Ishak mengira dia sudah akan mati, bahwa waktunya sudah tidak akan lama lagi untuk mencapai yang selama ini ia inginkan, yaitu memberkati anak-nya. Ishak punya 2 anak, Esau yang kemerah-merahan dan yang sangat dia sukai (anak papa), dan juga Yakub. Entah mengapa, Yakub kurang disukainya, mungkin karena badannya kurang merah dan berbulu, atau mungkin karena Yakub tidak bisa membawa hasil buruan untuk dinikmati ayahnya, sementara ayahnya itu suka makan daging buruan. Esau dapat membawa pulang buruan seperti yang ayahnya inginkan. Erich Fromm mengatakan bahwa itulah beda cinta ayah dan cinta ibu. Cinta ibu tidak bersyarat, seperti matahari yang tetap bersinar bagaimanapun penerimaan bumi, selalu ingin memberi tak harap kembali. Permasalahannya, cinta ibu itu ingin memberi juga, meski anaknya tidak ingin mendapatkan. Permasalahan dari cinta ayah adalah cintanya bersyarat; dalam hal ini soal apakah anaknya itu dapat membawa daging buruan pulang atau tidak. Esau dapat membawanya; Yakub tidak suka melakukannya. Sebagai akibatnya, Ishak mencintai Esau, dan tidak menyukai Yakub; sementara Ribka mencintai Yakub, dan barangkali juga menganggap Esau sebagai saingan dari anak-nya. Jadi kedua orangtua ini punya anaknya masing-masing. Tentu saja masing-masing anak itu milik mereka berdua –dan juga bukan milik mereka, melainkan milik Tuhan– tetapi bagi Ishak, anak-nya itu adalah Esau, di dalam hatinya dan juga di mulutnya selalu mengatakan, “anakku Esau”; sementara bagi Ribka sebaliknya, “anakku Yakub”, dan bukan Esau.
Ketika Ishak mengira dirinya akan segera mati, dia ingin rencananya terjadi sehingga dia bisa menutup usia dengan cantik. Dia tidak ingin berbuat sesuatu yang konyol sehingga yang diperjuangkan seumur hidupnya akan gagal. Dia ingin menutup umurnya dengan berhasil, dengan cantik, yaitu dengan mengangkat orang yang dia inginkan untuk meneruskan perjanjian dengan Tuhan, meneruskan cerita hidupnya. Cerita hidup Ishak, Ishak ingin teruskan melalui Esau; sementara Yakub tidak pernah diperhitungkan sama sekali, karena Esau adalah “anak papa”, sedangkan Yakub hanyalah “orang itu” saja.
Tapi masalahnya, Ishak menambahkan satu syarat yang tidak diberikan Abraham ketika dia ingin mengangkat Ishak sebagai penerusnya. Ishak menambahkan syarat agar dia memberkati orang yang akan meneruskan cerita hidupnya ini, yakni Esau. Syaratnya sederhana saja, yaitu hal yang selama ini memang sudah Esau lakukan. Dan Ishak minta dia melakukan untuk terakhir kalinya, “olahlah bagiku makanan yang enak, seperti yang kugemari” –yaitu makanan yang selama ini aku suka, dan yang menjadi alasan aku memilih engkau sebagai anakku. Lalu syarat yang kedua: “bawalah kepadaku, supaya kumakan” –jadi jangan cuma menghasilkan, tapi presentasikan itu dengan baik kepadaku, berikan satu kehormatan ekstra dengan membungkusnya yang baik, untuk diberikan kepada ayahmu yang sudah buta matanya dan sudah hampir mati ini. Di sisi lain, Ribka, istri Ishak, adalah seorang perempuan yang super kompeten dan selalu punya rencana. Tentu Saudara masih ingat, Ribka adalah orang yang berinisiatif, sementara Ishak digambarkan agak pasif. Ribka ini memotong rencana suaminya, ketika secara “kebetulan” mendengar yang dikatakan Ishak kepada Esau. Ribka tidak mau itu terjadi. Ribka tidak mau Esau diberkati sebagai yang sulung. Ribka tidak mau Esau menjadi pimpinan atas Yakub. Ribka tidak mau Ishak melanjutkan hidupnya melalui Esau. Secara eksplisit tidak dikatakan, tapi secara implisit kita tahu bahwa ini ada hubungannya dengan bagian dari Kejadian 25, yaitu Ribka kasih kepada Yakub, dan tidak kepada Esau.
Jadi ada 2 rencana yang saling berbenturan. Ishak punya plot bagi Esau, Ribka punya plot bagi Yakub; dua plot ini berbenturan. Rencana siapa yang menang, nanti kita akan lihat. Tapi di sini baiklah saya memberi komentar mengenai rencana-rencana yang berbenturan ini. Manusia itu punya plot. Ishak dan juga Ribka, sama seperti Adam dan Hawa, seperti Lot, seperti Ham, seperti Sara, mereka punya plot sendiri. Mereka punya rencana dan tujuan-tujuan bagi kehidupan mereka sendiri. Dan tujuan-tujuan itu seringkali menjadi penyebab utama mereka berbenturan. Saya hanya akan mengatakan satu hal saja yang secara langsung berkaitan dengan genealogy mereka, yaitu rencana Sara yang dilangsungkannya melalui Hagar, dan ternyata rencana itu berbenturan dengan rencana Abraham, dan berbenturan dengan rencana Tuhan pada akhirnya. Ishak punya rencana, yaitu agar kegemarannya, kehormatannya, dan cara-caranya bisa langgeng. Ribka juga punya rencana yang ingin dia wujudkan lewat jalan yang berbeda. Rencana manusia dengan rencana manusia seringkali berbenturan, dan menjadi penyebab perpecahan, perang, serta dukacita, kesedihan, kemarahan, yang tidak ada gunanya; namun barangkali juga menjadi penyebab kesenangan dan tawa yang jahat.
Pada adegan selanjutnya, kita akan melihat rencana Ribka dan rencana Ishak berbenturan. Ishak menyuruh Esau berburu dan memasak; ini urusan antara Ishak dan Esau –urusan berdua saja—sementara Ribka dan Yakub hanyalah “orang itu” yang tidak masuk radar mereka. Di lain pihak, rencana Ribka lebih rumit; ini urusan 4 orang. Ini adalah urusan Ribka ingin Yakub mengambil domba-domba dan kambing-kambing di kandang, dari antara ternak mereka. Milik siapakah itu yang akan diambil Yakub atas perintah Ribka? Tentu saja milik bersama –Ishak, Ribka, Esau, Yakub. Selanjutnya, siapa yang memasak? Bukan Yakub, melainkan Ribka akan memasaknya. Jadi, yang dirancang oleh Ribka lebih rumit; tujuannya sama yaitu agar ayah boleh memberkati. Rencana Ribka yang melibatkan 4 orang ini ujungnya sama dengan rencana Ishak yang lebih simpel, yaitu agar Ishak menjadi vending machine, yang setelah dimasukkan koin lalu mengeluarkan sesuatu yang diinginkan orang yang memasukkan koin tersebut. Dalam hal ini, koinnya adalah masakan, dan yang dikeluarkan dari vending machine-nya adalah berkat –‘kamu beri kepada saya, saya beri kepada kamu; lakukan ini agar engkau melakukan itu’.
Dalam peristiwa selanjutnya, kita melihat bahwa yang terjadi adalah sesuatu yang di luar rencana kedua orang ini, bahkan di luar sangkaan keempat orang ini. Awalnya memang terjadi sesuai rencana Ribka; di sini Ishak yang lemah sepertinya kalah, dia berhasil diakali Ribka meskipun tidak begitu gampang. Dan nanti kita akan melihat bahwa keempat-empatnya terkejut, bahwa kedua rencana tadi sama-sama gagal. Bagaimana itu terjadi? Kita akan melihatnya secara lebih urut.
Ketika Ribka mengutarakan rencananya, muncul keraguan dalam hati Yakub. Di sini kita mengetahui, bahwa dalam setiap orang Tuhan memberikan hati nurani. Dan seringkali, ketika kita menjalankan rencana kita sendiri yang berbenturan dengan rencana Tuhan –tentunya tidak selalu rencana kita berbenturan dengan rencana Tuhan– ada suatu keraguan yang muncul dari hati manusia. [Saya perlu ingatkan, bahwa kita tidak selalu mengatakan “ini rencana saya” lalu otomatis bukan rencana Tuhan, karena hal itu sudah pasti tidak akan konsisten dalam jangka waktu panjang. Jika orang melangkah dalam kehendak Tuhan, tentu saja rencana dia isinya adalah rencana Tuhan; maka kita tidak bisa membenturkan, untuk sepanjang waktu, antara rencana Tuhan dan rencana manusia, tetapi kita bisa membenturkan ketika rencana manusia berbenturan dengan rencana Tuhan]. Jadi ketika rencana Ishak berbenturan dengan rencana Tuhan, dan rencana Ribka berbenturan dengan rencana Tuhan, maka ada suatu keraguan muncul dari hati manusia, khususnya orang yang sungguh ingin mencari wajah Tuhan. Dan kita tahu, Yakub yang karakternya digambarkan seperti lebih meragukan daripada Esau –pengecut, kerdil, memakai segala cara, tidak punya harga diri, tidak punya kepribadian yang menetap, memiliki baju yang berlapis-lapis, tidak bisa dipegang ekornya, tidak bisa dipegang kata-katanya, bahkan tidak mengerti dirinya sendiri siapa—tapi Yakub adalah seorang yang menginginkan diberkati dengan berkat Abraham. Bagi orang seperti itu, bagaimanapun fenomena keberadaan dirinya, Tuhan memberikan satu hati nurani. Dalam hal ini kita menyaksikannya melalui cara narator menceritakan.
Pertama-tama, Yakub yang seumur hidupnya adalah sidekick dari Mama Ribka yang canggih, kali ini dia menyanggah rencana Mama Ribka. Dia tidak langsung menurut. Dia mengutarakan keberatannya. Ketika Ribka mengatakan “lakukan ini, ini akan berhasil” dengan begitu meyakinkan, Yakub mengatakan: “tidak, nanti akan ketahuan karena badanku tidak berbulu, Papa memang buta tapi hidungnya masih berfungsi, bau badanku juga beda; Mama punya apa atas keraguan itu, nanti aku malah akan dikutuk”. Yakub mengutarakan resikonya, sementara Ribka mengutarakan target atau satu kesempatan yang bisa diperoleh lewat rencana tersebut. Dan kita melihat di situ, Ribka bukanlah Ribka kalau dia tidak punya jawaban. Dia selalu punya jawaban, selalu ada pilihan –mungkin slogan Ribka adalah ‘untuk segala kesulitan, ada jawabannya, ada solusinya’. Solusi Ribka adalah: “pakailah jubah Esau”. Pada zaman dulu belum ada AC, dan mereka hidup di tempat yang panas, sehingga keringat para gembala itu meresap ke baju mereka. Oleh sebab itu, bajunya Esau itu bau Esau; dan kalau pakai baju Esau, baunya akan sama seperti Esau, dan dipegang juga mirip karena Esau berbulu, sehingga Papa yang buta akan tertipu. Ini rencana yang payah sebetulnya, karena orang buta sekalipun kalau memegang mantel bulu dan memegang tangan yang berbulu pastinya tahulah.
Tapi Mama Ribka bukan cuma punya otak, dia juga punya kemauan yang keras. Kalau orang pakai reasoning sudah tidak bisa meyakinkan lagi, akhirnya keluarkan senjata alternatif, yaitu otot –‘gak bisa ngotak, ya, sudah, ngotot saja, apalagi sudah ngotot ditambah ngeyel– akhirnya menang juga. Yakub akhirnya menurut juga, meski takut juga. Mama Ribka bukan cuma mengatakan “rencanaku ini, ini, ini, dengan cara ini menurut aku akan berhasil”, dan ngotot-ngotot dan ngeyel-ngeyel, tapi dia juga berani bayar harga. Dia mengatakan: “kalau kamu dikutuk, biar kutuknya jatuh pada saya”. Jadi akhirnya Yakub melakukan persis seperti yang mamanya katakan. Dia datang kepada ayahnya dengan resiko dikutuk, tapi resikonya sudah tidak ada karena Ribka sudah bersedia menjamin, Yakub tinggal melakukan saja.
Yakub mengambil pakaian yang indah milik Esau. Ini mengingatkan pembaca akan satu peristiwa, ketika pakaian yang indah dari seorang anak emas papa dipakai oleh yang bukan anak emas papa, akhirnya papa tertipu, dan yang bukan anak emas papa mendapatkan yang diinginkan. Ini cerita yang terjadi bertahun-tahun kemudian dalam keluarga yang sama, yaitu tentang Yusuf dan jubahnya yang maha indah itu, yang diberikan kepada Yusuf menjadi satu sumber iri hati karena Yusuf anak papa. Esau juga anak papa, sebelum Yusuf; dia juga mendapatkan jubah yang indah, dan jubahnya itu dipakai untuk menipu papa, dan papa tertipu. Persis sama dengan cerita yang terjadi di kemudian hari. Hanya saja 2 cerita ini sangat ironis; seperti Yakub atas perintah Mama Ribka menipu Papa Ishak, demikian kemudian atas rencana anak-anak Lea, Papa Yakub tertipu oleh jubah yang sama, jubah yang diberikan kepada anak emas papa.
Jubah yang indah milik Esau, kemudian dipakai oleh Yakub. Yakub datang kepada ayahnya, mesin pembuat berkat itu. Selanjutnya, ujian datang. Tadi saya sudah mengatakan, bahwa bagi orang yang dikasihi Tuhan, Tuhan memberikan satu hal penting yang dia seharusnya selalu dengarkan, yaitu hati nurani. Ketika kita ingin menjalankan jalan kita, rencana kita, untuk mencapai tujuan-tujuan kita yang berseberangan dengan tujuan Tuhan, pakai cara-cara yang kita tahu Tuhan benci, kita tahu berlawanan dengan Firman Tuhan, maka hati nurani kita pasti tidak tinggal diam. Hati nurani kita pasti bersuara, atau jika tidak, barangkali kita memang bukan orang pilihan atau terlalu sering mengeraskan hati. Tapi kalau Saudara adalah orang yang dikasihi Tuhan, hati nurani Saudara pasti bersuara, “saya sedang melakukan yang tidak seharusnya saya lakukan”. Bukan hanya hati nurani, Tuhan juga memberikan providensia, penyediaan yang khusus, pimpinan yang khusus, kepada anak-anak-Nya. Tuhan menyediakan pimpinan yang khusus kepada Yakub, anak-Nya yang satu itu, yang suka menipu, yang sangat ambisius dengan berbagai cara ingin mencapai tujuan-tujuannya. Tuhan memberikan lewat 6 ujian yang dikatakan oleh ayahnya. Jadi, pertama hati nurani Yakub sudah digoncang oleh Tuhan sehingga dia tidak dengan gampangnya melakukan penipuan itu. Dan juga, ketika hal tersebut di-eksekusi, sepertinya sulit, sepertinya resiko sangat besar, sepertinya banyak kejadian yang tidak diperhitungkan sebelumnya.
Dalam ujian yang pertama, ketika Yakub membuka pintu kemah ayahnya, langsung disambut dengan ujian yang menggentarkan hati itu: “siapakah kamu”. Bukannya tercium bau mantelnya, atau bau sop yang enak itu lalu papa mengatakan “hai Esau ya, cepet banget datangnya, asyik gua mau makan, sini jongkok, gua berkati”. Tidak segampang itu; begitu datang langsung ditanya “siapa kamu”. Matilah. Lalu dia harus jawab pakai apa? Dia tidak bisa jawab pakai papan nama, tapi harus jawab pakai suara. Ini tidak diperhitungkan Mama Ribka. Bagaimana mungkin mengubah suaranya, tidak ada voice changer waktu itu. Dan kemudian papa mengenali, “mengapa suaranya suara Yakub”. Ketahuan.
Jadi ujian yang pertama: “Siapakah kamu?” (ayat 18-19). Lalu ujian yang kedua di ayat 20: “Koq cepat sekali?” Dan untuk menjawab 2 hal ini, Yakub mengeluarkan jurus pamungkas, yaitu melanggar 2 hukum Tuhan sekaligus, yang kemudian hari memang baru di-kodifikasi pada zaman Musa namun sudah ter-kodifikasi di dalam hati manusia sejak awal penciptaan. Yaitu hukum ke-3 “Jangan memakai nama Allahmu dengan sembarangan”, dan hukum ke-5 “Hormatilah orangtuamu”. Dia melawan melalui cara memakai nama Tuhan dengan sembarangan: “Tuhan sudah menolong saya sehingga saya bisa lebih cepat”. Padahal dia baru saja ambil kambing dari sebelah, pantas saja cepat. Dia mengatakan, “Ayah, aku sudah ditolong Tuhan sehingga cepat. Ini sopnya, bangunlah, duduklah, dan makanlah”. Kata-kata yang persis sama yang dipakai untuk mendeskripsikan Esau ketika dia ditipu dan hak kesulungannya dibeli hanya dengan semangkuk kacang merah, yaitu dia bangkit, dia duduk, dan dia makan, lalu selesai. Demikian juga yang keluar dari mulut Yakub, “Ayo bangunlah dari tidurmu, duduk, dan makanlah, supaya kamu memberikan aku berkat”.
Selanjutnya Ishak mengatakan, “Tunggu dulu, jangan cepat-cepat; sini, aku mau raba kamu”, lalu dipeganglah tangan Yakub. Ini persis seperti yang sudah direncanakan oleh Mama Ribka (ayat 21-23), dan ketika diraba, memang berbulu. Kemudian apakah Papa Ishak langsung percaya? Tidak. Masih ada ujian yang ke-4, Ishak bertanya sekali lagi, “Benarkah kamu Esau?” Saudara, kalau di awal sudah ditanya “kamu siapa?”, lalu “koq cepat?”, lalu “sini aku raba dulu”, kemudian hasilnya masih tanya, “benar kamu Esau?”, kira-kira Saudara merasa bagaimana? Makin nge-per lalu jawab, “ya udah deh, gua Yakub, gua memang Yakub, sorry deh”, begitukah? Ternyata tidak. Yakub tetap ngotot karena dia tahu mamanya yang bakal menanggung kutuk, jadi dia sudah hitung semua resiko dan benefit-nya –resiko bukan gua yang tanggung, benefit gua yang nikmati, nothing to loose. Yakub mengatakan, “Ya, Papa, saya memang Esau”. Dia menegaskan kebohongannya. Dia memeteraikan pelanggarannya atas hukum ke-3 dan hukum ke-5. Setelah itu papanya makan.
Waktu Ishak makan, itu adalah ujian yang ke-5. Mengapa? Karena sop bikinan Esau barangkali rasanya khas, dan hanya Ishak yang tahu. Tapi rupanya mama Ribka juga jago jadi koki, dia bisa copy paste sop persis seperti yang selama ini suaminya dapatkannya dari Esau. Jadi rasa makanannya begitu meyakinkan, setidaknya tidak membuat Ishak ragu (ayat 25).
Selanjutnya ayat 26-27, Ishak tidak langsung memberkati. Dia menyuruh Yakub dekat-dekat dulu, “Sini dekat-dekat kepadaku, cium aku”. Ini tentu di luar rencana. Yang dipikir tentunya cuma sudah datang, bawa sop, lalu langsung dimakan, seperti waktu berurusan dengan Esau –dikibulin sedikit langsung dijual hak kesulungannya. Tapi orang ini sudah diyakinkan berkali-kali ternyata tidak gampang. Meski Ishak itu pasif, tapi dia tidak bodoh; di saat terakhir dia bilang, “dekat-dekat aku, cium aku”. Jadi pakai pembauan. Dalam susunan sistem indra manusia, salah satu organ yang paling primitif dari indra adalah penciuman; mata sudah kabur, telinga sudah tuli, rasa di mulut sudah mulai berkurang, ingatan sudah mulai kacau, tapi hidung biasanya paling terakhir rusaknya. Jadi Ishak pakai hidung menjadi ujian yang ke-6 (ayat 26-27), dan hidung itu pun tertipu. Buktinya, dia kemudian mengatakan: “Baumu itu bau anakku, Esau, bau padang yang diberkati Tuhan; memang betul ini anakku”. Kemudian dia memberkati.
Sekarang Saudara pikir, apakah Ishak sudah yakin itu adalah Esau? Saya kira, dia belum terlalu yakin. Mengapa? Karena tetap tidak ada jawaban mengapa suaranya suara Yakub, sejak kapan suara Esau seperti suara Yakub, tidak pernah. Apalagi dari indikasi-indikasi, kita bisa membayangkan, barangkali suara Esau itu macho, nada suaranya juga lain. Sedangkan waktu Yakub menyamar jadi Esau, dari suaranya sudah ketahuan; pasti hal ini tidak ada jawabannya sebetulnya. Jadi di dalam separuh sadar, Ishak tidak begitu yakin itu adalah Esau; tapi separuh juga dia mengetahui bahwa Tuhan punya jalannya sendiri, dan Tuhan pernah mengatakan bahwa Dia akan memberkati Yakub. Waktu itu Ribka sedang mengandung, dan dalam perutnya dua bayi itu bertolak-tolakan dalam kandungannya dan menyebabkan Ribka sangat menderita. Lalu Tuhan berkata kepada Ribka: “Anak yang kecil akan menjadi pemimpin dari anak yang besar”. Dalam hal ini, saya tidak begitu yakin Ishak tidak tahu hal itu; barangkali dia tidak mau tahu, tapi dia tahu juga.
Jadi Ishak separuh tahu, separuh tidak, “ini koq seperti Yakub, tapi seperti Esau; ya, sudahlah saya yakinkan diri saya bahwa ini Esau, dan saya berkati”; dan dia memberikan berkat-berkat itu kepada orang yang dia ingin yakin bahwa adalah Esau, namun sebetulnya Yakub. Dan ketika Esau yang sungguhan datang, kita tahu bahwa sebetulnya Ishak tahu siapa yang Esau, siapa yang Yakub. Buktinya, ketika Esau datang, ujiannya tidak 6 kali. Ini mirip seperti kalau Saudara beli barang palsu. Pertama Saudara rasa, “harganya koq murah ya?”, tapi ingin juga dapat harga murah. Lalu waktu datang barangnya, dilihat-lihat, sepertinya memang benar Iphone, dicium-cium baunya memang Iphone, diukur-ukur juga sepertinya persis, lalu lihat kotaknya koq agak lentur sedikit tapi Saudara lalu bangun segala alasan. Orang ditipu juga seperti itu. Di satu sisi dia ingin yakin bahwa dia tidak sedang ditipu –I know it’s too good to be true, but I want it to be true, it’s wonderful to be true. Jadi saya ‘gak ingin itu bukan beneran, karena saya sudah investasi terlalu banyak, nanti saya jadi orang bodoh dong; saya pasti ‘gak ditipu, ini pasti Esau, saya sudah uji 6 kali. Tapi sewaktu barang yang asli datang, Saudara langsung tahu yang tadi itu palsu. Waktu Esau yang sungguhan datang, memang Ishak bilang “tadi itu siapa?” tapi benarkah Ishak sungguh tidak tahu? Pastinya Ishak tahu, karena dari awal tadi dia bilang “mengapa suaranya suara Yakub”. Tapi itu mimpi buruk bagi Ishak kalau sampai ia memberkati Yakub; dan itulah yang terjadi.
Dan ketika itu terjadi, dia coba menyangkali, “Enggak, enggak, itu bukan Yakub, tidak tahulah orang itu siapa, tapi aku sudah memberkati orang itu, aku tidak punya berkat lagi buat kamu”. Ini tidak seperti di zaman sekarang kalau bikin perjanjian, lalu ada penipuan, maka batal perjanjiannya. Zaman dulu tidak begitu. Kalau mereka sudah mengatakan sesuatu, perkataan itu riil merepresentasikan sesuatu; kalau sudah dikatakan, berarti sudah terjadi. Berkat sudah dikatakan, itu tidak bisa ditarik kembali. Sudah ada ikatan janji di hadapan Tuhan, berkat sudah diberikan, ya, sudah tidak ada lagi jadinya. Maka ketika Esau datang dan kemudian menagih, dia tidak mengatakan, “Papa, batalkan yang itu; itu ‘kan ‘gak aci”. Esau tidak mengatakan, “Berikan berkat yang tadi, yang salah kamu berikan itu, kepada aku”, tetapi dia bertanya, “Kamu masih punya yang lain ‘gak?” Dan papa bilang, “Ya, ‘gak ada yang lain yang bagus kayak itu, adanya yang lain yang begini: kediamanmu akan jauh dari tanah yang gemuk, hidupmu akan sulit, kamu akan jadi hamba bagi saudaramu, si orang itu, tapi kalau kamu berusaha sungguh-sungguh, kelak kamu akan melemparkan kuk itu dari pundakmu.”
Kita belajar apa dari sini? Kita belajar bahwa manusia punya rencananya, dan kalau rencananya itu berlawanan dengan rencana Tuhan, seringkali itu adalah sumber dari segala dukacita, kesia-siaan, frustrasi dan kemarahan, serta segala hal yang buruk dalam dunia ini; dan sudah pasti tidak memuliakan Tuhan. Tetapi Tuhan tidak tinggal diam, walaupun kelihatannya Dia diam-diam saja. Dia itu ngomong keras-keras, pertama-tama dari hati nurani kita, khususnya kalau kita adalah orang yang dikasihi Tuhan. Bagi orang yang dikasihi Tuhan, Tuhan memberikan hati nurani, Tuhan bahkan memberikan Roh Kudus dalam hati kita, Dia menyatakan kepada kita dengan jelas, jika kita tidak mengeraskan hati.
Kedua, Dia menyatakan dengan jelas kalau mata kita mau melihat, kalau telinga kita mau kita buka. Tuhan memberikan dengan jelas tanda-tandanya di luar –ada 6 pengujian itu. Tetapi, ketika kita toh mengeraskan hati dan meneruskan jalan itu, Tuhan tidak akan seperti Ishak –atau ayah-ayah lainnya yang seperti Ishak—yang angkat bahu mengatakan, “ya, sudahlah”. Sikap seperti itu jelas tidak dimiliki oleh Tuhan. Itu bukan sikap Tuhan terhadap kekeras-kepalaan kita, terhadap kebodohan kita, kedegilan kita. Dia tidak bilang, ya udahlah, sekarepmu, Mas. Tuhan terus dengan lemah lembut, dengan cara-cara yang misterius, melakukan pekerjaannya. Tapi pekerjaan itu tidak tentu sesuatu yang kegenapannya kita lihat, karena pekerjaan itu untuk membetulkan keluarga yang bengkok seperti keluarga Abraham, Ishak, Yakub.
Salah satu yang ajaib dari Allah kita adalah Dia rela nama-Nya ditempelkan pada yang ecek-ecek, yang norak/ katro/ kampungan, dan jahat pula. Tuhan itu menyebut diri sebagai Allahnya Abraham, Ishak, dan Yakub. Kalau Saudara dengar nama ‘Abraham’, jangan cuma pikir bagusnya –bapak orang beriman, mempersembahkan anaknya—itu sesudah dia diolah oleh Tuhan; tapi sebelumnya, Abraham itu sudah tua masih mengikuti papanya, lalu waktu terancam, dia jual istri. Ishak, pasifnya minta ampun. Yakub, Saudara tahu sendiri. Dan seterusnya. Jadi, ini bukan orang-orang yang rasanya pantas Tuhan tempelkan nama-Nya pada orang-orang tersebut. Seandainya Tuhan itu seperti saya, Tuhan tidak akan sudi menempelkan nama-Nya pada orang-orang seperti itu. Waktu kita di mal atau di tempat umum, lalu kawan kita bertingkah aneh-aneh, kita mulai menjauh, “‘gak kenal, ‘gak kenal, malu gua kelakuannya kayak gitu”. Tapi Tuhan tidak. Tuhan melihat kita sudah begitu memalukan, bodoh, jahat pula, dan ‘gak keren-keren amat juga; dan Dia tempelkan nama-Nya pada kita –“Saya ini papanya si Yadi yang kacau itu”, atau “Saya ini papanya si … (sebut nama Anda)”, “Saya ini papanya Abraham, Ishak, dan Yakub.” Sementara papa-papa dan mama-mama dalam dunia ini selalu pilih anak yang menguntungkan. Jadi bukan cuma anak memanfaatkan papa dan mama sebagai mesin ATM, sebagai pedestal untuk dia bisa naik lebih tinggi di masyarakat, sebagai pelindung, dst., tapi juga papa dan mama memanfaatkan anak sebagai mesin penghasil gengsi, mesin penghasil muka, mesin penghasil apapun yang lain. Dan kita lihat di sini, Papa Ishak memperlakukan Esau, anaknya, sebagai mesin penghasil sesuatu yang dia suka; demikian pula Mama Ribka memakai Yakub untuk menghasilkan sesuatu yang dia suka. Tapi untungnya, Papa Yahweh –Bapa Yahweh yang adalah Allahnya Abraham, Ishak, dan Yakub– itu tidak memperlakukan Abraham, Ishak, dan Yakub, seperti mereka memperlakukan anak-anak mereka, menjadi mesin yang berguna buat mereka. Bahkan ketika Abraham, Ishak, dan Yakub menjadi orang-orang seperti itu, Yahweh mengatakan: “Aku, Allahnya Abraham, Ishak, dan Yakub.” Sesuatu yang mustahil manusia kerjakan, tapi Tuhan kerjakan.
Dan Tuhan yang seperti itu, rencana-Nya tidak bagi manusia dan tidak dapat digagalkan oleh ketololan kita, oleh kekerasan hati kita, oleh kejahatan kita. Rencana-Nya tidak dapat digagalkan oleh itu, bahkan Dia memakai itu. Dia memakai ketololan Abraham, Ishak, dan Yakub, kepengecutan mereka, kejahatan mereka, untuk membuat segala sesuatunya justru lebih indah, lebih mulia, lebih mendalam, lebih mengagumkan, lebih menerbitkan ucapan syukur, lebih redemptive. Dan itu sesuatu yang kita miliki sebagai umat dari Allahnya Abraham, Ishak, dan Yakub.
Hari ini kita menilik dari sepotong kehidupan Ishak. Dua puluh tahun kemudian adalah 20 tahun yang awkward, sebab Ishak menyangka dirinya sudah mau mati, menikmati ending dengan cantik, tapi ternyata ending-nya baru datang 20 tahun lebih; bukan ending yang cantik melainkan crash ending. Dan dapat Saudara bayangkan, bahwa selama 20 tahun tersebut Ishak tidak hidup bersama Yakub tapi bersama Ribka; tiap malam dia lihat Ribka, dan dia tahu bahwa Ribka ini yang menyuruh Yakub melakukan semua itu. Dan dia juga hidup bersama Esau; Esau tidak sendiri tapi dengan 2 istrinya, orang asing itu, yang selalu menyakitkan hati baik Ishak maupun Ribka. Jadi Ishak harus menanggung hal itu, Ribka harus menanggung hal itu, dan Esau juga harus menanggung hal itu. Apa yang harus mereka tanggung? Ishak harus menanggung hidup bersama orang yang mengkhianati. Ribka hidup dengan rasa malu karena sudah mengkhianati suaminya, demi anaknya yang sekarang entah ke mana. Dan Esau harus menanggung hidup yang dia telah bersumpah “tunggu papa mati, hari perkabungan papa tidak lama lagi, kubunuh kamu”. Dan papa ternyata tidak mati-mati, sampai lama-lama dia lupa –atau mungkin bisa mengampuni—karena ketika dia akhirnya bertemu dengan Yakub, dia peluk adiknya itu seperti cerita Yesus bahwa si ayah memeluk anak yang hilang. So beautiful karena precursor-nya bukan Abraham, bukan Ishak, bukan Yakub, tapi Esau yang bukan umat Tuhan itu. Allah kita memang ajaib.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading