Hari ini menurut Kalender Gereja adalah Minggu terakhir, yang disebut dengan Minggu Kekekalan (Eternal Sunday); setelah itu masuk ke kalender gereja yang baru, yang dimulai dengan Minggu Adven Pertama. Dalam Minggu Kekekalan ini perenungannya adalah tentang visi eskatologis. Minggu lalu kita sudah merenungkan mengenai penghakiman terakhir, dan hari ini masih berkaitan dengan tema eskatologi tersebut.
Perikop kitab Wahyu ini sangat padat dengan teologi Perjanjian Lama. Memang antara Perjanjian Lama dengan Perjanjian Baru ada kontinuitas. PPerjanjian Baru bukan sama sekali baru, yang tidak ada kaitannya dengan Perjanjian Lama, melainkan sudah dibicarakan dalam Perjanjian Lama sebagai nubuatan, dan kemudian akan digenapi; bahkan Wahyu 21 ini pun masih merupakan nubuatan. Di bagian ini Saudara mendapati istilah ‘langit baru’ dan ‘bumi baru’. Ini mengingatkan kita pada penciptaan di dalam Kejadian, ‘Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi’ –langit dan bumi yang pertama, yang lama.
Namun sebagaimana kita tahu, langit dan bumi tersebut –khususnya bumi– setelah diciptakan, manusia sebagai mahkota ciptaan jatuh ke dalam dosa. Ini seperti mengacaukan order yang dibuat oleh Tuhan, karena penciptaan bicara tentang keteraturan, order of creation, lalu dengan masuknya dosa terjadi kekacauan, disorder. Itu sebabnya di dalam kehidupan ini segala sesuatu tidak selalu tertata rapi, peperangannya adalah dalam hal bagaimana kuasa penciptaan yang dari Tuhan dapat terus mewarnai kehidupan kita. Tetapi, setelah kejatuhan manusia ke dalam dosa, bukan berarti pekerjaan Tuhan jadi berhenti, dalam pengertian Tuhan tidak bisa lanjut lagi karena sudah dirusak oleh manusia. Memang kerusakannya dalam dan menyeluruh, tapi ada penciptaan kembali (re-creation); manusia dilahirkan, itu adalah physical generation, dan kita percaya ada kelahiran kembali, spiritual regeneration. Jadi, pekerjaan Tuhan jalan terus. Kejatuhan manusia yang mengakibatkan kekacauan (disorder) dalam ciptaan, itu tidak membubarkan atau membatalkan rencana Tuhan, karena segala sesuatu terjadi di dalam kedaulatan Tuhan.
Memang, waktu kita memahami dosa/kejahatan (evil), entah di dalam pengertian kejahatan moral (morally evil) atau dalam pengertian keburukan seperti penderitaan, sakit penyakit, dsb., selalu ada misteri yang kita tidak bisa mengerti sepenuhnya –dan it’s OK untuk tidak mengerti sepenuhnya. Saudara jangan seperti Georg Wilhelm Friedrich Hegel yang berusaha mengerti gerakan Absolute Spirit –yang tentu saja berbeda dengan Roh Kudus– berusaha untuk mengerti gerakannya lalu coba menjelaskan ‘kejatuhan dalam dosa’ sebagai sesuatu yang perlu demi ada penebusan, dsb., bahkan dengan cara pikir Trinitarian. Tapi kayaknya Alkitab tidak mengajarkan kita seperti itu; tidak ada gambaran seperti itu di dalam Alkitab. Yang kita lihat di dalam Alkitab, memang betul dosa masuk ke dalam dunia, tetapi sebetulnya manusia tidak sanggup merusak rencana Tuhan sepenuhnya. Kenapa? Karena Kristus adalah Alfa dan Omega, sebagaimana kita baca dalam bagian ini. Lalu kenapa cuma alfa dan omega, tidak alfa, beta, delta, gamma, dsb.? Dalam hal ini, cukup hanya dengan menyebut Alfa dan Omega bukan berarti hanya yang awal dan yang akhir sementara tengah-tengahnya tidak termasuk; waktu dikatakan bahwa Kristus adalah Yang Awal dan Yang Akhir, itu berarti termasuk segala sesuatu yang ada di antara alfa dan omega adalah dipimpin oleh Allah yang berdaulat –termasuk juga cerita ‘kejatuhan dalam dosa’. Jadi, Allah bukan cuma berdaulat pada penciptaan awal (alfa), dan kemudian pada waktu langit dan bumi yang baru (omega), sementara di tengah-tengahnya terjadi kekacauan yang dirusak manusia –bukan seperti itu. Yang seperti itu, bukan visi eskatologi Kristen. Bahkan kejatuhan dalam dosa, kekacauan, badai dalam kehidupan, sakit-penyakit, tangisan dan penderitaan, dsb., yang berada di tengah-tengah alfa dan omega itu, adalah di dalam kedaulatan Tuhan, di dalam pengaturan Allah yang berdaulat. Kita membaca dalam Kejadian penciptaan yang pertama, dan kemudian dosa masuk, namun Tuhan jalan terus. Demikian juga kehidupan Saudara dan saya yang mungkin berantakan, terjadi kekacauan, tapi Tuhan jalan terus sebetulnya. Berantakannya kehidupanmu dan kehidupanku, itu tidak menghentikan pekerjaan Tuhan. Tuhan akan jalan terus. Kita musti percaya ini, karena jika tidak, hidup jadi seperti yoyo, ‘di atas, di bawah, di atas, di bawah’, dst.; atau sebagaimana orang katakan ‘hidup itu seperti roda, kadang di atas, kadang di bawah’, dst. –perkataan yang ada semacam bijaksananya namun tidak terlalu menghibur juga. Kalau kita melihat dalam gambaran ‘alfa dan omega’ ini, maka entah hidup kita ada di atas atau di bawah atau di manapun, sebetulnya Tuhan mengontrol semuanya.
Di dalam kitab Yesaya, Yes. 66:22, bagian yang sangat terakhir dari kitab Yesaya, dikatakan: ‘Sebab sama seperti langit yang baru dan bumi yang baru yang akan Kujadikan itu, tinggal tetap di hadapan-Ku, demikianlah firman TUHAN, demikianlah keturunanmu dan namamu akan tinggal tetap.’Perhatikan di sini, waktu bicara ‘langit yang baru’ dan ‘bumi yang baru’, ini berarti langit yang lama dan bumi yang lama itu berlalu. Lalu perhatikan, apa yang tinggal tetap? Yaitu 3 hal: firman Tuhan, keturunanmu, dan namamu. Sekai lagi, firman Tuhan akan tinggal tetap, keturunanmu akan tinggal tetap, dan namamu akan tinggal tetap. Dalam hal ini, mari kita juga membaca Wahyu dalam kaitan Yesaya 66; waktu dikatakan ‘langit yang baru’ dan ‘bumi yang baru’, ini bisa kekal karena Tuhan menggenapinya dengan Firman —dengan Kristus— dan Kristus itu kekal. Dengan demikian, kalau kita berbagian di dalam Kristus, maka kita kekal; kalau kita meninggalkan Kristus, kehidupan kita akan kacau, kita tidak akan berbagian di dalam kekekalan itu.
Waktu manusia bicara tentang kekekalan, dia bisa mimpi akan kehidupan yang lebih panjang, dsb., tetapi eskatologi pengharapan Kristen berbeda dengan yang seringkali jadi aspirasi manusia dalam dunia ini, yaitu sehat, bahagia, selalu tersenyum, tidak ada ratap tangis, tidak ada sakit penyakit, dsb., yang seperti mirip sekali dengan kitab Wahyu, tapi sebenarnya tidak tentu sama. Di mana bedanya? Bedanya adalah dalam hal ada Pribadi Kristus atau tidak, ada Firman atau tidak. Visi eskatologi Kristen bukanlah sekadar tidak ada tangisan, tidak ada air mata, tidak ada sakit penyakit, atau hidup yang panjang. Kalau sekadar bicara mengenai hidup panjang, Kaisar Qin Shi Huang juga memikirkan hidup panjang, dia menyuruh dokter mencari cara supaya manusia bisa hidup kekal, lalu dokternya menemukan cairan air raksa (merkuri) untuk dia minum supaya bisa hidup kekal –ya, good luck, lah, umurnya bukan jadi kekal justru malah lebih pendek. Poinnya, kalau sekadar bicara urusan hidup panjang ala pengharapannya kaisar Cina, Qin Shi Huang, itu tidak tentu Kristen. Pengharapan seperti itu bisa ada di mana-mana. Pengharapan untuk sehat dan tidak sakit, pengharapan untuk tidak ada air mata, pengharapan untuk bahagia, dsb., itu tidak tentu Kristen. Yang membedakan adalah ada Alfa dan Omega tersebut, atau tidak ada; yang membedakan adalah siapa alfa dan omega-nya, siapa yang memegangnya, persekutuannya dengan siapa.
Kitab Wahyu ini visinya sangat banyak dipengaruhi dengan visi yang ada di dalam kitab Yesaya. Kalau Saudara bandingkan kitab Yesaya dengan Kejadian, yang menarik adalah bahwa di dalam kitab Kejadian, ‘sukacita’ tidak terlalu muncul. Memang dalam Kejadian dikatakan Allah menciptakan segala sesuatunya baik, Allah melihat semua ciptaan-Nya itu baik, tapi tentang ‘sukacita’ tidak terlalu muncul di dalam kitab Kejadian. Saya bukan mengatakan penciptaan yang pertama ini penuh dengan kesedihan/dukacita, tapi bahwa visi ‘sukacita’ adalah jauh lebih jelas dan sangat mendominasi kitab Yesaya dan Wahyu dibanding kitab Kejadian. Ini berarti apa? Yaitu adanya perkembangan. Penciptaan yang dilakukan Tuhan dalam kitab Kejadian itu baik, dan Tuhan memang mengatakan ‘baik’, tapi kemudian ada kejatuhan –dan memang diberikan kemungkinan untuk jatuh karena manusia adalah moral being– namun demikian pergerakannya menuju kepadasukacita eskatologis sebetulnya. Di dalam kitab Kejadian ada penciptaan, tapi itu belum masuk kepada sukacita yang penuh seperti yang digambarkan oleh Yesaya dan penulis kitab Wahyu. Jadi, Biblical theology itu ada pergerakan, ada perkembangan; dari penciptaan (creation) yang tidak terlalu membahas sukacita, sampai kemudian bicara tentang re-creation, langit baru dan bumi baru, yang visinya adalah visi sukacita.
Apa artinya bagi kita? Lihatlah kehidupan kita, sejalan atau tidak dengan Biblical theology? Waktu Saudara melihat kehidupan Saudara sekarang, apakah Saudara bisa berkata, “Lima tahun lalu saya tidak sesukacita ini, karena sekarang saya lebih mengenal Tuhan, saya lebih tahu apa artinya berjalan bersama dengan Alfa dan Omega”? Saudara yang sudah menikah, apakah Saudara bisa bilang, “Saya sekarang lebih tahu apa artinya sukacita dibandingkan dulu waktu belum menikah”? Saudara yang sudah punya anak, apakah Saudara bisa bilang, “Saya lebih sukacita sekarang dibandingkan dulu sebelum punya anak”? Atau justru malah sebaliknya? “Dulu waktu muda kayaknya sukacita saya lebih besar, sekarang makin tua saya makin stoik, makin datar, karena hidup ini menyakitkan, sehingga mau tidak mau saya bikin defense mechanism, supaya saya tidak terlalu sakit; saya tekan perasaan saya, supaya kalau sedih tidak terlalu sedih” –ini stoik namanya; waktu sedih, cuma turun 1 mm saja, tapi harga yang dibayar adalah waktu senang pun cuma naik 1 mm saja. Kita takut dengan perasaan kita sendiri, kita takut diombang-ambingkan oleh perasaan, jadi kita menjalani stoikisme saja, tidak terlalu sakit, dan tidak terlalu mencintai juga karena mencintai itu bisa sakit, bisa dikecewakan, dsb.; juga jangan terlalu percaya orang supaya hidup terjaga, tidak banyak luka, dan tidak terlalu banyak dikecewakan –namun sedihnya, kita juga jadi tidak terlalu mengerti apa artinya sukacita. Ada orang yang dalam perjalanan kehidupannya, karena mengalami hal-hal negatif, dan dia tidak bisa mengatasi, akhirnya dia juga jadi tidak terlalu mengerti apa artinya sukacita; kenapa? Karena dia mulai menekan perasaannya. Jadi dingin terhadap orang. Kalau dulu bisa dekat dengan orang lain, sekarang menjaga supaya jangan terlalu dekat. Kalau dulu di gereja melayani dengan berapi-api, sekarang jadi sinis, jadi lain melihatnya; lihat gereja jadi lain, lihat komunitas gereja jadi lain, dst., dst. Tetapi, Biblical theology yang kita percaya itu ada pergerakannya, ada telos-nya, ada tujuannya; dan tujuannya adalah langit dan bumi yang baru. Sukacitanya ke arah crescendo; yang tadinya tidak terlalu dibicarakan dalam Kejadian, kini makin lama makin jelas. Ini seharusnya terjadi dalam kehidupan Saudara dan saya, kalau kita bertumbuh.
Kembali ke ayat 1, bagian ini memakai bahasa teologi Penciptaan. Dikatakan juga di ayat 1, ‘… dan laut pun tidak ada lagi.’ Mengapa dikatakan ‘laut tidak ada lagi’? Mungkin bagi Saudara yang suka pantai, rasanya sayang ya, laut koq tidak ada lagi. Di Jerman, kota-kota yang punya pantai cuma ada sedikit, maka adakalanya dibikinlah pantai buatan, misalnya di München ada sungai yang alirannya dibikin deras sedemikian rupa supaya orang bisa surfing di situ. Di kota Brisbane juga ada pantai buatan dengan pasir-pasirnya, tapi itu bukan laut. Membaca bagian kitab Wahyu ini, mungkin kita merasa sayang, ya, laut tidak ada lagi, berarti tidak ada pantai juga, tidak bisa surfing, dsb., tetapi ‘laut’ di dalam bahasa Alkitab menggambarkan kuasa kekacauan (chaotic power), menggambarkan kuasa yang terhadapnya Allah berperang. Allah itu menghardik laut. Dalam cerita Air Bah, itu sebenarnya berurusan dengan chaotic power; waktu Allah menciptakan, Dia memberi batas kepada laut, ‘sampai di sini saja, tidak boleh naik ke atas lagi’, sehingga ada batas antara daratan dan lautan. Dengan demikian, waktu di bagian ini dikatakan ‘laut pun tidak ada lagi’, berarti kuasa kekacauan tidak ada lagi.
Beale, seorang penafsir kitab Wahyu, memberikan 5 penggunaan konsep ‘laut’ (tapi di sini saya ambil 2 saja). Laut, di dalam Wahyu 12-13 digambarkan sebagai asal-muasal kejahatan (the origin of evil). Saudara tentu ingat cerita tentang Yesus mengusir setan lalu setannya pindah ke babi-babi, di situ babi-babi tersebut terjun ke danau; memang di bagian itu bukan harus ‘laut’ tapi intinya kuasa kekacauan, karena memang di situlah tempatnya. Jadi memang itulah gambaran Alkitab tentang laut, yaitu asal muasal kejahatan. Sampai sekarang pun manusia tidak bisa menaklukkan laut, tetap saja bisa ada bahaya di sana. Selain itu, ‘laut’ bisa juga menggambarkan bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah, yang menganiaya orang-orang kudus (umat Allah). Bicara tentang penganiayaan, kita bukan mau memuliakan penderitaan dsb., tetapi waktu Saudara dan saya mengikut Kristus, dengan sendirinya mau tidak mau kita menderita. Bukan karena kita mencintai penderitaan itu sendiri, tapi karena kita mencintai Kristus yang memikul salib dan akhirnya mati di atas kayu salib. Dengan demikian, waktu kita berjalan bersama dengan Kristus yang menderita itu, mana mungkin kita tidak bersekutu juga dengan penderitaan-Nya.
Waktu di dalam kehidupan ini kita kurang menderita, kita kurang ada penganiayaan –termasuk katakanlah ‘penganiayaan mini’– apa sebabnya, ya? Kita perlu cari tahu. Kalau kita dikasihi oleh dunia, mungkin kita dibenci oleh Allah. Pertanyaannya, kenapa ya, kita dikasihi oleh dunia? Jawabannya: karena kita tidak menghidupi Injil. Di bagian akhir Wahyu ini dikatakan tentang ‘para penakut’ (cowards) sebagai orang yang akan binasa; maksudnya apa? Apa takut anjing misalnya, lalu jadi masuk neraka?? Apa sebetulnya yang dimaksud kitab Wahyu dengan ‘para penakut’ yang akhirnya binasa? Yaitu orang yang tidak berani menderita karena Kristus, orang yang kompromi dengan ideologi dunia. Orang yang tidak berani bayar harga, yang memilih mengikuti narasi dunia dibandingkan narasi Injil, cari aman, menjaga posisi, menjaga income, menjaga relasi dengan orang-orang di dunia ini lalu mengorbankan ‘pikul salib’ –kita cari keamanan kita sendiri. Itulah para penakut. Mengapa begitu? Karena memang tidak pernah tertarik untuk mengikut Kristus, tidak ada Kristus dalam kehidupannya. Inilah orang yang tidak berani berjalan bersama Kristus, orang yang tidak berani pikul salib, beraninya berjalan bersama cerita dunia ini. Perhatikan, bahkan Yerusalem historis pun pernah menajiskan dirinya dengan tidak mau menerima Kristus. Waktu Kristus memberitakan Allah yang sejati, memberitakan Kerajaan Allah, memberitakan diri-Nya, memberitakan kebenaran, mereka bukan bertobat tapi mengeraskan hati –setidaknya sebagian– bahkan juga menganiaya. Itu sebabnya jalan kehidupan orang-orang yang mengikut Kristus adalah wajar kalau mengalami penderitaan.
Saya pernah mengatakan, kita ini kurang menderita –bukan sengaja mau cari penderitaan–karena kita ini tidak cukup mencintai. Kalau Saudara mencintai, Saudara pasti menderita koq, karena kita mencintai orang yang berdosa. Tapi kalau kita tidak mencintai, ya, tidak terlalu menderita. Kalau Saudara menutup diri, defense mechanism, ya, tidak ada yang harus dibayar, Saudara tidak akan luka karena relasi pun tidak ada, –sama seperti Saudara tidak pernah tersinggung oleh Donald Trump karena memang tidak pernah bertemu juga, sama seperti Saudara tidak pernah tersinggung dengan orang-orang yang sudah mati seperti misalnya Aleksander Agung karena memang tidak ada relasi dengan dia. Kita tidak mungkin dilukai oleh mereka, karena memang kita tidak ada relasi dengan mereka, kita tidak berada dalam love relationship dengan mereka. Jadi, “kalau tidak mau luka, ya, jangan mencintai” –ini bukan message, tapi kalimat peringatan.
Fakta bahwa kita kurang menderita karena Kristus, mungkin karena kita kompromi dengan ideologi dunia. Fakta bahwa kita kurang menderita karena Kristus, mungkin karena kita kurang mencintai seperti Kristus mencintai. Itu sebabnya kita berada dalam keadaan yang aman-aman saja. Tapi lihatlah nabi-nabi di dalam Perjanjian Lama, rasul-rasul di dalam Perjanjian Baru –orang-orang yang diutus Tuhan di tengah-tengah serigala itu– mana ya, yang tidak menderita?? Mana yang tidak ada penderitaan? Mana yang tidak diserang oleh Iblis? Mana yang tidak ada spiritual attack dalam kehidupannya? Tidak ada. Benar-benar tidak ada, Penderitaan itu justru adalah konfirmasi. Mereka tidak pernah berdoa cari penderitaan, mereka berdoa yang sama seperti Saudara dan saya, “Janganlah membawa kami ke dalam pencobaan”, mereka orang-orang waras, tetapi mereka mengalami banyak pencobaan, tantangan, aniaya, dsb. Mengapa? Karena pengikutan mereka akan Kristus itu bahkan dikonfirmasi oleh serangan Iblis. Setan tidak senang dengan orang yang meninggikan Kristus, melayani Kristus, mengikut Kristus, menyembah kepada Kristus. Kalau ini tidak ada, jadi kurang ada tanda dalam pengikutan kita. Paulus mengatakan, “padaku ada tanda-tanda penderitaan Kristus”. Memang ini bagian yang tidak terlalu gampang ditafsir; apa yang dimaksud Paulus? Apakah maksudnya dia ada stigmata? Orang di zaman Medieval percaya tentang stigmata; misalnya Fransiskus Asisi dipercaya ada stigmata berupa lubang di tangannya. Hal-hal seperti itu cukup populer di dalam aliran Mistik Abad Pertengahan, tapi di dalam spiritualitas Reformed kita tidak menekankan itu, karena memang bukan tanda secara fisik, melainkan bahwa di dalam pengikutan akan Kristus, Saudara menderita karena Kristus. Tangan yang bolong atau tidak bolong, itu tidak terlalu penting, tetapi yang penting adalah apakah kita ada persekutuan dengan penderitaan Kristus karena kita menghidupi narasi Injil, yang bentur dengan apa yang dicintai oleh dunia? Dalam benturan tersebut, kita bisa memilih ikut saja supaya hidup tidak susah; dan inilah yang disebut Wahyu sebagai orang-orang penakut yang akhirnya binasa, karena mereka malu mengikuti Kristus. Mereka tidak percaya bahwa Kristus adalah Alfa dan Omega. Atau mungkin mereka percaya, tetapi di tengahnya ‘saya yang pimpin; Yesus boleh saja Alfa, Yesus boleh saja Omega, tapi di tengah-tengahnya kayaknya saya yang berdaulat, karena ‘kan Yesus tidak mencakup tengah-tengahnya, Yesus cuma awal dan akhir’. Inilah para penakut.
Di dalam bagian ini, kita kemudian membaca adanya Yerusalem yang baru, yang kontras dengan Yerusalem historis, Yerusalem geografis itu, yang menyaniaya dan menyalibkan Kristus. Yerusalem yang baru ini, dikatakan ‘turun dari surga’. Waktu bicara ‘turun dari surga’, ini gerakan ‘turun’ (descend), sebagaimana juga inkarnasi Kristus adalah gerakan descend; di dalam Alkitab banyak sekali bicara gerakan descend. Turun dari mana? Dari surga. Turun ke mana? Ke bumi. Tapi yang menarik, di ayat 1 dikatakan ‘langit dan bumi yang baru’, ada langit baru dan bumi baru, dan sebetulnya secara paradigma tidak terlalu cocok bicara ‘dari surga ke bumi’, karena kini surga dan bumi menjadi satu sepenuhnya (fully united). Jadi yang dimaksud di sini, bukan dari surga lalu turun ke bumi, melainkan bahwa langit dan bumi ini dipersatukan. Inilah visi sebagaimana doa kita, “Datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu, di bumi seperti di surga”; menuju ke sana maksudnya, menuju ke langit yang baru dan bumi yang baru. Bumi yang baru itu seperti surga, di mana kehendak Tuhan terjadi dengan sempurna, tidak ada halangan sama sekali, tidak ada dosa, tidak ada penantang, tidak ada setan yang melawan, tidak ada badai/laut yang mengacaukan. Semuanya sempurna terjadi. Di bumi yang sekarang tempat Saudara dan saya tinggal, kehendak Tuhan bisa ditantang –termasuk oleh Saudara dan saya; kita bisa tidak taat pada kehendak Tuhan. Tetapi kelak, di dalam bumi yang baru, surga/langit dan bumi dipersatukan sedemikian rupa sehingga bumi yang baru itu sudah seperti surga, di mana Kerajaan Allah dinyatakan dengan sempurna, kepemerintahan Kristus sempurna, tidak ada lagi dosa, kehendak Tuhan terjadi dengan sempurna, Kerajaan Allah sungguh-sungguh nampak.
Di bagian berikutnya, digambarkan Gereja seperti pengantin perempuan; Yerusalem yang baru –Gereja– kota yang kudus itu, berhias bagaikan pengantin perempuan yang berdandan untuk suaminya, yaitu Kristus, Sang Mempelai Laki-laki. Perhatikan bagian ini, Gereja itu berdandan, ada dandanan (adornment), ada perhiasannya; pertanyaannya: apa perhiasannya Gereja? Bagaimana Gereja mempersiapkan diri berjumpa dengan Sang Mempelai Laki-laki? Seperti Saudara tahu, di zaman yang lalu terjadi reformasi, dan dalam reformasi banyak daerah yang tadinya Roma Katolik beralih ke Protestan, bukan satu dua gereja tapi bisa seluruh propinsi. Setelah itu ada yang namanya counter reformasi; Gereja Roma Katolik pada saat itu –bukan sekarang tapi yang waktu itu– berpikir keras caranya memenangkan umat kembali, salah satunya dengan membuat gedung-gedung gereja yang megah dan penuh hiasan. Kalau Saudara ke Eropa, ada arsitektur Baroque dan Rococo, dan 95% adalah gereja Roma Katolik. Waktu itu gereja dibangun dengan luar biasa megah dan amat sangat kompleks ornamennya, sangat berdandan, dan berharap dengan ‘pesta mata’ seperti itu bisa menarik kembali orang-orang Protestan ke gereja Roma Katolik. Memang gereja Protestan tidak bisa banding, kekayaannya tidak sebanyak itu, gerejanya sederhana, tidak ada hiasan-hiasan penuh ornamen; Gereja Protestan menekankan kesederhanaan (simplicity), karena percaya Solus Christus. Sekali lagi, waktu dikatakan ‘Gereja berdandan’, dandanannya apa? Apakah ornamen-ornamen Baroque itu? Atau desain yang unik, dsb.? Tentu saja itu semua memang bukan nothing, saya bukan sedang menghina desain gereja, tapi orang datang ke gereja karena apa? Karena ditarik oleh arsitekturnya? Itulah yang terjadi di dalam gerakan counter reformasi beberapa ratus tahun lalu, tapi Gereja Protestan percaya bahwa yang membawa orang datang adalah Kristus sendiri.
Luther mengatakan, “The true treasure of the Church is the Most Holy Gospel” –harta Gereja yang sesungguhnya adalah Injil yang kudus. Pada zamannya Luther, orang mengerti ‘harta gereja’ seperti ini: ‘gereja kita punya tengkoraknya Yohanes Pembaptis’, ‘gereja kita punya tengkoraknya Petrus’, ‘kita punya mahkota durinya Kristus’, ‘kita punya pecahan salibnya Kristus’, ‘kalau kita punya saputangannya Paulus’, dst. Inilah yang terjadi, ‘kita punya ini, punya itu’. Frederick the Wise, yang memerintah di daerah Saxony, sekitar Wittenberg, punya banyak sekali relikwi; lalu Tuhan ternyata membangkitkan reformasi di sana, dan dia mulai sadar bahwa semua relikwi itu bukan harta Gereja yang sesungguhnya. Sekarang mungkin Gereja tidak memikirkan soal relikwi, itu sudah agak ketinggalan zaman, tapi harta Gereja sekarang apakah otomatis adalah Injil? Mungkin harta gereja adalah gedung gerejanya. Atau mungkin, “O, tidak, kita tidak memegahkan gedung; buat kita, harta gereja adalah pengkhotbah-pengkhotbah yang keren itu —the celebrity preachers— itulah harta gereja”. Atau yang lain lagi mungkin bilang, “Harta gereja adalah para donatur, orang-orang kaya yang ada di gereja, yang kalau kita mau bikin sesuatu, dia langsung menyumbang, dan sumbangannya signifikan, kita musti baik-baik dengan orang-orang seperti itu, dijaga perasaannya supaya jangan tersinggung karena itulah harta gereja.” Luther akan bilang kalimat yang sama: “Harta Gereja yang sesungguhnya adalah Injil yang kudus”.
Harta Gereja adalah Kristus. Kalau Gereja berdandan, Gereja seharusnya berdandan dalam dandanan yang makin lama makin seperti Kristus, ada Christian virtues, ada righteousness in Christ, ada righteous deeds, bukan self righteousness, bukan kebenaran sendiri dan merasa lebih benar daripada yang lain. Yang seperti itu, kain gombal namanya, bukan adornment; Gereja jangan menghias dirinya dengan kain gombal, dengan kain kotor itu. Gereja seharusnya menghias dirinya dengan kebenaran yang ada di dalam Kristus, kebenaran yang dikaruniakan Kristus, Kristus yang akan mempertumbuhkan Gereja menjadi semakin benar seperti Kristus. Itulah hartanya Gereja. Tidak ada yang lebih tinggi daripada diri Tuhan sendiri, Bapa-Putra-Roh Kudus, Injil. Sekali lagi pertanyaannya, Gereja menghias dirinya dengan apa? Apa yang menghias Gereja? Saya bukan mengatakan hiasan, seperti misalnya rangkaian bunga di depan mimbar ini, tidak penting –dan mungkin dalam konteks tertentu juga tidak perlu dikontraskan– tapi hiasan ini bukan yang paling penting, demikian juga ukiran-ukiran dan desain interior ini bukan yang paling penting. Kalau Saudara pikir ini yang paling penting, lalu Saudara menarik orang dengan ini semua, itu kacau, itu artinya kita balik mundur beberapa ratus tahun, seperti di zaman counter Reformasi yang memenangkan orang dengan cara triumphalistic, worldly glory.
Apa sih harta Gereja sesungguhnya? Bagaimana Gereja menghias dirinya? Dandanannya apa? Petrus mengatakan yang sama, ‘kamu, perempuan, jangan berhias dengan rambut dikepang-kepang dan perhiasan ini itu, sedangkan perhiasanmu sesungguhnya apa?’ Petrus memang tidak sedang bicara tentang Gereja, dia betul-betul bicara kepada perempuan, tapi yang mau Petrus sampaikan adalah cinta akan Tuhan, takut akan Tuhan, kesalehan, Christian virtues, itulah hiasanmu yang sesungguhnya, bukan tasmu yang mahal, bukan rumahmu yang mewah, atau apapun. Jadi, apa yang menjadi hiasan yang sesungguhnya di sini? Gereja, kalau tidak ada penghayatan tentang invisibility, tentang the invisible aspect of the Church –dan ini adalah eklesiologi Protestan– lalu cuma adanya yang serba kelihatan mata, hiasan yang kasat mata, yang bisa dilihat, Yesus mengatakan sebagaimana dicatat Yohanes: “Barangsiapa tidak lahir kembali, dia tidak melihat Kerajaan Allah, Kerajaan Allah itu invisible.” Yang saya mau katakan, inilah orang yang terus-menerus menekankan visibility tapi tidak ada tempat untuk invisibility, karena ‘gak menarik, ya; dunia ‘kan ‘gak lahir baru jadi mereka tidak bisa melihat yang tidak kelihatan itu, makanya kita musti menekankan kemuliaan melalui cara yang kelihatan!’ Tetapi, kemuliaan di dalam cara yang kelihatan adalah bagi orang-orang yang tidak lahir baru. Kalau Saudara menekankan hal-hal yang kelihatan terus-meners, jangan-jangan Saudara sendiri juga belum lahir baru, karena cuma yang lahir baru yang bisa akses Kerajaan Allah yang tidak kelihatan itu. Yang tidak lahir baru, buta, tidak tertarik dengan Christian virtues-lah, kekudusan–lah, ‘apa sih itu?? saya maunya lihat hiasan yang bagus; saya mau lihat pengkhotbah-pengkhotbah yang bicaranya lantang, yang retorikanya bagus, yang insightful, yang tiap khotbah Minggu saya bisa dengar sesuatu yang baru, baru, dan baru!’ Pertanyaannya, kita melihat Alfa dan Omega atau tidak? Logo Alfa dan Omega di atas mimbar ini semoga bukan cuma yang kelihatan, tapi Saudara bisa menembus sampai ke dalamannya; ini bukan hiasan, bukan sekedar logo.
Dua kata yang sederhana ini, ‘berdandan untuk suaminya’ –Gereja berdandan untuk Kristus. Ada bedanya Gereja berdandan untuk masyarakat, atau berdandan untuk Kristus; Gereja berdandan untuk dilihat agama-agama lain, atau berdandan untuk Kristus. Seorang istri, dia berdandan untuk suaminya atau berdandan untuk orang-orang di luar? Saya pernah mendengar seorang teman bicara yang memang ada benarnya, bahwa istri-istri kalau pergi ke luar, dia berdandan, tapi kalau di rumah pakai daster. Mungkin lebih baik dibalik, waktu di rumah berdandan yang bagus supaya dinikmati suaminya, waktu keluar rumah, ya sudah, ‘kan tidak perlu berdandan untuk laki-laki di luar sana. Tapi seringkali yang terjadi terbalik, kita mau kelihatan rapi, orang-orang musti melihat kita cantik, sementara di rumah awut-awutan. Jadi sebetulnya berdandan untuk siapa?? Omong-omong, ini bukan pengalaman saya pribadi, kita sedang bicara tentang kehidupan sehari-hari. Gereja berdandan untuk siapa? Bisa salah fokus berdandannya. Berdandan supaya dilihat masyarakat Indonesia, kota Jakarta? Berdandan untuk siapa? Kalau kita betul-betul berdandan untuk Kristus maka kita akan mendadani diri dengan apa yang disukai Kristus. Lalu apakah yang disukai oleh Kristus itu? Waktu Kristus mencari dandanannya Gereja, Dia cari apa kira-kira?
John Owen pernah menulis satu bagian, yang mungkin agak mystical tafsirannya meski dia bukan penulis mystic; dia bicara tentang Kristus berdiri di muka pintu lalu mengetuk, dan bagi siapa yang membukakan, Dia masuk ke dalam, Dia makan bersama orang itu. Lalu di sini John Owen mengatakan, “Apa yang dimakan Kristus? Yang dimakan Kristus adalah buah Roh”. Kristus bukan makan masakan Saudara secara fisik; yang dinikmati oleh Kristus adalah buah Roh. Buah Roh, itulah yang dinikmati oleh Kristus. Gereja ada buah Roh atau tidak? Kita ini ada buah Roh atau tidak? Kita ini kebun anggur yang fruitful atau kebun anggur yang bantat, tidak berbuah, garing, tidak ada airnya, kering? Boleh saja gereja megah seperti gereja-gereja counter Reformation, yang begitu megahnya sampai waktu orang masuk, orang akan berpikir ini surga di bumi, tapi apakah itu dandanan Gereja yang utama?
Kita bersyukur akan gedung gereja kita, ini bukan nothing, tapi ini juga bukan everything; meminjam istilahnya Pak Tong, ‘ini a merely something’. Mungkin Saudara masih ingat, waktu pertama kali renovasi gedung gereja ini selesai, saya khotbah bahwa yang penting bukan fisik, bukan gedung, bukan arsitektur, dsb.; dan benar saja, hari Minggu berikutnya Jakarta banjir, sampai-sampai yang datang Kebaktian cuma beberapa gelintir orang. Jadi memang benar bukan fisiknya yang penting; kalau fisiknya yang penting, betapa mengecewakan. Coba kalau kita merayakan fisiknya gereja, arsitekturnya, desain interiornya –yang sekali lagi bukan nothing, tapi merely something–kalau kita tidak proporsional menekankan bagian tersebut, apa tidak kecewa Minggu depannya waktu saya berdiri di sini dan melihat ‘mana ya, Gerejanya… koq, saya jadi mirip sedang berada di Eropa’ –bukan karena mimbarnya di atas tapi karena yang datang cuma segelintir orang. Betapa hal itu bisa sangat mengecewakan –dan memang bukan itu yang terpenting, tidak pernah jadi yang terpenting. Inilah sebetulnya beda Yudaisme dan Kekristenan; Yudaisme, yang terpenting adalah pembangunan bait Allahnya, sedangkan Kekristenan menekankan bahwa yang dinikmati oleh Kristus adalah buah Roh. Itulah dandanannya Gereja, jangan tidak ada, jangan kedapatan telanjang. Itu memalukan. Nanti jadi seperti Gereja yang dikritik di kitab Wahyu, kitab yang sama dengan yang kita baca hari ini, “Kamu pikir kamu kaya, kamu tidak tahu bahwa kamu malang, miskin, buta, telanjang” –‘gak sadar, ya, kamu pikir kamu begitu kaya, ada resources begitu banyak, tapi kamu sebetulnya telanjang, ‘gak ada pakaian, ‘gak ada dandanan. Betapa malu sekali kalau Yesus bilang seperti itu. Seluruh dunia boleh memuji gereja ini gereja bagus, tapi kalau Kristus bilang ‘telanjang’, ya, telanjang. Tidak ada yang bisa banding dengan perkataan Kristus. Seluruh dunia mau bicara apa, itu tidak penting; tetapi Kristus bicara apa tentang Gereja-Nya, itulah yang penting.
Sekali lagi, ‘Yerusalem yang baru’ itu turun dari surga, dan berhias bagaikan pengantin perempuan berdandan untuk suaminya; ini visi eskatologis, namun Gereja menuju ke sana. Hamba Tuhan itu apa? Pelayan-pelayan Tuhan itu apa? Saudara baca dalam tulisan Paulus, satu kalimat yang sangat menggerakkan; dalam dia melayani, dia bilang, “Saya mempersiapkan kamu, mempertunangkan kamu dengan Kristus”. Harusnya tidak ada visi yang lain selain ini. Harusnya setiap orang Kristen berpikir seperti Paulus, bagaimana membawa Gereja di dalam perjalanan ini, sebagai mempelai perempuan yang didandani, yang waktu berhadapan dengan Kristus nanti tidak ada cacatnya, tidak ada kerutnya.
Selanjutnya, ayat 3: ‘Lalu aku mendengar suara yang nyaring dari takhta itu berkata: “Lihatlah, kemah Allah ada di tengah-tengah manusia dan Ia akan diam bersama-sama dengan mereka. Mereka akan menjadi umat-Nya dan Ia akan menjadi Allah mereka.” Ini bahasa covenantal. Di awal tadi kita membaca adanya bahasa kitab Kejadian, bahasa Penciptaan, bahasa Yesaya, ada teologi Sion, Yerusalem yang baru yang turun dari surga; lalu di sini ada bahasa Keluaran, teologi Tabernakel, ‘kemah Allah ada di tengah-tengah manusia dan Ia akan diam bersama-sama dengan mereka’, yang termasuk cerita inkarnasi Kristus. Namun ini semua nanti adalah di dalam segala kepenuhannya, perfect unity heaven and earth, ‘mereka akan menjadi umat-Nya dan Ia akan menjadi Allah mereka’. Ini kutipan dari kitab Imamat; Imamat 26: “Aku akan menempatkan Kemah Suci-Ku di tengah-tengahmu dan hati-Ku tidak akan muak melihat kamu. Tetapi Aku akan hadir di tengah-tengahmu dan Aku akan menjadi Allahmu dan kamu akan menjadi umat-Ku.” Kita lihat di sini, ada dari kitab Kejadian, ada Keluaran, ada Imamat, juga ada Yesaya; semuanya disintesa di dalam visi eskatologis ini. Saling memiliki, Tuhan milik kita, dan kita milik Tuhan; dan Tuhan hadir di tengah-tengah kita, ada persekutuan Allah dan manusia, surga/langit dan bumi.
Kemudian dikatakan dalam ayat 4: “Dan Ia akan menghapus segala air mata dari mata mereka, dan maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita, sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu.”Indah ya, gambaran seperti ini. Tetapi, waktu Saudara membaca sumber-sumber kepedihan seperti digambarkan di sini –maut, perkabungan, ratap tangis, dukacita, penderitaan, sakit penyakit, dst. –yang dikatakan ‘tidak ada lagi’, Saudara memikirkan apa? Kalau dari perspektif Kristen, kita musti membaca semua ini di dalam kaitan dengan dosa. All the evil experience itu, sakit penyakit, penderitaan, ratap tangis, dukacita, bahkan kematian, kalau Saudara tidak membacanya dari perspektif ‘dosa’, kalau bukan dilihat sebagai sesuatu yang ‘ada karena dosa’, nanti visi eskatologis kita bisa jadi keliru dan akhirnya tidak ada Kristus-nya. Misalnya begini: ‘O, bersyukur ya, nanti pada akhirnya tidak ada lagi air mata, tidak ada lagi dukacita, sakit penyakit, kematian; saya mau kehidupan yang seperti itu. Memang di dalam hidup ini saya sakit, tapi nanti di surga akan ada kesehatan yang sempurna. Saya di dunia ditipu orang, tapi nanti di surga semua orang jujur, baik-baik dan mengasihi. Saya di sini bisa mati, tapi nanti di surga saya hidup kekal.’ Pertanyaan saya, yang seperti ini, bedanya dengan Qin Shi Huang tadi apa, ya? Tidak ada bedanya. Mana yang unik secara Kristen di sini? Tidak ada. Kalau kita cuma berpikir ‘di sini sakit lalu di sana tidak ada sakit penyakit, di sini keluar air mata lalu di sana tertawa-tawa’, apanya yang Kristen? Tidak ada. Akhirnya, tidak penting Kristus-nya.
Waktu dikatakan di sini, ‘Ia menghapus segala air mata’, coba Saudara membayangkan adegan ini, dan kira-kira Saudara akan merespons apa setelah dihapus air matanya? Saudara akan memeluk Kristus, atau Saudara berpikir urusan air mata, ‘bener ‘gak sih, ‘gak ada air mata lagi?’ lalu lihat cermin, ‘bener lho, hapusannya sempurna ya’. Saudara perhatikan apa bedanya? Yang satu lebih tertarik dengan Pribadi yang menghapus; yang satunya lagi lebih tertarik dengan kondisi tidak ada air mata, tanpa harus ada pribadi yang menghapus. Dan, spiritualitas kayak begini benar-benar bisa ada. Saya ‘gak mau sakit, saya mau sembuhnya –tapi tidak ada Kristus di sana. Dia tidak tertarik dengan Kristus-nya; yang dia tertarik adalah kondisi tidak sakit, kondisi tidak dilukai, dst., tapi tidak ada persekutuan dengan Kristus sebetulnya.
Saudara, waktu kita melihat hal-hal negatif ini –air mata, maut, perkabungan, ratap tangis, dukacita– kenapa kita perlu selalu mengaitkannya dengan dosa? Karena Kristus mengaitkannya dengan dosa. Yesus waktu melihat kematiannya Lazarus, Dia bukan cuma melihat kematian tersebut saja lalu jadi sentimental, tapi dikatakan Yesus itu masygul. Masygul artinya bukan cuma sedih, tapi ada marahnya. Yesus marah, kenapa bisa ada kematian di dalam dunia; pada mulanya tidak demikian tapi kini ada kematian masuk karena dosa manusia. Yesus marah dengan keadaan itu. Dia marah terhadap dosa, lalu Dia membangkitkan Lazarus. Ini bukan urusan sentimental, ini peperangan melawan kuasa dosa sebetulnya. Tapi, kalau Saudara dan saya gagal mengaitkan ini dengan dosa, ya sudah, kita jadi model kekristenan yang lain, yang bukan Kekristenan sebetulnya karena tidak ada Kristus-nya. Tidak ada Dia yang menghapus air mata; yang ada cuma kondisi air mata yang tidak ada lagi, yang ada cuma kondisi yang tidak ada ratap tangis, yang ada cuma kondisi yang tidak ada sakit penyakit, yang ada cuma kondisi yang tidak ada lagi maut. Lalu??
Kekristenan bukanlah cuma urusan kondisi. Kekristenan adalah urusan persekutuan dengan Allah Tritunggal, Pribadi Bapa, Kristus, dan Roh Kudus. Itulah Kekristenan. Dengan demikian, kalau kita melihat air mata, sakit penyakit, maut, perkabungan, dan apapun lainnya adalah karena dosa, maka pembalikannya atau visi eskatologisnya waktu dikatakan ‘Dia menghapus air mata’, Saudara akan bersyukur bukan karena air matanya tidak ada lagi melainkan karena Dia yang menghapus air mata itu –karena Dia, karena Kristus, yang adalah kehidupan itu. Ada satu teolog yang menulis hal ini, memang kalimatnya radikal; dia bilang, ‘di neraka pun tidak masalah kalau di sana ada Tuhan’ –karena kalaupun itu neraka dan Kristus ada di sana, neraka akan berubah jadi surga karena di mana ada Kristus, di situ ada surga. Tetapi kita sepertinya lebih takut dengan neraka dibandingkan takut tidak ada Kristus. Kita lebih takut dengan sakit penyakit, difitnah orang, dikhianati orang, ditipu orang, dsb., tapi kita tidak terlalu takut urusan Kristus ada di tengah-tengah kita atau tidak. Kita mungkin lebih takut kalau ornamen-oranamen fisik gereja kita tidak terlalu menonjol, tapi kita tidak terlalu takut soal apakah di dalam Gereja ada buah atau tidak. Yang mana sebetulnya yang Kekristenan?? Visinya ke mana??
“Ia akan menghapus segala air mata dari mata mereka, dan maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita, sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu”; yang lama, yang dirusak oleh dosa, itu telah berlalu, dan sekarang yang ada adalah langit yang baru dan bumi yang baru, Kristus, Alfa dan Omega, Yang Awal dan Yang akhir. Inilah Dia, yang memperbaharui menjadi langit yang baru dan bumi yang baru. Berharap Gereja kita terus digerakkan oleh visi eskatologis seperti yang ada di dalam Kitab Suci. Yang tidak mengikuti ini, itulah para penakut, yang mulai tertekan dengan ide kemuliaan dunia, mulai tunduk dengan sangat memalukan dan terhuyung-huyung kepada ideologi dunia. Itulah para penakut, orang yang tdiak terlalu percaya dengan kemuliaan Kristus, yang menggantinya dengan ide kemuliaan dunia. Saudara tidak dipanggil di dalam jalan binasa itu. Itu bukanlah jalan Saudara dan saya. Jalan yang ditentukan untuk Saudara dan saya, untuk Gereja ini, adalah berjalan di dalam jalan Kristus, yang akan menghapus air mata, yang akan –dan sudah– mengalahkan maut; yang akan meniadakan perkabungan, ratap tangis, dukacita, dan menggantikan dengan diri-Nya sendiri.
Kiranya kita terus bertumbuh ke arah Kristus, karena Dia bukan cuma Alfa, Dia adalah your and my telos, Dia adalah goal-nya Gereja, sang mempelai wanita itu.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading