Markus 15: 34 Dan pada jam tiga berserulah Yesus dengan suara nyaring: "Eloi, Eloi, lama sabakhtani?", yang berarti: Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?
Ketika Martin Luther membaca ayat ini, dia merenungkan selama 2 jam, dia bingung dan tidak mengerti, bagaimana mungkin Yesus, Pribadi Kedua Allah Tritunggal, bisa ditinggal dan terpisah dari Allah Bapa?! Itu pengalaman Luther. Kalau kita melihat tradisi Gereja Reformed, ketika teolog-teolog membahas ayat ini, seringkali bicara tentang Yesus yang menggantikan kita –Paulus mengatakan, “Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita”– Yesus yang minum seluruh isi cawan murka Allah, Dia yang menanggung dosa-dosa kita dan menebus dosa-dosa kita, dan Dia berteriak “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?”, tapi kita seringkali lupa, bahwa ayat ini pernah muncul di Perjanjian Lama, khususnya di Mazmur 22. Itu yang akan kita bahas hari ini.
Saya percaya dan yakin bahwa Yesus sendiri sangat akrab dengan Perjanjian Lama; Yesus bukan orang yang sembarangan comot ayat lalu memakai ayat tersebut, bahkan waktu umur 12 tahun Dia sudah bisa diskusi dengan ahli-ahli Taurat. Jadi ketika di atas kayu salib Dia memakai ayat Mazmur 22 ini, sebenarnya apa artinya? Apakah seperti yang dikemukakan teolog-teolog tentang Dia menanggung dosa kita, minum cawan murka Allah? Kalau kita sekilas baca Mazmur 22, kita tidak akan menemukan ‘murka’, ‘cawan’, ‘menggantikan’; tidak ada konteks suffering seperti itu di Mazmur 22. Oleh sebab itu saya ingin mengajak kita bersama-sama merenungkan kalimat Yesus, kesengsaraan Yesus, melalui Mazmur 22, khususnya mengenai bagaimana kita berjalan di dalam jalan salib. Ini penting sekali karena kita, orang Kristen, selalu bilang mau seperti Yesus, mau berbagian dalam kesengsaraan Yesus.
Kalau kita melihat kitab Markus, ketika bicara tentang keselamatan, dia tidak mengatakan soal keselamatan itu by grace alone (sola gratia) dan by faith alone (sola fide) –yang bicara tentang itu adalah Paulus—tapi yang kita lihat adalah jalan keselamatan itu jalan yang penuh kesengsaraan. Apa artinya? Untuk Markus, orang yang diselamatkan adalah orang yang sengsara demi Kristus; sebagaimana Kristus sendiri dari lahir sampai mati sengsara Dia menjalani jalan salib, demikian juga orang Kristen dipanggil untuk menjalani jalan salib, sengsara untuk Kristus. Itulah keselamatan bagi Markus, bukan sola fide; bagi Markus, kalau kamu selamat, ya, buktikan, kamu akan masuk ke dalam jalan salib ini.
Tapi pertanyaan kita hari ini adalah: sebetulnya kesengsaraannya seperti apa? Kesengsaraan itu ada banyak macam A, B, C, D, E, dan seterusnya; dan kita juga seringkali mengatakan orang Kristen bukannya mau mati konyol. Jadi kalau kita mengatakan bahwa puncak kesengsaraan Kristus ada di atas kayu salib ketika Dia berteriak ‘Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?’, maka sebetulnya kesengsaraan macam apa, apa yang Yesus alami di atas kayu salib berdasarkan Mazmur 22? Ini yang akan kita renungkan, khususnya untuk hari ini ayat 1-9.
Ketika kita berbicara tentang Allah meninggalkan Kristus, kita tidak boleh mengertinya seperti Luther. Luther tidak bisa mengerti ayat ini, karena dia berpikiran bahwa ‘meninggalkan/ separasi’ artinya separasi antara pribadi Allah –Allah Bapa dipisah dengan Allah Anak sehingga Allah Tritunggal menjadi 2 Allah yang berbeda– sehingga ini merupakan satu konflik buat Luther. Kalau kita melihat ayat 2 dan 3, di sini jelas bicara tentang separasi, tapi bukan separasi tubuh. Kita harus mengertinya dalam pengertian ‘terbuang/ tersendiri’ (total abandonment and total loneliness), sebagaimana yang dia katakan, ‘mengapa Engkau meninggalkan aku? aku berseru, tetapi tidak ada pertolongan, aku berseru tapi Allah tidak menjawab’, dia sama sekali tidak ada bantuan dari siapapun. Pemazmur ini merasa tersendiri, terbuang.
Saya pikir, kita harus melihat salib di dalam pengertian Mazmur 22. Kesengsaraan yang paling utama di atas kayu salib bukanlah kesengsaraan jasmani. Di atas kayu salib, ketika Yesus memakai Mazmur 22 dan berteriak “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?”, yang Dia alami adalah total abandonment and total loneliness, kesepian, ketersendirian, dan dibuang. Dia betul-betul dibuang; dibuang oleh Tuhan, dibuang oleh dunia, dibuang oleh manusia. Dia menjadi tersendiri, satu-satunya, tidak ada yang lain, tidak ada sandaran lagi, loneliness; itulah kesengsaraan di dalam Mazmur 22. Banyak orang yang depresi lalu bunuh diri; tapi mengapa mereka kehilangan pengharapan? Karena lonely, tersendiri; mereka merasa di dunia tidak ada lagi yang bisa menolong, mereka menjadi ‘satu-satunya’. Itulah yang dialami Kristus, yaitu menjadi satu-satunya. Kalau kita KKR, kata ‘satu-satunya’ seperti megah sekali –Yesus itu satu-satunya Juruselamat, Yesus satu-satunya Mediator, Yesus satu-satunya Tuhan—itu kalimat yang penuh dengan kemuliaan. Tapi di bagian ini, Yesus betul-betul satu-satunya, tidak ada siapapun lagi, Dia kehilangan segala-galanya, total abandonment, total loneliness. Ini kesengsaraan di dalam Mazmur 22, dan saya percaya ketika Yesus teriakkan kalimat itu Dia betul-betul sendirian.
Kita bisa melihat kepahitan Dia kalau kita membaca ayat selanjutnya. Ayat 4-6: “Padahal Engkaulah Yang Kudus yang bersemayam di atas puji-pujian… nenek moyang kami percaya… Engkau meluputkan mereka. Kepada-Mu mereka berseru-seru, dan mereka terluput; kepada-Mu mereka percaya, dan mereka tidak mendapat malu.” Pemazmur berseru kepada Tuhan, yaitu Tuhan yang berdaulat, Tuhan yang mahakuasa, Tuhan yang kasih, Tuhan yang menyelamatkan; tapi sekarang dia berteriak: “Di mana Engkau?”, karena dia sendirian. Kita melihat di sini ada konflik antara teologi dengan realita; dan realitanya adalah Dia itu tersendiri. Yesus seumur hidup belajar Perjanjian Lama, seumur hidup Dia tahu cerita-cerita mengenai orang Israel. Dia seolah-olah mengatakan ‘Tuhan, ketika Adam berdosa, Engkau masih menyelamatkan dia; ketika orang Israel berdosa menyembah lembu emas, Engkau mengampuni dia; ketika Daud berseru, Engkau mengampuni dia; ketika Yeremia berseru, Engkau menyelamatkan dia; tapi mengapa sekarang Aku berseru dan Engkau meninggalkan Aku?’ Jadi semua yang Dia pelajari, dalam realitanya tidak dihidupkan. Tuhan yang mahakasih, Tuhan yang berdaulat, Tuhan yang menganggap Israel sebagai anak-Nya, Tuhan yang sepanjang sejarah senantiasa menopang Israel dan menyelamatkan walaupun mereka saat itu tidak layak, kepada-Nya Yesus berteriak “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?”. Tidak ada pertolongan, tidak ada sandaran, hilang semuanya, tersendiri, loneliness, abandonment.
Dan kalau kita perhatikan khususnya ayat 5-6, kata ‘percaya’ muncul 3 kali. Orang Israel percaya dan mereka diselamatkan, tapi sekarang Yesus percaya kepada Bapa namun Bapa tidak ada suara, itu artinya Yang Satu-satunya bisa dipercayai, itu pun hilang. Satu-satunya Benteng Hidup, itu pun hilang –‘orang Israel bersandar kepada Engkau, sekarang Saya mau bersandar kepada Engkau pun sudah tidak bisa lagi, hilang, mengapa Engkau meninggalkan Aku?’ –Pilar Hidup yang Dia sandar seumur hidup-Nya sudah tidak ada.
Sekarang kita bisa mengerti, kalau kita melihat perkataan Yesus dalam Markus dari kacamata Mazmur 22, salah satu kesengsaraan di dalam jalan salib yaitu loneliness, abandonment, dibuang, tersendiri; bukan cuma soal kita dianiaya, tubuh dipukul, berdarah, dan yang seperti itu. Oleh sebab itu, kalau kita mengatakan bahwa kita mau berpartisipasi/ berbagian di dalam kesengsaraan Kristus, kita jangan lupa kesengsaraan yang ini; jangan lupa bahwa jalan salib itu salah satunya adalah menjadi tersendiri, dibuang. Tidak ada seorangpun yang mau dibenci, kita mau disukai dan diterima semua orang. Dibenci, tidak disukai, ditendang, dibuang, itu lonely, tidak enak rasanya. Tapi inilah jalan salib; jalan salib di dalam Markus berdasarkan Mazmur 22.
Saya sangat tertarik dengan Markus 13: 13 “Kamu akan dibenci semua orang oleh karena nama-Ku”. Tapi yang sungguh-sungguh menarik yaitu di ayat 12-nya, ketika Yesus mengatakan ‘kamu akan dibenci’, sebelumnya Dia memakai contoh keluarga, bahwa saudara akan menyerahkan saudaranya, anak menyerahkan orangtuanya, dsb., yang konteksnya adalah keluarga. Artinya, kamu akan dibenci, bahkan akan dibenci oleh keluargamu sendiri. Orang yang pernah mengalami dibuang, dihina, tidak diakui oleh keluarga, itu begitu pahit membuat dia setiap malam tidur dengan tangisan airmata. Orang-orang yang dari agama lain ketika masuk Kekristenan, mereka mengalami seperti ini, mereka dibenci, mereka dibuang, mereka tersendiri. Tapi itulah jalan salib di Mazmur 22.
Jangan lupa karena Yesus pun tersendiri, kamu juga akan dibenci orang bahkan oleh keluargamu sendiri. Oleh sebab itu, saya pikir, kalau kita sebagai orang Kristen terlalu disukai, terlalu populer baik di Gereja maupun di masyarakat, kita diterima semua orang, mungkin di sini jadi ada tanda tanya. Yesus sendiri jelas-jelas mengatakan ‘kamu akan dibenci’. Memang betul waktu Paulus mengatakan bahwa orang yang jadi penatua di Gereja harus ada konfirmasi dan didukung jemaat; tapi waktu kita diterima di Gereja, tidak tentu di luar Gereja kita juga diterima seperti itu. Kalau kita keluar Gereja juga diterima oleh semua orang –yang baik dan yang jahat—berarti kita harus introspeksi diri, apakah kita betul-betul menjalankan jalan salib. Jalan salib di Mazmur 22 mengatakan bahwa kamu akan tersendiri, kamu mungkin dibuang. Dan ini satu hal yang saya pikir agak salah ditangkap oleh golongan tertentu, yang di satu sisi mau jadi pengusaha, tapi di sisi lain mau jadi pendeta –mereka mau disukai di dalam Gereja, dan mau disukai di luar Gereja. Jika begitu, kalimat Yesus tadi ‘kamu akan dibenci oleh semua orang’, di mana tematnya? Di mana kalimat itu bisa dihidupkan dalam hidup kita kalau kita mau disukai oleh kedua pihak? Impossible.
Sampai di sini kita jelas, bahwa salah satu kesengsaraan di dalam jalan salib yaitu kesendirian, abandonment, dibuang, tidak ada pengharapan, tidak ada yang dia bisa percaya –my trust is gone, they trust You and they are saved, I trust You and I'm not saved. Ayat 7-8, di sini ditambahkan lagi: “Tetapi aku ini ulat dan bukan orang, cela bagi manusia, dihina oleh orang banyak. Semua yang melihat aku mengolok-olok aku, mereka mencibirkan bibirnya, menggelengkan kepalanya”. Jalan salib bukan saja kesedirian dan dibuang, tapi juga dihina/ humiliation. ‘Aku ini ulat dan bukan orang’ –kalau dalam Alkitab, ulat itu sesuatu yang buruk, sesuatu yang sudah rusak mau mati.
Kita tahu, Yudas mengkhianati Yesus dengan menjual-Nya kepada orang Yahudi seharga 30 keping perak. Kalau kita baca Perjanjian Lama, jika seorang tuan memiliki lembu dan lembu itu membunuh seorang budak, maka pemilik lembu itu harus membayar hanya 30 keping perak kepada pemilik budak. Tiga puluh keping perak di Perjanjian Lama itu harga budak. Jadi kita bayangkan, Yesus, yang sudah inkarnasi, yang sudah melakukan hal baik, taat sepenuhnya kepada Tuhan, menyembuhkan orang yang sakit, membangkitkan orang dari kematian, akhirnya Dia dihargai seperti seorang budak! Kalau kita baca Filipi 2 “Dia mengosongkan diri menjadi seorang budak”, itu benar-benar budak! Dia dihargai sebagai budak, cuma 30 keping perak, itu harga seumur hidup-Nya, di mata dunia. Harga budak. Dipermalukan. Humiliation. Dan Yesus dihina seperti itu bukan karena Dia melakukan yang jahat –itu tidak mungkin—Dia berbuat baik.
Kalau kita lihat ayat 7-8 dikatakan ‘semua yang melihat aku’, siapakah itu? Yaitu orang-orang yang Yesus mau selamatkan. Jadi, orang yang Yesus mau menyelamatkan dia, menjadi orang yang mengolok-olok Dia. Kita seringkali mengatakan mau jadi saluran berkat, kita mau jadi berkat bagi orang lain; Yesus juga mau jadi berkat untuk orang lain, tapi ujungnya apa? Ujung-ujungnya Dia dihina. Kalau kita mengatakan “Tuhan, saya mau jadi berkat buat orang lain”, apakah siap untuk dihina? Karena hal itu tidak tentu give and take ‘saya mau menjadi berkat, kamu akan terima berkat’, tapi yang ada adalah ‘saya mau menjadi berkat, kamu mungkin menghina saya’. Doa kita di sini mungkin harus hati-hati, kita mau jadi berkat, tapi apa kita siap bayar harganya?
Di sini kita melihat, ketersendirian/ loneliness itu bukan seperti orang yang lari ke atas gunung bertapa, atau kunci pintu main komputer lalu merasa tersendiri. Itu bukan tersendiri, bukan loneliness. Loneliness di Mazmur 22 berarti aku berbuat baik, aku mau menjadi berkat, aku berkorban untuk aku, tapi kamu membenci aku. Itulah loneliness –aku mau berbuat baik, tapi malah dibenci– dan ini satu jalan yang sangat sakit. Tapi justru inilah jalan Kristus, inilah jalan salib, jalan yang Kristus sendiri menjalankannya. Kalau kita bilang bahwa kita mau berbagian dengan Kristus, kita mau bersama-sama dengan Kristus, kita mau memikul salib Kristus, jangan lupa bagian yang ini. Jangan lupa ketika kita mau mengikut Kristus, kita mau menjadi berkat untuk orang lain, berkorban bagi orang lain, kita lihat Yesus bahkan mau mati buat orang lain dan Dia tetap dibenci, Dia tetap dihina, Dia tetap disalibkan.
Ayat 9 "Ia menyerah kepada TUHAN; biarlah Dia yang meluputkannya, biarlah Dia yang melepaskannya! Bukankah Dia berkenan kepadanya?" Ini satu kalimat sarkastik. Dan seringkali kita mengalami seperti itu. Kita bilang bahwa kita orang Kristen, kita bersandar kepada Tuhan, lalu ketika kita mengalami hal yang buruk, mereka akan bilang: “Kamu bersandar kepada Tuhan ‘kan, Tuhan kamu ‘kan Kristus, mana Tuhan kamu sekarang waktu kamu susah?” ; dan ini yang terjadi kepada Kristus. Kristus disalib, dan mereka bilang, “Di mana Tuhan kamu, Kamu bukannya hebat, bukannya saleh?!” Saleh itu ada harganya.
Di bagian ini kita mau sedikit fokus pada kata ‘menyerah’ –“Ia menyerah kepada Tuhan; biarlah Dia yang meluputkannya”. Seringkali kita juga mengatakan ‘saya bersandar kepada Tuhan, saya menyerahkan diri kepada Tuhan’, tapi di bagian ini waktu Yesus menyerahkan diri-Nya, itu untuk dihina. Yesus menyerahkan diri-Nya, untuk diinjak-injak. Yesus menyerahkan diri-Nya, untuk tersendiri. Waktu kita mengatakan “saya berserah kepada Tuhan”, maksudnya saya berserah kepada-Mu, saya sudah tidak tahu lagi bagaimana, tolong Kamu pimpin, saya sudah tidak bisa ngapa-ngapain; Kamu ‘kan berkuasa, saya berserah, jadi kuasa Kamu memimpin saya sampai kemuliaan. Tapi Yesus di sini menyerah kepada Tuhan untuk dihina dan untuk tersendiri. Beda sekali dengan berserahnya kita; kita mau anugerah Tuhan, kita mau dipimpin dengan pimpinan dan kekuatannya Tuhan. Yesus berserah untuk diinjak-injak.
Dari sini kita juga melihat bahwa banyak orang tidak mengerti Kekristenan. Konsep dunia adalah kamu ikut Tuhan dan kamu diberkati; tidak ada kamu ikut Tuhan dan kamu dikutuk, sengsara, dsb., karena itu adalah Tuhan, Tuhan yang ciptakan dunia, Tuhan yang memberi kita semua anugerah, Dia sumber berkat. Kalau kamu ikut Tuhan dan kamu dibuang, dunia tidak mengerti. Dan kalau kita melihat Yesus, Dia juga seperti itu; seluruh pelayanan Yesus tidak dimengerti oleh dunia.
Minggu lalu dalam kotbah Pak Billy tentang Hari raya Pondok Daun, saudara-saudara-Nya pun tidak mengerti siapa itu Yesus, mereka mau Yesus show off di bait Tuhan. Orang Israel juga tidak mengerti mengapa Yesus dipakukan, mereka misunderstanding. Waktu peristiwa transfigurasi Yesus, di situ Dia mulia sekali, lalu setelah turun Dia bilang bahwa Anak Manusia akan ditangkap, dibunuh, disalibkan, dan mati; lalu yang Petrus lakukan adalah menarik Yesus dan –dalam bahasa Inggris dikatakan ‘Peter rebuke Him’—Petrus memarahi Yesus. Mengapa? Karena Petrus tidak mengerti; dia tidak mengerti bahwa jalan salib itu harus Dia sengsara, Dia tersendiri, Dia dibuang. Petrus hanya mau glory, Yesus yang di-transfigurasi, yang bersinar-sinar, yang menjadi raja seluruh dunia; dia tidak mau Yesus yang dipakukan, disalibkan. Semuanya penuh dengan misunderstanding, tidak ada yang mengerti. Waktu peristiwa sebelum Pentakosta, Yesus naik ke surga, di situ murid-murid bertanya: “Kapan Engkau memulihkan kerajaan Israel?”, yang berarti sampai saat itu pun mereka tidak mengerti. Di sini saya mau ingatkan dan menekankan lagi, bahwa kita disalah-mengerti, being misunderstood, it’s OK. Orang salah mengerti kita, tidak mengerti yang kita lakukan, itu tidak masalah karena Yesus pun disalah-mengerti seumur hidup-Nya.
Kalau kita melihat kejadian di kayu salib, Yesus itu disalah-mengerti, dan itulah klimaks seluruh pelayanan-Nya. Yesus disalah-mengerti, tapi apa yang Dia lakukan? Dia diam. Dia tidak membantah, Dia tidak melawan, Dia tidak defensif. Kadang-kadang kita orang Kristen sangat defensif, kita tidak mau di pihak yang kalah, kita maunya di pihak yang menang. Kalau orang mengkritik kita, salah mengerti kita, kita tidak mau jadi kita cepat-cepat mendebat, kita cepat-cepat justify ourselves karena kita tidak mau di pihak yang salah. Kita debat segala hal supaya ujung-ujungnya kita kelihatan menang diskusinya, ‘kita di atas kamu di bawah’. Tapi kalau kita melihat Yesus, Yesus tidak seperti itu. Kadang-kadang kita perlu let God do His own work karena jika tidak, kita jadi terlalu cerewet, bicara terlalu banyak, defensif, berusaha melindungi diri sendiri, mau berada di atas. Itu sebenarnya kita sedang defend Tuhan atau defend diri sendiri? Tanda tanya; kita harus introspeksi. Kita merasa diri kita yang tersinggung, atau Tuhan yang tersinggung? Kalau kita mengatakan mau masuk ke jalan salib, kita harus mengerti bahwa kadang-kadang lebih baik kita diam. Kita tidak tentu harus selalu di pihak yang menang, toh satu hari nanti kita sudah pasti menang, kemenangan kita itu sudah pasti. Itu iman kita, pengharapan kita. Suatu hari nanti kita pasti menang, tidak mungkin kalah, jadi mengapa harus menang sekarang? Yesus juga tidak demikian ketika orang-orang mengkritik Dia, menghina-hina Dia, mengolok-olok Dia.
Waktu orang Farisi mengatakan ‘kalau Kamu hebat, turun saja dari salib; Kamu ‘kan Tuhan’, Yesus bisa saja turun membuktikan ‘Gendeng lu, Gua bisa koq, mau percaya ‘gak?!’ Saya percaya, seandainya Yesus turun pun, orang Farisi tetap akan tangkap Yesus dan menyalibkan Dia lagi. Mereka tidak akan biarkan Yesus hidup sekalipun turun 100 kali, akan disalibkan 100 kali. Yesus tahu itu. Dia tidak usah membantah, tidak usah defensif; orang salah mengerti, Dia diam, He stands on the losing side, He loses to win – Dia kalah untuk menang. Orang Farisi mau Dia turun, Yesus tidak mengatakan apapun, dan akhirnya kalau kita lihat di kitab Markus siapa yang percaya? Yaitu centurion (kepala pasukan), orang Gentile. Orang Gentile melihat Yesus tidak bicara, tidak defensif, membiarkan diri-Nya sendiri disalah-mengerti, dan orang kafir centurion ini mengatakan: “Sungguh, orang ini adalah Anak Allah!” Yesus tidak usah ngomong apa-apa.
Ada saat-saatnya lebih baik kita diam. Saya bukan mengatakan kita harus jadi keset, yang diinjak-injak orang tetap diam, tapi kita perlu ada bijaksana karena ini juga jalan salib. Jalan salib menuntut kita untuk kadang-kadang membiarkan orang salah mengerti, dan pada akhirnya dia dimenangkan, sama seperti centurion yang hanya melihat Yesus yang tidak bicara apa-apa, disalibkan, mati, lalu dia percaya. Dari sini kita melihat, dari kehinaan-Nya kepada kemuliaan, from humiliation to victory, from humiliation to glory. Itu yang ditulis di ayat 9, mereka salah mengerti Yesus.
Kita juga harus tahu, ketersendirian Yesus ini satu hal yang kita sulit mengerti. Kita bisa mencari kalimat yang tepat, tapi tetap susah dijelaskan. Kita tidak bisa membayangkan Yesus, Pribadi Kedua, yang dari kekal sampai kekal bersama-sama dengan Allah Bapa, menikmati kasih bersama-sama, tidak pernah terputus dengan Dia, lalu sekarang tersendiri. Itu satu kepahitan yang sulit diucapkan. Saya sedikit lewat sampai ayat 10, “Ya, Engkau yang mengeluarkan aku dari kandungan; Engkau yang membuat aku aman pada dada ibuku. Kepada-Mu aku diserahkan sejak aku lahir, sejak dalam kandungan ibuku Engkaulah Allahku”, di sini Yesus sebagai manusia pun dari lahir begitu intim dengan Tuhan, dari kecil satu-satunya sandaran hanya Allah Bapa, Dia berjalan bersama Tuhan. Tapi sekarang Dia harus tersendiri. Dan inilah jalan salib.
Jadi saya membuat sedikit konklusi: sengsara di dalam Mazmur 22 bukanlah soal sengsara jasmani, berdarah, miskin, tapi abandonment dan loneliness, dibuang, tersendiri. Yesus dibuang dan tersendiri. Ini kesengsaraan Yesus. Dan Dia tersendiri dan dibuang bukan karena melakukan yang jahat, tapi justru karena Dia melakukan hal yang baik, Dia mau taat kepada Tuhan. Ini ironis dunia. Dan kalau kita melihat dari kacamata Markus, kalau ini adalah jalan salib, maka kita harus menjalankan jalan ini. Kita harus berpartisipasi dalam kesengsaraan ini. Oleh sebab itu kita, orang Kristen, harus belajar to stand on the losing side, biarkan orang tidak mengerti, biarkan orang menghina, jangan terlalu cepat protect diri sendiri, jangan terlalu cepat defend diri sendiri. Biarkan. Orang kafir pun percaya, centurion percaya. Let God prove His Own worth. Sebagaimana Yesus sendiri harus menanggung penghinaan, ketersendirian, kita semua juga dipanggil untuk melakukan hal ini –“kamu akan dibenci seluruh dunia”. Aspek ini kita tidak bisa hapus dari Alkitab. Ada momen-momennya kita harus menempuh jalan ini.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading