris. Kalau simetris harusnya menyinggung dan disinggung sama-sama sensitif atau sama-sama tidak sensitif. Kenyataannya tidak. Kasih merelativisasi 2 hal. Pertama, orang yang mudah tersinggung atau terlalu sensitif, waktu mengasihi jadi tidak mudah tersinggung, juga tidak pemarah, tidak mudah di-provokasi. Sebaliknya, ia juga tidak mudah mem-provokasi, menyinggung, karena sensitif terhadap perasaan orang lain, terutama sensitif terhadap Tuhan. Tapi waktu dikatakan tidak melakukan yang tidak sopan, memang terutama dalam kaitan horisontal, kepada sesama kita. Dalam bahasa Inggris ada istilah tactfull; bahasa Jerman taktvoll. Takt itu birama, taktvoll maksudnya orang yang tahu birama, sensitif, tahu waktu berhadapan dengan seseorang, dia boleh bicara ini dan tidak boleh bicara itu. Orang yang mengasihi, ia mengenal. Waktu orang mengenal, ia tahu apa yang boleh dikatakan dan apa yang tidak boleh dikatakan, apa yang berkenan dan tidak berkenan bagi orang itu. Ini bukan dalam kategori negatif seperti penjilat sesama, bukan juga diartikan tidak berani menegur, tapi dalam pengertian positif, punya kepekaan. Waktu berhadapan dengan orang lain, dia tahu ini pribadi yang unik yang dia kasihi, karena itu ia mengetahui apa yang menjadi kebutuhan orang itu, apa yang membuat orang itu marah, dsb. Seperti dalam perjalanan pernikahan, ada kasih yang semakin bertumbuh, kita semakin mengenal pasangan kita, kita tahu apa yang lebih baik tidak dibicarakan, yang akan membuat jengkel pasangan kita, atau apa yang dia senang. Kalau seseorang mengasihi, ia peka, ia tidak melakukan yang tidak sopan, karena kasih yang ia terima dari Tuhan.
Tidak mencari keuntungan sendiri. Bagian ini jelas sekali, orang yang mengasihi pasti tidak mencari kepentingan diri sendiri. Karena diri sendiri bukan menjadi fokus, belajar melihat kepentingan orang lain juga.
Tidak pemarah, tidak mudah di-provokasi. Bahasa Inggris ada terjemahan not easily provoked. Menghadapi suatu konflik, mungkin bukan konflik kita sendiri tapi orang lain, waktu ada kasih akan menetralisir konflik. Tapi kalau tidak ada kasih, kita sendiri ikut terbakar, akhirnya konflik semakin dalam. Bukan maksudnya ia jadi buta, tidak tahu mana benar salah, atau tidak tahu duduk permasalahannya, tapi maksudnya tidak mudah ter-provokasi, tidak mudah marah, tidak juga menyimpan kesalahan orang lain, tidak dipenuhi catatan kesalahan orang lain, tidak dipenuhi dengan ganjalan dalam kehidupannya. Ada orang yang simpan kesalahan orang lain, sampai tujuh tahun, sebelas tahun, dan tiap kali ada konflik, itu diangkat lagi. Tidak ada gunanya menyimpan sampah kesalahan-kesalahan orang lain, kita jadi tidak ada kekuatan untuk mengasihi. Orang yang dalam hatinya menyimpan ganjalan-ganjalan terhadap orang lain, tidak beres-beres, ia sendiri yang rugi. Kasih bukan membuat kita jadi stoik, perasaan kita jadi kebal, tapi ada kekuatan real yang merelativisasi kesalahan orang lain. Bukan jadi lupa dalam pengertian amnesia, masih bisa ingat, tapi sambil ingat sambil bisa menertawakan, itu tidak lagi menyakitinya. Tidak harus lupa, karena tidak semua bisa dilupakan, tapi bisa melihat kesalahan itu dalam perspektif anugerah Tuhan, pengampunan, toleransi, kesabaran, dsb.
Orang yang mengasihi tidak bersukacita karena ketidakadilan tapi bersukacita karena kebenaran. Dalam bahasa Inggrisnya dikatakan: it is not rejoice at wrong doing but rejoice with the truth. Huldrych Zwingli mengatakan kalimat yang sangat terkenal “the truth wears a happy face”. Khas Zwingli yang mengaitkan truth (kebenaran) dengan joy, happiness. Ia mendasarkan itu dari perkataan Kristus: “kebenaran itu akan memerdekakan kamu”. Kebenaran itu memberikan kemerdekaan, true freedom, true liberty. Orang sukacita itu orang yang bebas. Orang bebas itu sukacita. Sebaliknya mengapa orang tidak sukacita? Karena ia merasa imprisoned, terkurung, bagaimana bisa sukacita? Tapi kalau ia dibebaskan, ia sukacita. Kebebasan dan sukacita tidak dapat dipisahkan. Mengapa sukacita? Karena bebas. Mengapa tidak bisa sukacita? Karena terikat. Sementara Alkitab mengatakan, kebebasan itu datang dari kebenaran. Dengan kata lain, kebenaran itu juga memberikan sukacita, karena sukacita tidak bisa dipisahkan dengan kebebasan. Tapi dunia tentu menjungkir-balikkan. Orang dunia katakan, kebenaran itu kaku, legalis, tidak memberikan sukacita, “lihat saja kamu ini tidak boleh, itu tidak boleh, jadi sempit”. Itu pembalikan dari setan yang mengatakan “kebenaran will not set you free, kebenaran will imprison you”. Persis terbalik dengan apa yang diajarkan Yesus, “kebenaran will set you free”, kalau kamu tidak ada kebenaran, kamu tidak ada kebebasan, menjadi budak dosa, budak kesenangan kamu sendiri. Bahkan Immanuel Kant mendefinisikan kebebasan: “Apa itu kebebasan? Kebebasan bukan saya mau apa, lalu saya bisa melakukan apa yang saya mau. Kebebasan itu saya bisa menahan diri untuk tidak melakukan apa yang saya tidak mau”. Ada self control dan itu adalah kebebasan, ini menurut Immanuel Kant, belum Alkitab. Tapi banyak orang bahkan tidak bisa menghidupi teori Immanuel Kant, lebih suka menghidupi kebebasan yang “saya mau apa, saya dapat kesempatan itu”. Ini jauh sekali dari konsep Alkitab. Kebebasan menurut Alkitab adalah orang yang mengenal kebenaran. Ignorance itu imprisonment, orang yang dalam penjara, dan tidak akan memiliki sukacita. Maka dalam hidup ini kalau kita tidak memiliki true happiness, menurut ayat yang diajarkan Yesus Kristus ini, simpel saja, yaitu karena kita tidak bertumbuh dalam kebenaran. Orang yang bertumbuh dalam kebenaran, makin menikmati kebebasan dan pasti makin sukacita, holy happiness, sukacita yang dalam. Jadi bagaimana kebenaran itu bisa membuat sukacita? Waktu orang mengasihi kebenaran. Kebenaran bukan impersonal, kebenaran itu Tuhan sendiri. The truth imperson adalah Yesus sendiri. Waktu orang berurusan dengan kebenaran, relasinya adalah relasi kasih, bukan relasi penyelidikan barang. Mengenal Yesus bukan seperti menyelidiki barang mati, tapi masuk dalam relasi kasih, relasi ketaatan.
Ia menutupi segala sesuatu. Menutupi segala sesuatu maksudnya kasih yang tidak menyimpan kesalahan orang lain, dan juga tidak bersukacita untuk membicarakan kesalahan dan kelemahan orang lain. Ia menutupi kesalahan orang lain. Segala sesuatu di sini, dimengerti dalam konteks tertentu. Waktu dikatakan kasih menutupi banyak dosa, pertama adalah dosa saya yang ditutupi kasih Tuhan, tapi juga kita yang hidup dalam kasih Tuhan belajar untuk menutupi dosa orang lain. Bukan dalam arti pura-pura tidak tahu, tutup mata, tapi dalam arti saya tidak tertarik membicarakan kelemahan orang lain karena itu bukan kebahagiaan yang kudus, dan juga tidak membangun. Waktu orang suka membicarakan kelemahan orang lain, mungkin motivasinya bukan betul-betul mau menjatuhkan, tapi supaya orang itu lihat bahwa “saya orang yang lebih baik”.
Percaya segala sesuatu. Mempercayai yang ke bawah. Percaya bisa percaya ke atas, ke sesuatu atau ke pribadi yang trusthworthy, seperti Tuhan, karena Tuhan tidak pernah mengkhianati. Tapi yang dikatakan di sini maksudnya percaya ke bawah, bahkan kepada yang bisa meleset, itu cuma mungkin karena kasih. Ini bicara horisontal, tentang percaya kepada manusia. Orang yang terhadap sesama cuma bisa percaya ke atas, tidak bisa percaya ke bawah, itu orang yang belum dewasa. Contoh, waktu orangtua mempercayakan ke anak, itu percaya ke bawah, bukan ke atas. Anak yang dipercayai bisa salah, bisa ternyata kepercayaannya disalahgunakan. Percaya yang ada resikonya, seperti juga mengasihi ke bawah, ternyata yang dikasihi itu melukai kita, mengkhianati, abuse kasih kita. Kasih ke bawah, bersamaan dengan itu percaya ke bawah. Sekarang banyak orang paranoid, apa yang dipikir menurut dia itu realita, tidak bisa bedakan dengan imajinasi. Kita bisa pikir orang negatif, padahal orant itu tidak tahu apa-apa, tidak ada kenyataannya juga. Kita tidak berani percaya ke bawah, karena kita tidak cukup mengasihi. Kalau kita mengasihi bukan berarti tidak bisa ditipu. Tuhan juga ditipu, dikhianati oleh Yudas. Kepercayaan yang ke bawah bisa dikhianati. Tapi kita dipanggil masuk dalam jalan yang sempit itu tapi memerdekakan. Orang yang paranoia, terkurung oleh pikiran yang ia ciptakan sendiri, yang ternyata realitanya tidak sejahat yang dipikirnya. Lalu dengan bangga berkata, “Mengapa saya sampai sekarang tidak pernah terkena bom, karena setiap saya bertemu orang, saya akan pikir bahwa dia bawa bom”. Kalau Saudara mau berpikir seperti itu, memang Saudara tidak kena bom, tapi sudah kena bom negatif pikiran sendiri setiap hari, betapa kasihan. Lebih bahagia orang percaya lalu ternyata salah, tertipu, daripada orang yang tidak pernah tertipu oleh siapa pun tapi hidup paranoid.
Kasih mengharapkan segala sesuatu. Kasih itu tidak berhenti berharap. Kultur kontemporer yang sarkastik dan sinis, sebenarnya karena tidak ada pengharapan. Mulai dari hope besar, lalu hope mengecil, lalu sama sekali tidak ada hope. Lalu orang mulai indifference, acuh tak acuh. Ini adalah self defense mechanism. Kalau saya berharap lalu tidak terpenuhi saya akan terluka, lebih baik saya tidak ekspektasi apa-apa maka saya tidak akan rasa sakit. Lalu lebih dalam lagi, tidak puas dengan hanya acuh tak acuh, mulai menyakiti orang lain, sarkastik, sinis. Itu fenomena yang terlihat di luar, tapi yang dalam hatinya adalah kehilangan pengharapan. Samuel Johnson mengatakan, “orang yang berharap ternyata pengharapannya salah, tetap lebih berbahagia daripada orang yang tidak ada lagi pengharapan”. Kekristenan tidak memberikan perngharapan yang salah, tapi pengharapan yang pasti. Sedang pengharapan yang salah saja bisa membantu seseorang untuk hidup, apalagi pengharapan yang pasti. Orang-orang yang di kamp konsentrasi Jerman, menciptakan pengharapan yang membuat mereka bertahan hidup, “ada anak perempuan saya di sana, anak laki-laki saya di sana, maka saya tidak boleh mati, tahan lagi”. Dan betul, setelah Jerman kalah perang, mereka masih tetap hidup, namun ternyata keluarganya sudah mati. Ini pengharapan yang diciptakan sendiri bukan ada janji Tuhan, tapi setidaknya memberi kekuatan untuk bertahan hidup. Kekristenan tidak memberikan pengharapan yang palsu, pengharapan yang pasti kalau kita mendasarkan pengharapan kita pada janji Tuhan. Kasih itu mengharapkan segala sesuatu, pengharapan yang ke bawah, berharap yang berkorban, mengharapkan orang bertumbuh, keluar dari kelemahannya. Pengharapan ke bawah yang bisa menyakitkan, maka orang berhenti berharap. Orang yang tidak berani berharap itu pengecut karena takut sakit.
Kasih sabar menanggung segala sesuatu, dalam pengertian menanggung sesama kita sebagai beban. Kasih membuat itu menjadi beban yang manis, sweet burden. Termasuk menanggung kelemahan orang lain, ketidaksabaran orang lain, kekanak-kanakan orang lain. Orang yang tidak mau menanggung sesamanya sebagai beban, cuma mau sesamanya kalau hadir selalu harus membuat dia bahagia, itu egois, tidak dewasa, kekanak-kanakan. Orang yang dewasa tahu, bahwa sesama bukan hanya bisa membahagiakan dia, tapi juga bisa menjadi beban. Kesiapan untuk menanggung sesama dengan kelemahannya, seperti Yesus menanggung dosa-dosa kita di kayu salib, itu orang yang menyerupai Kristus.
Kiranya Tuhan memberi kekuatan kepada kita, menambahkan kasih kita kepada Tuhan dan sesama.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS).