Dalam Kebaktian ini kita mulai pembahasan seri “Liturgi”, yang adalah susunan Ibadah dalam tradisi Reformed, termasuk juga di Gereja kita. Hari ini dimulai dengan “Votum”, dan akan diakhiri dengan “Doksologi dan Doa Berkat”. Kita membaca Mazmur 124: 8, “Pertolongan kita adalah dalam nama TUHAN, yang menjadikan langit dan bumi”; dan 1 Yohanes 3: 8b, yang merupakan Votum hari ini, “Untuk inilah Anak Allah menyatakan diri-Nya, yaitu supaya Ia membinasakan perbuatan-perbuatan Iblis itu.”
Seri ini sebenarnya kelanjutan dari pembahasan tentang pentingnya makna liturgi di dalam kehidupan kita, yang sudah dibahas Pendeta Jethro; bahwa ketika beribadah, kita bukan sekedar melakukan menurut checklist, lalu yang ditunggu-tunggu cuma saatnya mendengarkan Firman Tuhan, sementara bagian sebelum khotbah Firman Tuhan ataupun sesudahnya, bagi kita tidak terlalu penting. Kalau seperti itu, kita memiliki pandangan yang sangat rendah terhadap liturgi; dan tidak heran, banyak orang Kristen di dalam kehidupannya menghidupi kehidupan yang double life, bahkan triple, quadruple, quintuple, dst., tidak ada kaitan sama sekali antara Liturgi Ibadah dengan liturgi kehidupan. Kita tidak perlu heran dengan model schizoprenic Christianity, lalu pikir ‘koq bisa ya, di Gereja mengajarkannya ini, tapi kemudian dalam filosofi pelayanan ternyata lain lagi, ternyata bukan Injil yang kita dengar, tapi pakai cara perusahaan, cara dunia, dst.’.
Pendeta Jethro sudah menjelaskan hal ini, yang diinspirasikan dari tulisannya James Smith, seorang yang terkenal dengan “cultural liturgies”, bahwa liturgi itu at war. Intinya, liturgi membentuk kehidupan kita. Memang gambaran seperti ini, biasanya dalam tradisi Reformed ada semacam kecurigaan karena pembentukan yang melalui habitus/kebiasaan seperti ini dianggap terlalu dekat dengan Aristotelianisme; kita bilang, yang membentuk kita bukan kebiasaan melainkan Roh Kudus. Tentu saja benar bahwa yang membentuk kita adalah Roh Kudus, Tuhan sendiri, tapi Tuhan bisa saja menggunakan kebiasaan. Jadi kita jangan meremehkan kebiasaan. Sebagai perbandingan, Tuhanlah yang membawa kita kepada pengertian/pengenalan akan Tuhan, tetapi Tuhan juga pakai rasio kita. Waktu kita menggunakan rasio kita untuk mengenal Tuhan, itu bukan berarti kita jadi penganut rasionalisme dan tidak lagi percaya Roh Kudus. Tidak usah dibenturkan ke situ, karena Roh Kudus juga bisa menggunakan rasio kita; dan sama seperti itu, Roh Kudus juga bisa menggunakan habit/kebiasaan kita. Saudara tidak perlu membenturkannya; orang yang mengatakan “O, karena ini bicara soal habit/kebiasan, baik habit komunal maupun individual, maka berarti Aristotelian, non Kristen”, itu sebenarnya tidak tepat. Intinya, Tuhan juga bisa membentuk kita melalui kebiasaan-kebiasaan yang kita lakukan, sepanjang kebiasaan tersebut adalah kebiasaan yang dipengaruhi oleh Firman Tuhan dan digerakkan oleh Roh Kudus –bukan tanpa Roh Kudus, dan juga bukan tanpa Firman Tuhan.
Dengan demikian, kita melihat bahwa Liturgi sebenarnya jauh dari sekedar urut-urutan kosong. Kalau Saudara melihat liturgi cuma urut-urutan kosong, akhirnya kita tidak akan dibentuk, karena kita berpandangan rendah (low view) terhadap Liturgi, cuma tunggu kotbah, menganggap kotbah itu puncaknya, lalu kehilangan yang lainnya tidak apa asal jangan kehilangan khotbah. Jika seperti itu, tidak heran dalam kehidupan sehari-hari kita lebih dibentuk oleh liturgi-liturgi dunia. Liturgi berada pada situasi peperangan (at war); kalau Liturgi yang dipersaksikan oleh Gereja tidak dihayati dengan benar dalam kehidupan kita, kita melihatnya sebagai sekedar info-info saja, maka yang menguasai kehidupan kita dari Senin sampai Sabtu tidak lain tidak bukan adalah liturgi dunia. Saudara jangan meremehkan, bahwa di dalam dunia ini penuh dengan liturgi-liturgi; dengan demikian pencobaannya adalah waktu kehidupan sehari-hari kita tidak ada liturgi Kristen, maka yang akan menguasai adalah liturgi kerajaan dunia yang ditawarkan setan itu, dan itulah yang justru dihidupi. Lalu ketika tiba hari Minggu, kita kembali lagi memuji Tuhan, mendengar Votum, mendengar Firman Tuhan, ada Pengakuan Dosa, lalu Doksologi dan Doa Berkat. Berikutnya, Senin sampai sabtu, balik lagi liturgi kerajaan-kerajaan dunia yang ditawarkan oleh Iblis itu. Waktu hari Minggu, kita mengikuti Yesus, “jangan ada padamu Allah lain; sembahlah Tuhan Allahmu, kepada Dia sajalah engkau harus berbakti”; selanjutnya, Senin sampai Sabtu balik lagi kepada yang ditawarkan Iblis. Kekristenan apa yang seperti ini??
Teguran-teguran seperti ini, Saudara jangan salah mengerti lalu bilang “O, ini legalisme, neo-legalisme, tidak memberitakan kasih karunia”, dst. Hati-hati, setan itu pintar; waktu orang bicara tentang pengudusan (sanctification), bicara tentang pengikutan akan Kristus, lalu dibilang “ini legalisme, ini kotbahnya kurang Injili”. Saudara jangan disesatkan dengan pernyataan-pernyataan seperti itu. Injil yang murahan, yang cuma bicara kasih karunia tapi tidak membicarakan kekudusan Tuhan, itu bukan Injil yang di dalam Alkitab. Dan setiap kali kita bicara ‘kekudusan’, Saudara jangan bilang “ini neo-legalisme, ini kotbahkan Taurat bukan Injil, ini Gereja Taurat bukan gereja Injili” dsb. Hati-hati, setan itu berusaha menghadirkan konsep anugerah murahan (cheap grace) yang sebetulnya tidak pernah diajarkan Alkitab. Sebaliknya, tentu saja kita juga harus berhati-hati terhadap yang diajarkan oleh legalisme yang betul-betul legalisme, yang mengajarkan bahwa kita bisa berbuat menyenangkan Tuhan, saleh, mengikut Tuhan, tanpa anugerah dan kasih karunia Tuhan; kita tidak percaya itu. Sekali lagi, bahayanya adalah melihat Liturgi sebagai sekedar urut-urutan kosong.
Kalau Liturgi bukanlah urut-urutan kosong, lalu apa? Kita percaya, Liturgi merefleksikan Injil Kristus. Di dalam Liturgi, yang tercermin atau dipancarkan mulai dari Votum sampai Doa Berkat, seharusnya adalah Injil Kristus. Dan ini seharusnya juga menjadi liturgi kehidupan kita sehari-hari. Kita tidak tertarik Kekristenan yang skizofrenia. Dan untuk kesekian kalinya, Saudara tidak usah kaget kalau ada orang yang hidupnya double life. Kita harus takut dan gentar, kita harus introspeksi atas diri kita sendiri. Kita harus tanya pada diri kita sendiri, apakah saya memperlakukan Ibadah seperti itu, apakah saya memperlakukan Liturgi cuma sebagai urut-urutan kosong yang tidak ada hubungannya dengan kehidupan saya, sementara Senin sampai Sabtu saya punya liturgi saya sendiri, saya tidak percaya liturgi Injil, itu cuma cocok waktu hari Minggu saja? Dan ketika kita mengelola Gereja, kita juga menjalankan liturgi kita sendiri, cara kta sendiri, bukan liturgi Injil?? Kalau seperti ini, bagaimana tidak, kita melihat Kekristenan hari ini tidak mempengaruhi.
Rev. Hill pernah mengatakan kira-kira seperti ini: “saya sangat malu menjadi bagian dari Gereja modern yang begitu berbeda dari Gereja mula-mula”. Gereja mula-mula itu tidak terlalu banyak sumber daya, mereka bukan punya modal berlebihan atau didukung Kaisar, dsb.; mereka tidak punya worldly power seperti itu. Tetapi, mengapa Gereja mula-mula itu sangat berbeda dengan Gereja zaman kita sekarang? Ini pertanyaan yang Saudara dan saya harus tanyakan kepada diri kita. Jawabannya pasti bisa multifaset, tapi saya percaya salah satu jawabannya adalah ini: karena Gereja menghina Liturgi, karena orang-orang Kristen menghina Liturgi Gereja dengan menjadikannya sekedar urut-urutan kosong yang tidak ada hubungannya dengan kehidupan sehari hari. Kita mengatakan, ‘di dalam kehidupan saya sehari-hari, Liturgi Gereja ini tidak jalan, kita perlu strategi manusia, jangan naif; naif bolehlah di hari Minggu saja, kita bicara Votum “pertolongan kita adalah dalam nama Tuhan yang menjadikan langit dan bumi” bolehlah di hari Minggu, tapi kita tahu ya, di dalam dunia kita perlu kuasa koneksi, kita perlu orang-orang kaya, kita perlu kuasa militer, kita musti pintar-pintar ambil hati orang lain’. Jadi “pertolongan kita adalah dalam nama Tuhan yang menjadikan langit dan bumi” ini omong kosong di dalam kehidupan kita Senin sampai Sabtu, kita tidak percaya Injil sebetulnya –lalu kita masih heran, kenapa bisa ada orang yang menjalani double life. Apanya yang heran di sini?? Tidak ada yang mengherankan sama sekali. Saudara dan saya juga akan jadi seperti itu juga kalau kita memperlakukan Liturgi cuma sebagai urut-urutan kosong yang tidak ada artinya, yang kita tidak tertarik dalam kehidupan kita; waktu Minggu kita menyerukan Votum, tapi Senin sampai Sabtu menghidupi kehidupan yang sama sekali berbeda, sama sekali tidak ada hubungannya dengan Liturgi yang kita rayakan di hari Minggu. Saudara heran kenapa Gereja modern tidak seperti Gereja mula-mula, padahal tidak ada yang mengherankan di sini.
Kita mengatakan ini semua bukan dengan spirit self-righteous. Kita tidak lebih baik dari orang-orang yang gagal, kita juga gagal, kita juga ada banyak kelemahan, tapi ini satu peringatan keras untuk Saudara dan saya. Mari kita introspeksi, mari kita bertobat. Yang perlu bertobat adalah Gereja, orang-orang Kristen yang menghina Liturgi, yang waktu Kebaktian tidak peduli dengan apa yang terjadi di situ karena dalam kehidupan sehari-hari menghidupi cerita yang sama sekali lain dan tidak ada hubungannya dengan Injil. Lalu, kita masih tanya, ‘kenapa ya, Kekristenan tidak mempengaruhi dunia ini’ ? Tidak usah tanya kalimat seperti itu lagilah. Lebih baik tanya, kenapa saya tidak tertarik dengan cerita Injil, kenapa saya tidak tertarik cerita Kerajaan Allah yang diberitakan Yesus, dan kita lebih percaya bahwa yang lebih jalan di dalam dunia ini adalah kerajaan dunia dan segala kemegahannya, sedangkan Injil tidak bisa dipraktekkan dalam kehidupan. Kalau kita percaya yang seperti ini, sudahlah, tidak ada masa depan untuk Kekristenan, suram sekali, Gereja Injili amat sangat suram.
Kita sudah sering membahas, bahwa Kekristenan bukan sekedar retorika. Boleh saja di dalamnya ada aspek retorika, bahkan khotbah ini tentu juga ada retorikanya, tapi Kekristenan bukan hanya retorika. Kekristenan bicara kuasa transformasi Injil (the transforming power of the Gospel), dan salah satunya adalah melalui Liturgi, melalui Ibadah. Di sini kita bicara tentang penghayatan yang benar akan Ibadah, bukan sekedar melakukan semacam checklist –‘lagu pertama sudah, pembacaan Alkitab sudah, doa syafaat sudah’, lalu lihat jam, ‘masih berapa menit lagi ya, selesainya, aduh lama banget khotbahnya ya, ini sudah mau makan siang harusnya,’ dsb. Kalau kita seperti ini, masa depan Gereja betul-betul suram, amat sangat suram.
Apa artinya “Votum”? Votum ini sebetulnya istilah yang dipakai dalam agama Romawi kuno, dari bahasa Latin “vota”, yang artinya suatu janji (vow) yang diikrarkan oleh manusia kepada yang ilahi. Tetapi yang menarik, Votum kita –yang hari ini Saudara dengar dari 1 Yohanes 3, atau yang seringkali dipakai Gereja-gereja Reformed dari Mazmur 124:8—ini lebih berbicara tentang janji Tuhan kepada kita, bukan janji kita kepada Tuhan (yang seperti ini, agama dari bawah). Kepercayaan kita adalah berdasarkan janji Tuhan, bukan janji Saudara dan saya. Ibadah kita dibangun atas dasar kesetiaan Tuhan yang berjanji dan setia terhadap janji-Nya, bukan kesetiaan Saudara dan saya dengan janji kita yang seringkali omong kosong itu! Kalau Ibadah kita berdasarkan pada janji kita, ya, sudahlah, good luck to your theology, tidak ada masa depannya, karena kita ini orang-orang yang sangat moody, yang tidak stabil, yang berubah-ubah, yang indecisive, yang gonta-ganti terus, yang hari ini cinta Tuhan berkobar-kobar lalu besok luar biasa dingin, lalu berkobar-kobar lagi, lalu dingin lagi, tergantung kalau ada retreat, atau KKR, atau seminar, atau lainnya. Tetapi, Puji Tuhan, Votum tidak mengajarkan itu; Votum kita ini melandaskan Ibadah kita di dalam nama Tuhan, bukan di dalam kesetiaan Saudara dan saya.
Memang betul, Saudara masih boleh pakai istilah “Votum”, tapi ingat, ini bukan agama Romawi kuno, ini adalah kepercayaan kepada Yesus Kristus. Votum ini didasarkan atas janji kesetiaan Tuhan bagi Saudara dan saya, maka kehidupan Saudara dari Senin sampai Sabtu juga bukan bergantung pada janji kesetiaan Saudara, tapi harusnya bergantung kepada janji kesetiaan Tuhan. Akan jadi schizophrenic, kalau hari Minggu kita percaya janji kesetiaan Tuhan lalu Senin sampai Sabtu nervous sekali, ‘bagaimana ya menjadi orang yang setia, saya musti setia, saya musti janji, janji’, dsb. Itu artinya Saudara mengkhianati Liturgi, lalu hidup sepertinya restless sekali, capek sekali, karena merasa ditagih janji. Kita mendadak hari Senin sampai Sabtu jadi orang yang berjanji. Kita tidak dengar janji Tuhan di hari Senin sampai Sabtu, kita mendengar janji manusia, lalu kita jadi kumpulan orang yang berlomba untuk berjanji, berusaha membuktikan diri bahwa janji kita tidak omong kosong, dsb. Kalau seperti ini, di mana Tuhan dalam kehidupan kita sehari-hari? Kita jangan cuma Reformed di hari Minggu, lalu Senin sampai Sabtu mendadak jadi Ultra-armenian, atau bahkan Pelagian. Itu bukan Kekristenan; itu kemunafikan. Itulah yang disebut double life. Kita tidak usah lihat orang lain, kita sendiri menjalankan double life! Ini serius, kecuali kita menghayati Liturgi kita dengan benar, menghayati Votum kita.
Sekali lagi, Votum yang dipakai oleh banyak sekali Gereja Reformed bunyinya: “Pertolongan kita adalah dalam nama Tuhan, yang menjadikan langit dan bumi”. TUHAN YANG MENJADIKAN LANGIT DAN BUMI. Langit dan bumi ini bukan struggle dengan sendirinya lalu jadi Menara Babel dsb., tidak demikian; yang menjadikan langit dan bumi adalah Tuhan.
Saudara perhatikan cerita terjadinya Israel, ini ada kaitan dengan Votum dan Invocatio. Invocatio di sini sebetulnya memanggil nama Tuhan; tapi dalam perspektif Reformed, Tuhan yang memanggil kita. Bukan kita yang memanggil Tuhan terlebih dahulu, tapi Tuhan yang memanggil kita. Pertanyaannya bukan apakah kita memanggil Tuhan, melainkan apakah kita dengar panggilan Tuhan. Ada orang yang suka memanggil Tuhan, sering berdoa, minta tolong kepada Tuhan –Tuhan yang menurut imajinasinya sendiri– tapi dia tidak pernah mau dengar Tuhan bicara apa dalam hidupnya. Apa yang Tuhan bicara dalam kehidupannya, dia tidak pernah mau tahu; yang ada adalah dia sendiri yang terus bicara, suruh Tuhan dengar, sedangkan dia sendiri tidak tertarik mendengar panggilan Tuhan. Perhatikan cerita Abraham, dia dipanggil Tuhan. Terjadinya Israel bukan karena Abraham memanggil nama Tuhan, melainkan dia dipanggil oleh Tuhan. Itu sebabnya waktu kita mendengar kalimat Mazmur 124 ini, “Pertolongan kita adalah dalam nama Tuhan, yang menjadikan langit dan bumi”, Saudara dan saya bisa beribadah karena memang kita dipanggil untuk beribadah, dan yang memanggil kita adalah Tuhan.
Yang memanggil kita beribadah, itu adalah Tuhan. Waktu Tuhan berbicara, jangan keraskan hatimu. Kalau kita yang memanggil, ya, itu tergantung kita; entah saya mau memanggil atau saya tidak mau memanggil itu terserah saya. Atau, okelah saya memanggil, tapi saya memanggil tidak dijawab, ya, sudah, toh saya memanggil. Tetapi kalau kita percaya Tuhan yang memanggil, Saudara musti pikir ulang, apa betul kalau Saudara tidak jawab? Kalau Tuhan yang memanggil, lalu kita tidak jawab, apa ini benar? Kita memperlakukan Tuhan jadi seperti apa, kalau Tuhan memanggil, lalu kita bilang ‘oke Tuhan memanggil, tapi nanti, ya, jangan sekarang, Tuhan, lagi banjir, lagi sibuk’ ? Kalau kita percaya Votum ini, saya percaya kehidupan kita akan berubah. Inilah transforming power of the Gospel. Tuhan kita adalah Tuhan yang berbicara, dan Dia memanggil. Berbahagia kita yang berespons dengan benar, dan bukan mengacuhkan panggilan itu.
Tradisi penggunaan Mazmur 124 dalam Liturgi ini menarik. Mazmur ini biasa dibisikkan oleh Imam waktu persiapan sebelum Misa, pada masa Gereja Medieval, sebelum Calvin; dan yang menarik, Calvin tetap mempertahankannya. Ini satu hal yang kita perlu bahas, karena mungkin ada yang berpikir, bukannya Reformed itu kalau bisa menyingkirkan sama sekali semua yang dari Katolik Roma, tapi mengapa bagian ini justru dipertahankan? Saya percaya, jawabannya adalah karena memang hal ini Alkitabiah; ini adalah praktek yang dari Alkitab. Segala sesuatu yang Alkitabiah, baik itu dari Eastern Orthodox, Roman Chatolic, atau apapun, kita musti taat karena ini dari Alkitab. Kalau tidak, kita membuang air kotor beserta dengan bayinya –bayinya adalah Alkitab itu.
Ada komentar dari Psalter Hymnal Supplement: “Thus, (the Votum) it was not the beginning of the people’s worship; it was part of the priest’s private preparation for the worship. The words were taken over by Calvin to begin the morning worship for all the people. He did not tell us why he used the words; our liturgical rationale is, in a sense, after the fact.” Ada beberapa hal yang kita bisa gali dari kalimat yang cukup kental ini. Pertama, waktu zaman Medieval sebelum orang beribadah Imam membisikkan ayat ini, “Pertolongan kita adalah dalam nama Tuhan, yang menjadikan langit dan bumi”, itu berarti seluruh Ibadah dibangun berdasarkan pertolongan nama Tuhan, bukan diri kita sendiri. Ini satu persiapan yang amat penting. Calvin kemudian mengambil bagian ini, menggunakannya dalam Ibadah Pagi; ketika dia sendiri memimpin Ibadah, dia menggunakan Votum ini. Yang menarik, Votum ini merupakan suatu kebiasaan yang datang dari tradisi, yaitu tradisi yang setia kepada Alkitab tentunya.
Kita teringat pada prinsip yang juga dari Medieval, dalam bahasa Latin, “lex orandi, lex credendi”, artinya: the rule of praying is the rule of believe (aturan berdoa, itu adalah aturan kepercayaan kita). Apa maksudnya? Saudara tentu tahu, kita semua berharap doktrin yang dipercaya oleh Gereja harusnya tercermin dalam Liturgi; kalau doktrinnya Reformed, maka harusnya Liturgi-nya juga Reformed, bukan Pelagian, misalnya. Tetapi yang menarik, arah sebaliknya juga benar; yaitu bahwa praktek liturgi ini harusnya juga membentuk formulasi doktrinal Gereja (doctrinal formulation of the Church). Saudara mungkin bilang, “Lho, terbalik, dong, koq jadi dari bawah ke atas (bottom up) seperti ini, bukannya harusnya dari atas ke bawah (top down)??” Saudara perhatikan, “bottom up” sebagai satu pendekatan, itu tidak masalah, sepanjang yang di bawah—dalam hal ini praktek liturgi (liturgical practice)– tersebut setia pada Alkitab. Kita tidak benar kalau bilang bahwa formulasi doktrinal adalah yang di atas, lalu praktek liturgi adalah yang di bawah; ini pernyataan dari mana? Yang di atas itu Alkitab, Firman Tuhan, Tuhan; sedangkan doktrin itu sendiri juga harusnya diturunkan dari Alkitab. Jadi, kalau ada Liturgi yang dipengaruhi Alkitab dan menjadi satu kebiasaan yang baik, karena Alkitabiah, kemudian formulasi doktrinal Gereja dipengaruhi dari Liturgi ini, itu baik sekali. Maksudnya, justru formula doktrin ini jadi bukan sesuatu yang skolastik, proposisi modern yang mengawang-awang di atas yang tidak ada kaitannya, karena formula doktrin tersebut adalah sesuatu yang sudah selalu dipraktekkan dalam Ibadah. Inilah keindahannya.
Kalau Saudara mengerti Trinitarian stucture bukan cuma di dalam formulasi doktrinal kita, tapi sebagai sesuatu yang dihayati juga dalam Ibadah kita, ada habitual experience yang terus-menerus diulang di dalam kehidupan kita, maka itu artinya masuk ke dalam diri kita. Justru yang seringkali jadi persoalan adalah doktrin yang tidak ada penghayatan liturgisnya, tidak dihayati secara liturgis, tidak ada tempatnya di dalam Ibadah. Justru doktrin-doktrin seperti ini yang terancam jadi doktrin yang cuma mengawang-awang; lalu apa yang terjadi kalau doktrinnya mengawang-awang? Kembali lagi yang sudah kita katakan tadi, yang terjadi adalah kehidupan yang double life, triple life, quadruple life, quintuple life, dst. Karena apa? Ya, karena doktrinya mengawang-awang, tidak tahu bagaimana aplikasinya. Sangat ada bedanya kalau doktrin itu kita hayati di dalam Liturgi.
Kita percaya doktrin anugerah, kita percaya theology of grace, lalu Votum kita: “Pertolongan kita adalah dalam nama Tuhan, yang menjadikan langit dan bumi”. Calvin, di dalam tafsirannya atas Mazmur 124 mengatakan seperti ini: “The contrast between the help of God, and other resources in which the world vainly confides, as we have seen in Psalm 20:7, ‘Some trust in chariots, and some in horses, but we will remember the name of the Lord our God,’ is to be noticed, that the faithful, purged from all false confidence, may betake themselves exclusively to his succor, and depending upon it, may fearlessly despise whatever Satan and the world may plot against them” (Calvin, Comm. Ps. 124:8). Betul-betul padat komentar Calvin tentang hal ini. Pertama, dia mengatakan, ‘coba lihat, waktu kita bicara Mazmur 124, “Pertolongan kita adalah dalam nama Tuhan”, langsung ada polemik di sini, ada kontras antara pertolongan dari Tuhan atau pertolongan dari yang lain; kerajaan-kerajaan dunia dengan segala fasilitasnya menyediakan pertolongan-pertolongan palsu, sekuritas-sekuritas palsu.’
Di dalam saat-saat pandemi seperti ini, juruselamat kita masihkah Yesus Kristus, atau sudah ganti jadi vaksin? Dalam saat-saat seperti ini, masihkah relevan ‘Yesus Kristus adalah Juruselamatku’, atau jangan-jangan kita musti ganti jadi ‘vaksin adalah juruselamat’? Saya pernah baca satu artikel yang sinis sekali, mengatakan, “Di dalam saat-saat seperti ini, agama tidak ada gunanya, tidak perlu agama di dalam saat seperti ini karena agama cuma memberikan alasan rasional kenapa terjadi pandemi ini tapi tidak memberikan solusi; yang memberikan solusi itu obat, yang memberikan solusi adalah riset medis, yang kita perlu sekarang adalah dokter dan suster; pendeta-pendeta itu sampah semuanya, Gereja-gereja itu sampah semuanya, dunia medis-lah yang kita nanti-nantikan, inilah ‘the new savior’ di dalam pandemi.” Saya tanya, di dalam kehidupan kita, masih relevankah kita bilang “Yesus adalah Juruselamat”? Dalam tafsiran Calvin, dia mengingatkan kita dengan Mazmur 20:7, ada orang-orang yang percaya pada kuasa kuda, kuasa militer, tapi orang Israel mengingat nama Tuhan, Allah mereka.
Pertolongan di dalam nama Tuhan, bukanlah satu kalimat vakum yang tidak ada konteksnya; ini adalah satu status pengakuan, kita mengaku bahwa kita tidak percaya dengan kuasa-kuasa yang lain. Kita tidak bergantung pada kuasa militer, kita tidak bergantung pada uang, koneksi-koneksi, popularitas, kharisma, atau juga being celebrity misalnya. Kalau bergantung pada semua itu, artinya kita tidak percaya kepada nama Tuhan; bergantung pada semua yang lain itu, adalah sesuatu yang offensive terhadap kepercayaan kepada nama Tuhan ini. Lalu, alangkah celakanya kalau dalam Kekristenan kalimat ini, “pertolongan kita adalah dalam nama Tuhan, yang menjadikan langit dan bumi”, cuma benar di hari Minggu selama 2 jam saja, kemudian Senin sampai Sabtu, “pertolongan kita adalah di dalam nama uang, pertolongan kita adalah di dalam nama orang kaya, pertolongan kita adalah di dalam koneksi-koneksi dengan orang-orang penting” –kalau nama Tuhan, itu cuma untuk hari Minggu.
Sekali lagi, kalau kita memperlakukan Liturgi sebagai liturgi kosong seperti ini, masa depan Gereja betul-betul amat sangat suram, suram luar biasa, kecuali kita menghayatinya dengan benar di dalam pertolongan dan anugerah Tuhan, bukan dengan spirit self-righteous, karena kita juga akan gagal. Calvin mengingatkan di sini untuk kita perhatikan: kalau kita bicara “pertolongan kita adalah dalam nama Tuhan”, kalau kita mendengar kalimat ini, itu berarti tidak bergantung kepada yang lain. Dan yang menarik, Calvin mengatakan, di dalam dunia, dalam keseharian kita, setan kembali menawarkan terus-menerus kerajaan dunia dengan segala kemegahannya ini, “Ya, kamu percaya dalam nama Tuhan, bolehlah, tapi kamu perlu koneksi, malah di dalam hal-hal tertentu koneksi lebih jalan daripada Tuhanmu yang ‘gak tentu itu, yang abstrak itu” –Injil jadi kosong.
Saudara berjalan di jalan yang lebar atau jalan yang sempit; jalan yang mana? Alkitab bilang, mengikut Kriistus itu jalannya sempit, ditertawakan, dianggap bodoh, naif. Kalau kita bilang, “Lu ‘gak kenal orang-orang kaya, waduh, posisimu di gereja bahaya, lu bisa ketendang keluar. Lu mendingan cari orang-orang yang powerful, baik-baik sama pemimpin gereja, supaya hidupmu agak aman”, lalu waktu hari Minggu bicara lagi “pertolongan kita adalah dalam nama Tuhan”, jadi omong kosong Votum itu, jadi kalimat munafik, kalimat yang kita tidak percaya sebetulnya. Calvin mengatakan, setan itu terus-menerus akan menawarkan kuasa-kuasa yang bukan Kristus, yang bukan Injil. Dia akan terus berusaha membujuk semua anak Tuhan, “Ayo, yang jalan yang ini, kingdom of the world dan segala kemegahannya; lu yang ngomong tentang Injil itu, aduh kasihan, nanti kamu berakhir disalib seperti Kristus”. Saudara mengikut yang mana?
Kita baru selesai kotbah tentang pencobaan ini di hari Minggu lalu; jangan itu jadi sekedar “khotbah Minggu lalu”. Tadi pagi saya khotbah dari Matius 4; dan untuk kesekian kalinya Saudara menemukan motif pembalikan (reversal motif) waktu Yesus berkarya. Menurut catatan Matius, paling tidak dari pasal 4 sampai pasal 16, Yesus berada di Galilea, di utara, bukan di Yudea. Yudea tempat yang lebih potensial karena di situ ada Yerusalem, tapi justru jadi tempat yang dibiarkan dalam kegelapan. Apa maksudnya? Waktu Yesus mengatakan “Enyahlah Iblis!”, waktu Yesus tidak tertarik dengan kerajaan dunia, Dia konsisten, betul-betul menghidupi itu, Dia bukan ke Yerusalem atau Yudea; Yerusalem itu kerajaan dunia dengan kemegahan keagamaannya yang palsu. Yesus lahirnya di Betlehem; menurut Mikha, itu kota yang kecil sekali. Selanjutnya Dia ke Nazaret, kota yang bahkan lebih kecil lagi daripada Betlehem. Dan waktu berkarya, menurut catatan Matius, Dia ke Galilea, daerah yang dainggap kafir itu! Terang itu mulai dari sana, bukan dari Yerusalem. Apa artinya? Ini berarti Yesus betul-betul tidak tertarik dengan kerajaan-kerajaan dunia. Tapi Saudara dan saya? Kita bilang “kerajaan surga” pada hari Minggu, lalu Senin sampai Sabtu “kerajaan dunia”, nanti Minggu balik lagi “kerajaan surga”, Senin sampai Sabtu “kerajaan dunia” lagi; apa-apaan Kekristenan seperti ini?? Tidak ada urusannya sama sekali dengan Injil.
Sekali lagi, Saudara dan saya juga jangan-jangan hidup double life tidak kalah parahnya; lalu kita seperti kepingin marah pada orang yang menghidupi double life. Saudara, apa sih artinya Votum ini dalam kehidupan kita? Apa artinya kita mengatakan, “pertolongan kita adalah dalam nama Tuhan”? Apa artinya narasi “kerajaan surga” ini, bagi kita? Bagi Calvin jelas, itu artinya kita bukan percaya kepada kuasa yang lain, itu artinya seperti lagu yang kita nyanyikan “Lebih baik Yesus –daripada semua yang lain” (“I’d rather have Jesus”). Betulkah Saudara menganggap “lebih baik Yesus” daripada semua yang lain? Kalau di Kebaktian sepertinya iya, tapi di dalam kehidupan sehari-hari, betulkah kita “rather have Jesus”, atau kita “rather have Jesus, plus… ”, Kalau urusan Kristologi, urusan doktrin, memang tidak ada plus-nya, kalau ada plus itu bidat, tapi dalam kehidupan sehari-hari lalu mendadak jadi ada plus-nya; Yesus plus yang lain, karena Yesus saja tidak cukup –“I’d rather have Jesus plus mamon, I’d rather have Jesus plus connection, I’d rather have Jesus plus …”. Kita jadi mengkhianati Liturgi kita sendiri. Mari kita bertobat, kembali kepada apa yang diajarkan oleh Tuhan.
Mazmur 124 ini konteksnya ziarah (mazmur ziarah). Perjalanan ziarah ini penuh bahaya; kita orang modern tidak kenal ziarah –apalagi orang Protestan tidak berziarah. Ada baiknya –seperti yang ditulis seorang Protestan—waktu Saudara pergi ke gereja, Saudara jalan kaki, meski punya mobil. Saudara jadi bisa sedikit menghayati artinya ziarah, dalam aspek jasmani; di situ kita merasakan keterbatasan kita, kebahayaan kita –meski sekarang ini sudah jauh lebih aman. Orang Israel zaman dulu waktu pergi ziarah, betul-betul menghadapi bahaya riil, yaitu seperti dikatakan dalam Mazmur 124, ada orang-orang yang bangkit melawan orang yang sedang ziarah, ada amarah orang-orang fasik yang tidak senang mereka beribadah, ada air yang menghanyutkan. Istilah “air” ini bisa ditafsir lebih luas, ‘the chaotic power in life’, yang membuat kita susah beribadah; kita bilang, hidup kita ini musti rapi dulu baru kita beribadah –ini chaotic power, yang sudah digambarkan dalam Mazmur 124. Ada juga ‘jerat perangkap’ yang memperlakukan manusia seperti burung yang gampang ditangkap, oleh orang-orang jahat. Ini semua gangguan-gangguan yang dicatat dalam Mazmur 124. Maksudnya, orang-orang yang mau beribadah dengan benar, banyak pencobaannya.
Minggu ini sebetulnya Minggu Invocavit, Minggu pertama setelah Rabu Abu, dan seharusnya kita merenungkan tema tentang pencobaan. Tapi kita masih bisa mengaitkan Votum dengan kisah pencobaan; bahwa orang yang mau beribadah kepada Tuhan, banyak mengalami pencobaan. Pencobaan apa? Pencobaan untuk percaya kepada kuasa lain, pencobaan untuk rather have something else more than having Jesus. Hanya pertolongan di dalam nama Tuhan dan belas kasihan serta anugerah-Nya yang membuat Saudara dan saya bisa beribadah. Bukan karena Saudara lebih setia, atau lebih berani; ini bukan bicara keberanian Saudara dan saya, ini bicara tentang kesetiaan Tuhan, tentang anugerah Tuhan. Saudara jangan judgemental terhadap orang lain, “saya selalu datang beribadah fisik, tidak seperti orang lain itu yang tidak datang ke gereja secara fisik”; jangan seperti itu, karena itu artinya tidak percaya Votum. Votum kita adalah “di dalam nama Tuhan”, bukan “di dalam nama kesetiaan saya”. Di sini kita tidak bicara kesetiaan kita, kita bicara nama Tuhan, kalau kita betul-betul percaya Votum ini.
Kita membuka Ibadah di dalam nama Tritunggal, karena memang kita percaya di dalam nama ini, Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Demikian juga kehidupan kita, seharusnya yang didengar adalah nama Tritunggal. Kita jangan cuma dengar nama Tritunggal pada hari Minggu, lalu di dalam kehidupan sehari-hari, Senin sampai Sabtu, namamu yang didengar, nama saya yang didengar, “saya ini selebriti, saya ini hamba Tuhan terkenal”, dan tidak dengar nama Tritunggal. Atau, nama gerejamu yang didengar, nama perusahaanmu yang didengar, nama keluargamu yang didengar, lalu mana nama Tritunggalnya? “O, nama Tritunggal itu cukup pada Votum saja”; tidak sampai semenit nama itu didengar, lalu dalam kehidupan sehari-hari, “O, ini tentang reputasi saya, reputasi gereja saya, reputasi keluarga saya, reputasi keberhasilan studi saya”, dst., dst. Mana nama Tritunggalnya? Lalu hari Minggu kita datang lagi, “pertolongan kita adalah dalam nama Tuhan” lagi. Munafik luar biasa. Double, triple, quadruple, quintuple life, fragmented life yang tidak ada urusannya dengan nama Tritunggal sebetulnya. Sekali lagi, mari kita menghayati apa artinya kita mendengar nama ini, di dalam pertolongan Tuhan, di dalam anugerah Tuhan.
Votum kita di GRII memang berubah setiap minggu; saya mengikuti kalender Gereja. Misalnya hari ini, Minggu Invocavit, bicara tentang pencobaan Yesus. Tadi pembacaan Alkitab kita dari Matius 4, tentang Temptation of Jesus (Testing of Jesus); lalu Votum hari ini dari 1 Yohanes 3: 8b, yang juga berkaitan dengan pencobaan, “Untuk inilah Anak Allah menyatakan diri-Nya, yaitu supaya Ia membinasakan perbuatan-perbuatan Iblis itu.” Apakah perbuatan-perbuatan Iblis? Kalau Saudara mau kaitkan dengan konteks ‘pencobaan’, perbuatan-perbuatan Iblis yaitu menyodorkan kerajaan-kerajaan dunia dan segala kemegahannya, nama-nama yang lain yang bukan nama Tritunggal. Inilah yang terus disodorkan oleh Iblis, supaya kita memikirkan nama-nama yang lain itu, bukan nama Tritunggal. Tetapi Votum hari ini mengatakan, Anak Allah menyatakan diri-Nya, Dia membinasakan perbuatan-perbuatan Iblis itu. Votum ini adalah janji kemenangan. Saudara tidak harus menghidupi proposal Iblis karena Yesus sudah menang. Kita bisa percaya, di dalam nama-Nya. Jika tidak, apa artinya di dalam Doa Bapa Kami, kita berdoa “dikuduskanlah nama-Mu”. Ini ada kaitannya lagi.
Mari kita berpikir secara integral waktu kita mengikuti Kebaktian; tidak hanya dengan pengetahuan rasional belaka, tapi betul-betul menyentuh hatimu dan hatiku, ada transforming power of the Gospel. Kalau tidak, kita hanya dengar kalimat ini berulang-ulang; “O, ok, dia sudah ngomong Votum”, lalu ketika ditanya apa Votum-nya, tidak tahu, “pokoknya tadi sudah Votum, buktinya sekarang sudah khotbah, berarti Votum-nya sudah tadi, lagipula tidak terlalu penting juga, yang penting ‘kan khotbah”. Kalau Ibadah/Kebaktian kita sendiri fragmented, lalu bagaimana dengan kehidupan kita sehari-hari, apa tidak fragmented juga??
Di dalam 1 Yohanes 3 dikatakan, kalau kita percaya Anak Allah menyatakan diri-Nya, Dia membinasakan perbuatan-perbuatan Iblis, itu supaya kita yang percaya, tidak tetap berbuat dosa. Yang lahir dari Allah, tidak berbuat dosa lagi, menurut 1 Yohanes 3. Kalau kita kaitkan dengan kisah pencobaan, mereka yang lahir dari Allah dapat mengalahkan pencobaan. Kalau kita terus-menerus gagal dan jatuh lagi di dalam pencobaan, begitu terus berulang-ulang dan berulang-ulang, kita harus tanya, sebenarnya Votum ini ada artinyakah di dalam kehidupan kita? Apa artinya waktu kita mendengar kalimat “Untuk inilah Anak Allah menyatakan diri-Nya, yaitu supaya Ia membinasakan perbuatan-perbuatan Iblis itu” ? Sebetulnya kalimat ini ada resonans atau tidak dalam kehidupan kita? Kalau ada resonans, berarti kita dapat mengalahkan pencobaan bersama dengan Kristus. Saya bukan mengajarkan perfeksionisme; ini bukan tentang perfeksionisme, tapi satu teguran untuk menghargai Firman Tuhan, janji Tuhan.
Kita, di dalam ketidaksempurnaan menyusun Liturgi. Hari ini saya mengajak Saudara untuk mencoba lebih aware merenungkan Liturgi kita, yang terbatas dan tidak sempurna ini. Minggu ini Minggu Invocavit, merenungkan tentang kisah pencobaan Kristus, dan Kristus sudah menang. Lalu kita sendiri, adalah manusia yang juga akan diuji, akan mengalami pencobaan. Saudara coba kaitkan Votum kita hari ini, “Untuk inilah Anak Allah menyatakan diri-Nya, supaya Ia membinasakan perbuatan-perbuatan Iblis itu”, dengan lagu pertama, “Kami Puji Nama-Mu” (“Holy God, We Praise Thy Name”). Lagu pertama kita hari ini bicara pujian kepada Tuhan; lalu apa koneksinya dengan Minggu yang bicara tentang pencobaan? Kalau Saudara mengingat khotbah Minggu lalu, tawaran Iblis akan kerajaan-kerajaan dunia dan segala kemegahannya, itu satu paket dengan berhala, “sembahlah aku, aku akan berikan semuanya”. Maksudnya, ‘jangan beribadah kepada Allah yang benar, sembah saya, saya akan kasih kamu semua kerajaan dunia’ –ini Iblis yang bicara. Lagu pertama mengingatkan kita, kita beribadah hanya kepada Tuhan saja, Allah kita, kepada-Nyalah kita berbakti. Tawaran kerajaan-kerajaan dunia dengan segala kemuliaannya, itu kontras dengan Ibadah yang sejati.
Lagu kedua, “Kutahu Siapa yang Kupercaya” (I Know Whom I Believe”). Kita tidak kebal terhadap pencobaan, kita bisa jatuh, kita tidak lebih baik daripada orang-orang lain yang jatuh, yang gagal –kita jangan self-righteous—tapi kita percaya Tuhan kita sanggup memelihara iman kita. Dalam Doa Bapa Kami, kita berdoa “jangan membawa kami ke dalam pencobaan”; mengapa berdoa seperti ini? Karena kita tahu, kita ini sangat lemah. Kita jangan menantang pencobaan, kita sangat lemah, dengan kekuatan sendiri kita pasti jatuh, kita pasti gagal. Tapi lagu kedua ini mengatakan, “aku tahu siapa yang kupercaya, Dia sanggup memelihara sampai pada akhirnya.” Ini penghiburan. Kisah pencobaan itu peringatan bagi kita, tapi peringatan bukanlah tanpa penghiburan, bukan tanpa encouragement. Saudara tidak sedang ditakut-takuti, seperti “binasalah engkau pada akhirnya”; bukan demikian. Yang seperti itu bukan Injil; itu tuduhan setan. Saudara lihat, lagu kedua ini penting untuk kita bisa mengerti pencobaan dengan perspektif yang benar.
Lagu ketiga, “Lebih Baik Yesus” (“I’d Rather Have Jesus”). Ini jelas sekali kaitannya, karena ini adalah kemenangan-Nya Kristus; daripada segala kerajaan dunia, kita lebih baik memiliki Yesus. Yesus sendiri juga taat kepada Bapa-Nya, menyelesaikan apa yang dipercayakan Bapa kepada-Nya daripada Dia memperoleh segala kerajaan dunia. Yesus lebih baik menjalankan, memberitakan, menghidupi kisah Kerajaan Surga, daripada seluruh kerajaan-kerajaan dunia. Itu sebabnya lagu ketiga ini mengingatkan kita, mudah-mudahan bukan hanya secara rasional melainkan juga hati kita, dan kemauan kita didorong untuk lebih baik saya mendapatkan Yesus daripada semuanya, karena semua itu tidak abadi, kosong, kepuasan yang tidak mungkin betul-betul bisa memuaskan manusia.
Yang terakhir, lagu keempat, “Hidup bagi Yesus” (“Living for Jesus”). Karena Yesus, Sang Anak Allah telah membinasakan perbuatan-perbuatan Iblis, karena Dia sudah menang mengalahkan pencobaan, maka Saudara dan saya yang percaya di dalam nama-Nya, dan pertolongan ada di dalam nama itu, kita diundang untuk boleh menyerahkan hidup kita bagi Yesus. Semoga alur Liturgi hari ini bukan berhenti di hari ini saja, lalu Senin sampai sabtu menghidupi cerita yang lain lagi, liturgi yang lain, votum-nya ganti, lagunya ganti, pengakuannya ganti –semuanya ganti total—untuk kemudian pada hari Minggu dibersihkan lagi dengan cerita Kristen. Kita tidak tertark dengan model liturgi yang seperti ini. Ini sebetulnya bukan pengertian dari Liturgi. Liturgi, baru adalah Liturgi kalau itu juga adalah liturgi kehidupan kita.
Sekali lagi, dengan kekuatan kita sendiri, pertolongan dari diri kita sendiri, pasti kita tidak mampu. Pertolongan manusia tidak mampu. Kesalehan kita tidak mampu. Tapi berbahagia kalau kita meletakkan pertolongan kita itu di dalam nama Tuhan, yang menjadikan langit dan bumi. Kiranya Tuhan memberkati kita semua.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading