Dalam bagian yang sudah kita baca, ada kaitan dengan ayat 21, 22, 23 , di situ Yesus memecah satu perhatian yang sangat sakral setelah Dia mengatakan, inilah tubuhKu yang diserahkan bagi kamu, perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku dan juga tentang cawan Perjanjian Baru oleh darahNya yang ditumpahkan bagi murid-murid ini. Tetapi setelah mengakhiri kalimat seperti ini mendadak kemudian disusul dengan satu pemberitahuan bahwa akan ada orang yang akan menyerahkan Dia dan bukan hanya itu, dikatakan di sini, semeja, ada di sini bersama-sama dengan kita. Ini satu keadaan atau suasana yang sangat kontras dengan apa yang baru dikatakan.
Perjalanan menuju kepada penderitaan salib bukan tanpa cerita ini, buat kita cerita ini seperti tidak fit, alangkah celakanya, alangkah tidak pas-nya kalau di tengah-tengah pemberitaan injil lalu tiba-tiba ada orang yang dirasuk setan, apa hubungannya pekerjaan Tuhan dengan pekerjaan setan, begitu kan ya? Tetapi kita melihat sekali lagi, bahkan di tengah-tengah peristiwa yang sangat penting, persiapan Yesus menuju ke salib seperti ini pun ada Yudas, ada iblis yang sedang bekerja menggunakan Yudas, ya bukan hanya menghantam dari jauh, bahkan sedang hadir bersama-sama di dalam peristiwa perjamuan malam itu sendiri. Hal ini mengingatkan kita dengan perkataan Yesus di dalam bagian yang lain waktu murid-murid mengatakan, kenapa kita tidak cepat-cepat cabut saja kalau ada lalang, dari pada dia merusak lebih jauh, tetapi Yesus mengatakan, biarkan bertumbuh sampai pada akhir zaman.
Realita dari perkembangan Kingdom of God, Kerajaan Allah disertai dengan pertumbuhan lalang juga, bukan hanya pertumbuhan gandum, nanti pandangan kita jadi tidak realistis. Ada banyak gereja merasa sudah steril, tidak ada lalang, tetapi akhirnya ada juga spirit lalang, karena gandum-gandumnya dijangkiti oleh perasaan saya bukan lalang, saya bukan lalang. Akhirnya menjadi gandum-gandum yang self righteous, sebetulnya itu kan spirit lalang, bukan spirit gandum. Sulit dan tidak realistis, terutama Tuhan tidak menghendaki seperti itu, kalau kita melihat dalam ayat 22 di situ ada satu penggambaran yang menjelaskan tentang relasi kadaulatan Allah dan tanggung jawab manusia, seperti yang banyak di celebrate oleh kaum Calvinis di dalam teologi reformed.
Anak manusia akan pergi seperti yang telah ditetapkan, itu Tuhan yang merencanakan, ada di dalam kehendak kedaulatan Tuhan, tidak ada yang mengagetkan Tuhan, Tuhan menggunakannya juga, justru karena Dia maha kuasa, tetapi celakalah orang yang olehnya Ia diserahkan, tetap ada pertanggungan jawab. Yudas akan tetap dihukum, ayat ini jelas sekali dan juga tidak berusaha untuk mengharmoniskan sampai kita tidak ada pertanyaan lagi, sampai menghapus creative tension antara penetapan Allah di satu sisi dan tanggung jawab manusia di sisi yang lain, dibiarkan berada di dalam tegangan seperti ini. Ini adalah tegangan yang akan selalu ada selama kita masih berada di dalam dunia, ini creative tension, bukan destructive tension, dari sisi Tuhan, Tuhan menetapkan dengan maksud, tidak ada yang perlu kita kuatirkan, di sini ada kedaulatan Allah yang sedang terjadi, Tuhan sedang merencanakan, Tuhan akan merajut, semuanya akan indah pada waktunya. Bahkan saat ini pun tetap adalah saat yang indah, karena segala sesuatu indah ada waktunya masing-masing, di dalam rajutan Allah, kita punya keyakinan seperti itu, tetapi di sisi yang lain setiap orang harus bertangung jawab atas apa yang dia kerjakan, dia pikirkan, dia perbuat dst.
Waktu kita memiliki perasaan over responsible, kita menjadi terlalu kuatir, harus dikontrol semua, kita sedang tidak percaya kepada kedaulatan Tuhan. Tetapi waktu kita tidak mau bertanggung jawab sama sekali, kita serahkan semua pada kedaulatan Tuhan, maka kita sedang menjadi fatalist, kita sedang menjadi orang-orang yang tidak bertanggung jawab, akhirnya terlihat seperti orang berserah, padahal orang yang tidak mau involve sama sekali di dalam pekerjaan Tuhan, melarikan diri daripada tanggung jawabnya. Nah kita berada di dalam dua tarikan ini, tarikan antara over responsible dengan fatalist, tetapi menurut ayat ini dua-duanya harusnya hadir, bagaimana kita menyelaraskan? Ya memang tidak bisa diselaraskan, dalam istilah bahasa Inggris, agak keliru secara ekspresi idiom kita sering pakai kalimat, at the same time dia adalah juga ini, dia adalah ini and at the same time dia adalah itu, menurut akitab never at the same time, tidak pernah at the same time, justru pada saat yang berbeda.
Kita menghayati kedaulatan Allah pada saat tertentu supaya kita merasa ada penghiburan, kegagalan yang terjadi di dalam kehidupan kita adalah kedaulatan Tuhan, itu sangat menghibur, karena bagaimanapun Tuhan yang mengijinkan itu terjadi, Tuhan juga yang akan memimpin sampai segala sesuatunya menjadi baik waktu melihat big picture secara keseluruhan, ada saat seperti itu. Tetapi ada saat lain kita berpikir melihat kesalahan kita, dosa-dosa kita, tanggung jawab kita dan di situ kita perlu bertobat, kita perlu merubah diri, waktu kita melihat orang lain yang juga jatuh di dalam dosa, kita perlu menegor mereka juga, saat, never at the same time, justru tidak bisa diharmoniskan at the same time. Ya itu memang bukan istilah teologis, tetapi theologically speaking sebenarnya tidak pernah at the same time, karena time-nya selalu berbeda, ada saat kita membiarkan diri dihibur oleh Tuhan, waktu kita melihat kebelakang, segala sesuatu yang terjadi, termasuk peristiwa-peristiwa yang tidak terlalu mengenakkan atau sangat tidak mengenakkan, itu terjadi di dalam kedaulatan Tuhan. Dan di waktu yang lain kita perlu mengkoreksi diri supaya hal seperti itu tidak terjadi lagi di dalam kehidupan kita, itu harusnya menjadi semacam lesson atau pelajaran.
Bagian ini kemudian mereka mulai mempersoalkan, siapa diantara mereka yang tega-teganya berbuat demikian? Menarik, waktu di dalam bagian ini kita tidak membaca bahwa Lukas menulis, apa itu aku? Apa itu aku? Atau itu bukan aku, itu bukan aku, dsb., ada penulis injil yang menulis seperti itu dibagian lain. Tetapi di sini diberikan satu kalimat keterangan, kalimat tidak langsung, mereka mulai mempersoalkan siapa diantara mereka yang akan berbuat demikian. Waktu kita mengobservasi di dalam bahasa aslinya menarik, pertanyaannya itu adalah pertanyaan yang agak retorik, satu pertanyaan yang mengasumsikan bahwa jawabannya itu pasti tidak, jadi bukan pertanyaan netral, is it I? Maksudnya itu saya bukan ya, instrospektif, tidak, baik yang tanya bukan aku, aku atau apa, intinya adalah mau mengatakan itu pasti bukan saya kan? Kalau begitu siapa? Mereka sama sekali tidak ada doubt, tidak ada sama sekali yang ragu-ragu bahwa mereka adalah orang yang seperti itu, yang jadi keraguan mereka adalah yang ditujukan, siapa sebetulnya? Pasti bukan saya, saya excluded, sudah pasti bukan saya dan sekarang saya mau tahu siapa orangnya? Dan orang itu pasti bukan saya.
Mereka mempersoalkan siapa diantara mereka yang berbuat demikian (sudah pasti bukan saya), kecuali saya, saya tidak usah dipersoalkan lagi karena saya pasti bukan, lalu kalau bukan saya, siapa? Ya ini, tinggal sisanya ini, 12 orang dikurangi 1, maka ada sebelas calon, siapa ini diantara mereka yang akan berbuat seperti itu? Kalau kita melihat gerakan dari mempersoalkan siapa diantara orang lain yang bukan saya, yang akan melakukan itu, itu tinggal satu langkah lagi kemudian untuk mengatakan bahwa saya yang tidak melakukan yang jahat seperti itu, jangan-jangan saya adalah yang paling cinta Tuhan, saya yang paling besar, saya yang paling dekat dengan Tuhan, dsb., itu sangat nyambung. Hati-hati dengan gambaran kecongkakan seperti ini, kita bisa tidak sadar, gerakannya sangat subtle, halus dengan mengatakan, saya tidak melakukan yang jahat seperti itu, tinggal satu langkah lagi mengatakan, saya yang terbaik diantara kalian semua.
Dari observasi satu komentar, mereka agaknya melihat diri mereka berdasarkan posisi mereka di dalam persekutuan meja itu, padahal persekutuan meja, perjamuan kudus seperti yang kita rayakan, salah satu point yang kita hayati adalah bukankah di situ justru dinyatakan tidak ada lagi budak, tidak ada lagi orang merdeka, tidak ada kaya, tidak ada miskin, tidak ada laki-laki atau perempuan, tidak ada tua atau muda, tidak ada orang Yunani atau Yahudi, semuanya direlativisasi di dalam perjamuan kudus, persekutuan meja. Persekutuan meja itu salah satu yang harus dihayati adalah di sini tidak ada perbedaan-perbedaan diskriminatif itu lagi, tapi ini justru dipakai untuk mengkonfirmasikan hunger for significant, hunger for important oleh murid-murid Yesus, mereka sangat di encourage oleh keadaan duduk mereka seperti itu (ini ironis). Di sini perjamuan kudus bukan sesuatu untuk mengkonfirmasikan siapa yang terbesar, bukan, tetapi justru untuk meniadakan itu semua.
Nah, gerakan ini, dari orang yang merasa dia tidak berbuat jahat, lalu mengklaim dirinya sebagai yang terbesar, yang terbaik, yang tersuci, yang terdekat dengan Tuhan, Yesus memberikan satu teguran kepada mereka, mengkontraskan antara model kepemimpinan duniawi dengan model kepemimpinan yang Yesus sendiri ajarkan. Dia menunjuk pada raja-raja, pelindung-pelindung, raja-raja bangsa memerintah rakyat mereka, mereka menjalankan kuasa, memerintah, to rule lalu exercise power, menjalankan kuasa. Sudah sejak tahun 60-an orang mempersoalkan tentang power, pemikir-pemikir post modern, baik dalam filsafat, teologi atau sosiologi mereka punya gambaran skeptis terhadap power, sepertinya power itu semuanya adalah hal yang corrupted.
Orang tidak bisa deal dengan power di dalam kehidupan, kalau boleh saya kutip perkataan Abraham Lincoln, hampir semua orang bisa menghadapi adversity, kesulitan, dia hanya berjuang saja, itu mudah untuk overcome, hampir semua orang bisa lulus (kecuali orang-orang yang terlalu cengeng). Abraham Lincoln cukup optimis tentang kesulitan-kesulitan, tetapi dia mengatakan, kalau kita mau menguji karakter seseorang, kamu berikan dia power, nanti kita lihat bagaimana dia deal dengan power. Memang seringkali kita ternyata corruption kita itu muncul waktu kita diberikan power, waktu tidak ada power, ya memang tidak ada power juga untuk berbuat jahat, untuk isengin orang lain, begitu ada power, nah langsung jadi temptation, ini ujian untuk setiap orang. Saya pikir Abraham Lincoln sangat tepat, by the way, saya tidak setuju dengan bagian pertamanya, menurut saya sih tidak mudah-mudah juga setiap orang, hampir semua orang itu over optimis, semua orang bisa menghadapi adversity, banyak juga yang hancur. Tetapi mungkin dia sejak kecil dididik di dalam dunia yang susah, jadi sudah mudah berjuang, menurut dia semua orang juga bisa kalau menghadapi adversity, tapi kalimat yang kedua itu betul sekali, berikan dia power, akan terlihat bagaimana dia dealing dengan power.
Kita tidak usah terlalu rumit berpikir, terlalu tinggi, bagaimana ya kalau saya jadi presiden? Itu mungkin tidak akan kejadian, yang sederhana saja, power sebagai orang tua atau power terhadap orang-orang yang ordonya lebih rendah dari pada kita yang Tuhan taruh di dalam ordo di bawah kita, terhadap pegawai-pegawai saudara, orang-orang yang lebih muda dsb., bagaimana kita exercise power itu? Raja-raja mempunyai cara mereka sendiri, bagaimana mereka memerintah, menggunakan otoritas mereka? Seringkali kalau kita melihat di dalam kehidupan kita juga, bagaimana kita menjadi risau, mungkin waktu anak-anak kita kurang taat, kurang mendengar kita, kita risau-nya bukan karena anak ini ada di dalam bahaya kalau dia tidak mendengarkan apa yang benar, bukan itu alasannya. Tetapi saya merasa muka saya dicoret-coret, apalagi kalau anak saya sengaja tidak taat di depannya orang lain, waduh itu lebih bermasalah lagi, begitu kan ya? Kenapa marah seperti itu, karena ingin menyelamatkan muka sendiri dihadapan anak kita dan dihadapan orang lain.
Kalau kita punya power, kekuasaan, lalu minta orang menghargai, ya itu model dunia, terlalu peka dengan diri sendiri, posisi sendiri dsb., tetapi kemudian Yesus mengajarkan, yang terbesar sesungguhnya adalah yang paling muda dan pemimpin sebagai pelayan, kalimat ini sudah jelas sekali bukan? Harusnya Petrus belajar, kita tidak tahu murid-murid yang lain at least tidak dicatat di dalam injil, tetapi Petrus setelah mendengar kalimat ini tidak belajar. Petrus memang bukan yang paling muda, saya bukan sedang membuat satu kompetisi diantara para rasul, siapa yang paling tinggi dan paling muda dst., kita bukan mau membicarakan itu, tetapi kita ingin coba menempatkan diri kita dalam posisi Petrus sebagai orang yang mungkin katakanlah memang tidak muda, sulit untuk menjadi muda.
Saya percaya pasti Yesus bukan sedang membuat rangking-rangking diantara para murid, tetapi ini bisa dihayati oleh setiap orang, bisa dihayati oleh para rasul, karena tidak otomatis orang yang umurnya muda lalu berjiwa muda, ada orang muda tetapi sindrom senioritas juga. Di sini tidak bicara tentang umur muda, jangan kita geer kalau kita umur muda, lalu pasti kita adalah yang terbesar, karena kita muda, maka kita memiliki sifat-sifat orang muda, tidak tentu juga. Ada orang yang muda, tetapi sombong, sepertinya dia sudah banyak sekali pengalaman, padahal dia masih muda, ada orang yang sebaliknya mungkin sudah tua, tetapi dia humble dan dia terus mau belajar dari orang lain, ya orang seperti ini jiwanya muda. Kita bisa membatasi beberapa aspek, pembahasan metafora muda ini kan bisa luas sekali, kalau di gereja kita seringkali berjiwa muda dikaitkan dengan berjuang, tidak mudah menyerah dsb. Itu satu aspek, tetapi saya ingin membicarakan aspek-aspek yang lain tentang muda, terutama yang ada kaitannya dengan kontras bukan mau menjadi yang terbesar, yang muda, yang kontras dengan jiwa yang mau menjadi yang terbesar, apa di sini?
Pertama, orang muda, kalau dia normal, dia humble karena dia muda, itu seharusnya menjadi satu ciri khas natural dari pada orang muda. Karena dia muda harusnya dia rendah hati, kalau orang tua, dia sudah berjalan mengarungi kehidupan itu sudah banyak makan garam (orang bilang, masih ada modal untuk sombong), tetapi orang muda harusnya dia humble, itu satu virtue yang sangat diharapkan di dalam diri orang muda. Yesus mau supaya murid-muridNya belajar menjadi seperti orang muda di dalam pengertian ini juga, humility, orang yang humble tidak akan berpikir bagaimana mau menjadi yang terbesar diantara orang-orang yang lain, bukan itu panggilannya, dia tidak tertarik, itu bukan agendanya orang yang humble, humility. Kedua, waktu kita membicarakan tentang paling muda, karena dia paling muda dan belum banyak pengalaman, maka kita bisa mengatakan orang muda, karena dia ditempatkan dalam ordo yang di bawah, ya wajar kalau dia dituntut sikap submissive, menaklukkan diri, bisa dipimpin, teachable juga termasuk di dalamnya, ini berkaitan semua dengan rendah hati tadi. Dan orang muda itu karena dia masih muda, dia lebih banyak guru dari pada orang yang tua, orang tua itu sangat selektif di dalam mau mendengarkan siapa (karena dia juga sudah ada pengalaman). Lalu waktu orang muda mulai semakin matang, semakin ahli dsb., dia mulai sangat selektif dalam mendengarkan siapa, kalau sejak muda sudah selektif seperti ini, masalah sekali ya? Misalnya sejak umur 4 tahun dia sudah mulai pilih-pilih mau dengarkan siapa, wah gila ini, Plato atau Socrates pernah mengatakan, seorang guru itu dipilih oleh muridnya (jarang kita mendengar kalimat seperti ini), biasanya orang kan bilang, murid itu dipilih oleh gurunya, kita kan kultur Timur, melihatnya dari atas ke bawah.
Tetapi di sini saya mau masuk ke dalam bagian yang ada kaitan dengan ayat alkitab yaitu kalau orang masih muda tetapi dia sudah terlalu selektif seperti itu, sebetulnya dia belum punya modal untuk memilah-milah. Maka seseorang yang berjiwa muda dia bisa belajar dari siapa saja, dia mudah submit, submission, bisa dipimpin, dari pada buru-buru mau memimpin, itu adalah orang yang berjiwa muda.Yang lain lagi, seorang yang muda, karena dia muda kita boleh expect dia respect orang lain, karena orang muda di dalam posisi yang paling bawah, maka dia harus belajar respect, karena ada ordo yang di atasnya. Alangkah indahnya meskipun orang itu sudah tua, meskipun dia ada di ordo yang di atas, tetapi dia bisa respect orang lain, berarti dia berjiwa muda, karena orang muda itu hampir respect semua orang, karena dia muda, dia berada dalam ordo yang paling bawah, maka dia belajar respect kepada semua yang ada mendahului dia secara ordo. Tetapi orang-orang yang tidak berjiwa muda, susah respect orang lain, lagipula respect-nya itu sangat pilih-pilih, kalau perlu tidak harus respect siapa pun. Ada orang kalau jalan itu seperti matanya bukan di tempatnya, tetapi di atas kepala, ini peribahasa, maksudnya dia melihat ke atas, di dalam bahasa Jerman kalau orang menggambarkan kesombongan itu hidung tinggi, orang yang tidak melihat orang lain, orang yang melihatnya terus ke atas. Orang yang muda, melihat ke atas bukan di dalam pengertian sombong seperti ini, dia memandang ke atas karena dia di posisi yang paling bawah, dia menghargai orang lain, mendengarkan orang lain, tahu bagaimana respect orang lain, itu baru namanya berjiwa muda.
Dan juga pemimpin sebagai pelayan, ini satu konsep yang sangat klasik, diajarkan oleh Yesus sendiri, spiritualitas leadership kristen, siapa yang terbesar yaitu mereka yang melayani. Pemimpin sebagai pelayan, waktu seseorang melayani, dia lupa akan dirinya sendiri, dia tidak memiliki self consciousness, ada orang yang melayani Tuhan, dia terlalu peka terhadap dirinya sendiri, peka terhadap mukanya sendiri, peka terhadap perasaannya, peka terhadap bagaimana orang menghargai dia atau tidak, orang seperti ini sulit menjadi pelayan, karena seharusnya seorang pelayan tidak self consciousness. Misalnya seperti ilustrasi ini, ada seorang jemaat yang tertabrak sampai berdarah-darah, lalu kita pasti akan spontan membantu dia begitu kan? Kita pasti tidak akan berdandan dulu, dasi saya rapih tidak ya, kan mau menolong orang, harus keren dong, lalu sisir-sisir dulu, ya kalau sepeti itu yang di luar sudah mati. Orang seperti ini adalah gambaran orang yang tidak waras, sebetulnya yang urgent itu yang mana? Kecantikannya dia, kenecisannya dia atau orang yang sedang sekarat di depan itu? Di dalam keadaan seperti itu kalau kita waras, maka kita akan melupakan diri kita, mungkin kita berantakan, tidak rapih dsb., karena yang penting adalah orang itu, saya harus cepat-cepat menyelamatkan dia.
Ini gambaran sederhana, bagaimana seorang yang melayani, waktu melihat ada yang urgent needs, dia self forgetful, dia tidak peka dengan dirinya sendiri. Karena waktu kita melayani Tuhan, kita masih terlalu peka dengan diri kita, terus peka dengan diri kita, ya kalau begitu kita bukan pelayan, di situ tidak ada spirit pelayan, seorang pelayan tidak peka tentang dirinya sendiri, dia lupa, bukan sengaja suppress, orang yang suppress apa bahayanya? Ya sebetulnya dia masih peka juga, tetapi sengaja ditekan, begitu kan ya? Orang yang suppress, suppress terus, itu pikirannya ya tentang dia juga, bagaimana dia suppress perasaannya, ini bukan seperti itu, ini secara natural forgetting our self. Saya mengambil ilustrasi yang lain, kadang-kadang kita ada saat-saat dimana kita terlalu sibuk, karena begitu sibuknya sampai lupa untuk makan siang, ini kan secara natural forget bahwa makan siang itu jadi kelewatan, nah ini agak beda dengan orang yang berpuasa atau diet lalu lihat jamnya, ini kapan selesainya? Aduh kurang lima menit lagi, tidak tahan, dia bolak balik lihat jam, dia berusaha suppress nafsu makannya dengan menahan. Orang seperti ini bukan forgetful, dia masih sangat peka bahwa dia sedang mengekang nafsu makannya, baik di dalam melayani atau puasa kita harus secara natural waktu kita belajar forgetful dengan apa yang seharusnya kita bisa lakukan.
Waktu kita melayani Tuhan bisa extended waktunya, forgetful, bukan sengaja diteruskan untuk menyatakan bahwa saya bersedia untuk kerja lebih berat dari pada yang lain, kalau seperti itu, ya balik lagi masih self center. Seorang pelayan aneh sekali kalau dia memikirkan mau menjadi yang terbesar, hal seperti ini tidak masuk di dalam kategori pelayan, apanya yang mau terbesar, kan dia pelayan? Kalau seorang raja, dia mau menjadi raja yang paling besar, bahkan jadi kaisar, ya itu wajar karena dia di dalam posisi raja, dia mau menghayati kerajaannya, dia memiliki kingship, lalu bagaimana mau menaikkan diri menjadi kaisar, raja di atas segala raja. Tetapi seorang pelayan tidak ada yang berpikir seperti itu, itu tidak wajar, seorang pelayan tidak memikirkan dirinya sendiri, tetapi dia akan berkonsentrasi kepada orang-orang atau jiwa-jiwa yang sedang dia layani, itu penyangkalan diri yang sesungguhnya.
Ketika kita berbicara tentang konsep signifikansi diri, kita melihat di dalam dunia ada begitu banyak alternatif orang mengejar signifikansi diri, karena terlalu peka terhadap dirinya, karena dia mau menjunjung dirinya sendiri. Seperti orang yang selfie, yang memotret dirinya sendiri dalam berbagai pose, lalu di posting, self image-nya dibangun berdasarkan penerimaannya orang lain, kalau tidak ada yang suka, dia begitu gusar sekali. Nah orang-orang seperti ini mencoba untuk mencari signifikansi dirinya, mencari kepentingan dirinya melalui penerimaan-penerimaan yang kosong seperti itu di dalam kehidupannya. Seorang pelayan, bukan mendapat signifikansi dirinya di dalam cara yang seperti ini, tidak.
Tetapi waktu kita membaca di dalam ayat 29, apa maksudnya? Kembali lagi pada doktrin klasik ini “kedaulatan Allah”, God given portion, Tuhan yang memberikan porsinya, Tuhan yang assign, Tuhan yang mempercayakan, nah kita menerima dengan hati yang lapang, kita menerima dengan hati yang luas. Tuhan yang memberikan, tidak perlu berusaha untuk menjadi yang terbesar, tidak ada gunanya juga, karena sudah ditetapkan oleh Tuhan. Lebih baik bagaimana kita menggumulkan untuk menjalankan peran yang ditetapkan Tuhan, ini kan yang jauh lebih penting dan disitu kita menjadi significant, seseorang yang significant peka terhadap porsi yang diberikan Tuhan di dalam kehidupannya. Lalu dia menjalankan seumur hidupnya tanpa komparasi sama orang lain, tanpa kompetisi, tetapi dia peka kepada calling atau panggilan yang Tuhan berikan di dalam kehidupannya, itu orang yang significant di dalam Kerajaan Allah. Bukan orang yang waktu pesta bersama dengan Yesus sedang duduk dimana? Ini bukan cara mengenal signifikansi diri dan the good news adalah setiap orang bisa significant di dalam Kerajaan Allah, karena signifikansi diri itu bukan persoalan komparatif, bukan persoalan kompetitif.
Tapi di dalam dunia kita yang sangat diwarnai oleh culture elitism, budaya elitisme, yang modelnya seperti piramida, hanya ada beberapa orang yang bisa dianggap penting dan significant, kan begitu? Yang paling atas itu yang dianggap penting, significant, yang ditengah lumayan, lalu melorot lagi dan yang paling bawah tidak penting lagi, dunia kita dibangun dengan cara penglihatan seperti ini. Gambaran seperti ini bukan struktur di dalam Kerajaan Allah, di dalam struktur Kerajaan Allah, the good news adalah setiap orang bisa menjadi sangat significant, significant di dalam tangan Tuhan, bukan di dalam cara seperti yang di lakukan oleh Petrus di sini, menunjukkan kelebihannya daripada orang-orang lain, bukan, tetapi di dalam arti bahwa dia memahami salib Yesus yang sedang berjalan menuju ke salib.
Yesus menyelesaikan semua yang dipercayakan Bapa kepadaNya (ini di dalam bahasa Yohanes bukan Lukas), Dia mengatakan, domba yang Kau percayakan kepadaKu tidak ada satupun yang binasa, tidak ada. Yesus mengerjakan semua yang dipercayakan oleh Bapa di dalam kehidupanNya, di dalam ketaatan yang sempurna. Tetapi coba kita perhatikan, Yesus juga tidak berusaha untuk masuk menjadi orang yang mau menerobos lebih significant lagi, akhirnya Dia mengambil pekerjaan Petrus, Yohanes dan yang lain, tidak ada, Yesus tetap membatasi diriNya dengan porsi yang diterima dari Bapa yang ada di sorga. Yang menjadi bagian orang lain, ya bagian orang lain, Yesus tidak pernah menulis injil, itu bagian dari Matius, Lukas, Markus dan Yohanes. Betapa pentingnya tulisan injil, tetapi yang penting seperti itu pun Yesus tidak melakukan, Yesus serahkan kepada murid-muridNya, lalu seperti tulisan Paulus, ada tempat-tempat yang Yesus tidak pernah pergi ke sana, ada tempat yang dikunjungi oleh Nommensen, Yesus tidak tahu apa-apa (secara manusia) dengan daerah itu, dll., ada tempat-tempat yang dipercayakan kepada saudara dan saya, Yesus tidak pernah ke sana. Yesus membatasai diriNya dengan porsi yang diberikan Tuhan di dalam kehidupanNya, that is significant, true significant.
Tetapi dunia mengajarkan significant yang bukan seperti ini, kalau bisa saya mengerjakan semua dan semua orang tepuk tangan, yang lain tidak kebagian tepuk tangan. Saya suka dengan ilustrasi orang yang terlibat main di dalam orkestra, karena di situ ada berbagai alat musik, ada yang namanya alat musik timfani, alat ini hanya dimainkan misalnya 2 bar dia harus diam dan tidak boleh ketiduran, wah susah sekali main timfani, karena dia harus berhenti sebanyak 70 bar dia harus menunggu, pergumulan main timfani ini susah sekali. Lalu bagaimana, kalau dia coba untuk menjadi significant supaya saya tidak ketiduran dan supaya saya juga bisa bersaing dengan si pemain biola yang saya mulai iri itu, lebih baik saya bermain kencang-kencang, akhirnya orang bukan hanya melihat pemain biola, akhirnya setiap mata mulai tersorot kepada saya, tapi dengan sorotan yang pasti berbeda kan ya? Sorotan yang karena sangat terganggu dan menanti kapan satpam mengeluarkan orang ini dari concert hall.
Saya tidak akan menjadi significant dengan bermain dari awal sampai akhir seperti itu, karena sedang bersaing dengan porsi orang yang memang sedang diberikan tugas yang menonjol oleh Tuhan. Lalu saya menjadi terganggu dengan itu, menjadi orang yang kurang di acknowledge, kurang di recognize dsb., akhirnya saya cenderung memainkan timfani dengan kencang, saya menjadi orang yang merusak pekerjaan Tuhan, merusak keseluruhan keindahan simfomi, bukan jadi indah. Tapi saya akan menjadi significant, menjadi indah waktu saya menguasai diri dan saya content dengan 2 bar itu, lalu waktu saya berhenti, saya tidak bermain di dalam 70 bar, itu adalah the beauty of the present of my self. Masing-masing ada indahnya, waktu saya tidak hadir, itu indah, waktu saya hadir juga indah, karena sudah dirancang seperti itu oleh komposer, Tuhan kita seperti komponis itu, komponis yang agung.
Ada saat-saat dimana kita diberikan tugas yang berat, lalu mungkin semua mata berharap kepada kita, bergantung kepada kita, tetapi ada satu waktu di dalam kehidupan kita dimana kita tidak terlalu terlibat, itu masa-masa yang indah juga dan Tuhan memakai orang lain, nanti pada saat yang lain kita bisa terlibat lagi dst. Nah waktu orang memahami gambaran signifikansi seperti ini dan saya berharap bukan hanya di dalam gereja, tetapi juga di dalam society, di dalam kehidupan bermasyarakat secara luas, d dalam kita mendidik anak, di dalam kehidupan keluarga, ada saat orkestrasi yang sangat indah seperti itu, tahu kapan mundur, tahu kapan maju. Saya sedikit komplain terhadap pemusik-pemusik di gereja kita, yang seperti sama sekali tidak ada kepekaan karena di depan sendirian main musik, mainnya kencang terus, seperti dia mau di depan terus, yang celaka adalah yang lain mau seperti itu juga dan akhirnya semua orang mau teriak-teriak dan semua orang harus dengar, tidak ada kepekaan, maunya di depan terus, maunya yang paling kencang. Kita kuatir kalau model seperti ini ternyata bukan hanya dipemusik gereja, tetapi juga di dalam pelayanan-pelayanan gereja, pokoknya saya yangg paling kencang terus, tidak punya kepekaan kapan mundur, kapan maju, mau terus menjadi yang terbesar.
Saudara dan saya, kita menjadi significant, kita penting dihadapan Tuhan, di dalam Kerajaan Allah waktu kita belajar untuk mengenali porsi kita, lalu mengerjakan porsi itu dengan setia, seperti Yesus Kristus naik ke atas kayu salib, mengerjakan porsinya dengan setia sampai selesai. Setelah itu Dia kembali kepada Bapa, lalu Dia mengutus murid-muridNya dan Dia melihat rajutan keindahan pekerjaan Tuhan, komposisi Allah di dalam dunia ini, yang masih belum selesai sampai sekarang dan disisakan juga bagi saudara dan saya untuk memainkan instrumen kita masing-masing. Kiranya Tuhan memberkati kita. Amin.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (AS)