Di dalam kitab Mazmur ada satu ayat yang sangat menarik, dikatakan ada dua hal yang tidak bisa dimengerti oleh Pemazmur, pertama, cinta kasih Tuhan, lalu despite cinta kasih Tuhan itu betapa dinginnya hati manusia, betapa jahatnya hati manusia, yang kedua adalah sebaliknya, betapa jahatnya hati manusia, betapa tidak setianya manusia dan despite itu cinta kasih Tuhan. Kita sudah pernah membahas kaitan perikop per perikop, kita percaya dua perikop ini sendiri juga ada kaitan multifik yang meskipun tidak keluar terlalu jelas, tetapi kalau kita baca lebih dekat, kita tahu ada kaitan antara perikop tuan dan hamba ini dengan perikop orang kusta. Kata kunci yang menghubungkan kedua perikop ini adalah kata terima kasih, gratitude, kalau kita membaca ayat 9 dikatakan bahwa seorang tuan tidak perlu berterima kasih kepada hambanya, meskipun hambanya sudah melakukan pekerjaannya itu, bahkan sampai tuntas, ini sesuatu yang biasa-biasa saja, karena itu sudah tugas seorang hamba.
Tetapi sebaliknya waktu kita melihat perikop yang kita baca hari ini 11-19, hal yang akan menjadi berbeda waktu itu berkenaan dengan kebaikan yang diterima oleh seorang hamba dari tuannya. Memang dalam bagian ini tidak jelas berbicara tentang hubungan hamba dengan tuan, tetapi saya pikir tidak salah karena Yesus adalah Tuhan, Tuan, lalu kita semua termasuk juga ke 10 orang kusta mengalami pertolongan Tuhan, ini seperti hamba. Waktu berkaitan dengan hubungan tuan dan hamba, seorang hamba yang tidak mendapatkan terima kasih dari tuannya, itu biasa, karena memang hamba. Tetapi seorang hamba waktu dia mengalami pertolongan dari tuannya, disembuhkan, diselamatkan dari kematian, itu bukan biasa, itu sesuatu yang luar biasa dan karena itu wajar di dalam gambaran ini, kalau orang itu sepantasnya bersyukur, sepantasnya berterima kasih.
Bagian ini dalam terjemahan LAI tidak ada pararel dengan injil yang lain, motif perjalanan sangat menguasai injil Lukas, Yesus sedang dalam perjalanan menuju Yerusalem, perjalanan Yesus ke Yerusalem ini mengantisipasi. Yerusalem kota kudus itu, bahkan injil Lukas dalam pasal-pasal awal dimulai dengan cerita pararel pemberitahuan tentang Yohanes Pembaptis dengan kelahiran Yesus Kristus. Zakaria sedang melakukan tugas keimaman, lalu dia membakar ukupan di bait suci di Yerusalem, mulai dari Yerusalem, Yerusalem kota yang suci itu yang akhirnya menolak Kristus dan menyalibkan Kristus, yang akhirnya tidak tahu berterima kasih kepada Kristus, hal ini diantisipasi di dalam cerita ini. Bukan kebetulan dalam bagian ini yang bersyukur adalah orang Samaria, yang tidak bersyukur adalah orang-orang yang sebagian besar Yahudi.
Kita bisa sedikit rekonstruksi, ceritanya itu very unlikely tempatnya terjadi di daerah Samaria yang pedalamam, karena orang-orang Yahudi pasti tidak mau tinggal di sana, jadi yang lebih mungkin adalah orang Samaria bergabung dengan orang-orang Yahudi yang sama-sama terkena kusta, mungkin di daerah dekat perbatasan dan lebih kearah daerah Yahudi. Orang Samaria yang bersyukur, orang Yahudi apalagi orang-orang yang di Yerusalem, mereka tidak menyambut Yesus Kristus, kota suci itu yang seharusnya menjadi kehadiran Allah adalah menjadi kota yang akhirnya mengusir Yesus keluar dari Yerusalem, dipaku di atas kayu salib bukit Golgota, itu di luar Yerusalem. Yerusalem yang meng-klaim kehadiran Allah secara khusus ada di sini, karena kita memiliki bait suci, ternyata adalah kota yang mengusir Tuhan keluar dari kota itu. Yesus berjalan ke Yerusalem jelas untuk ditolak, diusir, disingkirkan, dibenci dan bukan sekedar tidak mendapat terima kasih, lalu di sini kita mendapat satu gambaran perjumpaan yang sangat khusus, yaitu orang kusta.
Dikatakan dalam bagian ini, mereka berdiri agak jauh, ada hukum dalam PL yang mengatakan, memang mereka harus bersikap seperti itu, tidak bisa dekat-dekat berelasi dengan sesama mereka, mereka harus certain distance, jauh. Kejauhan ini sangat menyiksa kehidupan orang-orang itu, karena basically ini bukan hanya sekedar persoalan sakit penyakit yang sudah tidak mungkin bisa sembuh, penyakit kusta pada saat itu, tetapi terutama keterisolasian, keterputusan relasi. Ada satu buku yang menyoroti teologi tentang penyakit, lalu dia mengkaitkan dengan teologi penciptaan sebagai satu violence, semacam perusakan dari pada theology of creation, maka waktu Yesus menyembuhkan salah satunya adalah mau menyatakan, afirmasi, mau meneguhkan kembali teologi pencipataan, karena pada mulanya tidak seperti itu. Setelah manusia jatuh di dalam dosa, kemudian masuk segala macam sakit penyakit. Sakit penyakit di dalam perspektif kusta, seperti sudah sering kita mengatakan, orang ini sudah seperti mati, karena sangat terisolasi dari sesamanya orang-orang Yahudi, tetapi terutama juga terisolasi dari kehadiran Tuhan, bait suci, mereka tidak bisa beribadah.
Orang-orang kusta ini terasing, seperti di exile, tempat pembuangan, seperti seolah-olah masuk di dalam masa pembuangan lagi. Orang-orang kusta ini adalah orang-orang yang sangat miskin relasi dan mereka hanya berelasi dengan orang-orang yang menderita penyakit yang sama, mereka dijauhi oleh orang-orang yang normal, dan mareka mengalami kematian itu setiap hari. Di dalam keadaan seperti ini, wajar kalau kita membaca kemudian mereka tidak bisa mengharapkan banyak kecuali belas kasihan, tidak ada sesuatu yang mereka bisa pertontonkan, tidak ada sesuatu yang mereka bisa nyatakan supaya mereka layak untuk mendapatkan perhatian. Mereka tidak dapat bersaing di dalam dunia ini, sementara kita mungkin masih merasa bisa bersaing, ada certain modal, kekuatan untuk menunjukkan siapa kita lalu kemudian orang boleh memperhitungkan dan mungkin tertarik menyapa kita dsb., tetapi tidak demikian dengan orang kusta. Orang kusta tidak memiliki kebanggaan apa-apa, yang mereka bisa harapkan hanyalah belas kasihan, mereka word trying, tidak ada ruginya mencoba mendapatkan belas kasihan Tuhan.
Mungkin mereka pernah mendengar Yesus yang suka berbelas kasihan kepada orang-orang yang sakit, mungkin mereka juga pernah mendengar Yesus menyembuhkan orang yang kusta, di sini mereka memiliki semacam iman kepada Yesus, yang mungkin juga bisa menyembuhkan mereka. Dalam bagian ini Yesus memang tergerak oleh belas kasihan dan Dia tidak berkata banyak, ini kalimat yang menguji iman, “pergilah, perlihatkan dirimu kepada imam-imam”, di sini Yesus sama sekali tidak menyebutkan istilah sembuh. Tentu saja ini memang implied akan ada kesembuhan seperti itu, tetapi perlu certain iman untuk mempercayai kalimat ini, “pergilah, perlihatkan dirimu kepada iman-imam”, Yesus juga tidak segera menyembuhkan mereka, lalu setelah sembuh silahkan mereka pergi menuju kepada imam-imam, tetapi perlu certain ketaatan untuk mengalami apa yang Tuhan katakan. Ini prinsip yang besar, despite kita tahu akhirnya tidak semuanya mengalami keselamatan yang sejati dari Tuhan, hanya orang Samaria ini yang dicatat akhirnya mengalami keselamatan yang sejati. Tetapi seringkali di dalam kehidupan kita, kita diminta oleh Tuhan untuk pergi terlebih dahulu dan kemudian kita baru melihat atau menyaksikan konfirmasi perkenanan dan penyertaan Tuhan di dalam kehidupan kita, meskipun kita minta tanda yang begitu jelas terlebih dahulu lalu setelah itu baru kita mau pergi.
Sebagai contoh waktu Musa dipimpin Tuhan untuk memimpin bangsa Israel keluar dari Mesir, yang dikatakan disitu tanda yang akan menyertai, Tuhan bilang, inilah tandanya bahwa kamu akan beribadah di gunung Sinai. Tanda ini ditaruh dibelakang, kecuali Musa memimpin bangsa Israel itu keluar terlebih dahulu, mereka tidak mungkin bisa beribadah di gunung Sinai, iya kan? Tanda itu setelah Musa taat dan menaati apa yang diperintahkan, setelah itu ada tanda. Ini struktur yang brilian, tetapi seringkali kita tidak mau seperti ini, kita merasa agak insecure somehow kalau diberikan tanda seperti ini, kita maunya tanda di depan, kalau tanda tidak jelas, saya tidak bergerak, begitu kan? Tetapi di dalam alkitab seringkali bukan seperti itu, tapi ada saat-saat Tuhan bentuk dalam kehidupan kita, kita melangkah terlebih dahulu baru setelah itu kita melihat penyertaan, konfirmasi dan kehadiran Tuhan, setelah kita taat. Termasuk juga dalam bagian ini, Yesus katakan, pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam-imam dan juga alkitab jelas sekali mengatakan bahwa mereka menjadi tahir sementara mereka di tengah jalan, bukan mereka menjadi tahir segera setelah Yesus mengatakan kalimat itu, tidak.
Mereka menjadi tahir di dalam perjalanan, di dalam proses ketaatan itu mereka menjadi tahir, ketahiran tidak diberikan segera, waktu mereka taat ada certain ketekunan yang diajarkan di sini, termasuk juga di dalam kehidupan kita, tapi maunya kita adalah kita taat langsung dapat konfirmasi Tuhan, tetapi mungkin ada proses yang panjang juga. Perjalanan yang panjang, waktu kita berjalan, bergerak, lalu akhirnya kita mendapatkan konfirmasi kehadiran, perkenanan dan penyertaan Tuhan ketika kita taat. Ini iman yang kita bisa belajar, despite sekali lagi bukan tentu iman yang menyelamatkan, tetapi menjadi satu bentuk iman yang tetap, tidak necessarily atau tidak take it for granted selalu ada pada orang-orang percaya.
Tapi waktu kita membaca di dalam cerita ini, kemudian kita melihat bahwa despite semuanya sembuh, semuanya tahir, hanya satu yang waktu melihat bahwa dia tahir, disembuhkan, lalu mengambil keputusan untuk kembali, memuliakan Allah, tersungkur di depan kaki Yesus dan mengucap syukur kepadaNya. Orang ini kembali, merayakan relasi dengan Yesus, yang tadinya hanya bisa berdiri agak jauh. Menarik, bukan ke Yerusalem, bukan ke tempat lahiriah itu, tetapi kepada Yesus Kristus, imanuel, kehadiran Allah di dalam satu pribadi yang pernah berinkarnasi yaitu Yesus Kristus, yang merelativisasi Yerusalem, kan bait sucinya juga bukan bait suci Salomo lagi, ya kan? Bukan yang didirikan Salomo, tetapi yang didirikan oleh si penjilat Herodes itu, incomparable kehadiran Allah yang khusus di bait suci yang didirikan Herodes di Yerusalem dengan kehadiran Allah di dalam diri Yesus Kristus, itu incomparable dan orang ini melihat, dia kembali kepada Yesus Kristus.
Saya percaya ini lebih dari sekedar membalas budi dengan orang yang pernah menolong saya, itu hanya sebatas manner, kita memang harus berterima kasih dengan orang yang pernah menolong kita, jangan kita lupa, kalau kita menolong orang lain harus cepat lupa, tidak usah diingat, tapi itu hanya sebatas manner. Saya percaya orang ini kembali kepada Yesus Kristus bukan hanya karena manner, kalau hanya manner ya mungkin tidak usah jadi kristen untuk memiliki gratitude, ada banyak orang yang bisa terima kasih seperti ini. Tetapi motif yang diolah di sini oleh Lukas dengan perjalanan Yesus yang ke Yerusalem, yang akhirnya berjumpa dengan orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan di dalam antisipasi cerita ini, yang berterima kasih kepada Dia adalah orang Samaria. Kembali kepada Yesus memberi segala kemuliaan kepada Tuhan, gambaran seperti ini wajar, kalau seseorang menghayati dirinya masih adalah seorang hamba.
Ada saat-saat di dalam kehidupan kita, dimana kita mengalami pertolongan Tuhan seperti tadi yang saya kutip kalimat pertama dari Mazmur, ada dua hal yang mengherankan, tidak tahu berterima kasih, hatinya manusia despite kasih Tuhan yang begitu besar dan juga sebaliknya, kasih Tuhan yang begitu besar despite tidak tahu berterima kasihnya manusia. Tetapi di dalam kehidupan kita ada saatnya atau mungkin seringkali terjadi waktu kita mengalami pertolongan Tuhan, kita tidak terlalu tergerak untuk berterima kasih, kita anggap itu sebagai sesuatu yang wajar, bukan sesuatu yang luar biasa. Karena kita punya tuntutan yang sangat tinggi terhadap kehidupan ini dan tuntutan yang kita terapkan juga pada Tuhan high expectation, bagaimana Tuhan seharusnya merawat, menolong kehidupan saya, bagaimana seharusnya Tuhan takecare, lalu kita menjadi tumpul, tidak mudah terharu.
Dalam khotbah Pdt. Stephen Tong tentang sanctification of emotion, ada kalimat di situ dikatakan, kita manusia, kalau kita kehilangan rasa terharu, kalau kita tidak bisa lagi terharu, kita sudah seperti binatang, bukan seperti manusia lagi. Orang yang tidak bisa terharu lagi, despite temperamen dia apa, ini bukan hanya melankolik sama sanguinik yang bisa terharu, bukan, temperamen apapun kalau kita tidak bisa lagi terharu, kita bukan seperti manusia lagi. Ada orang yang mengalami pertolongan, setelah dia mengalami pertolongan, dia bukan bersyukur, dia malah ngomel, mengapa pertolongan datang begitu telat dan pertolongannya sedikit pula. Kenapa hanya memberikan saya segini, kan harusnya kamu tahu bahwa saya perlu lebih banyak dari pada ini? Kenapa baru datang sekarang? Kenapa bukan kemarin-kemarin, begitu kan ya? Sudah tidak berterima kasih, malah mencela orang yang menolong, ini kehidupan yang kehilangan keterharuan, memang betul, seperti binatang orang seperti ini. Mungkin betul juga kalau kita tambahkan, orang jadi tidak mirip manusia lagi waktu dia bukan hanya tidak bisa terharu, tetapi karena itu juga strongly connected dengan ketidakmampuan terharu, juga tidak bisa berterima kasih, itu seperti binatang.
Orang yang tidak bisa berterima kasih, itu seperti binatang, kehidupannya betul-betul menjadi beban, dia bukan menjadi beban karena dia sakit-sakitan, sudah tidak bisa bekerja apa-apa lagi, sudah tidak produktif lagi dan karena itu dia menjadi beban, bukan itu. Tetapi orang jadi betul-betul beban kalau orang itu tidak pernah berterima kasih, orang seperti itu adalah beban dan ini tidak tergantung umur, bukan berarti karena kita sudah tua maka kita menjadi beban, tidak, ada orang yang masih muda, masih kuat, mungkin juga masih sangat produktif, tetapi tidak ada terima kasih di dalam kehidupannya, tidak ada gratitude, orang-orang seperti itu betul-betul menjadi beban di dalam dunia ini. Di dalam surat Korintus ada perkataan Paulus yang sangat menarik, dikatakan, bahwa ada goal yang mau dicapai waktu seseorang itu diinjili dan akhirnya menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Paulus mengatakan, setelah orang diinjili, diberitakan injil, lalu orang percaya kepada injil supaya apa? Supaya di dalam dunia ini semakin melimpah ucapan syukur. Dunia kita adalah dunia yang tidak bersyukur, ingratitude, unthankful, tidak tahu berterima kasih.
Supaya menciptakan kebudayaan, culture, spirituality orang yang berterima kasih, Yesus harus mati di atas kayu salib untuk memungkinkan hal itu terjadi. Ini konsisten dengan apa yang dikatakan Paulus di dalam surat Roma, dia menggambarkan noda kekafiran itu salah satunya adalah ingratitude, orang-orang yang menekan hati nurani mereka, yang suppressed kebenaran yang mereka bisa kenal di dalam dunia ciptaan, yang mereka tidak bisa berdalih itu dan mereka adalah orang-orang yang tidak tahu berterima kasih, itu orang-orang kafir. Lalu Paulus mengatakan, Yesus diberitakan di dalam injil, setelah orang percaya kepada Yesus Kristus, supaya dia boleh memberi warna yang berbeda di dalam dunia ini yaitu menjadikan kelompok orang-orang yang bersyukur kepada Tuhan. Mungkin kita berpikir, masa orang percaya Yesus hanya sekedar bersyukur (betul, memang bukan hanya bersyukur saja), tetapi bersyukur itu adalah satu goal, setidaknya menurut Paulus mengapa kita memberitakan injil. Kita bukan memberitakan injil supaya sekedar orang lalu habis itu terima Yesus Kristus angkat tangan, ya senang sekali, begitu kan ya? Lalu setelah itu ada catatan statistik di dalam pelayanan saya, berapa banyak jiwa yang sudah saya injili dan dibawa kehadapan Tuhan, tetapi bagaimana dunia yang tidak tahu bersyukur ini menjadi dunia yang lebih bersyukur dengan kehadiran orang-orang seperti itu, kehadiran orang-orang seperti saudara dan saya?
Yang paling ironi adalah setelah kita mengaku percaya Yesus Kristus, tetapi kehidupan kita dipenuhi dengan complain, keluhan, sepertinya injil itu tidak mencapai sasarannya, sepertinya sia-sia saja injil diberitakan kepada kita, karena setelah kita mengaku percaya kepada Yesus Kristus, tetapi hidup penuh dengan keluh kesah, hidup penuh dengan sungut-sungut, hidup penuh dengan ingratitude, tidak tahu berterima kasih, take it for granted semua kebaikan Tuhan, ya memang harus seperti ini, kan Dia yang menciptakan, Dia yang harus mengurus semuanya. Tetapi orang Samaria ini tidak, orang Samaria ini peka bahwa dia sangat tidak layak untuk menerima perjumpaan ini, kesembuhan ini, pemulihan ini, kebangkitan ini, mungkin justru karena dia Samaria, makanya dia memiliki kepekaan ini, sementara orang Yahudi yang lain mana? Yesus kemudian bertanya dengan kalimat yang menyedihkan ini, bukankah 10 orang tadi semuanya tahir, dimana yang sembilan? Tuhan tentu saja expect dari orang-orang yang normal, yang waras ucapan terima kasih, menyembah Tuhan, memuliakan Tuhan dan itu justru seharusnya automatically understood, tanpa harus diajarkan, tanpa harus dipesan. Mereka seharusnya tahu kalau harus berdiri agak jauh waktu mereka berteriak, artinya mereka kan mengenal hukum? Masakan mereka tidak tahu setelah ditolong harus bersyukur, berterima kasih atau mungkin kurang perintah seperti itu di dalam Taurat? Maka menjadi orang-orang yang legalis, kalau diperintahkan ya kita jalankan, kalau tidak diperintahkan ya tidak kita jalankan. Mana ada hukum terima kasih, tidak ada kan?
Kalau hati nutrani sudah demikian, itu bebal, tidak peka lagi, sampai urusan seperti ini pun harus diajarkan, harus ditulis, harus ada job description-nya, harus ada SOP-nya, karena tidak ada SOP-nya ya tidak usah terima kasih dong. Ada hal-hal di dalam kehidupan kita yang tidak perlu job description dan SOP, bukan karena sama sekali tidak membantu di dalam kehidupan manusia, bukan, tetapi ini persoalan kepekaan hati nurani. Kalau anak kecil perlu SOP waktu kita mengajarkan mereka setelah mereka menerima permen, es krim atau apapun, kita beritahu SOP-nya, harus melihat mukanya, lalu ucapkan terima kasih, begitu, tetapi orang dewasa tidak perlu hal itu. Kalau kita tergerak silahkan bersyukur, silahkan menyembah Tuhan, tapi apa daya, ternyata tidak semua orang tergerak, hanya orang yang mempunyai pengenalan diri yang rendah, seperti orang Samaria ini yang tergerak, satu-satunya dari 10 orang, menyedihkan gambaran seperti ini. Hanya satu orang yang mengerti apa artinya terima kasih, hanya satu orang yang waras, yang tersentuh, yang terharu, 9 yang lain kemana? Mereka itu seperti binatang, tidak ada ucapan terima kasih, tidak ada ketergerakan, bisa banyak sekali alasannya, tetapi alkitab tidak tertarik untuk menyebutkan itu, mungkin ada diantara mereka yang akhirnya sepertinya menikmati kehadiran Allah di Yerusalem, tetapi mereka menghindari kehadiran Yesus. Kan memang disuruh menunjukkan diri kepada imam-imam (plural), ada tafsiran mengatakan, kenapa plural? Karena ada imam di Samaria, ada imam di Yahudi, ada yang menunjukkan diri di sini atau di sana, jadi mereka mempunyai imam-nya masing-masing.
Tetapi Yesus sebetulnya cukup untuk merelativisasi perbedaan tempat menyembah Tuhan baik di Yerusalem atau di Samaria yang tidak legitimate, dua-duanya tidak perlu dibicarakan termasuk Yerusalem, karena Yesus sendiri sedang ada di sini. Ironis, kalau kita mengalami pertolongan Tuhan, kita mengalami berkat Tuhan, akhirnya kita sendiri kehilangan Tuhan. Mungkin yang seringkali terjadi dalam kehidupan kita adalah kita buang pemberinya, lalu kita sibuk menikmati pemberiannya, menikmati berkatnya, sembilan orang ini sangat mungkin seperti itu. Mereka seperti membuang Yesus, ini orang-orang oportunistik, di sini langsung kelihatan, sekali lagi, yang mana yang jadi sarana, yang mana jadi goal di dalam kehidupan mereka. Yesus ternyata hanya jadi sarana, “kasihanilah kami, kasihanilah kami”, setelah itu sembuh, tahir, eeh ternyata Yesus hanya dijadikan sarana, hanya dipakai saja, mereka lebih tertarik merayakan solusi yang sudah mereka alami. Kesembuhan itu, inilah yang saya nanti-nantikan, tugas Yesus sudah selesai kan? Karena goal di dalam kehidupan saya ini adalah bagaimana saya keluar dari persoalan saya, saya menderita, bagaimana saya keluar dari penderitaan saya? Saya berdoa kepada Tuhan dan Tuhan sudah tolong, ya sudah, goal saya sudah tercapai, ya Yesus itu hanya sekedar sebagai alat di dalam kehidupan saya, yang penting kan bagaimana saya mendapatkan apa yang saya mau? Tapi orang Samaria ini tidak, orang Samaria ini jelas membedakan, yang mana pertolongan Tuhan, yang mana Tuhan, yang mana berkat Tuhan dan yang mana Sang pemberi berkat? Dia kembali kepada Yesus.
Ada satu commentary yang mengatakan satu insight yang menarik untuk saya, again ini diasumsikan, karena Lukas mencatat di sini yang kembali adalah orang Samaria, maka saya pikir kita boleh assume pasti bukan semua Samaria, begitu kan ya? Kalau semuanya Samaria, kalimat ini juga jadi agak aneh, begitu kan ya? Orang itu adalah Samaria, ya tidak usah bicara karena semua Samaria, jadi yang lebih masuk akal adalah ada orang Samaria dan orang Yahudi, begitu kan ya? Kalau semuanya Samari, ya tidak usah bicarakan di sini seorang Samaria, pasti di sini ada orang Yahudi. Tetapi yang disoroti commentary itu menarik,dia katakan, selagi mereka masih di dalam keadaan sakit kusta, seperti ada persekutuan di situ, yang ironis adalah mereka disembuhkan lalu persekutuan itu bubar. Sangat mirip dengan kehidupan kita, waktu kita susah, sepertinya kita bisa lebih dekat dengan sesama kita yang susah juga, tetapi orang kaya itu susah dekat dengan orang kaya yang lain, kalau kita tidak hati-hati, kalau persekutuan kita adalah pesekutuan yang palsu, ooh bisa dekat sih, tetapi urusan profesional, relasi profesional, nearly profesional, begitu kan?
Orang gagal bisa sangat dekat dengan orang gagal yang lain dan terjadi persekutuan yang betul-betul sincere, tetapi orang yang successful, highly successful memang bisa ada persekutuan dengan orang highly successful yang lain, tapi persekutuan yang artificial dan superficial, professional relationship yang hanya ada urusan pekerjaan, tidak ada betul-betul persekutuan dari hati ke hati, sayang sekali. Jadi bubar persekutuannya setelah mereka disembuhkan, itu pasti bukan ulahnya Yesus, kalau saja mereka semuanya kembali menyembah Yesus, memuliakan Allah, datang kepada titik yang satu, sumber pemberi kebangkitan dan segala kebaikan, mereka pasti akan mengalami persekutuan, itu ibadah yang sejati, tidak mungkin tidak, pasti ada persekutuan. Tetapi yang sembilan orang ini tidak kembali kepada Yesus, mungkin mereka masih ada persekutuan juga, persekutuan sembilan orang, sama-sama menunjukkan diri kepada para imam, persekutuan orang-orang yang meninggalkan Yesus, persekutuan orang-orang yang tadinya berdiri agak jauh, setelah Yesus menyembuhkan sekarang lebih jauh lagi dari Yesus, bukan lebih dekat. Banyak ironi yang dicatat di sini, sebenarnya Yesus menyembuhkan supaya mereka bisa menikmati kehadiran Yesus, menjadi dekat dengan Tuhan, bukan dekat dengan Yerusalem, karena Yerusalem sendiri akan menolak dan menjauhkan Yesus.
Yesus berkata kepada orang itu, “berdirilah dan pergilah, imanmu menyelamatkan engkau”, coba kita perhatikan, hanya kepada orang yang kembali ini saja Yesus berkata imamu menyelamatkan. Kita tidak boleh berpikir tertukar, seolah-olah Yesus menunggu terima kasih dahulu, Yesus menunggu orang memuliakan Dia dahulu, menyembah tersungkur kepada Dia terlebih dahulu, baru setelah itu, ooh, karena kamu sudah berterima kasih, maka Saya beri kamu iman keselamatan, bukan seperti itu. Justru karena dia memiliki iman yang menyelamatkan, makanya dia kembali dan tersungkur, memuliakan dan berterima kasih kepada Yesus, itu mengkorfirmasikan bahwa orang ini memiliki iman yang sejati, iman yang menyelamatan dan bukan hanya sekedar iman mukjizat. Zacharias Ursinus dalam commentary Heidelberg katekismus, membedakan all kind of faith, iman yang menyelamatkan, iman yang tidak menyelamatkan, di sini ada certain pergeseran sangat menarik kalau kita membacanya, kalau Calvin tidak mengenal pembedaan seperti ini. Bagi Calvin yang disebut iman itu ya iman, karena dia sedang berurusan dengan orang-orang Roma katolik pada saat itu yang mengajarkan iman, iman, iman lalu menuju kepada penghayatakan yang sangat superstition, takhyul, maka Calvin sangat menekankan pentingnya pengetahuan, knowledge, itu sebagai bagian penting dari pada iman.
Tetapi ketika mulai bergeser kepada generasi berikutnya, orang-orang seperti Zacharias Ursinus, mereka yang ada di Heidelberg, termasuk yang ada di tempat-tempat lain generasi kedua, mereka sudah born di dalam reformed family, mereka terlahir dengan iman reformed, lalu Ursinus mempersoalkan, kamu jangan pikir kamu hanya punya knowledge certain doctrine knowledge, doktrin tentang iman kristen, otomatis kamu pasti memiliki iman yang sejati, maka Ursinus mengatakan, itu historical faith bukan tentu saving faith, ada perbedaan. Orang yang mempunyai iman mukjizat seperti di sini, kategori yang lain yang didaftarkan oleh Ursinus, miraculous faith, ini faith loh, bukan takhyul, Yesus mengeluarkan dari mulutNya memerintahkan, berfirman, dan orang-orang taat, sepuluh-sepuluhnya taat, ada certain obedience, dan mereka mengalami pekerjaan Tuhan yang asli, bukan yang dipalsukan oleh iblis, bukan. Tetapi tetap bukan ini yang menjamin seseorang memiliki iman yang sejati, hati-hati dengan pengalaman-pengalama rohani yang bisa menyesatkan itu.
Saya bukan mau mengatakan bahwa pengalaman rohaninya itu dipalsukan oleh setan, tidak tentu, itu bisa menjadi pengalaman rohani yang dari Tuhan juga. Ada orang yang mempunyai pengalaman waktu kesulitan, kesulitan apapun, lalu dia berdoa kepada Tuhan dan dia betul-betul mengalami sangat konkrit pertolongan Tuhan, kita berpikir bahwa dia pasti sudah memiliki iman yang menyelamatkan, tidak tentu. Pengalaman-pengalaman itu bisa sangat menipu, sekali lagi, bukan Tuhan yang menipu, bukan, tetapi apa sih sebetulnya yang membedakan seseorang yang memiliki iman sejati dengan semacam iman mukjizat-lah, iman historis-lah atau iman yang lahir dari pengalaman-pengalaman yang ditolong oleh Tuhan, memang nyata ditolong oleh Tuhan? Apa yang membedakan? Menurut perikop ini yang membedakan sederhana yaitu respon dari orang ini kepada Tuhan, respon terima kasih, sederhana sekali, respon ucapan syukur, dia say thank you, dia tersungkur, dia memuliakan Allah, inilah iman yang menyelamatkan. Iman yang menyelamatkan bukan berapa banyak kita mengalami pertolongan Tuhan, bukan berapa banyak doa kita dijawab oleh Tuhan, bukan berapa banyak kita mengalami pengalaman-pengalaman spektakuler yang kita bisa mengatakan Tuhan hadir di situ, ya memang Tuhan hadir, betul, Tuhan hadir kok di sini, benar, Kristus hadir waktu menyembuhkan ini, ada encounter meskipun dari jauh, tetapi bukan itu. Yang membedakan adalah respon orang ini yang menyembah dan mengikut Tuhan, seorang yang sadar bahwa tidak layak menerima korban keselamatan Kristus di atas kayu salib. Lalu mempersembahkan seumur hidupnya sebagai satu ekspresi ucapan syukur.
Heidelberg katekismus ditulis di dalam triadiks struktur, bagian pertama tentang miserable state human being, keadaan manusia yang begitu miserable, bagian kedua bicara tentang sotereologi, pembebasan kita from death miserable state, lalu bagian ketiga, bagian yang besar sekali bicara tetang gratitude sebagai respon kita setelah kita diselamatkan. Lalu apa? Lalu kita bersykur, kita merayakan kehidupan ini dengan satu kata sebagai ekspresi ucapan syukur kita kepada Tuhan. Orang yang terus bersyukur, dia menerima terlebih dahulu kan ya? Dia mengembalikan apa yang sudah dia terima, seperti merefleksikan kembali apa yang pernah menerangi dia. Orang yang seperti ini hidupnya sederhana sekali, dia tidak banyak permintaan, tidak banyak expectation, tidak banyak demand. Kenapa seringkali di dalam kehidupan kita banyak sekali ketidakpuasan, unsatisfied karena kita gagal bersyukur, waktu kita gagal bersyukur, akhirnya kita minta terlalu banyak, melampaui apa yang betul-betul kita butuhkan, kita minta, minta, berharap, berharap, very high expectation terhadap segala sesuatu, terhadap gereja, terhadap istri atau suami, terhadap anak, terhadap sesama saya, dst.
Ini bukan mau mengatakan kita jadi pasif dan tidak punya keinginan apa-apa, bukan, tetapi seringkali di dalam kehidupan kita waktu kita kecewa, disappointed, dsb., hanya mau mengatakan satu hal yaitu kita gagal atau kurang bersyukur. Orang yang bersyukur, dia tidak ada harapan lagi kan ya? Kalau kita sudah menerima sesuatu, misalnya kado, kita bersyukur kan ya? Kita tidak akan bersyukur, setelah bersyukur, kita akan minta kado keduanya, itu orang gendeng, dia bersyukur untuk mendapatkan kado kedua, ketiga dst., itu namanya bukan bersyukur. Orang yang bersyukur selalu tidak mengharapkan apa-apa, dia vector-nya kebelakang, mensyukuri apa yang sudah terjadi di past, itu orang yang bersyukur. Dan kekristenan digerakkan dengan spirit ini, spirit yang melihat kebelakang, Yesus yang sudah mati bagi kita, lalu kita melihat kebelakang, kita bersyukur Yesus sudah melakukan ini, lalu sepanjang kehidupan kita, kita responi dengan ucapan syukur. Sehingga ayat yang kita baca dari Mazmur tadi, Mazmur keheranan itu tidak seharusnya terjadi di dalam kehidupan orang kristen. Despite Tuhan sudah memberikan begitu besar, cinta kasihNya, tetapi manusia kok tetap tidak bersyukur ya? Kita bisa mengkoreksi fakta yang unfortunately seringkali terjadi di dalam dunia ini, kiranya Tuhan meberkati kita semua. Amin. Amin.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (AS)