Di dalam keadaan Natal yang dipenuhi dengan berbagai macam suasana, kita ingin memikirkan kembali ini sebetulnya artinya apa, termasuk juga tema kita “Imanuel”, karena waktu bicara tentang Imanuel, kita juga bisa memikirkannya di dalam perspektif mencari suasana. Saya ingin bersama dengan Saudara merenungkan Imanuel bukan dengan perspektif suasana saja –meskipun kata ‘Imanuel’ pasti ada spektrum ‘suasana’ (suasana Imanuel)– tapi terutama adalah yang dikatakan Alkitab tentang Imanuel. Kita akan membaca bukan dari Matius melainkan Yesaya, karena perkataan ini aslinya dari Yesaya pasal 7; “Sesungguhnya, seorang perempuan muda mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki, dan ia akan menamakan Dia Imanuel” (ayat 14b). Waktu kita membaca ayat-ayat dalam Yesaya 7:1-17 ini, saya tidak tahu Saudara mendapatkan apa dalam pembacaan itu. Mungkin sedikit lebih gampang waktu kita membaca Matius, yang di situ mengutip Yesaya tentang Imanuel, yang adalah God with us (Allah beserta kita).
Salah satu kebutuhan dalam kehidupan manusia adalah penyertaan (accompaniment), ada orang yang bersama kita. Terlepas dari kita penakut atau bukan penakut, kita butuh orang yang nemenin. Kadang-kadang kita bisa mengerjakan sesuatu sendiri, tapi kita mengharapkan ada orang yang ada di samping kita supaya lebih ada persekutuan, meskipun dia tidak terlalu banyak membantu tapi paling tidak ada barengannya. Lalu, waktu kita mendengar “Imanuel, Allah beserta kita”, tendensinya adalah kita mengerti kalimat itu sesuai dengan kebutuhan yang saya bayangkan tadi, saya mencoba membuat hal itu sesuai dengan kebutuhan saya yang ingin ditemani tadi. Lumayan juga, ‘kan; paling tidak saya minta ditemani Tuhan, bukan ditemani penjahat atau setan, minta penyertaan Tuhan bukan minta penyertaan setan. Tapi apakah itu arti Imanuel di dalam Alkitab?
Kalau Saudara membaca di dalam konteks Yesaya ini, Imanuel di sini bicara dalam konteks kerajaan (kingdom); ada keadaan luar biasa genting yang dilihat Ahas karena ada 2 kerajaan, Israel dan Aram, yang bersatu mau menyerang Yerusalem. Ini konteksnya. Di dalam ketakutan seperti itu, Ahas bukannya percaya tapi tidak persaya; sampai ada kalimat di ayat 9b ini –yang juga menginspirasi Agustinus– “Jikalau kamu tidak percaya, sungguh, kamu tidak teguh jaya”. Tapi Ahas tidak percaya, kemudian Tuhan mengutus Yesaya menyampaikan berita Imanuel.
Waktu Saudara membaca bagian ini, ada pembicaraan yang sepertinya tidak nyambung antara Yesaya dan Ahas. Bukan karena tidak mengerti, bukan juga karena masing-masing “autis”, tapi ini menunjukkan Ahas betul-betul orang yang tidak sesuai dengan firman Tuhan, namun bagaimanapun juga itu tidak bisa menggagalkan rencana Tuhan di dalam kehidupannya dan bagi Yehuda. Di sini saya mengacu pada ayat 10 waktu Yesaya kemudian mengatakan “Mintalah suatu pertanda dari TUHAN, biarlah itu sesuatu dari dunia orang mati yang paling bawah atau sesuatu dari tempat tertinggi di atas” (ayat 11), yaitu bahwa Ahas susah percaya, terus di dalam ketakutan akan dua raja yang mau mengepung. Sebelumnya, Yesaya sudah mengatakan bahwa hal itu tidak akan sampai terjadi, tapi masih tidak cukup, Ahas masih susah percaya, maka disuruh minta tanda. Tapi dijawab oleh Ahas: “Aku tidak mau meminta, aku tidak mau mencobai Tuhan” (ayat 12). Kalau Saudara membaca ini, sepertinya Ahas ini rohaninya baik, ‘inilah orang Reformed, tidak perlu tanda-tanda, musti bergumul cari kehendak Tuhan’. Tapi tidak begitu (juga jangan ditafsir sebaliknya bahwa yang Alkitabiah adalah yang meminta tanda), Tuhan minta supaya Yesaya menyampaikan kepada Ahas untuk minta tanda tapi Ahas tidak berani minta tanda, ini bukan ekspresi kerendahan hati. Ahas tidak jujur; waktu mengatakan kalimat tadi, sebetulnya itu dikatakan dari ketidak-percayaannya. Sampai kemudian kalimat berikutnya Yesaya mengatakan: “Baiklah dengarkan, hai keluarga Daud! Belum cukupkah kamu melelahkan orang, sehingga kamu melelahkan Allahku juga?” (ayat 13). Tidak enak mendengar kalimat seperti ini — kalimat penghakiman– di suasana Natal. Mungkin Saudara pikir, ‘ya inilah Reformed, sementara semuanya senang-senang, dia keluarkan kalimat penghakiman, denominasi ekstrim’; tapi ini Yesaya yang bicara, saya cuma mengutip.
Waktu kita bicara tentang Imanuel, spektrum suasananya adalah penghakiman yang diberikan kepada orang-orang yang tidak percaya. Kalimat tadi dikatakan persis sebelum kalimat Imanuel; “Sebab itu Tuhan sendirilah yang akan memberikan kepadamu suatu pertanda: Sesungguhnya, seorang perempuan muda mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki, dan ia akan menamakan Dia Imanuel” (ayat 14). Saudara lihat, seperti ada yang tidak nyambung di sini. Kalau saya ini Yesaya, mungkin saya mengatakan ‘karena kamu tidak berani minta tanda, karena ketidak-percayaanmu, maka tidak akan ada tanda apapun bagimu, dan ketahuilah bahwa dua kerajaan itu akan menyerang karena kamu tidak percaya!’ Selesai. Kalau seperti itu, flow-nya terasa mulus dalam cerita ini. Tapi, di dalam ketidak-percayaan Ahas, yang enggan meminta tanda, yang pura-pura tidak mau mencobai Tuhan, yang sepertinya kerendahan hati namun kenyataannya tidak, Tuhan jalan terus. Imanuel.
Imanuel itu diberikan kepada orang yang sama sekali tidak layak untuk menerima berita tersebut; Ahas ini sama sekali tidak layak. Padahal waktu Tuhan memberikan berita penyertaan, itu betul-betul sesuatu yang dibutuhkan dia tapi entah bagaimana, kekuatiran, kesulitan, dan bahaya yang dia pikirkan soal dua raja itu, nampaknya lebih besar daripada janji Tuhan. Sehingga, waktu berita itu disampaikan, seperti pembicaraan yang sepihak dari Tuhan. Ini menyatakan ‘unconditionality’ (kalau ada istilah ini) dari pekerjaan Tuhan, dari anugerah Tuhan. Memang di bagian lain dalam Alkitab kita melihat ada bagian-bagian yang conditional, tapi di bagian ini menekankan yang unconditional, sama sekali tidak ada syarat untuk manusia mendengar kalimat ini. Berita Imanuel di sini muncul bukan seperti kepada Maria yang mengatakan ‘aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataanmu’, melainkan muncul di tengah-tengah konteks orang yang tidak percaya kepada Tuhan. Di Alkitab ada satu ayat yang sangat menyentuh, yang mengatakan ‘Tuhan itu mati di atas kayu salib bagi kita, bahkan ketika kita masih menjadi seteru-Nya’, inilah Imanuel. Di tengah-tengah ketidak-siapan kita mendengar berita ini, Tuhan memberikan kepada kita berita Imanuel –“Tuhan menyertai engkau”. Tuhan mengatakan bahwa yang ditakutkan Ahas tidak akan terjadi, meski di bagian selanjutnya tetap ada penghukuman (kita tidak akan membacanya), tapi untuk sementara penghakiman Tuhan itu ditunda.
Yerusalem menerima berita Imanuel bukan di dalam konteks ‘saya ini kesepian, perlu penyertaan; lalu Tuhan datang menemani saya, saya jadi ada teman’, dsb. melainkan di dalam konteks peperangan –kerajaan yang sedang berperang. Bahkan di dalam Matius –kalau kita mengacu pada Yesaya– Imanuel bukan dibicarakan dalam konteks teologi Keluaran seperti yang sering kita bicarakan yaitu Allah yang tinggal bersama-sama umat-Nya (God in the midst of His people), tapi lebih berkait dengan Davidic Kingdom; ini berarti jargon kerajaan, dan kerajaan itu adalah kerajaan yang berperang. “God with us” itu bagi orang yang mengerti konsep kerajaan ini. Maka waktu kita membicarakan tentang Imanuel, tidak bisa tidak kita harus memikirkan tentang Kristus di dalam jabatan Raja, karena “kerajaan Daud” itu membicarakan tentang keturunannya yang nantinya menjadi Raja di atas segala raja. Jadi ini Imanuel di dalam pengertian Raja.
Dalam 2 Sam 23:5 –perkataan dalam konteks Daud dan merupakan ayat yang penting waktu kita membicarakan Imanuel– dikatakan: “Bukankah seperti itu keluargaku di hadapan Allah? Sebab Ia menegakkan bagiku suatu perjanjian kekal, teratur dalam segala-galanya dan terjamin. Sebab segala keselamatanku dan segala kesukaanku bukankah Dia yang menumbuhkannya?” (ini perkataan Daud yang terakhir). Saudara lihat di sini ada gambaran bahwa Tuhan akan mengukuhkan kerajaan Daud, Dia menyertai Daud; keluarga Daud akan disertai Tuhan dan aman karena Allah ada bersama-sama dengan keluarga Daud. Dan inilah yang dalam konteks Yesaya, sedang diteguhkan di dalam kehidupan Ahas, meskipun Ahas tidak layak sebetulnya, tapi karena janji Tuhan kepada Daud bahwa Tuhan akan mengekalkan kerajaan ini. Bukan karena Daud hebat, bukan karena Daud seorang yang pandai berjuang, dst., dst., melainkan karena anugerah Tuhan, maka kerajaannya menjadi kerajaan yang kekal. Dalam cerita tentang Daud, dia ingin mendirikan rumah bagi Allah, tapi pada akhir cerita kita tercengang karena akhirnya Tuhan yang mendirikan rumah bagi Daud, bukan Daud yang mendirikan rumah bagi Allah –“bukan kamu yang bekerja bagi Saya, Saya yang bekerja bagi kamu”. Waktu itu, Daud mengingat ke belakang, begitu banyak kebaikan Tuhan menyertai dia, dan untuk terakhir kalinya dia mau memberikan yang terbaik bagi Tuhan, tapi Tuhan mengatakan “bukan kamu yang memberikan kepada Saya yang terbaik, tetap Saya yang memberikan kepadamu yang terbaik”. Di situ Daud dibuat rendah hati (bukan berarti di situ Daud congkak, Alkitab tidak mengatakan itu). Dalam gambaran ini, kita melihat bahwa Imanuel diberikan di dalam janji, yang tidak bisa tidak kita harus mengertinya di dalam konteks anugerah Tuhan. Ini janji penyertaan Tuhan, diberikan kepada orang-orang yang bahkan tidak siap menerima janji tersebut. Janji ‘Imanuel’ berkait dengan kerajaan Daud, bahwa tanah dari 2 raja yang akan mengepung Yerusalem akan dibiarkan sunyi, ada penghakiman.
Waktu kita membaca Yesaya ini, siapa sebetulnya yang disebut “anak” itu (ayat 14-16)? Orang Kristen biasanya langsung mengacu kepada Yesus Kristus (memang ini intrepretasi Kristologi dari perspektif Matius). Tapi dalam Yesaya ada konteks yang dekat dengan saat itu; salah satu tafsiran mengatakan kemungkinan besar itu adalah Raja Hizkia, the one who rule righteousness, karena Imanuel menyatakan bangkitnya seorang raja yang akan memerintah dalam kebenaran dan keadilan, menggantikan sistem pemerintahan yang tidak adil di dunia ini. Waktu kita bicara tentang ‘keadilan’, biasanya secara otomatis dalam pikiran kita muncul “orang-orang jahat itu kapan masuk penjara” — judgement for the wicked. Konsep ini –bahwa yang menabur kejahatan akan menuai kejahatan– memang ada di dalam Alkitab, tapi konsep righteousness jauh lebih limpah daripada itu, bukan seperti pikiran kita yang menghakimi terhadap orang-orang jahat, karena jika tidak berhati-hati pikiran seperti ini akan membawa kita kepada penghayatan diri yang self-righteous.
Righteousness dalam Perjanjian Baru, khususnya dalam kehidupan Kristus, tidak bisa dipisahkan dari mercy, compassion, belas kasihan. Keadilan kebenaran itu mencakup hal itu. Waktu Yesus hadir, Dia memerintah dengan keadilan, maksudnya Dia berbelas-kasihan kepada orang-orang yang tertindas, itulah righteousness. Righteousness berarti kita punya hati untuk orang-orang yang lemah, yang tak berdaya, yang tidak bisa membela diri mereka sendiri, yang selalu diinjak-injak, dsb. Righteousness bukan cuma berarti orang jahat perlu dihukun; konsep seperti itu terlalu dangkal. Waktu Yesus menyatakan righteousness di dalam diri-Nya, Dia sendiri yang mati di atas kayu salib. That’s the new righteousness. Siapa yang dihukum di situ? Yesus. Suatu pernyataan God’s righteousness. Imanuel.
Maka waktu kita memikirkan tentang Imanuel, jangan lupa menyertakan jabatan Kristus, khususnya pengertian jabatan “raja”. Mengenai ini, dalam tulisan Calvin ada beberapa poin yang bisa kita angkat.
YANG PERTAMA, berbicara tentang Kerajaan Allah (Kingdom of God) sifatnya eskatologis. Janji yang diberikan Kristus bukan di sini dan sekarang kegenapannya, melainkan dalam dunia yang akan datang. Di sini dan sekarang kita masih menanti. Kalau Saudara perhatikan, musik-musik yang dipengaruhi eskatologi Kristen selalu ada point of rest (berhenti), seperti dalam kehidupan manusia Tuhan kadang-kadang menyediakan solusi untuk pergumulan yang terlalu berat yaitu berhenti sebentar, tapi bukan berhenti dalam arti akhir. Di satu sisi kita bisa mengaso sebentar, tapi di sisi lain eschatological longing jalan terus. Kalau Tuhan berikan point of rest cuma di akhir hidup kita, kita bisa gila, tidak kuat menghadapi kehidupan ini. Oleh sebab itu dalam hidup ini kita diberikan semacam istirahat, yang sampai batas tertentu menyelesaikan problem di belakang, tapi di sisi lain mengarahkan kita untuk jalan lagi, masih ada pengharapan di depan. Itulah eskatologi Kristen. Imanuel dalam Matius menggenapi nubuatan Yesaya, yang sebelumnya sudah digenapi dalam diri Hizkia, tapi belum selesai juga, perlu penggenapan lebih besar lagi yaitu di dalam Yesus Kristus. Dan waktu Yesus Kristus lahir, itu juga belum selesai karena Dia akan datang kembali. Ada layer-layer; di satu sisi ini rest, penyelesaian yang di belakang; di sisi lain titik ini mengarahkan kita pada pengharapan yang lebih lagi di depan. Calvin mengatakan: happiness yang dijanjikan Kristus, rest not in early prosperity tapi di dalam future life. Di sini Tuhan bisa memberikan kepada kita berkat, Imanuel dalam partial fulfillment, kita bisa istirahat sebentar, tapi jangan lupa tetap dalam peperangan rohani, jangan mengaso terlalu lama sampai ketiduran, apalagi tidak membawa minyak seperti gadis-gadis yang bodoh lalu waktu Yesus datang mereka tidak siap.
YANG KEDUA, waktu kita berbicara tentang jabatan Kristus sebagai Raja, jangan lupa akan peperangan rohani (spiritual war). Orang tidak bisa mengerti Imanuel kalau tidak mengerti peperangan, dalam hal ini peperangan rohani (memang dalam Yesaya konteksnya peperangan jasmani, tapi setelah Perjanjian Baru kita mengerti dalam konteks spiritual). Imanuel berarti Tuhan menyertai kita supaya kita boleh berperang dengan berani (fight courageously against our spiritual enemies). Hal ini untuk menjauhkan kita dari bahaya ‘kendor’, bahaya ‘menyenangkan diri sendiri’, bahaya ‘mengaso terlalu lama’, dsb., intinya bahaya menjadikan conveniency sebagai berhala yang baru, semuanya mau cepat, bahkan kalau bisa semua teknologi menuju kepada conveniency, lalu bersamaan dengan itu kita jadi kehilangan aspek yang sangat penting yaitu fighting spirit. Dalam seni berperang, satu hal yang kita perlu adalah know your enemy, jangan salah musuh. Ada orang fighting spirit-nya tinggi, tapi pilih musuhnya salah –tetangga diajak ribut melulu. Buang-buang tenaga. Memang fighting spirit, tapi kena ke orang-orang yang salah, mungkin bahkan keluarga sendiri –suami, istri, anak, mertua, menantu perempuan, dan semuanya. Di dalam Alkitab –mengutip Paulus– musuh kita bukan darah dan daging. Kita tidak bertempur melawan manusia. Kalau bertempur melawan manusia, itu namanya fundamentalis di dalam agama. Kekristenan pun pernah salah dalam hal ini –jadi fundamentalis– waktu di zaman Abad Pertengahan, dan memakai kekerasan juga. Mengapa? Karena tidak kenal siapa musuh sesungguhnya. Mereka pikir agama lain itu musuh, maka memerangi agama lain. Imanuel seharusnya menolong kita untuk bisa mengenal our spiritual enemies, yaitu dosa-dosa kita, diri kita sendiri, Iblis.
Kerajaan Allah yang dibicarakan dalam konteks Imanuel itu sifatnya spiritual. Waktu Yesus lahir, Herodes ketakutan luar biasa sampai semua semua anak di bawah 2 tahun dibunuh. Reaksi yang berlebihan; terhadap bayi dia ketakutan, ibarat mau bunuh kecoak pakai bom atom. Mengapa bisa seperti itu? Karena Herodes tidak mengerti natur rohani kerajaan Allah. Waktu Yesus berjumpa dengan Pilatus, Dia mengatakan, “Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini”. Ini adalah kerajaan yang lain, yang akan menghancurkan kerajaan yang dibangun di dunia ini, bukan dengan cara jasmani tapi dengan sistem pemerintahan yang berbeda. Yaitu dengan apa? Raja di dalam Perjanjian Lama itu diurapi dengan minyak; itu menunjuk kepada Roh Kudus, bukan minyak jasmani tapi minyak rohani. (Di Perjanjian Lama orang mempersembahkan domba; itu sebetulnya menujuk kepada Kristus, maka setelah Kristus datang kita tidak lagi bawa domba ke gereja –kalau kita masih bawa domba artinya penghujatan, karena menganggap Yesus belum datang. Di perjanjian Lama pengurapan pakai minyak; itu menunjuk kepada Roh Kudus, maka sekarang kita tidak membawa minyak lagi ke dalam gereja karena Roh Kudus sudah dicurahkan waktu Pentakosta –kalau kita masih bawa minyak di gereja berarti tidak menghargai pencurahan Roh Kudus, menghujat Roh Kudus. Waktu yang asli sudah datang dan kita masih pakai bayang-bayang yang lama dari Perjanjian Lama, itu penghinaan terhadap Tuhan, dosa yang luar biasa serius).
Mazmur 45 berbicara tentang spiritual oil ini, yaitu oil of gladness –memerintah bukan dengan kekerasan tapi dengan sukacita. Ini pemerintahan orang-orang yang bersukacita di dalam Tuhan; dengan inilah Kristus memerintah. Memang bentur dengan cara dunia, tapi tidak mungkin bentur dalam pengertian fisik karena kita tidak memakai pedang yang sama di dalam peperangan rohani itu, melainkan dengan caranya Tuhan dan bijaksana Tuhan. Saya mengutip katekismus Heidelberg tentang kingly office of Christ: “Our Eternal King, Jesus, Immanuel, who governs us with His words and spirit, and who guards us and keeps us in the freedom He has won for us” –Raja kita yang kekal itu, memerintah kita dengan Firman-Nya dan dengan Roh-Nya; sementara raja di Perjanjian Lama diurapi dengan minyak, Gereja diurapi dengan Roh Kudus dan memerintah dengan Roh Kudus, bukan dengan cara Perjanjian Lama; dan itu memelihara kita di dalam kebebasan yang Dia berikan karena Dia sudah menang bagi kita. Inilah spektrum pengertian Imanuel, bahwa Tuhan sudah berperang mendahului kita dan Dia menang, lalu Dia memberikan kepada kita kebebasan. Imanuel berarti Saudara diundang untuk masuk ke dalam cerita kebebasan yang disediakan Tuhan.
Kebebasan apa? Kebebasan bukan adalam arti ‘terserahlah kamu mau ngapain, kamu tidak lagi dijajah’, karena kalau seperti itu artinya masih dijajah juga. Yang dimaksud adalah kebebasan untuk mencintai Tuhan, untuk melayani Tuhan, untuk beribadah, kebebasan untuk mencintai sesama, mengorbankan diri; seperti Yesus yang inkarnasi di dalam kekebasan-Nya. Yesus mati di atas kayu salib dengan bebas, tidak ada yang memaksa Dia, tidak ada yang victimize Dia sampai-sampai Dia tidak ada pilihan. Dia selalu punya pilihan, tapi Dia dengan bebas mengorbankan diri-Nya di atas kayu salib. Kita mau Kekristenan yang seperti ini, bukan Kekristenan yang dipaksa, diteror, dibentak-bentak; itu anak kecil yang tidak mengerti kebebasan. Sedangkan orang dewasa yang mengerti kebebasan, dia akan menghargai kebebasan, dia melakukan hal-hal yang berkenan di dalam konteks kebebasannya, dia tidak akan menggunakan kebebasan untuk hal-hal yang tidak ada gunanya. Seandainya saya pukul-pukulkan laptop saya ke kepala saya sendiri, itu kebebasan saya, dan boleh saja, tapi mungkin saya agak gila kalau melakukan seperti itu dan Saudara akan kasihan melihat saya. Ini kebebasan orang gila. Ada orang yang diberikan kebebasan olah Tuhan, dan dia bukan menggunakan kebebasan itu untuk mencintai Tuhan melainkan untuk menghancurkan dirinya sendiri. Itu orang yang tidak bebas, yang tidak mengerti Imanuel. Imanuel itu Tuhan sudah menang bagi kita dan meberikan kita kebebasan; kebebasan yang mahal, yang dibeli dengan darah-Nya sendiri. Dan Tuhan mau supaya kita menikmati kebebasan itu, seperti Kristus menikmati kebebasan itu.
Yesus mendemonstrasikan kehidupan yang paling bebas di dalam dunia ini. Kebebasan yang paling bebas ada di dalam Kristus, tapi kebebasan yang sifatnya paradoks. Ini kebebasan yang tidak bisa dimengerti oleh dunia, karena dunia ini egois, self-centered, segala sesuatu untuk dirinya sendiri bukan untuk berbagi. Oleh sebab itu, jika pengertian Imanuel kita tidak cocok dengan konsep Alkitab, akhirnya kita memakai istilah ini cuma untuk ‘Tuhan menyertai saya, Tuhan selalu mengerti saya, Tuhan tahu kesulitan saya’ yang selalu arahnya adalah God for me, atau paling tidak God for us. Tapi orang seperti ini tidak pernah naik kelas, tidak pernah jadi dewasa, selalu pikirannya ‘Tuhan untuk saya, Tuhan untuk kami’, tidak pernah berpikir kapan dirinya untuk Tuhan.
Maka waktu kita merenungkan Imanuel, mari kita kembali kepada Alkitab. Alkitab tidak pernah gagal mengejutkan kita, yang seringkali punya ekspektasi –termasuk juga penilaian terlebih dulu, yang tidak tentu negatif– tentang Imanuel. Waktu Israel dijanjikan akan Mesias, mereka punya prejudice bahwa Mesias itu akan membangkitkan kembali kerajaan Daud secara fisik, lalu Israel akan kembali mengalami zaman keemasan seperti zamannya Salomo, Daud, dsb. Itulah prejudice mereka tentang Mesias. Hati-hati dengan gambaran prejudice seperti ini, termasuk waktu kita terapkan dalam kata ‘Imanuel’ yang kita punya prejudice sendiri –Imanuel itu Tuhan beserta saya, Natal suasana yang indah, keluarga berkumpul, dan Tuhan juga berada di sini, di living room, ada perapian (perapian dari lampu supaya suasana mirip Eropa), tukar kado seperti Tuhan pun menjadikan diri-Nya kado bagi kita– gambaran yang romantis sekali tentang Imanuel. Itukah Imanuel? Bukan.
YANG TERAKHIR, masih sangat berkaitan dengan Kristus sebagai Raja, Matius 28: 18 Yesus berkata: "Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di surga dan di bumi –segala kuasa/ otoritas di surga dan di bumi, artinya Yesus Raja– Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu –yaitu Yesus yang adalah Allah menyertai kita, Imanuel– senantiasa sampai kepada akhir zaman." Jadi Imanuel bukanlah cerita di living room menikmati suasana Natal dengan pintu terkunci semua supaya penjahat tidak akan masuk, tapi Imanuel berarti pintu terbuka lalu kita diperintahkan keluar, “jadikanlah semua bangsa murid-Ku, …” dst. dst. karena Yesus mengatakan “Aku menyertai kamu –Imanuel– senantiasa sampai kepada akhir zaman. Ini pengutusan. Kita tidak bisa mengerti Imanuel tanpa mengikut-sertakan pengutusan. Tanpa adanya pengutusan, Imanuel jadi disalah-gunakan untuk kebutuhan keluarga kita sendiri, gereja kita sendiri. Ini bicara tentang memuridkan orang yang ada di luar; mengajak mereka mengenal Kristus, memuridkan mereka, membaptis di dalam nama Tritunggal, dst. dst. “Aku beserta dengan kamu, Aku menyertai kamu”, itulah Imanuel.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading