Minggu sebelumnya kita sudah membahas sampai ayat 4, kita akan melanjutkan ayat 5-13. Sedikit mengulang, Yohanes sangat dekat menggunakan bahasa penciptaan seperti yang tertulis dalam kitab Kejadian yaitu Tuhan menciptakan. Dalam Kejadian, penciptaan pertama adalah penciptaan umat Allah yaitu Israel, dalam pasal-pasal tentang Abraham, Ishak, Yakub, Yusuf. Kemudian dari situ ditarik ke awalnya yaitu penciptaan seluruh alam semesta, karena Yahweh yang dipercaya orang Israel bukan hanya Pencipta umat Israel tapi juga Pencipta alam semesta. Lalu dalam Yohanes kita melihat penciptaan juga yaitu penciptaan umat Allah, orang-orang yang percaya kepada Yesus Kristus, melalui benih yang kudus bukan benih yang fana, bukan yang berasal dari dunia ini tapi dari atas.
Ketika di ayat 4 dikatakan: “di dalam Dia (di dalam Firman/ Logos) ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia”, di sini ada 2 kata yang sangat mengingatkan kita pada Kejadian, yaitu tentang “hidup” dan “terang”. Ketika pada mulanya Tuhan menciptakan langit dan bumi –dalam Kejadian– penciptaan pertama adalah penciptaan terang, lalu Tuhan memisahkan terang dengan gelap. Terang mendahului semua penciptaan yang lain. Tanpa terang tidak ada kehidupan. Yohanes dalam pemahaman yang mengaitkan antara yang jasmaniah dengan yang bersifat rohani, menggunakan istillah “terang” ini dengan meaning yang ditransfer, diperdalam, atau di-integrasikan ke dalam konteks spiritual; “terang” yang dibicarakan bukan hanya terang secara fisik tapi terang dalam pengertian rohani juga. Dalam Kejadian, Tuhan menciptakan terang dan tanpa terang tidak ada kehidupan. Tuhan tidak menciptakan tumbuh-tumbuhan, binatang, apalagi manusia sebelum menciptakan terang. Tuhan menciptakan terang lebih dahulu, baru menciptakan kehidupan. Maka waktu dikatakan “hidup itu adalah terang manusia”, di sini Yohanes meng-integrasikan antara kehidupan dan terang; hidup itu adalah terang itu sendiri, tanpa terang tidak ada kehidupan. Yang dimaksud Yohanes: tanpa “terang” ini, yang adalah Firman, manusia tidak mungkin ada kehidupan karena kehidupan bukan cuma didefinisi dalam pengertian jasmani/ biologis tapi juga dalam pengertian rohani.
“Terang” dalam bahasa Yohanes secara motif dekat sekali dengan “kebutaan”, yaitu orang yang tidak bisa melihat. Dalam kegelapan manusia tidak bisa melihat , tidak bisa bergerak, tidak bisa berjalan dalam pengertian tidak ada arah/ tujuan. Hanya di dalam terang manusia bisa hidup, bisa bergerak, bisa berjalan, dst. Maka pengertian tentang terang sangat berkaitan dengan pencelikan sehingga manusia bisa melihat. Dalam pengertian “melihat” ini –bukan hanya biblical study tapi juga kaitan dengan motif kontemporer– orang suka menggunakan istilah terang. Abad Pencerahan/ Enlightenment pakai istilah enlighten/ pencerahan, yang maksudnya sebelumnya orang masih dalam kegelapan lalu enlighten. New Age juga memakai istilah seperti ini, mereka menyatakan mendapat semacam “pencerahan” sehingga dapat melihat dengan jelas menurut filsafat mereka. Bahkan juga bidat-bidat dalam zaman gereja mula-mula –Gnostik, dsb.– suka sekali menggunakan istilah “terang”. Terang itu kontras dengan gelap, tapi tentu saja mereka masing-masing memiliki definisi sendiri yang dimaksud dengan terang maupun gelap. Menurut filsafat New Age, orang yang dicerahkan adalah orang yang bisa melihat bahwa segala sesuatu, baik kita, binatang, maupun tuhan dan ciptaan-ciptaan yang lain, pada dasarnya satu substance. Enlightenment mempunyai definisi yang lain lagi, tapi tentu saja itu semua bukan yang dikatakan Alkitab.
Alkitab yang kita baca dalam Yohanes, mengaitkan terang dengan kebutaan/ manusia yang tidak bisa melihat. Di dalam kegelapan, manusia tidak bisa melihat apa? Pertama, manusia tidak bisa melihat kemuliaan Allah yang dinyatakan di dalam kemuliaan Kristus. Bicara tentang kemuliaan Allah saja, manusia sulit sekali melihat, apalagi kemuliaan Kristus. Akhir-akhir ini ada gerakan New Ateism, pelopornya antara lain Richard Dawkins yang menulis The God Delusion, dan mendapatkan pengikut yang cukup signifikan. Ateisme itu menunjukkan bahwa memang manusia tidak menyukai terang dan lebih suka dalam kebutaan rohani, manusia lebih suka untuk tidak melihat daripada melihat sebagaimana Tuhan melihat. Karena waktu manusia melihat sebagaimana Tuhan melihat –artinya masuk ke dalam realita sebenarnya– realita itu seringkali membuat kita inconvenience; kita tidak suka melihatnya karena itu membongkar kita apa adanya termasuk keberdosaan dan berapa gelapnya hati kita, dst. dst. Tapi hanya dalam terang ini, ada pengharapan. Terang yang mencelikkan manusia dari kebutaan rohani.
Ayat 5 “Terang itu bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak menguasainya”. Dalam ISV memakai kata kerja “overcome” yang memang dekat sekali dengan terjemahan bahasa Indonesia “menguasai”, dan kita langsung mengerti kegelapan tidak dapat menguasai terang, karena kegelapan itu non existence, tidak dapat menguasai existence. Dalam hal ini, Ateisme adalah kepercayaan akan non existence, dan non existence itu tidak mungkin menguasai existence. Argumentasi kuno dari Anselmus tentang keberadaan Allah — kita tidak mengatakan sebagai evidence/ pembuktian keberadaan Allah melainkan testimony/ kesaksian– ia menggunakan pemikiran sederhana: kalau kita menyebut istilah “allah”, itu adalah istilah yang diterapkan untuk sesuatu yang paling besar yang kita tidak bisa memikirkan ada yang lebih besar lagi daripadanya. Lalu selanjutnya, seandainya ada pilihan “Allah itu exist” dan “Allah itu tidak exist”, mana yang lebih besar, existence atau non existence ? Jawabannya tentu exisence. Maka, Allah yang non exist tentu tidak lebih besar daripada allah yang exist, sehingga kesimpulannya allah yang non exist itu bukan Allah; dan orang yang mengatakan “Allah tidak ada” itu salah, kontradiksi secara istilah. Kita tidak harus pakai argumentasi Anselmus, tapi mirip dengan ini memang kegelapan yang adalah non existence tidak mungkin menguasai terang yang existence. Kita bahkan tidak bisa membicarakan non existence itu tanpa yang existence. Ada orang mengatakan bahwa pembicaraan tentang meaning of life tidak akan pernah ada kalau memang tidak ada meaning of life. Orang Kristen bilang bahwa hidup ini ada arti, tapi orang Free Thinker mengatakan hidup ini tidak ada artinya. Lalu kalau memang hidup ini tidak ada artinya, mengapa ada pembicaraan tentang “ada arti” dan “tidak ada arti” kalau memang tidak ada arti? Dari mana istilah “arti” ini muncul? Kita tidak bisa membicarakan sesuatu yang tidak ada pengertiannya sama sekali. Contoh saya ambil istilah yang tidak ada arti sama sekali lalu mengatakan “di dalam dunia ada soklo”, maka Saudara akan berpikir “soklo itu sejenis binatang atau semacam kursi, atau makanan atau apa?” Pembicaraan ini jadi pembicaraan yang absurd karena soklo tidak pernah ada, non existence. Kalau memang tidak ada “arti”, maka pembicaraan tentang “arti” doesn’t make sense.
Terang itu bercahaya, kegelapan tidak bisa menguasai terang yang bercahaya. Tapi ada terjemahan lain yang dipakai oleh KJV, juga dalam terjemahan Latin yang dipakai Calvin dari Vulgata. Calvin menggunakan terjemahan ini, yaitu bukan “overcome / menguasai” tapi “comprehend / memahami”. Terang itu bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan tidak comprehend, tidak menguasai, dalam pengertian tidak bisa memahami. Di sini berarti bicara tentang pengertian,dan memang sangat relevan dalam zaman itu karena Calvin membawa orang-orang Kristen di dalam abad yang gelap, yang seperti kenal Tuhan tapi tidak mengerti Tuhan itu siapa. Sampai sekarang pun banyak orang Kristen seperti ini, yang memang Kristen tapi tidak bisa menjelaskan iman Kristen. Petrus mengatakan: “pertanggung jawabkan imanmu”, tapi ini tidak bisa mempertanggung jawabkan karena tidak bisa meng-artikulasikan iman Kristen itu apa, hanya somehow feeling saya, saya ini Kristen. Kegelapan itu tidak memahaminya. Waktu orang diterangi oleh terang itu, kegelapan tidak bisa memahaminya. Maka waktu kita memberitakan Injil, Kristus, Firman Tuhan, lalu orang tidak bisa memahami, itu adalah wajar. Kecuali terang itu sendiri memberikan pencelikan/ iluminasi sehingga ia bisa memahami, kegelapan tidak akan bisa memahami. Kegelapan bukan cuma tidak menguasai, tapi juga tidak memahami terang.
Memakai gambaran orang buta, bagi orang buta ada terang atau tidak ada sama saja karena ia buta (secara fisik maksudnya). Bagi dia selalu gelap. Baik siang maupun malam, tidak bisa melihat; terang maupun gelap, tidak ada bedanya. Ia tidak memahami terang. Orang yang berjalan di dalam kegelapan rohani tidak akan memahami terang. Hal itu bukan masalah kurang tinggi IQ-nya, atau kurang berpendidikan, tidak bisa berpikir rumit, dsb. tapi waktu kebenaran diberitakan tidak ada resonansi, gak nyambung, maka tidak bisa mengerti. Ini seperti perkataan Yesus tentang kalimat di dalam kitab Yesaya “kamu mendengar tapi tidak mendengar, melihat tapi tidak melihat, mengerti jangan”, suatu gambaran yang menakutkan. Ini bukan soal mendengar secara fisik tapi secara hati; melihat bukan cuma secara jasmani tapi melihat dengan terang Tuhan, melihat dalam visi rohani bukan hanya visi jasmani. Terang bercahaya di dalam kegelapan, kegelapan itu tidak menguasainya, atau tidak memahaminya.
Selanjutnya ayat 6 “Datanglah seorang yang diutus Allah, namanya Yohanes”. Semua Injil mencatat bahwa Yesus datang didahului oleh Yohanes (Pembaptis). Profil dari Injil Yohanes berbeda dengan Lukas waktu bicara tentang Yohanes Pembaptis, meski sama-sama menyatakan bahwa Yohanes Pembaptis mempersiapkan kedatangan Mesias. Lukas menekankan kontinuitas Perjanjian Lama dengan Perjanjian Baru,Tuhan yang sudah bekerja dalam Perjanjian Lama, Tuhan yang sama terus bekerja dalam sejarah keselamatan. Yohanes Pembaptis dalam konteks Lukas, mewakili semua nabi Perjanjian Lama dan dialah klimaksnya, yang mempersiapkan Kristus. Dalam Injil Yohanes, profil Yohanes Pembaptis adalah seorang yang diutus Allah. Istilah “diutus Allah” merupakan kosakata “nabi”, yang diutus Allah dalam Perjanjian Lama adalah nabi. Nabi ada yang diutus Allah, ada yang tidak diutus Allah. Yesus Kristus diutus dari Bapa, menyatakan kenabian Yesus Kristus; meskipun istilah Yesus sebagai nabi hampir tidak pernah muncul, tapi konsep itu jelas sekali dalam Yohanes.
Waktu dikatakan bahwa Yohanes (Pembaptis) diutus Allah, itu menyatakan bahwa ia nabi yang sejati. Tapi di sini relasinya dikaitkan dengan motif “terang” (dalam Lukas tidak ditekankan). Ada kaitan antara Firman dan terang, maka yang mempersiapkan Firman ini –Yohanes Pembaptis– juga dikaitkan dengan terang. Maksudnya apa? Ayat 7 dikatakan “ia datang sebagai saksi untuk memberi kesaksian tentang terang itu”. Kita tahu terang itu adalah Pribadi Kedua, yaitu Yesus Kristus yang adalah Firman; dan Yohanes ini memberi kesaksian tentang terang itu “supaya oleh dia semua orang menjadi percaya.” Kalimat yang sangat terkenal dari Yohanes Pembaptis, ia menunjuk kepada Kristus dan mengatakan, “Lihatlah Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia”. Kalimat ini muncul dalam Injil Yohanes. Dalam diri Yohanes Pembaptis kita melihat satu kehidupan yang menunjuk kepada Kristus, yang menunjuk kepada Terang, yang memberi kesaksian tentang Terang. Apa maksudnya kalimat ini dan mengapa Yohanes penulis Injil perlu memberi catatan seperti ini?
Jawabannya bisa kita baca dalam ayat 8 “Ia bukan terang itu, tetapi ia harus memberi kesaksian tentang terang itu”. Ada satu persoalan yang memang bisa terjadi. Yohanes Pembaptis orang yang sangat berkarisma (karismatis), dan orang yang karismatis seperti ini pengikutnya banyak sekali, bahkan pada saat itu ada yang berpikir bahwa dialah Mesias. Ada yang berpikir bahwa Yohanes ini adalah terang, atau setidaknya terang yang luar biasa, menyilaukan sekali. Nabi-nabi Perjanjian Lama tidak ada yang memberitakan firman seperti dia, semuanya redup, tapi begitu dia memberitakan, kuasanya besar sekali, terang sekali. Oleh karena itu Yohanes penulis Injil mengatakan: “ia datang sebagai saksi, memberi kesaksian tentang terang”. Saksi tentang Terang adalah terang, tapi tidak lebih terang dan tidak mungkin lebih terang daripada Terang itu sendiri. Ayat 9 “Terang yang sesungguhnya, yang menerangi setiap orang, sedang datang ke dalam dunia”, di sini The True Light (Terang yang sesungguhnya) bukan dikontraskan dengan the false light (terang yang palsu), melainkan dalam pengertian bahwa ada Terang sesungguhnya yaitu Firman, dan terang-terang kecil yang menunjuk kepada Terang yang sesungguhnya itu. Apa poin dari hal ini?
Kita musti berhati-hati waktu menjadi saksi Kristus jangan sampai terang itu mengaburkan Terang yang sejati sehingga akhirnya natur dari saksi itu berhenti pada sang saksi. Yohanes Pembaptis selalu menunjuk kepada Yesus Kristus “lihatlah Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia”. Ia sendiri sudah terang sekali dibandingkan pemimpin-pemimpin agama yang lain, tapi Yohanes penulis Injil, me-relativisasi terang Yohanes Pembaptis dengan mengatakan bahwa dia adalah saksi, yang memberi kesaksian tentang Terang itu. Ini bukan masalah sederhana. Ada kesulitan-kesulitan pada diri orang Israel untuk bisa melihat cahaya Kristus, karena terang Musa terlalu menyilaukan mereka. Terang Abraham juga terlalu menyilaukan mereka, “kami ini keturunan Abraham”; Abraham begitu terang bagi mereka. Abraham memang terang bukan gelap. Musa memang terang, dia yang dipakai Tuhan memberikan Taurat kepada bangsa Israel, tentu saja ia sangat terang. Dan mereka melihat terang daripada Musa ataupun terang daripada Abraham sampai tidak bisa melihat terang daripada Kristus. Bukan salahnya Abraham atau Musa, yang bertanggung-jawab atas atas resepsi yang salah itu adalah orang itu sendiri yang confused antara Terang sesungguhnya dengan terang yang adalah reflektornya.
Bulan itu terang, tapi tetap tidak bisa dibandingkan dengan sumber aslinya yaitu matahari. Bulan cuma reflektor; sinar matahari yang diterimanya dipancarkan lagi ke bumi. Maka waktu kita melihat terang bulan, jangan lupa sebetulnya itu bukan terang daripada bulan melainkan terang matahari yang direfleksikan/ dipancarkan oleh bulan itu. Persoalannya bisa terjadi waktu terang reflektor ini menjadi terlalu terang. Ini bukan kesalahan dari reflektornya melainkan kesalahan penerimaan, yang melihat itu sebagai terang yang terlalu terang sampai menghalangi orang datang kepada Terang yang sesungguhnya. Siapa “terang-terang” itu? Kalau di dalam Alkitab adalah orang-orang seperti Yohanes Pembaptis, Musa, Abraham. Bahkan dalam Yohanes 4, perempuan Samaria itu berkata “adakah Engkau lebih besar daripada Yakub yang membangun sumur ini?”; baginya Yakub adalah terang sampai ia tidak bisa melihat Yesus yang mau memberikan air hidup, karena Yakub terlalu terang dalam pikirannya. Sekali lagi, persoalannya bukan ada pada Yakub atau Musa atau Abraham ataupun Yohanes Pembaptis, melainkan ada pada pengikutnya.
Siapa orang-orang ini, yang berpotensi bersaing dengan Terang yang sesungguhnya? Sadly, itu adalah orang-orang yang adalah pemimpin-pemimpin agama. Terang yang bersaing dengan Kristus bukanlah malaikat yang jatuh, bukan juga Herodes, bukan Pilatus, bukan Nero –orang lihat Nero langsung tahu dia itu gelap– tapi, yang berpotensi menyaingi Terang yang asli justru adalah orang-orang seperti Yohanes, seperti Abraham, Musa, Yakub, dsb. Lalu kalau bagi kita, ya, Saudara pikir sendiri siapa yang berpotensi menjadi terang yang akhirnya mengaburkan kita untuk melihat Terang yang sesungguhnya karena orang tersebut dalam resepsinya terlalu besar sedemikian rupa. Kita yang di Reformed, jangan sampai Calvin atau reformator-reformator yang lain terangnya terlalu besar melampaui Kristus. Juga orang-orang lain yang kita anggap penting dalam kehidupan kita, jangan sampai bagi kita terangnya terlalu besar sampai akhirnya kita tidak bisa melihat Kristus; karena memang ada potensi seperti itu. Maka di sini Yohanes penulis Injil mengatakan “ia datang sebagai saksi untuk memberi kesaksian tentang terang itu, supaya oleh dia semua orang menjadi percaya”. Percaya kepada siapa? Tentu saja kepada Terang yang sesungguhnya bukan kepada Yohanes.
Sekali lagi, pointing character yang menunjuk kepada Kristus seperti dilukiskan oleh Matthias Grünewald dalam lukisan “The Crucifixion”. Dalam lukisan itu ada Yesus yang tersalib dalam gambaran yang begitu brutal, kemudian ada tangan yang menunjuk –tangan dari Yohanes Pembaptis– dan ada tulisan bahasa Latin yang artinya dari ayat Alkitab “Dia harus semakin besar, aku semakin kecil”. Kita tahu dalam kehidupan Yohanes Pembaptis, literally ia semakin kecil. Bagi kita, ngomong sih gampang, tapi waktu Yohanes mengatakan kalimat itu, murid-muridnya betul-betul satu per satu meninggalkan dia kemudian mengikut Kristus, dan terakhir hidupnya berujung pada penjara, kesepian, dan mungkin –at least gambaran yang kita lihat dalam profil Injil tertentu– goncang imannya. Literally, Yohanes semakin kecil dan Yesus semakin besar. Kehidupannya adalah satu kehidupan yang menunjuk kepada Terang. Maka dikatakan ayat 8, Yohanes bukan terang itu tapi dia harus memberi kesaksian tentang Terang.
Orang yang memberi kesaksian tentang Terang, ia sendiri menjadi terang. Waktu kita sendiri berusaha menjadi terang dan tidak menunjuk pada Terang yang sesungguhnya, justru jadi redup, tidak terang. Itulah kejatuhan Setan. Karena ia tidak mau pointing to Christ, tidak mau menyembah kepada Anak Allah itu, mau sendirinya lebih glorious, mau lebih mulia, lebih terhormat, lebih terang daripada Terang yang sejati, maka akhirnya bukan jadi terang malah jadi gelap luar biasa. Orang yang terus bicara tentang dirinya –kelebihannya, kebaikannya, betapa bijaksananya dia, dsb. — itu gelap sekali, tidak menarik, tidak mungkin menjadi terang.
Manusia naturnya adalah reflektor, bukan sinar itu sendiri. Maka waktu dikatakan “ia harus memberi kesaksian tentang terang itu” (he came to testify the light), itu seperti keharusan dalam pengertian memang natur dari Yohanes –dan kita semua, dan Gereja– adalah harus memberi kesaksian tentang Terang itu, atau kalau tidak, kita bukan lagi Gereja, bukan lagi pengikut Kristus. Waktu manusia tidak menunjuk kepada Terang, ia akan menjadi gelap karena ia berhenti menjadi reflektor. Waktu bulan tidak mau lagi menerima cahaya dari matahari, ia pasti langsung gelap, seperti ketika gerhana bulan. Natur bulan adalah memberi kesaksian tentang sinar matahari. Natur manusia adalah memberi kesaksian tentang Firman, atau kalau tidak, ia menjadi gelap, berjalan di dalam kegelapan. Yohanes menjadi terang karena memberi kesaksian tentang Terang; harus memberi kesaksian tentang Terang karena memang itu adalah naturnya.
Dalam kehidupan kita, waktu kita semakin menyaksikan Kristus, memberitakan Injil, mempermuliakan Kristus, maka hidup kita semakin berada di dalam terang. Tapi dunia mengajarkan yang berbeda. Dunia mengajarkan kita untuk perlombaan terang. Kita tidak senang melihat sesama kita terang, lalu kita mencoba jadi lebih terang daripada dia, lebih terang lagi dan lebih terang lagi karena terang orang lain seperti mengancam kita. Akhirnya kita membuat orang lain jadi iri, lalu gantian dia mau jadi lebih terang daripada kita. Itulah cerita daripada dunia, perlombaan untuk makin lama makin terang. Lalu apa cerita daripada Kekristenan? Bukan perlombaan untuk makin lama makin redup, itu juga bukan cerita daripada Alkitab, melainkan kita merefleksikan Terang yang sesungguhnya, dan dengan itu menjadi terang. Kita tidak bisa menjadi terang jika tidak merefleksikan Terang yang sesungguhnya. Itulah natur manusia. Maka kekristenan memberikan jawaban antropologis yang paling sempurna dalam hal ini, Saudara dapat membandingkan dengan agama-agama lain. Kekristenan mengajarkan, kita adalah manusia karena kita merefleksikan terang yang kita terima yaitu Kristus, Firman itu.
Yohanes Pembaptis memberi kesaksian tentang terang; Terang yang sesungguhnya, yaitu Firman itu, menerangi setiap orang dan sedang datang ke dalam dunia. Apa maksudnya “menerangi setiap orang” di sini? Calvin mengatakan bahwa itu bukan bicara tentang saving light atau regeneration, melainkan dalam pengertian “common grace”, istilah yang muncul belakangan dalam Teologi Reformed. Terang yang diberikan kepada semua manusia sehingga tidak ada manusia yang bisa excused dengan mengatakan “saya tidak mendapatkan terang” karena terang itu menerangi setiap orang seperti matahari menerangi semuanya. Apa maksudnya terang ini? Bukan dalam pengertian terang yang menyelamatkan, melainkan –seperti dikatakan Calvin– yaitu ada 2 bagian, first, all men naturally possess some seed of religion; secondly, the distinction between good and evil is engraven on their consciences. Pertama, terang itu menerangi setiap orang, dan setiap orang mempunyai perasaan keagamaan tanpa perlu diajari. Dalam kultur apapun, bangsa apapun, bahasa apapun, manusia punya pemahaman akan terang meskipun kabur dan mereka tidak betul-betul berespon dengan benar. Ini sangat comparable dengan yang dicatat Paulus dalam Roma 1, bahwa itu nyata dalam dunia ciptaan dan manusia tidak bisa berdalih, tapi manusia menekan kebenaran itu, yaitu kebenaran/ terang yang umum, kecenderungan manusia beragama yang seharusnya memimpin kepada Firman. Tapi manusia lebih suka kegelapan daripada terang itu, manusia tidak memahami terang itu. Kedua, manusia, bagaimanapun juga sebenarnya mengetahui yang baik dan jahat. Dalam gambaran contemporary society saat ini semuanya –pembicaraan tentang gender issue, dsb. — begitu kacau balau yang kadang kita sampai merasa “koq bisa ya, orang berpikir seperti itu”, tapi di tengah-tengah kegilaan ini, orang masih cukup waras untuk mengatakan bahwa mneyiksa binatang adalah lebih jahat daripada menyayangi binatang; orang masih cukup waras untuk mengatakan bahwa membunuh sesama manusia itu lebih jahat daripada mengasihi. Dalam zaman yang sudah begitu rusak, tetap dari hati nuraninya manusia bisa membedakan mana yang baik, mana yang jahat. Mendengar firman Tuhan juga seperti itu, bukan masalah bagaimana kita bisa berpikir rumit, kompleks, IQ tinggi, dsb., melainkan bicara tentang kejujuran hati nurani. Moral bicara tentang kejujuran hati nurani; kalau hati nuraninya jujur, dia tahu, tapi manusia suka berdalih. Manusia bahkan menggunakan alasan-alasan teologis untuk membenarkan dirinya sendiri, tapi sebenarnya jauh di dalam hatinya dia tahu, bukan tidak tahu good and evil. Inilah yang dikatakan “terang yang sesungguhnya menerangi setiap orang”, yaitu setiap orang mempunyai konsep good and evil , manusia tidak bisa berdalih.
Manusia juga sebenarnya sudah ditanamkan kerinduan untuk mencari yang mahatinggi itu, yang mahakuasa itu, yang mahabesar itu. Tapi manusia menolak, menekan sense of Deity itu sehingga akhirnya ia menciptakan berhala-berhala dalam kehidupannya. Saudara jangan pikir, “Puji Tuhan, saya sudah Kristen, saya menyembah Tuhan; orang-orang di luar Kristen itu yang kasihan”, karena kita tidak bebas akan hal ini. Ini dialektis; ini bukan masalah hitam putih “saya tidak ada berhala, mereka ada berhala karena belum berjumpa Allah yang sejati”. Karena, jika tidak berhati-hati kita pun bisa ada idolatery. Idolatery yaitu waktu kita menolak pengenalan Allah yang sejati yang digambarkan oleh Alkitab, lalu kita menciptakan konsep “allah” kita sendiri.
Manusia tidak bisa tidak dikatakan “created after God’s image”. Dalam Kejadian kita tahu bahwa itu maksudnya created after theTrue God, Allah yang sejati. Tapi bisa ditafsir agak luas dalam pengertian begini : manusia, bagaimanapun juga created after god’s image, regardless God yang benar ataupun god yang palsu. Manusia tidak bisa tidak, akan menjadi cetakan dari allah yang dia percaya. Termasuk juga orang-orang Ateis, waktu ia percaya “ketidak beradaan Allah” maka ia akan created after gambaran nihilisme seperti itu sehingga hidup juga pasti tidak ada artinya; itu konsisten. Dalam hal ini, kalimat Bertrand Russell sangat tepat: “Kecuali Allah itu ada, maka seluruh pembicaraan tentang arti hidup manusia itu meaningless”. Saya setuju 100% dengan kalimat Bertrand Russell yang ateis ini, karena meaning of life sangat berkait dengan keberadaan Allah; kalau Allah tidak ada, tidak mungkin ada meaning. Dalam hal ini dia betul cuma sayangnya dia tetap memilih Ateisme. Kita percaya Allah ada, maka kita percaya hidup ada meaning. Tapi orang yang tidak percaya ada Allah, memang betul tidak ada meaning; ini jauh lebih konsisten daripada mengatakan “Allah tidak ada” tapi klaim masih ada meaning, karena pertanyaanya: meaning dari mana? Siapa yang menciptakan meaning itu? Kita sendiri? Itu kontradiksi secara filosofi.
Waktu manusia ditanamkan kebenaran umum itu di dalam hatinya, dan dia menekan, maka yang tadinya manusia diciptakan after God’s image akhirnya dia menciptakan “tuhan” yang menurut image dirinya. Dan yang ironis, pada akhirnya allah ciptaan tersebut berbalik mendefinisikan kehidupan orang itu, karena manusia always created after God’s image. Orang yang allahnya adalah uang, ia menjadi seperti uang. Orang yang allahnya adalah perasaannya, dia akan menjadi seperti perasaannya itu. Selalu akan kembali mendikte dia. Kecuali orang kembali kepada Allah yang sejati –kepada Kristus– baru dia akan didefinisikan menurut kehidupan Kristus.
“Terang yang sesungguhnya, yang menerangi setiap orang, sedang datang ke dalam dunia”, bicara tentang wahyu umum –common grace– tapi sayangnya common grace ini tidak ditanggapi manusia dengan benar, tidak membawa manusia kepada kebenaran yang lebih dalam lagi. Manusia menekan kebenaran tersebut. Tapi ayat ini menyatakan bahwa sebenarnya manusia tidak ada excused. Kita berhenti di sini dulu.
Kiranya Tuhan memberkati kita semua dan kiranya Tuhan menolong kita semua untuk terus menaati yang dinyatakan dalam Firman-Nya.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)