Bagian ini boleh dibilang merupakan bagian yang pertama setelah “Prolog/ Pendahuluan”, sebelum Yohanes mulai membicarakan tentang “siapa Yesus” (ayat 1-18); dimulai tentang Yohanes Pembaptis, kemudian mulai ayat 35 tentang murid-murid Yesus yang pertama.
Ada bagian yang kurang kita sentuh dalam pembahasan Prolog, yaitu tentang kata kunci “lihat”. Kata “lihat” di sini sifatnya programatik, dalam pengertian bahwa dalam seluruh Injil Yohanes, pembaca diajak untuk melihat kehidupan Yesus; sebagaimana orang Israel di zaman Keluaran melihat kemuliaan Allah, maka di sini diajak melihat kemuliaan Allah dalam kehidupan Yesus. Tapi “melihat” tentu saja bukan hanya dalam pengertian fisik, dan tidak mungkin juga karena kita tidak hidup sezaman dengan Yesus Kristus. Bahkan orang-orang zaman Yesus pun yang melihat secara fisik, bukan melihat literally secara fisik saja, tapi juga secara rohani. Sepanjang Injil Yohanes, penulis mengajak pembacanya melihat kehidupan Yesus. Di ayat 38-39, yang akan kita bahas lebih detail nantinya, murid-murid bertanya, “Di mana Engkau tinggal?” Yesus berkata, “Marilah dan kamu akan melihatnya.” Melihat apa? Melihat kehidupan Yesus, bukan soal di mana rumah-Nya, ada berapa kamar,dst.
Di perikop ini kita membaca Yohanes Pembaptis sebagai saksi yang pertama, yang menunjuk kepada Terang itu, dicatat pertama kali setelah bagian Prolog selesai. “Saksi” adalah salah satu istilah yang juga merupakan kunci dalam Injil Yohanes. Yang pakai istilah “saksi” bukan hanya Yohanes, tapi juga Injil-injil yang lain dan Kisah Para Rasul. Kita akrab dengan istilah ini, tapi seringkali berpikir tentang istilah ini secara populer; waktu mengatakan “kita sedang bersaksi”, itu maksudnya memberitakan Injil, menceritakan tentang Yesus, memberitakan jalan keselamatan, dsb. Memang betul, tidak salah, ini pemahaman yang paling sederhana; tapi ada satu dimensi yang seringkali hilang waktu kita membahas kata “saksi” ini. Saksi terjadi di mana? Saksi terjadi di pengadilan. Ini trial motif. Istilah “saksi”/ sitz im Leben/ setting in life sebetulnya adanya di pengadilan. Orang di pengadilan perlu saksi. “Saksi” terutama adalah bahasa yang digunakan di dalam pengadilan. Maka waktu kita membicarakan “saksi”, kita tidak bisa meniadakan dimensi pengadilan (trial) ini. Tapi hal ini seringkali tidak hadir dalam kehidupan kita.
Yesus itu orang benar, kemudian difitnah, dianggap sebagai orang yang dikutuk, yang melawan sistem keagamaan orang Yahudi, lalu berakhir di atas kayu salib. Dia orang benar yang tidak berdosa, yang kemudian dijadikan berdosa, oleh manusia yang berdosa. Ini suatu sistem pengadilan; sistem pengadilan yang rusak dari manusia. Manusia menghakimi Tuhan sendiri. Tuhan yang adalah Hakim, ditarik ke pengadilan, Dia didakwa, menjadi terdakwa/ tertuduh, dan kemudian dijatuhi hukuman mati. Dalam proses itu, ada saksi-saksi palsu yang dihadirkan untuk memfitnah, memberikan kabar yang keliru tentang Dia, sampai akhirnya Yesus Kristus berakhir dalam kematian (tapi Yesus mati bukan karena itu, kita tahu Yesus mati karena kehendak Allah yang tetap bekerja dalam rencana-Nya, yang menghendaki demikian). Lalu apa urusannya dengan Injil Yohanes? Injil Yohanes bersaksi bahwa Yesus itu bukan seperti yang dilihat oleh dunia, Yohanes memberikan counter saksi terhadap kesaksian yang ada dalam dunia, kesaksian palsu itu.
Dalam pengertian ini, Yesus masih ditarik ke pengadilan sampai sekarang, bukan hanya dalam pengertian historical. Sampai sekarang orang masih mempertanyakan “masa Dia Tuhan?”; Yesus ditarik ke ruang pengadilan, dihakimi, dinilai, dsb. padahal manusia yang seharusnya dinilai kehidupannya. Kalau kita kehilangan dimensi ini, kita pikir “saksi itu apa?” Ini adalah urusan pengadilan, tentang Yesus yang diseret ke pengadilan, dan yang muncul kebanyakan adalah saksi-saksi palsu. Lalu waktu kita diam saja, itu sangat bersalah. Kalau kita tahu ada kebenaran tapi kita tidak bersaksi, kita membiarkan saksi-saksi palsu terus bicara tentang Yesus dan kekristenan, lalu kita diam saja, maka kita bukan orang benar. Kita jadi sama seperti saksi-saksi palsu itu juga. Setting ini setting pengadilan. Lagipula, para murid juga diseret ke pengadilan –kita baca dalam Injil dan Kisah Para Rasul– ada saksi-saksi palsu juga, dan akhirnya sebagian besar dari mereka dijatuhi hukuman mati. Lagi-lagi trial motif di situ. Sekarang saya bertanya, dalam kehidupan kita –Saudara dan saya– kita ini in trial, atau in luxury spa, menikmati hidup dsb. ? Kita tidak sadar kalau kita ini sekarang sebetulnya di dalam pengadilan, kalau kita mengaku bahwa kita adalah murid-murid Kristus. Konteksnya bergeser jauh sekali.
Kita memang tidak dipanggil untuk sengaja cari penderitaan, itu bukan teologi Reformed, juga tidak ada pahalanya, mungkin justru semacam kesombongan rohani. Itu bukan panggilan Kristen. Tapi, Yesus mengatakan “dunia akan membenci kamu”. Siapa “kamu” itu? Yaitu murid-murid-Nya. Murid-murid Yesus itu dibenci dunia. Kalau kita terapkan kalimat ini kepada diri kita –kita ‘kan mengaku sebagai murid-murid Yesus– maka pertanyaanya: dunia membenci kita atau tidak? Kalau dunia tidak membenci kita, kita boleh introspeksi: mengapa ya? Yesus tidak mungkin salah ngomong ‘kan ya? Yesus tidak pernah salah, dan Yesus bilang “dunia membenci kamu”. Lalu kalau saya koq enggak begitu ya, maka pertanyaannya, mengapa kita lain dari murid-murid di zaman Yesus Kristus yang betul-betul dibenci oleh dunia? Mengapa dunia tidak membenci kita? Jawabannya sederhana sekali: karena mungkin kita terlalu mengasihi dunia. Kalau kita mengasihi dunia, ya, dunia tidak membenci kita, untuk apa dunia musti membenci orang yang mengasihi dia. Tapi jangan lupa, Surat-surat Yohanes mengatakan “dunia dan segala keinginannya akan binasa”. (“Dunia” dalam Johannine Writings, sebagian digambarkan secara negatif, meski ada juga perkataan “begitu besar Allah mengasihi dunia …”, itu dalam aspek yang lain. Tapi pengertian “dunia” dalam kalimat “kamu bukan dari dunia ini”, menunjuk kepada pengertian secara negatif). Tentu dalam perspektif teologi Reformed, kita bukan menjauhi dunia dalam pengertian mengasingkan diri ke tempat terpencil atau biara dsb.; itu bukan spiritualitas Reformed. Kita ada dalam dunia, tapi hati kita bukan menyertai dunia ini, hati kita terikat kepada Kerajaan Allah/ Kerajaan Surga. Ada sesuatu yang salah dalam kehidupan orang-orang Kristen kalau dunia mengasihi kita.
Ini konsep paradoks. Yohanes khususnya, menghadirkan dimensi ini, dunia yang membenci. Sedang kalau kita membaca tulisan Lukas, dia mengatakan “Yesus itu makin dikasihi Allah, makin dikasihi manusia”; dan dalam Kisah Para Rasul dia menulis bahwa jemaat mula-mula itu bertumbuh, semakin dikasihi Allah dan manusia. Tapi kalau Saudara perhatikan, tetap ada diferensiasi, Yohanes pakai istilah “dunia”, Lukas pakai istilah “manusia”. Yang pasti dua-duanya ada; to certain extent, manusia mengasihi orang percaya dalam pengertian bahwa mereka melihat kebenaran yang dilakukan dengan jujur, tidak cari muka, tidak corrupt, tidak cari keuntungan pribadi, dsb. Tapi –dimensi yang lain– waktu Yohanes mengatakan “dunia membenci kamu”, itu dalam pengertian karena kita menghidupi prinsip yang bukan berasal dari dunia ini. Orang yang hidup dalam kegelapan, membenci terang dan membenci anak-anak terang. Yang membenci Yesus dan juga akhirnya membenci murid-murid-Nya, adalah kelompok orang-orang Yahudi. Orang-orang Farisi makin lama makin membenci, makin memuncak, dan akhirnya berakhir pada penyaliban Yesus. Struktur dalam Injil Yohanes ditulis seperti itu. Yesus literally dibenci oleh mereka; mereka mewakili orang-orang yang hidup di dalam kegelapan. Dalam konteks inilah, istilah “saksi” dipergunakan, “kamu adalah saksi”.
“Inilah kesaksian Yohanes… “ (ayat 19). Mengapa disebut Yohanes bersaksi? Karena Yohanes sendiri, sama seperti murid-murid Kristus yang lain, juga berada dalam trial, yang juga dialami Yesus Kristus dalam konteks yang berbeda. Kita tahu dari Injil yang lain, bahwa Yohanes ditangkap Herodes; Herodes dibujuk anak perempuannya yang dia sudah janjikan akan mengabulkan permintaan apapun, lalu anak perempuan itu minta kepala Yohanes. Herodes sebetulnya masih ada hati nurani yang belum betul-betul bebal, dia suka mendengar kotbah Yohanes Pembaptis karena ia tahu orang ini betul-betul menegur, bukan kotbah dari dirinya sendiri tapi membawa kalimat-kalimat dari Tuhan; tapi di sisi lain Herodes tidak betul-betul rela untuk bertobat. Ini konflik dalam kehidupan manusia, di satu sisi tahu yang dikatakan itu benar, tapi di sisi lain tidak betul-betul rela untuk bertobat, masih mencintai dosa, dsb., akhirnya Tuhan tidak memberi kesempatan lagi kepada dia untuk bertobat. Yohanes berada dalam setting pengadilan karena dia bersaksi memberitakan Kristus. Yohanes sebagai saksi, tampil menyatakan bahwa Kristus bukan seperti yang dikatakan dunia ini. Berapa dalam dimensi ini hadir dalam kehidupan kita?
Dalam Alkitab banyak metafor untuk penggambaran kehidupan manusia. “Pengadilan” bukan satu-satunya gambar tapi salah satu dari gambar-gambar yang seharusnya hadir dalam kehidupan kita. Gambar lain yang akrab untuk kita yaitu gambaran kehidupan Kristen seperti suatu “spiritual war” (peperangan rohani), bahwa kita ini prajurit-prajurit laskar Kristus, bukan berperang secara violence dengan angkat senjata, melainkan dengan Firman Tuhan, kebenaran. Ini kita baca dalam Surat Efesus. Kita juga perlu tanya, gambar seperti ini seberapa hadir dalam kehidupan kita? Tentu saja ada juga gambaran “pesta” di dalam spiritualitas Kristen yang kita terima dari Alkitab, tapi juga bukan satu-satunya. Kita hari ini khususnya merenungkan aspek dimensi “pengadilan”, seperti Yesus yang ditarik ke pengadilan, Yohanes dan murid-murid juga ditarik ke pengadilan, dan di sini Yohanes sedang bersaksi tentang Yesus. Maka dalam ayat 19 orang Yahudi dari Yerusalem mengutus beberapa imam dan orang Lewi untuk menanyakan kepada dia: “Siapakah engkau?”
Saudara perlu mengerti bahwa Injil Yohanes ini ditulis setelah semua peristiwa selesai, Yesus sudah mati, sudah bangkit, sudah naik ke surga, lalu mulailah Injil ditulis. Perspektifnya jelas sekali sudah dari perspektif kematian dan kebangkitan, bahkan juga kenaikan ke surga. Ini bukan ditulis sewaktu kejadian baru berlangsung sementara orang atau penulisnya masih belum mengerti bahwa Yesus akan naik ke atas kayu salib, lalu waktu Yesus naik ke atas kayu salib mereka kaget, kemudian bingung ini tulisan mau diapain, dsb. Bukan seperti itu penulisannya. Poin saya, waktu Yohanes penulis Injil ini menulis perikop tentang Yohanes Pembaptis, lalu beberapa imam dan orang Lewi menanyakan “siapakah engkau”, maka dalam pikirannya ini persis seperti yang dialami Yesus. Yesus juga diadili, “Kamu siapa? Mesias atau bukan?” Yohanes Pembaptis yang mempersiapkan kedatangan Kristus, juga mengalami pengadilan itu terlebih dahulu; dia betul-betul seorang pendahulu. Kalimat yang sama yang akan dialami Yesus Kristus di Mahkamah Agama, tentang identitas-Nya –Mesias atau bukan– di sini terlebih dahulu diajukan kepada Yohanes Pembaptis. Setting pengadilan. Orang-orang Yahudi dan orang-orang dari Yerusalem yang diwakili beberapa imam dan orang Lewi menanyakan kalimat-kalimat, mereka memerankan peran hakim, datang dengan pertanyaan kepada si terdakwa Yohanes Pembaptis, “Siapa engkau?”
“Siapakah engkau?” Ini bukan pertanyaan sekedar keinginan tahu identitas. Kalau Saudara ditanyakan “kamu siapa”, mungkin bisa bangga atau malu. Yang malu kalau dia bukan siapa-siapa, yang bangga akan memperkenalkan diri mengeluarkan kartu namanya. Tapi respon itu akan berbeda kalau ditanyakan kepada orang yang didakwa di pengadilan. Lebih baik orang tidak tahu siapa saya, lebih baik saya kabur, tidak memberikan akses kepada dia untuk mengenal saya, karena ini bahaya; orang ini bukan tanya untuk mau mengenal saya, tapi mau menjatuhkan hukuman! Dicatat dalam Injil, Petrus juga ditanya pertanyaan yang mirip, “kamu ‘kan yang bersama dengan Yesus?” –dalam prinsip yang sama, “siapakah engkau”– waktu dia berada bersama orang-orang di perapian; dan dia menjawab “saya tidak kenal orang ini”. Petrus di dalam setting pengadilan pernah gagal. Dia tidak mau memberikan identitasnya. Tapi Yohanes Pembaptis waktu ditanya “siapakah engkau”, di ayat 20 kita membaca ‘ia mengaku dan tidak berdusta’.
Ia mengaku. Ini confession. Saksi itu confession yang tidak berdusta. Tidak berdusta ini tidak otomatis. Orang berdusta tidak harus secara verbal, bisa dengan strategi tertentu membiarkan orang lain tidak punya akses mengetahui siapa dirinya. Menurut Alkitab itu berdusta juga, karena dia tidak mengaku. Tidak berdusta bukan sekedar “mengatakan kalimat yang tidak bohong”, tapi esensinya adalah mengaku/ confess your theological position, bukan membiarkan samar-samar yang penting supaya hidup harmonis dan saya aman.
Waktu mereka menyudutkan Yohanes dengan pertanyaan ini, dia mengaku dan tidak berdusta. Pertama dia mengatakan: “aku bukan Mesias”. Kalimat ini sepertinya untung dong dia bukan Mesias, kalau begitu dia aman dong karena mereka mengejar Mesias, dan karena Yesus yang adalah Mesias akhirnya dibunuh, kita lalu berpikir kalau begitu Yohanes mirip dong seperti Petrus, menyelamatkan diri sendiri dengan mengatakan ‘Aku bukan Mesias’. Tidak tentu begitu juga. Mereka belum tentu kejar Mesias karena mau membunuh, mereka mungkin mau cari Mesias juga, jadi mengatakan ‘bukan Mesias’ bisa bahaya juga, tergantung lihatnya dari mana. Yohanes mengatakan ‘aku bukan Mesias’ bukan untuk cari aman, tapi karena dia betul-betul bukan Mesias. Dan perkataan itu juga bisa mengecewakan, karena mereka bisa saja memang mencari mesias tapi mesias menurut versi mereka, mesias yang mereka proyeksikan sendiri harus seperti apa, bukan Mesias yang mereka harus kenal, dengan rendah hati, dan kalau perlu ada koreksi.
Mereka sebetulnya ada pengharapan karena Yohanes Pembaptis begitu kharismatis, betul-betul powerful, punya pengajaran yang sangat berkuasa, seperti Mesias. Mereka mem-proyeksikan konsep ‘mesias’ itu pada Yohanes Pembaptis. Tapi Yohanes Pembaptis mengatakan ‘bukan, Mesias bukan seperti yang kamu pikir, kamu pikir saya Mesias, saya bukan Mesias’. Pertama, ini adalah satu kalimat yang jujur, tidak berdusta, dan pada klimaksnya akan kita baca di ayat 29 waktu Yohanes memperkenalkan, “Lihatlah Anak Domba Allah, yang menghapus dosa dunia”. Yohanes mengatakan “aku bukan Mesias”, dia memposisikan dirinya dengan tepat karena dia mau menunjuk kepada Yesus Kristus. Perkataan “aku bukan Mesias” adalah sudah satu pengakuan, pengakuan yang pertama.
Gereja harusnya seperti Yohanes Pembaptis. Gereja musti tahu bahwa Gereja bukan Kristus. Gereja bukan kebenaran. Ini statement pertama yang paling sederhana; diferensiasi antara Gereja dan kebenaran. Kalau statement yang pertama ini saja Gereja gagal, ya sudah, ‘gak usah ngomong yang berikutnya. Tapi ini tidak otomatis; ada Gereja yang memposisikan dirinya setara dengan kebenaran, imun terhadap teguran. Gereja berkotbah firman Tuhan, tapi Gereja sendiri tidak tunduk kepada Firman Tuhan, menempatkan diri di atasnya Firman Tuhan. Itu tidak cocok dengan cerita Injil. Dari perspektif individual kita suka mem-profile orang lain begini begitu, dari perspektif komunal kita mem-profile gereja lain begini begitu, tapi jangan lupa, kita sendiri juga di-profile oleh Tuhan. Dan Tuhan juga mem-profile kita melalui orang-orang lain yang mengkritik kita, bukan cuma melalui saat teduh pribadi. Sebagaimana Tuhan juga boleh menegur orang lain melalui kita, maka orang lain juga boleh menegur kita mewakili Tuhan. “Aku bukan Mesias” ini bukan kalimat sederhana. Gereja perlu belajar mengatakan “kami bukan Mesias”. Itu bukan berarti tidak ada relasi sama sekali dengan Mesias, tapi pengertian pertamanya diferensiasi; Gereja yang tidak setara dengan Kerajaan Allah, Gereja yang tidak setara dengan Tuhan, Gereja yang bukan Kristus, dsb. Ini kalimat-kalimat yang mengikuti pengajaran Yohanes Pembaptis.
Ayat 21: lalu mereka bertanya kepadanya: “Kalau begitu, siapakah engkau? Elia?” Elia itu tinggi sekali karena dalam Perjanjian Lama, di kitab nabi kecil, dikatakan bahwa akan datang orang dengan kuasa Elia. Jadi mereka menantikan pengharapan eskatologis ini. Bahkan ada tafsiran yang mengatakan bahwa Elia ini yang dipercaya akan mengurapi Mesias, maka mereka berpikir, kalau Yohanes bukan Mesias, okelah kita mundur satu langkah, mungkin Elia; karena kalau kamu Elia, berarti kamu yang akan mengurapi Mesias, jadi Mesias sudah dekat. Memang betul Mesias sudah dekat, tapi sayangnya mereka punya konsep sendiri tentang Mesias, bukan Mesias yang asli yang mereka mau kenal tapi Mesias menurut pengertian mereka sendiri. “Siapa engkau? Elia?” Yohanes kembali menjawab, “Bukan!” dalam pengertian saya bukan seperti yang kamu maksud yaitu Elia, lalu setelah itu datang mesias seperti yang kamu mau, maka Elia-nya juga harus sesuai dengan profil yang kamu mengerti, dsb. Dan jawabannya adalah: bukan.
Mereka datang untuk menghakimi, menilai, profiling, padahal sebetulnya mereka yang seharusnya mendengar kotbah Yohanes Pembaptis. Banyak orang datang ke gereja juga dengan sikap seperti ini; datang menilai, datang menghakimi, datang menarik Gereja ke kursi pengadilan lalu dia jadi hakimnya, memberikan penilaian, tentu saja dia tidak ngomong, hanya diam-diam menilai. Sebetulnya bukan mereka yang pada posisi untuk meletakkan Yohanes dalam posisi Elia, dsb., merekalah yang seharusnya mendengar perkenalan dari Yohanes Pembaptis, belajar dari Yohanes Pembaptis. Sampai 3 kali mereka melakukan itu, terakhir mereka katakan: “engkaukah nabi yang akan datang?” Dalam pikiran mereka –baik orang Saduki maupun Farisi– mereka menantikan nabi yang akan datang yang dibicarakan kitab Musa. Yohanes menjawab, “Bukan!” Semuanya bukan. Maksudnya, bukan seperti yang kamu mau mengerti.
Dan akhirnya mereka tanya dengan perkataan ini: "Siapakah engkau? Sebab kami harus memberi jawab kepada mereka yang mengutus kami. “ (ayat 22 a). Keterangan ini kalimat minor, seperti begini: okelah kalau sudah 3 kali salah, maka sekarang munculah kerendahan hati, sekarang kita mau belajar, tolong kasih tahu kita. Tapi tidak seperti itu, karena di situ ada kalimat “sebab kami harus memberi jawab kepada mereka yang mengutus kami”; yang mengutus yaitu mereka yang ada di Yerusalem itu. Mereka bukan datang dengan satu intensi pribadi untuk mengenal Yohanes Pembaptis dan mengenal Kristus, tapi karena bayaran, karena diutus orang lain. Dan yang mengutus juga motivasinya tidak beres, bertanya bukan karena rendah hati mau mengenal Yohanes Pembaptis dan mengenal Kristus, tapi karena ada kecurigaan. Kecurigaan yang makin lama makin dalam, makin dalam, berubah jadi kebencian, kecemburuan, iri hati, dan akhirnya berakhir pada penyaliban Yesus Kristus.
“Apakah katamu tentang dirimu sendiri?" Yohanes menjawab: "Akulah suara orang yang berseru-seru di padang gurun: Luruskanlah jalan Tuhan! seperti yang telah dikatakan nabi Yesaya" (ayat 23). Bagian ini dikutip dalam ketiga Injil yang lain (Injil Sinoptik). Semuanya ada rujukan kepada kitab Yesaya, tentang mempersiapkan jalan Tuhan. Kita bisa ada beberapa perspektif dalam membahas ayat ini. Di dalam kitab Yesaya, ada nubuatan tentang Mesias; Mesias itu datang setelah ada “jalan yang diluruskan ke Yerusalem”. Kalau Saudara pergi ke Israel, jalan ke Yerusalem itu betul-betul tidak lurus tapi berkelok-kelok dan juga naik turun, maka ‘diluruskan’ artinya jalan tol; jalan tol harus lurus dan tidak banyak kelokan supaya bisa secepat mungkin. Dalam kitab Yesaya, yang dimaksud bukan jalan tol dalam pengertian secara harfiah, tapi jalan kebenaran (the way of righteousness). Tanpa jalan kebenaran, Mesias tidak akan datang. Jalan yang berkelok-kelok itu maksudnya unrighteousness, menurut Yesaya.
Saudara baca dalam kitab nabi besar maupun nabi kecil, di situ mereka melakukan kritik sosial. Mikha mengaitkan ibadah yang sejati dengan keadilan sosial. Ini terus terang jarang dibahas dalam gereja-gereja Injili karena gereja Injili secara one sided menekankan urusan vertikal, urusan dengan jiwa manusia, sedangkan kepedulian sosial selalu dianggap gerakan kiri. Di Alkitab kita tidak mengenal partai kanan yang kapitalis tidak ada kepedulian kepada yang miskin, kemudian partai kiri yang sosialis, semacam itu. Kita orang-orang konservatif tidak perlu care pada orang-orang miskin, itu urusannya orang-orang liberal, itu tidak ada dalam Alkitab; di dalam Mikha justru dikatakan bahwa beribadah kepada Tuhan tidak ada artinya kalau mereka tidak melakukan keadilan sosial. Saya bukan mengatakan bahwa Alkitab adalah sintesa antara ‘kanan’ dan ‘kiri’. Tuhan yang kita percaya bukanlah sintesa antara ‘allah panteisme’ dan ‘allah deisme’, yang satu absolutely imanen dan yang satunya absolutely transenden lalu digandeng jadi satu. Tapi yang kita baca dalam Alkitab, ibadah kepada Tuhan tidak ada artinya waktu seorang pengusaha menahan gaji buruhnya, waktu timbangannya beda; menurut kitab nabi besar dan nabi kecil itu bukan the way of righteousness tapi the way of unrighteousness, makanya kamu tidak pernah bisa menerima Mesias karena kamu sebenarnya tidak pernah bertobat dalam kehidupanmu. Pertobatan mendahului forgiveness of sins, bukan pengampunan dosa yang mendahului pertobatan.
Di sini sama, Yesus tidak datang sebelum Yohanes Pembaptis mendahului Dia. Berita Injil –Yesus Kristus datang membawa berita Injil– tidak datang tanpa Yohanes Pembaptis memberitakan berita pertobatan yang adalah jalan mempersiapkan. Ini bukan sekedar ‘mempersiapkan’ atau pokoknya ‘sebelum’ atau sekedar ‘jalan lurus’, tapi bahwa jalan lurus yang dikatakan Yesaya adalah pertobatan dari orang yang hidup unrighteous menjadi righteous. Tanpa ini, tidak ada Yesus. Tanpa pertobatan dari unrighteous menjadi righteous, tidak ada Yesus Kristus. Yohanes Pembaptis mendahului Yesus Kristus, bukan Yesus Kristus datang dulu baru oh, karena kuasa Injil orang punya kekuatan untuk bertobat, lalu setelah Yesus, muncullah Yohanes Pembaptis yang teriak-teriak berita pertobatan. Tidak ada yang seperti itu di dalam Alkitab. Yang ada adalah berita pertobatan dari Yohanes Pembaptis, kemudian Mesias datang. Jalan lurus yang dimaksudkan Yesaya digenapi dalam Yohanes Pembaptis karena dia menyerukan berita pertobatan.
Dalam hal ini, Saudara jangan campur aduk dengan konsep Reformed “kita mana bisa bertobat kalau tidak ada anugerah Tuhan yang mendahului”, karena nanti konsep itu dipakai menjadi excuse. Tentu saja bisa bertobat itu tetap anugerah Tuhan, tapi ini tidak bicara tentang orang bertobat itu tidak perlu anugerah Tuhan, melainkan bicara pertobatan yang mendahului pengampunan dosa. Anugerah Tuhan yang mendahului, tidak selalu identik dengan forgivenss of sins. Forgiveness of sins tentu saja juga adalah anugerah Tuhan tapi orang bisa bertobat juga adalah anugerah Tuhan, dan tidak ada benturan sama sekali dengan doktrin Reformed “anugerah Tuhan yang mendahului segala sesuatu”. Poinnya adalah “bukan tanpa pertobatan”; itu saja.
Yohanes Pembaptis meneriakkan berita pertobatan: “Luruskanlah jalan Tuhan!” , the way of righteousness. Di dalam bagian ini memang penekanannya bukan sampai isi pertobatannya, Saudara bisa baca di Injil lainnya mengenai hal ini. Di sini Yohanes menekankan pada kalimat “Akulah suara orang yang berseru-seru di padang gurun: Luruskanlah jalan Tuhan!” Kalau Saudara kaitkan dengan motif “trial and witness” tadi, Saudara akan mendapati bahwa ini bukan baru. Ini ada dalam Kitab Yesaya terutama pada bagian kedua, ada ayat yang mengatakan: “Kamu adalah saksi-Ku” (oleh karena itu ada aliran sekte di luar kekristenan yang pakai istilah “Jehovah Witness” –Saksi Yehova– yang menempatkan diri berdasarkan ayat tersebut). Istilah “saksi” bukan baru digunakan dalam Perjanjian Baru, tapi sudah ada dalam tulisan Nabi Yesaya. Israel adalah saksi. Saksi dalam pengertian apa? Sama juga seperti dalam Perjanjian Baru, dalam Perjanjian Lama, Yahweh disudutkan. Waktu Israel di pembuangan, bukan hanya kemuliaan Israel melainkan juga kemuliaan Yahweh yang dipertaruhkan. Kita tahu bahwa waktu itu setiap bangsa punya allahnya masing-masing; dalam pemikiran mereka, waktu bangsa-bangsa berperang, bukan cuma peperangan antar bangsa tapi adu kuat dewanya, dewa siapa yang lebih kuat. Waktu Israel berhadapan dengan Mesir, Harun melempar tongkat jadi ular, kemudian ahli-ahli Mesir juga bisa berbuat itu, tapi ular Harun menelan ular mereka, dst. Kita juga membaca, Elia menantang Dewa Baal yang adalah dewa hujan dan dewa kilat, maka tantangannya “datangkan hujan!” untuk menunjukkan supremasi Yahweh. Tapi waktu nabi-nabi Baal itu teriak-teriak, tetap tidak ada hujan, karena ini dewa palsu. Itu bukan cuma peperangan antara Elia dengan nabi-nabi Baal, atau Elia dengan Izebel, tapi peperangan antara Yahweh dengan Dewa Baal yang palsu itu. Sekarang Saudara bayangkan, waktu Israel di kemudian hari kalah lalu berada dalam pembuangan, itu berarti yang kalah bukan cuma Israel tapi kemuliaan Yahweh ternodai. Yahweh terseret ke dalam kehinaan Israel. Yahweh yang membiarkan diri-Nya terseret dalam hal ini. Dan dalam keadaan pembuangan itu, bangsa-bangsa lain juga mencemooh Israel yang kalah perang, “Itu Israel kalah perang, menyatakan kita punya allah/ dewa yang kita sembah lebih berkuasa daripada Allahmu. Kamu yang terbuang, kita yang menjajah, kita bangsa besar Babilonia, kamu cuma bangsa kecil, tuhan kita lebih besar daripada Tuhan kamu”. Lagi-lagi Yahweh ditarik ke ruang pengadilan, itu the trial of Yahweh, bukan cuma Israel. Maka Yesaya mengatakan “kamu adalah saksi”.
Relevansi dengan kehidupan kita sekarang, kalau hidup kita tidak mempermuliakan Tuhan, artinya kita juga mempermalukan Tuhan. Mempermalukan Tuhan berarti kita seperti bangsa Israel waktu di pembuangan, dan orang mulai mengecam, “Itulah Tuhan-nya orang Kristen, utang saja ‘gak bisa bayar tepat waktu, atau malah ‘gak pernah bayar”. Orang mulai menghina Tuhan yang kita percaya karena orang Kristen begini begitu. Saya tidak mengatakan bahwa semua tuduhan mereka pasti benar, ada juga tuduhan yang keluar dari sikap kekanak-kanakan, atau keegoisan. Tapi ada tuduhan yang betul-betul sah, tuduhan yang memang menyudutkan, dan yang disudutkan bukan cuma orang Kristen tapi Tuhan juga, persis seperti yang dicatat dalam kitab Yesaya. Maka istilah “saksi” dimunculkan kembali oleh Yohanes penulis Injil ini. Dan Yohanes Pembaptis mengambil dari tradisi Yesaya yang menyebut Israel sebagai “saksi Yahweh/ saksi Tuhan”, dia sekali lagi mengukuhkannya, seperti Israel, dia menjalani panggilan sebagai saksi Tuhan.
Di ayat 24 dikatakan bahwa di antara yang diutus itu ada beberapa orang Farisi; ini merupakan antisipasi yang akan terjadi juga pada Yesus Kristus sebagaimana kita sudah bicarakan di awal tadi. Ayat 25: Mereka bertanya kepadanya, katanya: "Mengapakah engkau membaptis, jikalau engkau bukan Mesias, bukan Elia, dan bukan nabi yang akan datang?" Pertanyaan yang cukup sah, jadi lu bukan Mesias, bukan Elia, dan juga bukan nabi yang akan datang, jadi mengapa lu membaptis? Ini pertanyaan provokatif. Kalau Saudara ditanya kalimat seperti ini, kira-kira akan jawab seperti apa? Jawaban yang agak nyambung adalah: “O, saya tetap membaptis karena saya begini, begini, begini,… .” Kita mungkin juga ada pengalaman seperti ini, kita ditanya orang dan kita jawab dengan rendah hati; tapi setelah itu kita betul-betul direndahkan, lalu akhirnya kita mulai sedikit meninggikan supaya orang tidak kurang ajar. Saya pernah ada pengalaman menghibur sesama student waktu dia cerita tentang ujiannya. Saya mengatakan: “Ujian memang susah, saya juga dapat nilainya rendah.” Setelah saya bilang begitu, dia malah jawab: “O, saya dapatnya ‘gak segitu sih, saya dapat lebih tinggi.” Waduh, sakit banget, saya pikir dengan bilang dapat rendah, dia terhibur, tapi ternyata dia pakai kesempatan itu untuk agak menghina. Saya kepinging ngomong kalimat: “saya ‘gak rendah gini terus ya, kemarin juga tinggi sebetulnya”. Inilah kita manusia. Apa Yohanes Pembaptis tidak punya kecenderungan seperti itu? Saya pikir, sebagai manusia, semua orang punya. Dia mungkin bisa keluar kalimat: “Sebentar ya, saya mungkin bukan nabi yang dimaksud di Kitab Ulangan, memang bukan. Tapi di antara semua nabi yang pernah dilahirkan perempuan, saya yang terbesar, tau ‘gak?! Karena itu saya membaptis!” Ini kalimat tidak bohong; betul bahwa Yohanes Pembaptis itu paling besar di antara semua nabi yang pernah ada dalam Perjanjian Lama, dan karena itu dia berhak membaptis. Tapi dia tidak peduli. It’s not about John The Baptist, it’s about Christ. Ini bukan tetang kita, tapi tentang Yesus Kristus. Maka jawaban Yohanes Pembaptis seperti ‘gak nyambung. Dia mengatakan: "Aku membaptis dengan air; tetapi di tengah-tengah kamu berdiri Dia yang tidak kamu kenal”, consistently pointing to Christ, tidak diganggu sama sekali oleh provokasi-provokasi.
Ilustrasi yang lain, dalam satu kesempatan saya bicara tentang Injil kepada satu orang yang tidak kenal. Dia tanya, “Kamu Kristen apa?” saya bilang, “Kristen Protestan”. Lalu dia katakan, “Yang suka protes-protes itu ya”. Waduh, panas dengar kalimat begitu, orang ini ngawur sejarahnya. Saya ter-provokasi untuk menjelaskan Protestan itu asal katanya apa, sejarahnya bagimana, dst. Tapi kalau saya cerita itu, saya geser fokus, tidak cerita Kristus lagi malah akhirnya cerita sejarah Reformasi, cerita Protestan, cerita the supremacy of Protestantism. Lalu akhirnya memuliakan siapa kalau kayak begitu? Mungkin jadi glorifying Luther, atau Calvin, atau GRII, dan akhirnya tidak glorifying Christ.
Dalam kehidupan, distraksi seperti ini banyak sekali. Dan terutama waktu kalimat pertanyaannya memang provokatif seperti yang diterima oleh Yohanes Pembaptis. Kalimat ini menghina; semacam kalimat “on what authority kamu membaptis?”, dan mereka yang bertanya lebih punya otoritas yaitu otoritas dari Yerusalem, sedangkan “lu siapa?” Tapi Yohanes tidak menjelaskan, dia cuma katakan, “Aku membaptis dengan air; “ seolah dia mau mengatakan, kita tidak mempersoalkan mengapa saya membaptis atau tidak membaptis; ini bukan tentang saya, “tetapi di tengah-tengah kamu berdiri Dia yang tidak kamu kenal, yaitu Dia, yang datang kemudian dari padaku. Membuka tali kasut-Nyapun aku tidak layak." Yohanes langsung memposisikan dirinya di hadapan Kristus.
Waktu di-provokasi, kita cenderung memposisikan diri di hadapan orang itu. Waktu dihina, dalam pikiran kita “saya dihina, yang menghina siapa”, akhirnya kita berespon terhadap manusia. Yohanes Pembaptis tidak berespon terhadap manusia, dia berespon terhadap Kristus. Waktu direndahkan, dia langsung lihat Kristus, saya dan Kristus, Kristus di situ (atas), saya di sini (bawah). Kehidupan kita luar biasa distracted kalau kita terus menerus berespon akan penghinaan orang lain. Kasihan sekali kehidupan yang seperti itu, tidak selesai-selesai. Itu kehidupan yang terus menerus membereskan penghinaan orang lain satu per satu; sampai kapan? Untuk apa hidup seperti itu? Yohanes Pembaptis tidak menjalankan panggilan seperti itu. Entah mereka menganggap dia punya otoritas atau kuasa atau apa, Yohanes tidak tertarik sama sekali karena dia tahu panggilannya dari siapa. Bukan Yerusalem yang memberikan dia panggilan. Otoritasnya dari atas, dia merelasikan dirinya dengan Kristus; bukan di hadapan sidang Yerusalem atau otoritas-otoritas yang ada di Yerusalem. Dia tidak peduli dengan penghakiman manusia, trial yang dibuat manusia. Lu mau bilang apa, lu mau tanya apa, terserah, tapi saya akan katakan padamu apa yang kamu harus dengar. Yaitu Yohanes menunjuk kepada Kristus, “Memang aku membaptis, tapi lihatlah Kristus yang membuka tali kasut-Nya pun aku tidak layak”. Langsung ada sub-ordinasi di sini; posisi seorang budak, bahkan lebih rendah lagi, jadi budak Orang itu pun tidak layak. Ini betul-betul teruji.
Kalau kita belajar dari Yohanes Pembaptis, kerendahan hati yang sesungguhnya itu apa? Kerendahan hati Gereja yang sesungguhnya, itu apa? Bukan sibuk justifying ourselves, bahwa kita tidak kalah dari gereja lain, dsb. Bukan itu. Itu berespon terhadap manusia. Kerendahan hati yang sejati dari Gereja, adalah bagaimana memposisikan diri di hadapan Kristus: “membuka tali kasut-Nya pun aku tidak layak”. Entah saya lebih tinggi dari kamu atau lebih rendah, itu tidak ada isu sama sekali, karena kita tidak dipanggil untuk itu. Kita dipanggil untuk terus menerus memposisikan diri di hadapan Kristus, seperti Yohanes Pembaptis berdiri di hadapan Kristus. Kiranya Tuhan memberkati kita semua.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading