Dalam perikop sebelumnya, kita bisa melihat center-nya dari berbagai perspektif, baik dari soal asal-muasal Yesus –sesuatu yang objektif—ataupun dari respon subjektif mereka (respon personal). Respon personal ini bisa dibagi dua lagi; kita bisa melihatnya dari perspektif keragu-raguan mereka –soal ada yang percaya dan ada yang tidak percaya—tapi juga bisa melihatnya di dalam penekanan seperti yang dikatakan Llyod Jones yaitu ketidak-percayaan (unbelief) para pendengar Yesus. Dan kalau kita melanjutkan, memang betul di bagian ini lebih dibahas tentang orang-orang yang tidak percaya itu.
Di bagian akhir pembahasan sebelumnya, ada orang banyak yang juga menjadi percaya kepada Yesus Kristus (ayat 31), tapi mulai ayat 32 dicatat gambaran orang-orang Farisi dan imam-imam kepala –orang-orang yang tidak percaya– maka pemenggalan kita dalam pembahasan ini di antara ayat 31 ke ayat 32 (ini tidak mutlak). Mulai ayat 32, kita melihat orang-orang Farisi yang tahu bahwa orang banyak agaknya membicarakan tentang Yesus, lalu imam-imam kepala dan orang Farisi menyuruh penjaga-penjaga Bait Allah –yang sekaligus berfungsi sebagai polisi urusan keagamaan—untuk menangkap Yesus. Praktek seperti ini –urusan publik dan urusan agama yang campur baur jadi satu—rupanya memang sudah ada sejak dulu, dan yang menggerakkan adalah pemimpin-pemimpin agama (orang-orang Farisi dan imam-imam kepala), bukan orang-orang biasa. Tapi di mana persoalannya, mengapa mereka mau menangkap Yesus?
Dalam perspektif Injili, kita seringkali melihatnya bahwa ini disebabkan karena ke-irihati-an mereka, tidak punya keluasan hati, tidak bisa menerima kebenaran yang dikatakan oleh Kristus; mereka hidup di dalam kepalsuan, kemunafikan, dan oleh sebab itu mereka jadi terganggu. Memang itu salah satu alasan penting, tapi kita mendapati ada urusan politik juga. Jangan lupa, orang-orang ini adalah orang-orang yang bergaul dengan penjajah Romawi. Orang-orang ini adalah orang-orang yang cinta uang, demikian dikatakan Alkitab; mereka ini orang-orang yang tahu caranya mendapatkan uang melalui agama. Jadi isunya antara uang – agama – politik – ekonomi, yang campur aduk jadi satu, bukan sekedar isu teologis. Kadang-kadang dari perspektif Kristen, sebagaimana teolog-teolog zaman dulu, melihat semuanya sebagai persoalan teologis padahal ada berbagai persoalan yang campur aduk jadi satu. Dari aspek ekonomi, di sini bukan cuma urusan kepemimpinan dalam agama tapi ada urusan uang juga; kehidupan mereka itu sudah sangat mapan, bisa memeras rakyat sehingga mendapat pemasukan. Lalu waktu Yesus datang mengajarkan sesuatu yang lain, itu membuat orang-orang jadi kritis dan mulai berpikir bahwa Yesus ini mengajarkan sesuatu yang lebih jujur lebih apa adanya, Dia juga membicarakan ‘berbahagialah orang miskin’, sedangkan pengajar-pengajar itu malah membicarakan orang miskin celaka, dsb.
Keadaan ini membuat status quo pemimpin-pemimpin itu jadi terganggu, maka mereka tidak suka. Mereka mau menangkap Yesus, karena mau mempertahankan gambaran hidup yang ‘dijajah tidak apa, tapi kita kaya koq, kita dapat privilege di dalam kolonialisme; memang kita bukan penjajahnya, tapi kita juga ‘gak dijajah-dijajah banget; kalau kita hidup di bawah diktator yang lalim asal Gereja aman, ya, tidak apa, daripada bukan diktator tapi malah tidak aman, malah bahaya; kalau ketahuan di dalam bangsa kita ada gerakan mesias lagi, pemerintah Romawi bisa marah lalu kita disuruh membereskan, dan itu akan jadi rumit sekali’. Oleh sebab itu dalam Injil yang lain, misalnya Markus, kita membaca orang-orang Farisi sangat berhati-hati waktu mau menangkap Yesus, tidak mau menangkap Dia waktu perayaan. Markus 14:1b-2 Imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat mencari jalan untuk menangkap dan membunuh Yesus dengan tipu muslihat, sebab mereka berkata: "Jangan pada waktu perayaan, supaya jangan timbul keributan di antara rakyat." Yesus begitu populer, maka mereka mau menangkap Yesus secara diam-diam, dengan strategi politik yang dipikirkan baik-baik. Mereka ini orang-orang pengecut yang tidak bisa bersaing secara fair, tidak bisa menerima ketidak-mampuan dirinya.
Menariknya, di ayat 33 dikatakan: Maka kata Yesus: "Tinggal sedikit waktu saja Aku ada bersama kamu dan sesudah itu Aku akan pergi kepada Dia yang telah mengutus Aku”. Di sini seolah-olah perkataan Yesus klop dengan rencana busuk mereka. Apa sebenarnya maksud kalimat ini? Apakah Yesus mau bilang ‘sudahlah, tidak usah repot-repot membunuh Saya, memang Saya sendiri mau mati koq sebentar lagi, tenang saja, memang Saya rencananya begitu’? Pasti bukan. Lalu mengapa Yesus mengatakan kalimat yang kelihatan sama ini, di dalam pengertian mereka mau membunuh Yesus dan Yesus mau pergi kepada Bapa (mati)?
Yesus mati adalah karena Dia mau menyerahkan nyawa-Nya, bukan karena rencana busuk mereka. Bagian ini kita harus mengerti dengan jelas, karena Gereja tidak dipanggil untuk di-viktimisasi. Waktu Gereja (orang Kristen) menderita, itu karena dia rela menderita, bukan karena di-viktimisasi. Yesus mengatakan kalimat itu karena Dia mau menyatakan, bahwa sejak dari semula ini adalah rencana Bapa; waktu Anak diutus ke dunia, Dia akan mati karena Dia menyerahkan nyawa-Nya, bukan karena orang-orang ini yang berusaha membunuh-Nya. Orang-orang ini –Yudas, dsb.—adalah alat Tuhan secara negatif. Dari sisi Yesus –dari sisi Allah, Bapa—ini adalah di dalam kedaulatan Tuhan, bukan kekuasaan manusia. Kalimat ini keluar lagi waktu Yesus berjumpa dengan Pilatus. Pilatus seakan punya kuasa terhadap Yesus, tapi Yesus bilang “kalau kuasa itu tidak diberikan dari Atas kepada kamu, kamu tidak punya kuasa apa-apa atas Aku”. Ini kalimat kedaulatan Allah. Yesus bukan di dalam gambaran yang powerless, rentan, seperti viktim yang tidak ada pilihan dan tidak mampu berbuat apa-apa. Yesus selalu ada pilihan. Dia ada pilihan untuk tidak menyelamatkan Saudara dan saya. Pilihan itu selalu ada, tapi Dia tidak mengambil pilihan tersebut, Dia taat kepada Bapa-Nya; dan pergumulan itu bukan tidak ada, sebagaimana kita baca di Taman Getsemani.
Yesus mengatakan "Tinggal sedikit waktu saja Aku ada bersama kamu dan sesudah itu Aku akan pergi kepada Dia”. Perhatikan perkataan “sedikit waktu saja”, maksudnya selalu ada waktu yang sedikit saja, bukan waktu yang selama-lamanya. Ini satu kalimat peringatan yang ditujukan kepada mereka, yang tidak menghargai kehadiran Yesus pada saat itu.
Kemudian ayat 34: “Kamu akan mencari Aku, tetapi tidak akan bertemu dengan Aku, sebab kamu tidak dapat datang ke tempat di mana Aku berada." Kalau kita tafsir secara eskatologis, ini tafsiran yang juga kuat karena sebelumnya bicara tentang “sesudah itu Aku akan pergi kepada Dia, yaitu kepada Bapa, yang mengutus Aku”, yang berarti Yesus kembali ke surga, dan juga dikatakan “kamu tidak dapat datang ke tempat di mana Aku berada." Dalam hal ini ada penafsir yang mengatakan bahwa mereka tidak lagi bisa datang kepada Yesus meskipun mereka mencari, dan pada saat Yesus datang kembali, Dia akan datang sebagai Hakim. Pada saat itu mereka akan desperately mencari Yesus yang pernah mereka tolak, tapi sudah terlambat karena Yesus datang sebagai Hakim. Yesus bukan lagi datang seperti kedatangan-Nya yang pertama, yang menawarkan undangan keselamatan. Itu tidak ada lagi, Dia akan menghakimi dan melakukan perhitungan, baik dengan orang-orang benar maupun orang-orang fasik. Orang-orang benar diselamatkan di dalam Kristus, orang-orang fasik dibinasakan. Tapi orang-orang ini, yang kemudian desperately dan helplessly mencari Yesus, sebenarnya bukan mencari Yesus melainkan mencari keselamatan mereka sendiri; mereka ketakutan di dalam saat itu.
Tafsiran seperti itu menarik karena dikaitkan dengan eskatologi, namun eskatologi Yohanes tidak selalu dalam pengertian future. Termasuk juga bagian ini dalam terjemahan bahasa Inggrisnya memakai tenses sbb.: “you will seek Me, and you will not find Me; where I am, you cannot come” (di mana Aku berada, kamu tidak dapat datang). Di sini bukan dikatakan ‘where I will be, you cannot come’ melainkan ‘where I am, you cannot come’. Jadi ini seperti 2 realm yang berada dalam koordinasi yang berbeda; Yesus yang di dalam spiritual realm, dan mereka yang terus di dalam dunia yang kelihatan, yang tidak pernah melihat spiritual realm itu. Memang mereka mencari Yesus, seperti 5000 orang yang kenyang mencari Yesus, tapi mereka tidak betul-betul mencari Yesus, mereka mencari kenyangnya perut mereka sendiri. Mereka mencari berkat Tuhan yang bagi mereka adalah tujuan hidup paling tinggi, namun mereka sendiri sama sekali tidak tertarik dengan pribadi Yesus. Secara fenomena kelihatan seperti mencari Yesus, tapi mereka mencari Yesus untuk diri mereka sendiri. Dan Yesus mengatakan “you will seek Me, and you will not find Me” –kamu akan mencari Aku, dan kamu tidak akan mendapati Aku—karena yang kamu cari bukan Yesus yang sesungguhnya tapi Yesus yang palsu.
Dalam SPIK yang lalu Pendeta Ivan kotbah bagian ini, mengenai gambaran Yesus yang diciptakan dan diproyeksikan sendiri, lalu kita mau Yesus yang seperti itu; tapi waktu kita baca Alkitab, ternyata Yesus-nya beda. Gambaran Yesus yang kasihan sekali, yang selalu mengulurkan tangan-Nya menunggu orang bertobat ‘ayo dong, kan Saya sudah mati di kayu salib, apa kamu tidak kasihan sama Saya; pengorbanan ini untuk kamu semua lho, koq kamu terus mengeraskan hati? terima Saya dong’, dsb., itu Yesus yang mana?? Di Alkitab tidak ada Yesus yang seperti itu. Ada orang Kristen terlalu naif yang berpikir bahwa Yesus tangan-Nya selalu terbuka dan selalu menunggu, tergantung orang itu mau terima Dia kapan. Itu bukan gambaran Yesus dalam Alkitab. Yesus yang asli mengatakan “tinggal sedikit waktu saja”; Yesus tidak mengatakan “padamu selalu ada waktu kapan pun untuk datang kepada-Ku”.
“Tinggal sedikit waktu saja Aku ada bersama kamu … Kamu akan mencari Aku, tetapi kamu tidak akan bertemu dengan Aku sebab kamu tidak dapat datang ke tempat di mana Aku berada." Yesus berada di dalam terang, Dialah Terang itu sendiri; sedangkan mereka berada di dalam kegelapan, oleh sebab itu mereka tidak bisa datang. Orang yang mencintai kegelapan tidak mungkin bisa datang kepada terang, mereka sendiri tidak tertarik. Yesus berkata ‘di tempat di mana Aku berada, kamu tidak dapat datang; karena kamu mencintai kegelapan daripada terang, kamu lebih mencintai dusta dan kepalsuan daripada kebenaran, maka kamu tidak pernah bisa datang’. Orang yang seperti ini, berapa pun seringnya dia ke gereja, ikut aktifitas-aktifitas, dan persekutuan-persekutuan Kristen, sebetulnya dia tidak pernah datang kepada Kristus. ‘Kamu mencari Aku, tapi kamu tidak menemukan Aku; yang kamu temukan yaitu your idols yang adalah proyeksi pikiranmu sendiri yang kamu sembah-sembah sendiri dan kamu ibadah sendiri kepadanya, tapi kamu tidak akan pernah mendapatkan Aku; di tempat Aku berada, kamu tidak bisa datang ke situ’.
Dalam teologi Reformed kita dengan senang hati menekankan, bahwa seorang bisa datang kepada Kristus itu memang karunia/ anugerah dari Tuhan; kalau tidak ada anugerah ini, tidak ada orang bisa datang kepada Kristus. Itu betul, tapi bukan berarti Saudara lalu lempar tanggung jawab kepada anugerah Tuhan. Anugerah Tuhan itu urusan Tuhan, bagian kita adalah bertobat waktu firman Tuhan diberitakan.
Apa sebetulnya aspek Kekristenan? Salah satunya adalah terus-menerus membiarkan diri kita dikoreksi dalam hal konsep tentang Tuhan yang keliru. Ini bukan masalah hitam putih, bukan masalah salah total atau sama sekali salah dan tidak ada benarnya sama sekali, lalu begitu bertobat langsung masuk ke dalam kehidupan yang benar semua. Tidak begitu gambarannya. Gambarannya adalah kita hari demi hari, terus-menerus mengalami koreksi dari Tuhan. Selalu masih ada yang salah, selalu masih ada yang harus dikoreksi lagi, dikoreksi lagi, dikoreksi lagi, dan dikoreksi lagi, … tidak selesai-selesai. Tapi Saudara jangan merasa penat, discourage, marah, karena ‘koq kita dikritik terus tidak selesai-selesai’, Yesus mengatakan “barangsiapa Kukasihi, dia Kuhajar”. Yang dihajar adalah yang dikasihi; itu adalah ekspresi cinta kasih. Kalau pengertian kita tentang Tuhan masih bisa bertumbuh, masih bisa makin lama makin lengkap, itu berarti kita berada di jalur yang benar. Celakalah orang yang pengenalannya akan Tuhan sudah di situ terus, statis, karena dia pikir dia sudah tahu, tidak ada lagi yang baru baginya. Para hamba Tuhan pun waktu membaca Alkitab, juga sama; kita menemukan lagi dan menemukan lagi, masih ada yang perlu dikoreksi, dan ini terus-menerus. Inilah gambaran orang yang bertumbuh. Gereja yang bertumbuh adalah Gereja yang terus-menerus mengoreksi pikiran mereka tentang Tuhan.
Selanjutnya, “tetapi kamu tidak akan bertemu dengan Aku sebab kamu tidak dapat datang ke tempat di mana Aku berada”. Waktu Yesus ke surga, orang pasti tidak bisa datang ke surga. Yesus yang datang dari surga, diutus oleh Bapa dan kembali kepada Yang mengutus; tidak ada yang seperti ini kecuali Yesus. Ini dalam pengertian eskatologi. Tapi jangan lupa, eskatologi Injil Yohanes bukan cuma tentang yang akan datang melainkan yang di sini juga; penghakiman itu bisa terjadi di sini dan sekarang. Memang betul kelak terjadi penghakiman kepenuhan murka Allah, tapi murka Allah juga terjadi di sini dan sekarang. Gambarannya bukan cuma di sana terjadi murka sedangkan di sini selalu penuh cinta kasih. Sama seperti kita bicara tentang cicipan kemuliaan surgawi di sini dan sekarang, demikian juga cicipan penghakiman/ murka Allah, ada di sini dan sekarang. Oleh sebab itu, waktu Yesus mengatakan “kamu tidak dapat datang ke tempat di mana Aku berada”, jangan sampai ada orang yang masuk kategori ini; orang ini tidak ada mata rohani yang melihat dunia spiritual, pikirannya hanya sebatas dunia yang kelihatan.
Selanjutnya, sebagaimana sangat tipikal tulisan Yohanes, Yesus bicara urusan rohani, mereka tafsir di dalam dunia yang kelihatan. Tidak ketemu sama sekali. Ayat 35 Orang-orang Yahudi itu berkat seorang kepada yang lain: "Ke manakah Ia akan pergi, sehingga kita tidak dapat bertemu dengan Dia? Adakah maksud-Nya untuk pergi kepada mereka yang tinggal di perantauan [diaspora], di antara orang Yunani, untuk mengajar orang Yunani? Apakah maksud perkataan yang diucapkan-Nya ini: Kamu akan mencari Aku, tetapi kamu tidak akan bertemu dengan Aku, dan: Kamu tidak dapat datang ke tempat di mana Aku berada?" Atau dengan kata lain: ‘Maksudnya apa?? Dia mau pergi mengajar orang-orang diaspora (orang-orang Yahudi yang di luar negeri), mau go international, begitu?? Yesus musti tahu ya, di sini saja ‘gak sukses koq malah mau pergi ke Yunani, apa-apaan?? Ini Orang tidak mengenal diri. Dia harus tahu bahwa Dia itu Orang yang ditolak, kita tidak semuanya setuju dengan pengajaran-Nya, dan sekarang mau pergi kepada orang Yunani?? Luar biasa sombong. Kita semua tahu kebudayaan Yunani selalu merasa lebih superior daripada bangsa manapun, dan mereka menghina kebudayaan Yahudi; Yunani itu bangsa yang besar kebudayaannya, Romawi pun dipengaruhi Yunani, lalu kita, orang Yahudi yang minoritas ini, mau mempengaruhi kebudayaan Yunani??’
Dalam bahasa aslinya, ayat 35b tersebut kalimat pertanyaannya memakai kata mē, maksudnya kalimat pertanyaan yang mengasumsikan jawaban negatif. Contohnya waktu Yesus mengatakan diri-Nya Roti Hidup dan hampir semua orang meninggalkan Dia karena perkataan itu terlalu keras, Yesus kemudian berbicara kepada murid-murid-Nya yang paling dekat, “Kamu tidak akan pergi juga, ‘kan?” (di sini terjemahan bahasa Indonesia agak sulit: “apakah kamu tidak mau pergi juga?”, seperti menantang kalau mau pergi silakan pergi sekarang, tapi kalimat aslinya sebenarnya bukan ditafsir begitu). Ada kata mē di situ, maksudnya ‘kamu tidak akan pergi juga, ‘kan?’ karena Yesus mengenal murid-murid-Nya, Yesus tahu kelompok ini tidak akan meninggalkan Dia; ini bukan tentang pengusiran tapi justru tentang kepercayaan.
Ayat 35b ini juga memakai kata mē tapi dalam konteks yang sama sekali berbeda; kalau saya terjemahkan dengan bahasa aslinya, sbb.: “Maksudnya bukan mau pergi kepada orang yang di perantauan untuk mengajar orang Yunani, ‘kan?” Tapi kalau kalimatnya ‘Adakah maksud-Nya untuk pergi kepada mereka yang tinggal di perantauan, di antara orang Yunani, untuk mengajar orang Yunani?’, ini jadi pertanyaan yang netral, seakan bertanya apakah Dia mau itu atau tidak? Sedangkan sebenarnya kalimat aslinya bermaksud bahwa mereka tidak bisa percaya, itu sesuatu yang tidak mungkin, karena di sini saja Yesus tidak bisa, masakan mau coba-coba pergi kepada orang Yunani, itu konyol.
Kalimat ini mirip dengan kalimatnya Kayafas, yang mengatakan “kalian ini tidak mengerti, lebih baik satu orang mati untuk satu bangsa daripada seluruh bangsa ini binasa”. Itu diucapkan Kayafas kemungkinan besar bukan dalam satu sikap yang takut akan Tuhan, melainkan ‘sudahlah korbankan Orang ini saja daripada seluruh bangsa kita hancur, satu Orang ini saja dibikin mati dan selesai, satu Orang untuk menyelamatkan seluruh bangsa’, suatu perhitungan yang sangat kalkulatif, daripada seluruh bangsa binasa lebih baik 1 orang, jadi biarkan Orang ini dibunuh saja supaya Israel lebih tenang. Tapi kemudian Alkitab mencatat bahwa Kayafas, sebagai Imam Besar, bernubuat pada saat itu. Bernubuat apa? Yaitu bahwa Yesus akan mati untuk seluruh bangsa, satu orang mati untuk seluruh bangsa, untuk Israel. Ini mirip sekali dengan bagian yang kita bahas, meski tidak ada catatan seperti itu di sini. Waktu dikatakan “Ke manakah Ia akan pergi, sehingga kita tidak dapat bertemu dengan Dia? Adakah maksud-Nya untuk pergi kepada mereka yang tinggal di perantauan, di antara orang Yunani, untuk mengajar orang Yunani?”, jawabannya adalah “iya”, dan bukan cuma untuk orang Yunani tapi untuk semua bangsa. Memang bukan Yesus yang pergi, Yesus tetap tinggal di Israel tapi pengajaran-Nya keluar dari Israel, bukan terus dimonopoli oleh orang-orang Yahudi, orang-orang Israel.
Memang betul tidak semua orang Israel menolak Yesus, ada juga –bahkan dikatakan ‘banyak’—yang percaya, tapi kita tahu ada yang menolak. Lalu bagaimana? Lalu Tuhan pakai berkat tersebut keluar dari Israel; Paulus malah memakai istilah ‘supaya menimbulkan kecemburuan pada Israel’. Di sini Paulus seperti satu orangtua yang punya anak, dia menyatakan cinta kasihnya pada si anak, tapi anak itu tidak pernah bisa menghargai, akhirnya orangtua ini menyayangi anaknya orang lain dan diadopsi, sehingga si anak yang asli jadi cemburu, ‘kita bangsa pilihan, mengapa Tuhan mengasihi bangsa-bangsa lain?’ Dan Paulus mengatakan, justru untuk membangkitkan kecemburuan Israel, supaya Israel sadar bahwa Tuhan tidak bisa dikonsumsi/ dibatasi/ dimonopoli hanya oleh Israel saja. Kalau ini terjadi dalam kehidupan Gereja kita, menakutkan dan menyedihkan. Waktu Tuhan sendiri hadir, kemudian Dia mendapati orang-orang itu ternyata tidak semuanya tertarik, tidak semuanya menghargai, tidak semuanya mau belajar, maka Tuhan akan move ke tempat lain.
Kalau kita bicara soal ‘movement’, yang pertama move itu Tuhan, bukan Saudara dan saya. Kita ini hanya mengikuti gerakannya Tuhan, kalau memang kita mengikuti. Namun, membuat Tuhan tidak boleh move, berarti kita tidak bisa bicara soal movement, itu bukan Tuhan yang ada dalam Alkitab. Di dalam Perjanjian Lama, ada salah satu gambaran Yahweh yang di bawahnya ada roda, maksudnya apa? Dia Tuhan, mengapa perlu kendaraan? Gambaran ini untuk kita, bukan untuk Dia. Digambarkan Yahweh yang dibawahnya ada roda, maksudnya bahwa Dia bergerak. Kalau Tuhan tidak bergerak, Dia bukan Tuhan. Kalau Tuhan diam, itu patung. Tuhan yang asli pasti bergerak; waktu Dia bergerak, maka berbahagialah yang menyertai Dia dan berada bersama dengan Dia. Tetapi waktu Tuhan bergerak dan orang tidak bergerak, inilah yang dikatakan Yesus “kamu tidak dapat datang ke tempat di mana Aku berada”, karena orang-orang ini tidak menyertai Tuhan. Mereka terus di dalam status quo, mempertahankan posisi mereka, kalau perlu Tuhan yang menyesuaikan dengan keadaan ini dan bukannya diri mereka yang terus-menerus diubahkan oleh Tuhan.
Jangan pikir Tuhan cuma datang untuk satu bangsa saja, Dia akan datang juga untuk orang-orang Yunani, untuk bangsa-bangsa lain; dan ini betul-betul digenapi. Itulah perjalanan Tuhan. Kalau kita bicara soal ‘movement’ –movement-nya Tuhan, bukan human movement—kita harus memberikan ruang untuk Tuhan. Tanpa kita memberikan ruang pun, tetap ruang itu ada untuk Tuhan. Kita musti mengakui bahwa Tuhan punya ruang ini, Dia juga berhak untuk pergi meninggalkan kita waktu di dalam diri kita terjadi penolakan. Itulah Tuhan yang asli. Kita tidak bisa mengatakan ‘jangan dong, sekali Tuhan pernah memberkati di sini, sekali di sini pernah ada kaki dian, maka harus di sini terus’. Coba lihat Jenewa, betul-betul pernah ada kaki dian di sana, tapi sekarang??
Tuhan yang kita percaya di dalam perspektif iman Protestan, adalah Tuhan yang bergerak, bukan Tuhan yang terus di situ. Maka, Gereja yang bersama dengan Kristus adalah Gereja yang bergerak, bukan Gereja yang diam. Gereja yang diam, berarti Tuhannya diam. Kalau Tuhannya diam, itu bukan Tuhan yang di Alkitab. Tuhan yang di Alkitab itu bergerak, Dia in movement, dan Dia menggerakkan kita juga. Kalau kita tidak bergerak, tuhan Saudara itu tuhan yang mana? Saya tidak tahu, karena di dalam Alkitab Tuhan tidak begitu. Di dalam Keluaran, tiang awan dan tiang api bergerak, tidak diam di situ terus; kalau di situ terus itu kompornya kita, bukan tiang awan tiang api Tuhan. Tuhan itu bergerak; dan waktu Dia bergerak, kita mengikuti pergerakan-Nya. Inilah Kekristenan, yaitu Gereja yang bergerak, orang Kristen yang bergerak, keluarga yang juga bergerak, sebagaimana Yesus bergerak.
Kembali ke bagian ini, mereka tidak percaya, bagi mereka itu tidak mungkin; kalau Yesus tidak dihargai di sini lalu Dia mau coba-coba pergi ke Yunani, mereka pikir mungkin karena terlalu kecewa, dsb. Tapi kenyataannya hal itu terjadi. Ironis, mereka tanpa sadar seperti — di sini tidak ada catatan seperti tentang Kayafas– menubuatkan yang akan terjadi, bahwa Israel akan ditinggalkan, kemudian Tuhan pergi kepada bangsa-bangsa lain. Di dalam Kisah Para Rasul, Paulus pergi kepada those gentiles. Sama seperti itu, waktu Eropa terjadi penolakan, liberalisme masuk, dsb., Tuhan bergerak ke tempat lain. Banyak orang-orang Eropa mendirikan koloni di Amerika pada waktu itu, dan Tuhan ada di sana; ada kaki dian. Di kemudian hari ada penolakan, maka Tuhan akan bergerak lagi. Suatu saat ada penolakan, Tuhan bergerak lagi. Tuhan akan terus bergerak, seperti yang dicatat di dalam Alkitab.
Perikop berikutnya, ayat 37 Dan pada hari terakhir, yaitu pada puncak perayaan itu, Yesus berdiri dan berseru: "Barangsiapa haus, baiklah ia datang kepada-Ku dan minum!” Kalau kita membaca cerita mengenai pesta perayaan ini, Saudara akan mendapati bahwa Hari Raya Pondok Daun memang sangat berkaitan dengan urusan menimba air (water drawing), yang bukan cuma sekali tapi bahkan sampai 7 kali, dan itu menjadi suatu pesta yang luar biasa semarak dan juga sangat kompleks. Dalam tafsiran, ada cerita-cerita yang cukup detail tentang yang terjadi di sana, tapi saya mengambil 1 bagian penting saja, yaitu dalam acara tersebut orang sampai mengatakan kalimat seperti ini: “He who has not seen the joy of the water drawing, has not seen joy in his whole lifetime” –dia yang belum melihat sukacita menimba air di Hari Raya Pondok Daun, sebetulnya dia belum mengerti apa itu sukacita di dalam hidup ini (saya kutip dari salah satu literatur pada saat itu). Jadi ini perayaan yang paling dianggap memberitakan sukacita karena begitu meriah. Dan ini bukan sekedar tradisi manusia tapi dikaitkan dengan misalnya Yesaya 12:3 “Dengan sukacita kamu akan menimba air dari sumur keselamatan”. Air – keselamatan – sukacita, inilah yang dirayakan pada Hari Raya Pondok Daun.
Lalu apa yang dilakukan Yesus di sini? ‘Persetan dengan semua tradisimu’? Bukan. Yesus pada hari terakhir, pada puncak perayaan itu, berdiri dan berseru: "Barangsiapa haus, baiklah ia datang kepada-Ku dan minum!” Ini sangat tipikal Yohanes, yaitu kaitan antara tradisi dengan Yesus penggenapannya; Yesus tidak membuang tradisi yang di belakang. Waktu di Kana, Yesus mengubah air menjadi anggur. Mengapa Yesus mengubah air jadi anggur, sedangkan dalam mitos Dionysus justru menciptakan anggur dari ketiadaan sehingga kelihatannya lebih mahakuasa, lagipula lebih sesuai dengan berita Alkitab ‘creatio ex nihilo’? Creatio ex nihilo itu cuma salah satu aspek, bukan semua aspek, waktu kita bicara tentang penciptaan. Kalau kita mengertinya creatio harus selalu ex nihilo, berarti Yesus kurang mulia karena Dia mengubah air menjadi anggur. Jadi mengapa di sini tetap dipertahankan elemen air? Air itu elemen purification di dalam Perjanjian Lama; Yesus tidak mau membuang itu, itu juga pekerjaan Tuhan. Lalu waktu Yesus datang, inilah Perjanjian Baru yang kontinuitas dengan Perjanjian Lama, “darah-Ku ini yang akan membasuh kamu”. Kalau dalam Perjanjian Lama, elemen purification itu air, maka dalam Perjanjian Baru Yesus mengubah air itu menjadi anggur; anggur itu menunjuk kepada darah Kristus.
Sama seperti itu, dalam perayaan ini ketika semua orang mengharapkan air keselamatan, Yesus berseru: “Barangsiapa haus, baiklah ia datang kepada-Ku dan minum!” Inilah air yang sesungguhnya, bukan yang dimengerti mereka secara ritual. Mungkin juga –dan kita percaya—di sana ada orang yang beriman, yang bukan cuma melakukan ritual belaka, seperti juga waktu orang mempersembahkan domba itu bukan cuma ritual belaka tapi ada yang betul-betul percaya bahwa ini satu korban yang diperintahkan Tuhan. Daud, Musa, dan semua orang di Perjanjian Lama, melakukan itu dengan iman dan bukan sekedar ritual. Maka dalam perayaan ini kita percaya pasti ada orang-orang yang melakukannya dengan iman; tapi banyak juga sekedar ritual belaka, orang-orang yang tidak pernah melihat dunia yang tidak kelihatan itu, yang selalu melihatnya secara fenomenal saja. Maka waktu Yesus memberitakan kalimat tadi, Yesus sedang menggenapi apa yang menjadi pengharapan dalam Hari Raya Pondok Daun.
Kalau kita mempelajari caya Yesus memperkenalkan diri-Nya, kita bisa belajar cara kita memperkenalkan Yesus. Yesus bicara soal air di Hari Raya Pondok Daun, yang ada urusannya dengan menimba air. Kalau di sini Yesus bicara soal api, ‘gak nyambung. Kalau Yesus bicara “Akulah Roti Hidup”, ‘gak nyambung; roti hidup dengan menimba air, itu tidak berkaitan. Seringkali orang Injili seperti ini, orang yang diajak bicara urusannya di mana tapi dijawabnya apa, lalu sesudah itu mengatakan orang itu mengeraskan hati belum ada Roh Kudus maka tidak bisa terima Yesus. Mungkin kita yang tidak peka, karena kita tidak seperti Yesus. Yesus tidak mengatakan “I am The Bread of Life” atau “I am The Resurrection and the Life” pada Hari Raya pondok Daun. Yesus bicara “I am The Resurrection and The Life” waktu urusan Lazarus. Dia bicara “I am The Bread of Life” setelah Dia pecah-pecahkan roti dan semua orang kenyang. Dia bukan mengatakan “datanglah kepada-Ku yang haus” setelah Lazarus bangkit. Yesus tidak seperti itu; kita yang seringkali seperti itu karena kita pikir ‘Jesus is always the answer, regardless the questions are’. Orang mengatakan ‘Yesus menyelesaikan semua persoalan’; betulkah? Tidak begitu, karena Saudara tidak mengerti pertanyaannya apa.
Kembali ke bagian ini, Yesus bukan memperkenalkan diri-Nya tapi Roh Kudus. Di dalam Pribadi Tritunggal, tidak ada yang menunjuk kepada diri-Nya sendiri, selalu menujuk kepada Pribadi yang lain. Roh Kudus bukan bicara tentang diri-Nya sendiri tapi membicarakan Kristus. Kristus, Sang Anak, bukan bicara tentang diri-Nya sendiri tapi membicarakan Bapa. Bapa sendiri mempermuliakan Anak. Dan di sini kita membaca Anak menunjuk kepada Roh Kudus. Mungkin Saudara berpikir, ini ordonya keliru, bukankah Roh Kudus menunjuk kepada Anak, masakan Anak menunjuk kepada Roh Kudus?? Ayat 39: Yang dimaksudkan-Nya ialah Roh yang akan diterima oleh mereka yang percaya kepada-Nya; sebab Roh itu belum datang, karena Yesus belum dimuliakan. Di sini Yesus menunjuk kepada Roh Kudus, dan ini tidak merusak ordo karena dikatakan di ayat tersebut ‘Yesus belum dimuliakan’, berarti Yesus dimuliakan kemudian Roh itu baru datang, jadi tetap ada order. Roh Kudus datang setelah Yesus dimuliakan, bukan mendahului Yesus, tapi bukan lalu berarti Yesus tidak boleh menujuk kepada Roh Kudus yang ordonya ‘setelah’ Yesus.
Kalau kita belajar dari kehidupan Trinitas, kemudian kita terapkan dalam filsafat pelayanan kita, dalam kehidupan keluarga, dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, maka kita bisa mempelajari banyak hal. Di bagian lain Yesus mengatakan “adalah lebih baik Aku pergi kepada Bapa, sebab jika Aku tidak pergi kepada Bapa, Roh itu tidak akan datang”. Saudara lihat di sini keluasan hati Yesus, tidak ada saingan antara Pribadi Kedua dan Pribadi Ketiga. Tapi manusia yang narsis mengatakan ‘nanti kalau saya pergi, Saudara jangan sampai melupakan saya ya, saya pernah ada, lho’, dst. dst. Kita ini senior syndrome, banyak persoalan psikologis dalam kehidupan orang Kristen, kita ini seperti orang sakit mental, karena di dalam Tritunggal persoalan-persoalan seperti ini tidak ada. Waktu Yesus naik, Dia tidak mengatakan ‘sebentar lagi Roh Kudus akan datang, tapi jangan lupa Saya ya, Saya yang disalib, bukan Dia, yang mengucurkan darah itu Saya, bukan Roh Kudus’. Gambaran Yesus yang insecure seperti ini, yang mau memastikan eksistensi diri-Nya tidak dilupakan pengikut-Nya, tidak ada di dalam Alkitab. Justru yang dikatakan Yesus ‘adalah lebih baik Saya pergi karena kalau tidak begitu maka Pribadi Ketiga tidak datang kepadamu, lebih baik Pribadi Ketiga itu datang maka Saya pergi’. Bisakah kita terapkan kalimat sederhana ini, kehidupan Trinitas ini, di dalam kehidupan kita waktu kita bergereja, berjemaat, dsb.? Ada orang-orang yang super sensitif karena tidak dihargai, karena kurang dihormati, dsb.; ini kehidupan Trinitas atau kehidupan apa?
Yang suka sensitif karena tidak dimuliakan itu setan, kalau di dalam Alkitab. Setan sewaktu masih jadi malaikat posisinya sudah tinggi sekali, tapi waktu Yesus dimuliakan, dia insecure ingin lebih tinggi dan lebih tinggi lagi, akhirnya bukannya lebih tinggi malah jatuh. Mengapa? Karena terus-menerus mau dihormati. Inilah salah satu kontras waktu kita melihat setan dan melihat Yesus. Kita melihat kerendahan hati di dalam diri Yesus, sebaliknya kesombongan yang luar biasa di dalam setan yang terus mau dihormati, dihargai, tidak dilewati, dsb. Gereja ada yang mirip Yesus, tapi ada juga yang mirip setan. Gereja yang peka sekali soal dihormati atau tidak dihormati, itu mirip setan bukan mirip Yesus. Gereja yang mirip Yesus, adalah Gereja yang ada keluasan hati, yang bisa seperti Kristus menunjuk kepada pribadi yang lain.
"Barangsiapa percaya kepada-Ku, seperti yang dikatakan oleh Kitab Suci: Dari dalam hatinya akan mengalir aliran-aliran air hidup. Yang dimaksudkan-Nya ialah Roh yang akan diterima oleh mereka yang percaya kepada-Nya. Saudara perhatikan ini tipikal Injil Yohanes, ada tradisi yang di belakang (past), kemudian antisipasi yang akan datang (future) yaitu Roh Kudus yang belum datang, dan kepenuhannya di sini dan sekarang (here and now, the very present). Yesus mengatakan “Barangsiapa haus, baiklah ia datang kepada-Ku dan minum”, itu maksudnya sekarang, dan Yesus membangun di dalam tradisi yang lama, tidak dibuang, dan mengantisipasi Roh Kudus yang akan datang. Semuanya jadi satu, past-present-future, sekarang, inilah waktunya.
Oleh sebab itu, kalimat “tinggal sedikit waktu saja” bisa kita tafsir the presence of God, yang dikatakan dalam Surat Ibrani “hari inilah waktu keselamatan itu”. Waktu keselamatan adalah ‘hari ini’, dan selalu ‘hari ini’; maksudnya the very present/ sekaranglah waktu keselamatan. Dan ‘sekarang’ ini menggabungkan antara yang ‘dulu’ dan yang ‘akan datang’. Yang akan datang pun termasuk dalam yang dijanjikan sekarang, meski belum. Lazarus itu bangkit belum pada waktunya karena orang mati harusnya bangkit pada akhir zaman, dia bangkit sebelum Yesus datang kembali, mengapa seperti salah waktu? Jawabannya karena sekarang inilah kepenuhannya ‘I am The Resurrection and The Life’, bukan ‘I was’, bukan ‘I will be’ tapi ‘I am’ (sekarang) yang mencakup past, present, future. Maka waktu dikatakan “tinggal sedikit waktu saja”, maksudnya hari ini, sekarang. Tapi bukan berarti membuang masa lampau, bukan juga sekedar perspektif ‘sekarang’ dan tidak tahu apa-apa tentang masa depan. Konsep ‘sekarang’ di dalam Yohanes bukan dalam pengertian sempit itu, melainkan sekaligus mengintegrasikan janji yang lampau dan pengharapan yang akan datang. Ini orang yang kehidupannya berdamai dengan waktu, reconcile dengan waktu.
Ada orang tidak berdamai dengan waktu; ketika dia melihat ke belakang, banyak kepahitan. Waktu sesuatu yang kecil muncul, dia tiba-tiba bisa meledak marahnya karena ternyata bara apinya sudah menumpuk bertahun-tahun seperti magma yang kemudian meletus, karena dia tidak reconcile dengan masa lalunya (past). Ada juga orang yang tidak reconcile dengan masa depannya (future), terus hidup dalam ketakutan, atau pengharapan yang tidak realistis, akhirnya kehidupan yang sekarang jadi kacau. Orang-orang seperti ini tidak bisa menikmati saat ini (the very present). Ada orang mengatakan, mungkin kebetulan di dalam bahasa Inggris memakai kata ‘present’ karena our life is a present of God (karena ‘present’ bisa berarti ‘sekarang’, atau ‘kado’); kalau kita bisa hidup di dalam ‘sekarang’, itu anugerah pemberian Tuhan.
Hidup seperti Yesus, Dia bukannya trauma dengan tradisi di belakang, Yesus tidak mengatakan ‘apa itu Hari Raya Pondok daun, omong kosong, Saya inilah yang benar!’ Yesus tidak menciptakan anggur dengan creatio ex nihilo, dari tidak ada lalu tiba-tiba jadi anggur. Yesus sepenuhnya reconcile dengan tradisi di belakang. Dia membangun dari tradisi itu, kalau ada yang salah maka Dia koreksi, tapi bukan membuang sepenuhnya. Dan Dia mengantisipasi yang akan datang dengan luas hati, Dia mengatakan “kamu yang percaya kepada-Ku, di dalam hatinya mengalir aliran-aliran air hidup”, yaitu Roh Kudus, Pribadi yang lain. Ini hal yang akan datang., tapi dijanjikan di sini dan sekarang.
Harap ini tidak menjadi satu perenungan yang abstrak, seakan pembicaraan ini cuma philosophical vision tapi kemudian aplikasinya apa?? Aplikasinya banyak sekali, saya tidak mau memberikan aplikasi karena nanti langsung jadi reduktif. Tapi dalam kehidupan kita ada banyak persoalan bisa diselesaikan kalau kita hidup seperti Yesus. Yesus berjanji memberikan ini, dan kita sendiri dalam keadaan yang broken antara past, present, future, semuanya tidak jelas. Jangankan past dan future, yang present pun kita tidak benar-benar bisa menghidupinya sebagai sekarang/ hari ini. Orang yang bisa hidup di dalam ‘sekarang/ hari ini’, itu berkat Tuhan. Ada orang yang tidak pernah bisa hidup di dalam ‘sekarang’. Orang yang terus kuatir, itu tidak hidup di dalam ‘sekarang’ tapi dia loncat ke depan sana, dan gambarannya yang di sana pun negatif. Orang yang terus dihantui kegagalan masa lampau, dia juga tidak hidup ‘sekarang’, hidupnya di zaman dulu, nostalgia, tidak move on. Tapi orang yang melihat masa lalu dan membangga-banggakan, merasa itulah golden age, dan yang sekarang itu hancur, juga sama tidak bisa menghidupi kekinian. Kalau orang bisa menghidupi the very present bersama dengan God’s presence, inilah yang dikatakan Yohanes tentang Yesus, yang kita tahu melalui Alkitab.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading
